AHAD, 28 Ramadhan 1437 H / 03 Juli 2016 M / 05:24 WIB
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللَّهِ
BAHASAN : SIRAH NABI
BAI’TUR RIDHWAN
Pada edisi sebelumnya disebutkan bahwa ketika Utsman Radhiyallahu anhu diutus ke Mekah untuk menyampaikan misi kedatangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Mekah kepada para para tokoh Quraisy, beliau Radhiyallahu anhu tertahan agak lama. Kondisi ini mendorong Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memanggil para shahabat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengajak mereka untuk berbai’at. Orang yang pertama kali membai’at Rasûlullâh adalah Abu Sinan bin Abdullah bin Wahab al-asadiy[1] , kemudian di ikuti yang lain dengan bai’at yang sama seperti bai’at beliau Radhiyallahu anhu. Setelah itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji perbuatan mereka ini dengan mengatakan:
أَنْتُمْ خَيْرُ أَهْلِ الأَرْضِ
Kalian adalah sebaik baik penduduk bumi[2]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
لاَ يَدْخُلُ النَّارَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنْ أَصْحَابِ الشَّجَرَةِ أَحَدٌ الَّذِينَ بَايَعُوا تَحْتَهَا
Insya Allâh, tidak ada satu pun yang masuk neraka dari orang orang yang berbai’at di bawah pohon[3]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi isyarat dengan tangan kanan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya bersabda, “Ini (ibarat) tangan Utsmân” lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjabatkan tangan kanan beliau itu dengan tangan kiri sambil bersabda, “Ini untuk Utsman.”[4] Sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menunjukkan bahwa Utsman Radhiyallahu anhu ikut mendapatkan kebaikan atau keutamaan bai’at, meskipun beliau tidak menghadirinya kala itu.
Sebelum keadaan semakin memanas, tiba-tiba Utsman Radhiyallahu anhu datang dan hadir ditempat itu. Bai’at ini di kenal dengan Bai’atur Ridhwan, karena Allâh Azza wa Jalla mengabarkan bahwa Allâh Azza wa Jalla telah meridhai orang-orang yang ikut berbai’at. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
Sesungguh Allah telah ridha terhadap orang-orang Mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, lalu Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya) [Al-Fath/48:18][5]
KISAH BEBERAPA UTUSAN QURAISY
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
لاَ يَدْخُلُ النَّارَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنْ أَصْحَابِ الشَّجَرَةِ أَحَدٌ الَّذِينَ بَايَعُوا تَحْتَهَا
Insya Allâh, tidak ada satu pun yang masuk neraka dari orang orang yang berbai’at di bawah pohon[3]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi isyarat dengan tangan kanan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya bersabda, “Ini (ibarat) tangan Utsmân” lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjabatkan tangan kanan beliau itu dengan tangan kiri sambil bersabda, “Ini untuk Utsman.”[4] Sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menunjukkan bahwa Utsman Radhiyallahu anhu ikut mendapatkan kebaikan atau keutamaan bai’at, meskipun beliau tidak menghadirinya kala itu.
Sebelum keadaan semakin memanas, tiba-tiba Utsman Radhiyallahu anhu datang dan hadir ditempat itu. Bai’at ini di kenal dengan Bai’atur Ridhwan, karena Allâh Azza wa Jalla mengabarkan bahwa Allâh Azza wa Jalla telah meridhai orang-orang yang ikut berbai’at. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
Sesungguh Allah telah ridha terhadap orang-orang Mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, lalu Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya) [Al-Fath/48:18][5]
KISAH BEBERAPA UTUSAN QURAISY
1. Urwah bin Mas’ud Atssaqafi
Quraisy mengutus beberapa utusan untuk melakukan perundingan dengan kaum Muslimin. Setelah mengutus Budail bin Warqa’, mereka mengutus Urwah bin Masud Atssaqafi. Sebelum berangkat dia khawatir mendapatkan sikap dan ucapan buruk dari kaum Quraisy sebagaimana yang didapatkan orang sebelumnya yaitu Budail. Untuk menghilangkan kekhawatiran ini, dia menerangkan kepada Quraisy tentang sikapnya terhadap kaum Quraisy dan memastikan bahwa dia bukanlah orang yang pernah dicurigai. Setelah mendapatkan kepastian dari kaum Quraisy bahwa dia tidak dicurigai, baru kemudian dia mengajukan usulnya agar diutus untuk menemui Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. kaum Quraisy setuju dan berangkatlah Urwah bin Mas’ud menuju Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin.
Ketika Urwah tiba dihadapan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan perkataan yang pernah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan kepada Budail. lalu Urwah berkata, ”Wahai Muhammad ! Bagaimana pendapatmu jika engkau memusnahkan kaummu (karena keliru mengambil keputusan-red), pernahkah engkau mendengar kisah orang Arab sebelummu yang membinasakan kaumnya ? Jika tidak demikian (jika Quraisy yang menang), sesungguhnya demi Allâh Azza wa Jalla ! Saya tidak melihat mereka (para shahabatmu) berasal dari satu qabilah. Sungguh aku melihat kumpulan dari banyak qabilah yang bisa saja lari dan membiarkanmu. Mendengar ucapan lancang ini, Abu Bakar Radhiyallahu anhu emosi dan mengatakan, “Apakah kami akan lari meninggalkannya seorang diri ?!”
Urwah menyangka bahwa para shahabat karena terdiri dari kabilah yang beragam, mereka tidak memiliki ikatan yang kuat, sehingga akan mudah lari dari medan pertempuran. Urwah tidak tahu, kalau ikatan aqidah jauh lebih kuat dibandingkan dengan ikatan kesukuan.
Urwah terus berusaha berbicara dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan setiap kali berbicara dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dia selalu memegang jenggot Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana kebiasaan kaum Quraisy ketika berbicara dengan para pembesar mereka, sebagai ungkapan hormat atau cinta. Sementara al-Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu anhu yang berdiri di dekat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa pedang tidak suka melihat perbuatannya ini. Oleh kaena itu, ia memukul Urwah dengan gagang pedang seraya menghardik, “Lepaskan jenggot Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam !”
Disini Urwah mendapatkan pembelajaran penting. Dia menyaksikan sendiri, bagaimana pengagungan, kecintaan dan ketaaatan para shahabat terhadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang luar biasa. Inilah yang ia cerita sekembalinya ke Quraisy. Ia mengatakan :
أَىْ قَوْمِ ، وَاللَّهِ لَقَدْ وُفِدْتُ عَلَى الْمُلُوكِ ، وَ وُفِدْتُ عَلَى قَيْصَرَ وَكِسْرَى وَالنَّجَاشِىِّ , وَاللَّهِ ما رَأَيْتُ مَلِكًا قَطُّ يُعَظِّمُهُ أَصْحَابُهُ مِثْلَ مَا يُعَظِّمُ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ – صلى الله عليه وسلم – مُحَمَّدًا
Wahai kaum Quraisy ! Demi Allâh, saya pernah diutus ke banyak raja. Aku pernah diutus ke Kaisar, Kisra dan Najasyi, demi Allâh Azza wa Jalla saya tidak pernah melihat seorang penguasa pun yang diagungkan oleh pengikutnya sebagaimana sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengagungkan Muhammad[6]
2. Al-Hulais bin al-Qamah al-Kinâni
Kemudian Quraisy mengutus al-Hulais bin al-Qamah al-Kinâni. Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Hulais yang merupakan pemuka al-Ahâbisy, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang ini termasuk kaum yang mengagungkan hadyu (hewan kurban) maka kirimlah hewan kurban kehadapannya supaya dia melihatnya !” Para shahabat Radhiyallahu anhum menjalankan perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Sementara al-Hulais begitu melihat hewan kurban yang sudah diberi tanda di lehernya, dia langsung berbalik arah dan kembali ke Quraisy sebelum sempat bertemu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini ia lakukan sebagai bentuk pengagungan terhadap apa yang ia lihat. Setibanya di perkemahan kaum Quraisy, ia mengatakan, “Aku telah melihat hewan kurban yang sudah di kalungi dan sudah diberi tanda. Saya berpendapat, tidak sepantasnya mereka dihalangi dari rumah Allâh Azza wa Jalla“[7]
Mendengar perkatakan ini, kaum Quraisy geram dan mengatakan, “Diam dan duduklah ! Kamu hanya orang arab badui yang tidak tahu apa-apa.” Mendapat respon yang kurang baik ini, al-Hulais pun marah dan mengatakan, ”Wahai orang-orang Quraisy ! Demi Allâh ! Bukan untuk tujuan ini, kami bergabung dengan kalian ! Apakah orang yang datang ke Baitullah sambil mengabungkannya harus dihalang-halangi ?! Demi jiwa al-Hulais yang ada di tangannya, Kalian harus membiarkan Muhammad dengan tujuan kedatangannya atau saya menarik mundur semua al-Ahabisy secara bersamaan ?!” Supaya tidak terus memanas, mereka mengatakan, “Cukup ! Biarkan kami sampai kami menentukan apa yang kami ridhai.”
3. Mikrâz bin Hafsh dan Suhail bin Amru.
Kemudian Quraisy mengutus seorang lelaki berperangi buruk yaitu Mikrâz bin Hafsh. Ketika melihat orang ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَهُوَ رَجُل فَاجِر
Dia orang jahat
Kemudian dia mulai berbicara dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika sedang berbicara dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba seseorang yang bernama Suhail bin Amr datang sebagai utusan Quraisy berikutnya, lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan dengan optimis :
لقَدْ سَهَّلَ لَكُمْ أَمْركُمْ
Sungguh ia telah memudahkan urusan untuk kalian.[8]
Dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
قَدْ أَرَادَ الْقَوْمُ الصُّلْحَ حِينَ بَعَثُوا هَذَا الرَّجُلَ
Sesungguhnya mereka telah menginginkan perdamain ketika mengutus orang ini[9]
Orang-orang Quraisy berpesan kepada Suhail bin Amru, ”Datangilah Muhammad dan buatlah penjanjian damai dengannya dan tidak akan terjadi perdamaian kecuali ia harus kembali tahun ini (tidak jadi melakukan umrah-red). Maka demi Allâh ! Jangan sampai orang-orang arab berbicara tentang kami bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki Makkah dengan paksa”.
Ketika sampai di hadapan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Suhail berbicapa panjang lebar dan saling menjawab, kemudian terjadilah antara keduanya perdamaian.[10]
SYARAT-SYARAT PERJAJIAN DAMAI
Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai mendiktekan syarat-syarat perjanjian ke Ali bin Thâlib Radhiyallahu anhu selaku penulis isi perjanjian[11], Suhail mengingkari penulisan kalimat ‘ar-Rahmân” dalam al-basmalah. Ia ingin menggantinya dengan “Bismika Allahumma” karena kalimat ini yang berlaku bagi orang orang jahiliyah. Keberatan Suhail ini ditolak oleh kaum Muslimin, namun tidak demikian dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam setuju dengan usulan Suhail. Suhail juga mengkritisi penggunaan ungkapan, “Muhammad Rasulullah”, dia meminta diganti dengan “Muhammad bin Abdillah”. Kritikan ini disetujui oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Giliran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengajukan syarat dengan sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dengan syarat, kalian membiarkan kami mendatangi Ka’bah dan melakukan ibadah thawaf.” Suhail membantah dengan mengatakan, “Jangan sampai orang-orang arab mengatakan kami telah memaksa, akan tetapi kalian boleh datang tahun depan, sehingga kami keluar dan kamu bisa masuk dengan seluruh shahabatmu dan tinggal selama tiga hari dengan pedang yang tidak terhunus.”
Rasûlullâh pun setuju dengan syarat tersebut, kemudian Suhail melanjutkan dengan syarat yang selanjutnya, “Dan tidak ada seorang pun dari kaum kami yang datang kepadamu (pada masa perjanjian ini-red) walaupun dia diatas agamamu melainkan engkau harus mengembalikannya kepada kami.” Mendengar syarat ini, kaum Muslimin langsung bereaksi. Mereka mengatakan, “Subhanallah ! Bagaimana mungkin dikembalikan kepada kaum musyrikin sementara dia dalam keadaan Muslim?!”
Ketika sedang terjadi perundingan dalam poin ini, tiba-tiba datang Abu Jandal bin Suhail bin Amr bin Yarsuf dalam keadaan terikat. Ia keluar dari kota Mekah dan menggabungkan diri dengan kaum Muslimin. Melihat ini, Suhail tidak mau kehilangan kesempatan emas ini. Suhail mengatakan, “Wahai Muhammad ! Inilah orang pertama yang aku tuntut engkau untuk mengembalikannya kepadaku.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
: إِنَّا لَمْ نَقْضِ الْكِتَابَ بَعْدُ
Kita belum mulai melaksanakan isi perjanjian
Suhail menimpali, “Demi Allâh ! Kalau demikian kami tidak akan berdamai selamanya denganmu dengan syarat apapun.”
Rasûlullâh sangat mengharapkan agar Suhail bersedia mengecualikan Abu Jandal, namun ia tetap menolak walaupun Mikraz (utusan Quraisy yang lain) menyetujui permintaan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Suhail tidak mau merubah pendiriannya, akhirnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki pilihan kecuali melanjutkan apa yang disyaratkan Suhail.[12]
SYARAT-SYARAT PERDAMAIAN LAINNYA
Kemudian setelah itu terjadi kesepakatan atas beberapa syarat yang lain seperti sepakat melakukan genjatan senjata selama sepuluh tahun. Sehingga selama itu orang bisa merasa aman, masing-masing menahan diri untuk tidak saling menyerang, dan tidak saling tuntut atas perkara-perkara yang sudah terjadi, tidak ada pencurian dan khianat dan barang siapa yang ingin masuk agama Muhammad maka di persilahkan untuk mamasukinya.
Kemudian serentak orang orang dari Khuza’ah mengatakan, ”Kami bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perjanjiannya.” Banu Bakar juga mengatakan:” kami bersama Quraisy dan perjanjiannya”.[13]
[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XV/1431H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016, artikel: almanhaj]
Footnote
[1]. Diriwayatkan Ibnu Hajar dalam al-Ishâbah(4/95- 96) dari hadits as-Sya’biy dan berkata, “Dan di keluarkan Ibnu Mandah dari jalan Ashim dari Zar bin hubaisy.” Ibnu Hajar rahimahullah dalam al-Ishâbah (3/264) menyebutkan bahwa jalan periwayatan Zar bin Hubaisy dan Sya’biy semua shahih. Ini juga di rawayatkan oleh Ibnu Hisyam dengan sanad yang sampai ke as-Sya’biy – as-Sirah(3/438-439).
[2]. HR. al-Bukhâri/al-Fath (16/17/no:4154)
[3]. HR. Muslim(4/1942/ no:2486).
[4]. HR. al-Bukhâri/al-Fath (14/202/3699).
[5]. Diriwayatkan oleh at-Thabari dalam tafsirnya(26/86) dengan sanad lemah dengan adanya Musa bin Ubaidah, tetapi riwayat ini dikuatkan dengan hadits Jâbir yang ada dalam riwayat Tirmidzi, as-Sunan al-Kubra/Kitabus Siar/ no:1591 dan didukung pula dengan ayat. Tadlis Yahya bin Abi Katsir tidak mempengaruhi derajat hadits riwayat ini karena dasar hadits ini terdapat dalam riwayat Imam Muslim dari Jabir dan yang lainnya (3/1483/no:1856)
[6]. HR. al-Bukhâri/al-Fath (11/167- 171/no:2731,2732); Musnad Ahmad, (4/324) dengan sanad yang hasan dari riwayat Ibnu Ishâq.
[7]. HR. al-Bukhâri/al-Fath (11/171/no:2731,2732).
[8]. Musnad Ahmad dengan sanad yang hasan, (4/324).
[9]. Dari hadits Ibnu Ishâq dengan sanad yang hasan- Ibnu Hisyam (3/439).
[10]. Sumber yang sama.
[11]. Penyebutan nama penulis isi perjanjian di sebutkan secara jelas dalam riwayat al-Bukhâri(11/129/no:2698, 2699), Muslim(3/1410/no:1783) dan Abdurrazzaq dalam Mushannaf (5/343) dengan sanad yang shahih dari hadits Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma dan riwayat yang lain dari Mursal az-Zuhri, dan di dalam riwayat Ibnu Ishaq dengan sanad yang hasan-Ibnu Hisyam (3/440).
[12]. HR. al-Bukhâri/al-Fath (11/173-176/no:2731-2732).
[13]. Dari Riwayat Ibnu Ishâq dengan sanad yang hasan- Ibnu Hisyam (3/440-441), Ahmad dalam al-Musnad (4/325) lewat jalur Ibnu Ishaq dengan sanad yang hasan.