Senin, 23 Mei 2016

Keutamaan Para Sahabat Yang Ikut Perang Badar

Keutamaan Para Sahabat Yang Ikut Perang Badar

BAHASAN : SIRAH NABI

KEUTAMAAN PARA SAHABAT YANG IKUT PERANG BADAR


Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ ۖ فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Sungguh Allah telah menolong kalian dalam peperangan Badar, padahal kalian adalah (ketika itu) lemah. Karena itu, bertakwalah kepada Allah, supaya kalian mensyukuri-Nya. [Ali Imrân/3:123]

Ketika menjelaskan makna ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan : “Yaitu saat terjadi perang Badar yang bertepatan dengan hari Jum’at tanggal 17 Ramadhan tahun 2 Hijrah. Hari itu disebut juga Yaumul furqân (hari pembedaan antara yang haq dan yang batil-red). Pada hari itu Allah Azza wa Jalla memuliakan Islam dan kaum Muslimin serta menghancurkan kesyirikan serta pendukungnya, padahal jumlah kaum Muslimin yang ikut serta ketika itu sedikit…”. Allah Azza wa Jalla memuliakan rasul-Nya dan memenangkan wahyu-Nya; Allah Azza wa Jalla ceriakan wajah rasul-Nya serta pengikutnya; Allah Azza wa Jalla sengsarakan setan dan pengekornya. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla mengingatkan bahwa Allah Azza wa Jalla telah menolong kamu dalam peperangan Badar, maksudnya jumlah kalian sedikit, supaya mereka menyadari bahwa kemenangan itu semata-mata anugerah dari Allah Azza wa Jalla bukan karena kuantitas ataupun persiapan yang matang. Oleh karena itu dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَيَوْمَ حُنَيْنٍ ۙ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا

Dan (Ingatlah) pada peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (kalian), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kalian sedikitpun. [at-Taubah/9:25]

Itulah sekilas tentang peristiwa Perang Badar yang Allah Azza wa Jalla abadikan dalam al-Qur’ân. Ayat ini juga dibawakan oleh Imam Bukhâri dalam kitab shahîh beliau rahimahullah tentang perang Badar.[1]

Keutamaan Para Sahabat Yang Ikut Serta Dalam Perang Badar.

1. Mereka Termasuk Umat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Yang Terbaik.

Imam Bukhâri membawakan sebuah riwayat dari Rifâ’ah, salah seorang Sahabat yang ikut serta dalam perang Badar. Rifâ’ah Radhiyallahu anhu mengatakan bahwa Jibril Alaihissallam mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya : “Bagaimana kalian memandang orang-orang yang ikut sserta dalam perang Badar?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Mereka termasuk kaum Muslimin yang terbaik.” atau kalimat yang seperti itu. Jibril Alaihissallam mengatakan : “Begitu juga para malaikat yang ikut dalam Perang Badar.” [HR Bukhâri, Kitâbul Maghâzi, 9/56, no. 3992]

Sementara, ada juga di antara para Sahabat yang mengatakan lebih suka ikut serta dalam Bai’atul Aqabah daripada perang Badar. Ibnu Hajar rahimahullah ketika menjelaskan perkataan (tentang hal ini-red) dari salah seorang Sahabat yang bernama Rafi’ (orang tua Rifâ’ah Radhiyallahu anhuma), mengatakan : “Yang nampak, Râfi bin Mâlik Radhiyallahu anhu tidak mendengar penjelasan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keutamaan para Sahabat yang ikut andil dalam Perang Badar dibandingkan dengan para Sahabat lainnya. Sehingga, beliau Radhiyallahu anhu mengucapkan perkataan itu berdasarkan ijtihâd beliau Radhiyallahu anhu. Râfi Radhiyallahu anhu memandang bahwa Bai’atul Aqabah merupakan titik awal pertolongan Islam dan merupakan penyebab hijrah, sehingga memungkinkan untuk bersiap-siap melakukan peperangan.[2]

2. Dosa-Dosa Mereka Diampuni.

Enam tahun setelah peristiwa Perang Badar, ada sebuah peristiwa yang sempat membuat Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu geram dan meminta agar diizinkan membunuh orang yang dianggap pengkhianat oleh Umar Radhiyallahu anhu. Namun permintaan ini ditolak oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perkataan Umar Radhiyallahu anhu diingkari oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kisah ini diceritakan oleh Ali bin Abi Thâlih Radhiyallahu anhu. 

Beliau Radhiyallahu anhu mengatakan : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kami yaitu aku, Zubair dan Miqdâd. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami : “Pergilah kalian ke daerah Raudhah Khakh! Di sana ada seorang wanita yang sedang membawa sepucuk surat. ambillah surat tersebut !” Lalu kami berangkat, kuda kami berlari kencang membawa kami. Lalu bertemulah kami dengan wanita (yang dimaksudkan oleh Rasulullah) itu. Kami berkata kepada wanita itu : “Keluarkanlah surat (yang sedang engkau bawa-pent) !” Perempuan itu mengelak : “Aku tidak membawa surat.” Kami berkata lagi : “Keluarkanlah surat itu atau kamu harus menanggalkan pakaianmu!” Akhirnya ia mengeluarkan surat itu dari sela-sela kepangan rambutnya. Kemudian kami membawa surat itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata surat itu dari Hâthib bin Abu Balta’ah untuk orang-orang musyrik di kota Mekah. Dia memberitahukan beberapa rencana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Hâthib : “Wahai Hâthib apa ini ?” Hâthib menjawab : “Jangan terburu (menghukumi telah kafir[3]), wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku dahulu adalah seorang yang akrab dengan orang-orang Quraisy.” Sufyân (salah seoang yang membawakan riwayat ini-pent) menjelaskan: “Ia pernah bersekutu dengan mereka meskipun dia bukan berasal dari Quraisy.” (Hathib bin Abi Balta’ah melanjutkan pembelaan dirinya-pent) : “Para Muhajirin yang ikut bersamamu mempunyai kerabat yang dapat melindungi keluarga mereka (di Mekah). Dan karena aku tidak mempunyai nasab di tengah-tengah mereka, aku ingin memiliki jasa untuk mereka sehingga dengan demikian mereka mau melindungi keluargaku. Aku melakukan ini bukan karena kekufuran, bukan karena murtad, bukan pula karena aku rela dengan kekufuran setelah memeluk Islam.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Dia benar.” Umar Radhiyallahu anhu mengatakan: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, biarkanlah aku memenggal leher orang munafik ini!” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Sesungguhnya dia telah ikut serta dalam perang Badar dan kamu tidak tahu barangkali Allah telah melihat kepada para Sahabat yang ikut serta dalam Perang Badar lalu berfirman : “Perbuatlah sesuka kalian karena sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian !” Kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ ۙ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي ۚ تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنْتُمْ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu. Mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Rabbmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang sementara Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nampakkan. Barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus. [al-Mumtahanah/60:1][4]

Penyusun kitab Tuhfatul Ahwadzi mengatakan : “Tarajjiy (ungkapan semoga atau barangkali) dalam firman Allah Azza wa Jalla dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu untuk suatu yang pasti terjadi ” [5]

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Ada kesulitan dalam memahami perkataan: “Berbuatlah sekehendak kalian!”; dzâhir ucapan ini menunjukkan kebolehan melakukan apa saja, dan ini bertentangan dengan ikatan syari’at. Anggapan ini dibantah dengan mengatakan bahwa maksud perkataan itu adalah pemberitahuan tentang suatu yang telah lewat artinya semua perbuatan yang telah kalian lakukan itu telah diampuni. Ini dikuatkan dengan (gaya pengungkapannya-pent), seandainya itu untuk perbuatan-perbuatan di masa yang akan datang, tentu Allah Azza wa Jalla tidak menggunakan kata kerja bentuk lampau (yaitu Aku telah ampuni-pent) dan tentu Allah Azza wa Jalla mengatakan : “Aku akan ampuni kalian.” Pendapat ini dibantah lagi, seandainya ini untuk masa yang telah lewat tentu ungkapan ini tidak bisa dijadikan dalil bagi kisah Hâthib. Karena ucapan ini diucapkankan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Umar Radhiyallahu anhu sebagai pengingkaran beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perkataan Umar Radhiyallahu anhu dalam masalah Hâthib Radhiyallahu anhu, dan kisah ini terjadi enam tahun setelah perang Badar. Ini menunjukkan bahwa maksud hadits di atas adalah pengampunan di masa yang akan datang. Pengungkapannya dengan menggunakan kata kerja bentuk lampau sebagai bentuk penekanan bahwa itu benar-benar akan terealisasi.

Ada juga yang mengatakan: “Kata kerja bentuk perintah, “Berbuatlah sekehendak kalian!” itu adalah bentuk pemuliaan. Maksudnya mereka tidak akan disiksa akibat perbuatan yang mereka lakukan setelah perang Badar. Ini merupakan keistimewaan bagi mereka karena mereka telah mengalami kondisi sulit yang menyebabkan dosa-dosa mereka terhapuskan dan berhak mendapatkan pengampunan dari Allah Azza wa Jalla.[6]

Para Ulama sepakat bahwa kabar gembira yang disebutkan ini berkaitan dengan hukum-hukum akhirat, bukan hukum-hukum dunia seperti pelaksanaan had dan lain sebagainya.[7] Sebagaimana yang terjadi pada Qudâmah bin Mazh’ûn, salah seorang Sahabat yang ikut serta dalam Perang Badar kemudian minum khamer pada masa pemerintahan Umar Radhiyallahu anhu sehingga Qudâmah dikenai hukuman dunia.

3. Mereka Termasuk Penghuni Surga.

Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu menceritakan bahwa Haritsah bin Suraqah gugur dalam Perang Badar. Kemudian, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke Madinah, ibu Haritsah datang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, anda sudah tahu kedudukan Haritsah dalam diriku. Kalau ia berada dalam surga, saya pasti bisa sabar dan akan tabah, tetapi kalau tidak, maka engkau akan melihat apa yang akan saya perbuat!”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Celakalah engkau, apakah surga itu hanya satu ? Sesungguhnya surga itu banyak dan sesungguhnya Haritsah itu berada di surga Firdaus.” [HR Bukhâri, al-Fathu 9/45, no. 3982]

Dalam riwayat Imam Ahmad dengan sanad yang sesuai dengan syarat Imam Muslim dari hadits Jâbir, ditegaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَنْ يَدْخُلَ النَّارَ أَحَدٌ شَهِدَ بَدْرًا

Yang ikut serta dalam Perang Badar tidak akan masuk neraka [8]

Inilah beberapa keistimewaan para Sahabat yang ikut serta dalam Perang Badar. Keistimewaan-keistimewaan ini disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, hendaklah kita berhati-hati dan menjaga lisan kita agar tidak mengomentari para Sahabat dengan komentar-komentar yang buruk, apalagi mereka yang ikut serta dalam Perang Badar. Cukuplah pengingkaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perkataan Umar Radhiyallahu anhu sebagai peringatan bagi kita.

Referensi :
– Fathul Bâri, Dâr Tîbah, Cet. Pertama tahun 1426 H/2005 M
– Tafsir Qur’ânil ‘Azhîm, karya Abul Fidâ’ Ismâil Ibnu Katsîr, Maktabah Dârul Faiha dan Maktabah Dârus salâm, Cet. Kedua, tahun 1417 H/1998 M
– Tuhfatul Ahwaziy, Dârul Fikr

[Http://cerkiis.blogspot.comDisalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XIII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016, artikel: almanhaj]

Footnote

[1]. Al-Fath, 9/14

[2]. Al-Fath, 9/57-58

[3]. Tuhfatul Ahwazy, 9/200

[4]. HR Bukhâri, no. 3983 dan 4274, Muslim serta yang lainnya

[5]. Lihat tuhfatul Ahwadzy, 9/201

[6]. Al-Fath, 9/46

[7]. Al-Fath, 9/47

[8]. Al-Fath, 9/46