BAHASAN : SIRAH NABI
PERANG KHAIBAR[1]
Peperangan dalam menaklukkan Khaibar bukanlah peperangan tanpa menelan korban. Yang terbunuh dari kalangan Yahudi berjumlah 93 sementara kaum wanita dan anak-anak mereka ditawan. Diantara wanita yang menjadi tawanan saat itu adalah Shafiyah binti Huyay bin Akhthab. Wanita ini kemudian diminta oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari shahabatnya yang mendapatkannya yaitu Dihyah. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membebaskannya dan menikahinya[2].
Sementara yang mati syahid dari kaum Muslimin saat peperangan ini ada sekitar 20 orang sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Ishâq[3] dan 15 orang sebagaimana yang disebutkan oleh al-Wâqidi[4].
Diantara kaum Muslimin yang syahid ialah seorang penggembala kambing yang sebelumnya dia suruhan orang Yahudi. Singkat cerita, dia datang menghadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengepung sebagian benteng Khaibar. Ketika itu, dia masih membawa serta kambing-kambing milik kaum Yahudi Khaibar yang sedang ia gembalakan. Ia meminta kepada Rasûlullâh agar menjelaskan tentang Islam kepada dirinya. Setelah dijelaskan, ia menyatakan diri masuk Islam. Ia meminta nasehat tentang apa yang harus dilakukan terhadap kambing-kambing yang sedang digembalakanya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memintanya agar dia memukul wajah-wajah kambing tersebut niscaya kambing-kambing itu akan kembali sendiri kepada para pemiliknya. Nasehat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dilaksanakan dan kambing-kambing itu benar-benar kembali ke para pemiliknya. Terbebas dari tanggung jawab atas kambing-kambing gembalaannya, dia lantas maju ke medan tempur, namun tanpa disangka sebongkah batu menimpanya dan akhirnya wafat. Dia meninggalkan dalam keadaan belum sempat melaksanakan shalat meskipun hanya sekali.
Diantara yang syahid juga adalah seorang Arab Badui. Kisahnya sungguh mengagumkan dan bisa dijadikan sebagai contoh. Singkat ceritanya, ia datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menyatakan keislamannya dan meminta ijin untuk berhijrah bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala perang Khaibar berkecamuk (ada yang mengatakan pada perang Hunain), Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan ghanîmah (harta rampasan perang). Saat pembagian ghanimah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya bagian, namun ia tidak hadir. Ketika dia datang, para shahabat menyerahkan bagiannya. Ia mengambilnya dan pergi membawanya menghadap Rasûlullâh dan berkata, “Apa ini wahai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Bagian yang aku berikan untukmu.” Ia berkata, “ Bukan untuk ini aku mengikutimu, akan tetapi aku mengikutimu supaya aku kena disini (sambil memberi isyarat ke lehernya dengan anak panah) sehingga aku bisa masuk surga.”
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda, “Jika engkau membenarkan Allâh niscaya Allâh akan membenarkanmu.” Tidak lama kemudian, ia wafat dan mayatnya dibawa kehadapan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia terkena anak panah, tepat pada tempat yang telah ia isyaratkan. Melihat itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Ia telah membenarkan Allâh sehingga Allâh membenarkannya.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkafaninya dengan menggunakan jubah beliau kemudian menguburkannya.[5]
PERCOBAAN PEMBUNUHAN RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Setelah peperangan melawan Yahudi Khaibar usai, kebencian orang-orang Yahudi tak pernah padam. Mereka berusaha membunuh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menggunakan racun. Saat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Khaibar pasca peperangan, salah seorang perempuan Yahudi menghadiahkan kambing panggang yang telah diberi racun kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wanita jahat ini memperbanyak racun dibagian paha, karena ia tahu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai bagian itu. Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikmati hidangan itu dan makan bagian paha tersebut, ada yang memberitahu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa daging itu beracun. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memuntahkannya dan memanggil perempuan itu dan menanyakannya prihal racun itu. Si wanita itu mengakui kejahatannya. Namun Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghukumnya pada saat itu. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghukumnya dengan hukuman mati ketika salah seorang sahabat yang bernama Bisyr bin al-Barra bin Ma’rûr meninggal dunia disebabkan pengaruh racun yang ia telan bersama daging yang dihidangkan si wanita itu. Saat itu, Bisyr ikut makan bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam [6].
KESEPAKATAN DENGAN KAUM YAHUDI
Awalnya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkeinginan untuk mengusir kaum Yahudi dari Khaibar[7] karena mereka memiliki banyak sekali catatan buruk terkait hubungannya dengan dakwah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun mereka menawarkan kerjasama terkait pengolahan wilayah Khaibar. Akhirnya, terwujud kesepakatan antara kaum Muslimin dengan kaum Yahudi. Diantara poin-poin kesepakatan itu adalah sebagai berikut :
a. Terkait tanah dan tanaman kurma di atasnya maksudnya harta yang tidak bisa dipindah-pindah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan pengelolaannya kepada mereka dengan ketentuan separuh dari hasilnya untuk mereka.[8]
b. Dalam perawatan tanah, kaum Yahudi wajib menggunakan harta mereka
c. Terkait keberadaan mereka secara hukum, mereka telah sepakat bahwa keberadaan mereka di wilayah itu tergantung dengan kemauan kaum Muslimin. Artinya, kapan saja kaum Muslimin berkeinginan untuk mengusir mereka, maka maka mereka harus keluar dari wilayah itu. Inilah yang dilakukan oleh Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu. Beliau Radhiyallahu anhu mengeluarkan kaum Yahudi Khaibar ke Taima’. Yang mendasari tindakan beliau Radhiyallahu anhu ini adalah sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhir hayat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi :
أَخْرِجُوْا الْمُشْرِكِيْنَ مِنْ جَزِيْرَةِ الْعَرَبِ
Keluarkanlah kaum musyrikin dari jazirah Arab.[9]
Juga disebabkan oleh tindakan permusuhan mereka terhadap kaum Muslimin yang tidak pernah padam.
d. Adapun terkait kepemilikan barang yang bisa dipindah-pindah, mereka sepakat bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhak mendapatkan emas, perak, senjata dan baju besi, sementara kaum Yahudi Khaibar berhak membawa seukuran kemampuan kendaraan mereka atau seukuran daya tampung dan daya muat kendaraan mereka dengan syarat mereka tidak menyembunyikan apapun. Jika mereka sampai berani menyembunyikan sesuatu, maka tidak ada lagi jaminan keamanan buat mereka.
PEMBAGIAN GHANIMAH
Dalam perang Khaibar ini kaum Muslimin mendapatkan ghanimah yang sangat banyak. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membagikan ghanimah kepada semua yang terlibat dalam peperangan tersebut dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikannya kepada yang tidak terlibat kecuali sekelompok shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang baru datang dari tempat hijrah mereka yaitu negeri Habasyah. Mereka terdiri dari 53 lelaki dan satu orang wanita. Para shahabat yang dikomandoi Ja’far bin Abu Thalib ini datang dengan mengendarari perahu, sehingga mereka disebut dengan ahlus safînah. Kedatangan mereka sangat membahagiakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan mereka ghanimah. Bahkan karena senangnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam seakan tidak bisa membedakan, manakah yang lebih membahagiakan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah kemenangan kaum Muslimin atas Yahudi Khaibar ataukah kedatangan para shahabat dari negeri Habasyah ini ?
MENIKAHI SHAFIYAH
Shafiyah binti Huyay termasuk diantara wanita yang menjadi tawanan perang dalam perang Khaibar. Suaminya tewas dalam pertempuran melawan kaum Muslimin. Ketika peperangan sudah usai dan para tawanan sudah dikumpulkan, salah seorang shahabat yang bernama Dihyah Radhiyallahu anhu mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta agar diberi budak wanita. Menanggapi permintaan shahabatnya ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersilahkan Dihyah untuk mengambil yang diinginkannya. Karena dipersilahkan memilih, Dihyah Radhiyallahu anhu memilih Shafiyah binti Huyay. Salah seorang shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengetahui pilihan Dihyah Radhiyallahu anhu merasa keberatan dan bergegas menemui Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu melaporkan hal itu kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mendengar alasan shahabat yang melapor itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Dihyah dan menyuruhnya membawa serta wanita tawanan yang menjadi pilihannya. Melihat keadaan wanita yang bernama Shafiyah itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh Dihyah untuk memilih yang lain. Beliau menawarkan Islam kepada Shafiyah lalu Shafiyah memutuskan masuk Islam. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian membebaskannya dan menikahinya. Dalam pernikahan itu yang menjadi maharnya adalah pembebasan yang diberikan Rasulullah terhadap Shafiyah Radhiyallahu anha[10] .
DAMPAK POSITIF PERANG INI BAGI PERKEMBANGAN ISLAM
Kemenangan pasukan kaum Muslimin dalam peperangan ini memberikan beberapa dampak positip. Diantaranya, kabilah Fadak yang sebelumnya tidak mau menerima dakwah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim salah seorang shahabat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengemban misi ini. Namun, kesombongan mereka ini luluh begitu mengetahui kaum Muslimin berhasil menundukkan penduduk Khaibar yang terkenal dengan keahlian tempur mereka. Mereka kemudian memutuskan untuk mengirimkan kurir untuk membuat perjanjian damai dengan kaum Muslimin dengan menyerahkan sebagian dari hasil bumi mereka kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sikap kaum Yahudi Fadak ini tidak diikuti oleh kaum yahudi yang bertempat tinggal di daerah lembah al-Qura. Mereka tetap menentang dan melakukan perlawanan saat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin mendatangi mereka. Salah seorang budak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tewas terkena tombak yang dilemparkan musuh secara tiba-tiba dan dari arah yang tidak diketahui. Melihat ini, beberapa shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergumam, “Alangkah senangnya, dia akan mendapatkan surga.” Ucapan para shahabat ini disanggah oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena orang itu mengambil sesuatu dari ghanimah sebelum dibagikan. Barang yang diambilnya itu menyebabkan dia akan mendapatkan sisa neraka. Mendengar ini, shahabat yang merasa melakukan hal yang sama, bergegas mengembalikan apa yang pernah mereka ambil kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam[11].
Serangan mendadak dari Yahudi lembah al-Qura itu disambut Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mempersiapkan para shahabatnya untuk berperang. Peperangan pun tidak terelakkan. Kaum Muslimin akhirnya juga berhasil menaklukkan mereka. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal lembah itu selama empat hari.
Kekalahan Yahudi di lembah al-Qura itu terdengar oleh Yahudi Taima’. Ini membuat mereka mengambil keputusan untuk mengikuti langkah Yahudi Fadak. Mereka memutuskan untuk menawarkan perjanjian damai dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin. Tawaran ini diterima oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
KEMBALI KE MADINAH
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin kembali ke Madinah, setelah tinggal di Khaibar beberapa hari pasca keberhasilan mereka menaklukkan Yahudi Khaibar. Dalam perjalanan kembali ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melakukan perjalanan meski malam sudah merambah gelap. Mereka berhenti dan istirahat di akhir malam. Tak pelak, ini membuat mereka kelelahan, sehingga semuanya tertidur termasuk Bilal bin Rabbah Radhiyallahu anhu yang mendapat tugas jaga. Mereka tidak terbangun kecuali setelah merasakan cahaya matahari mulai menghangatkan badan mereka. Mereka kemudian terbangun dan melaksanakan shalat Shubuh meski matahari sudah terbit.
PELAJARAN DARI KISAH DIATAS
1. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang ghulul (mengambil sesuatu dari ghanimah sebelum pembagian ghanimah itu sendiri) dan orang yang mati sementara dia masih melakukan ghulul, maka dia akan masuk neraka, sebagaiamana kisah salah seorang budak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wafat sementara dia masih menyimpan sesuatu yang diambilnya dari ghanimah sebelum pembagian
2. Bolehnya menetapkan akad perjanjian damai dengan syarat, sebagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan perjanjian damai atau jaminan keamanan dengan syarat mereka tidak menyembunyikan harta apapun
3. Bolehnya menjadikan non-materi sebagai mahar dalam sebuah pernikahan, sebagai mana Rasûlullâh menjadikan pemberian kebebasan kepada Shafiyah sebagai mahar dari Rasûlullâh kepada Shafiyah dalam perniakahan mereka.
4. Bolehnya menerima dan mengkonsumsi makanan dan sembelihan ahli Kitab sebagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima hadiah dari ahli Kitab di Khaibar
5. Berlakunya hukum Qishash bagi orang yang membunuh dengan sengaja, sebagaimana kisah wanita yang berusaha membunuh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan racun yang dibubuhkan pada daging kambing yang dihadiahkan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selamat tapi salah shahabat yang ikut mengkonsumsi daging itu wafat, sehingga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan hokum qishash bagi si wanita itu.
6. Bolehnya melakukan muzâra’ah dan musâqah (menyerahkan pengelolaan tanah dan tanaman kepada orang lain) dengan upah dari hasil panennya, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal itu dengan Yahudi Khaibar.
[Http://cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVI/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016, artikel: almanhaj]
Footnote
[1]. Diangkat dari as-Sîratun Nabawiyah fi Dhau’il Mashâdiril Ashliyyah, DR Mahdi Rizqullah Ahmad dan ar-Rahîqul Makhtûm, Syaikh al-Mubarakfuri
[2]. HR. Muslim, 2/1045-1046, no. 1365 dan Bukhâri, al-Fath, 15/59-60, no. 4211
[3]. Ibnu Hisyam, 3/478, dengan riwayat yang mu’allaq
[4]. al-Maghazi, 2/700
[5]. Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam al-Mushannaf dengan sanad yang shahih, 5/276
[6]. Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, 3/220; Abdurrazaq dalam a-Mushannaf dengan sanad beliau sampai Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu anhu sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam al-Fath 16/81; al-Waqidi, 2/679 dan al-Baihaqi dalam ad-Dalâil, 4/256-264.
[7]. Lihat ar-Rahîqul Makhtûm, hlm. 419
[8]. Dari hadits riwayat Imam Bukhari, al-Fath, 16/80-81, no. 4148; Muslim, no. 1551
[9]. Ibnu Sa’ad, 2/242 dengan sanad shahih dan lain-lain
[10]. HR bukhari, Lihat, ar-Rahîqul Makhtûm, hlm. 421
[11]. Shahih Bukhari, Lihat ar-Rahîqul Makhtûm, hlm.423