BAHASAN : SIRAH NABI
BEBERAPA PERISTIWA SESUDAH PERANG BADAR
Kemenangan yang Allah Azza wa Jalla anugerahkan kepada kaum Muslimin pada perang Badar menorehkan luka yang amat dalam bagi kaum musyrikin dan komplotannya. Peristiwa menyakitkan ini memicu berbagai tindakan balas dendam, sehingga sesudah perang Badar tercatat beberapa peperangan lagi dalam sejarah Islam.
Rencana Membunuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Suatu ketika, Umair bin Wahab berbincang-bincang dengan Shafwân bin Umayyah tentang kekalahan yang mereka derita dalam perang Badar. Kemudian, Umair mengatakan kepada Shafwân bahwa seandainya dia tidak memiliki tanggungan hutang dan keluarga yang dikhawatirkan masa depannya, tentu dia sudah berangkat ke Madinah untuk membunuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mendengar ucapan ini, Shafwân tidak menyia-nyiakannya. Dia berjanji untuk melunasi hutang Umair dan memelihara keluarganya, jika dia berhasil membunuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bersepakat dan mereka merahasiakan rencana ini.
Kemudian Umair berangkat ke Madinah. Ketika tiba di sana, dia bertemu dengan Umar bin Khatthâb Radhiyallahu anhu sehingga dia ketakutan. Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu membawa orang ini menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kemudian terjadi dialog antara Umair dengan beliau. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta Umair agar menjelaskan dengan jujur tentang sebab kedatangannya ke Madinah. Umair menyebutkan bahwa kedatangannya adalah untuk menebus putranya yang bernama Wahab yang ditawan kaum Muslimin dalam perang Badar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap kedustaan orang ini dengan menanyakan pembicaraannya bersama Shafwân di Mekah. Mendengar ini, Umair pun terkagum-kagum; dan inilah yang menyebabkan dia masuk Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta para Sahabat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengajari Umair tentang Islam dan membebaskan putranya yang tertawan.
Setelah sekian lama di Madinah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengidzinkan Umair kembali ke Mekah untuk mendakwahkan Islam dengan penuh semangat, sebagaimana semangatnya ketika dia mendakwahkan kekufuran. Sehingga kemudian banyak orang yang memeluk Islam melalui dakwahnya [1].
PERANG SAWIQ
Seorang tokoh Quraisy yang selamat dari sergapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat, yang bernama Abu Sufyân, menyimpan dendam menyusul kekalahan kaum kafir dalam perang Badar. Secara diam-diam, dia berangkat ke Madinah dengan membawa 200 orang pasukan berkuda. Pada tanggal 5 Dzulhijjah pada tahun kedua hijrah, Abu Sufyan beserta pasukan memasuki Madinah. Dia langsung menuju Bani Nadhir di daerah pinggiran Madinah. Setelah bergabung dengan Bani Nadhir, mereka menyerang dari lembah Uraidh. Mereka berhasil membunuh dua orang Muslimin serta membakar kebun kurma; Kemudian mereka kembali ke Mekah. Ketika kaum Muslimin mengetahui tindakan balas dendam ini, di bawah pimpinan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam [2] mereka berusaha menyusul pasukan Abu Sufyaan sampai ke Qarqaratul Kadr, namun tidak berhasil. Akhirnya mereka kembali ke Madinah dengan membawa as-sawîq (tepung) yang dibuang pasukan Abu Sufyân untuk mengurangi beban agar bisa lari lebih cepat. Oleh karena itu, peperangan ini disebut dengan Ghazwatus Sawîq [3]
PERANG QARQARAH AL-KUDRIi
Pada pertengahan Muharram tahun kedua dari hijrah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar Madinah dengan dua ratus pasukan. Tindakan ini beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ambil, setelah mendengar ada persekongkolan untuk menyerang kaum Muslimin yang dilakukan oleh kabilah-kabilah yang selama ini meraup keuntungan dari bisnis kaum Quraisy, karena daerah mereka dilalui oleh kafilah dagang Quraisy. Di antaranya adalah kabilah-kabilah dari Bani Sulaim dan Bani Ghatafân serta beberapa kabilah lainnya. Mereka berkumpul di Qarqarah al-Kudri yaitu sumber mata air milik Bani Sulaim.
Ketika mendengar kabar tentang kedatangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta pasukannya, mereka melarikan diri dan meninggalkan ternak mereka menjadi ghanimah bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan hanya ternak tapi juga penggembalanya yang bernama Yasar. Saat pembagian ghanimah, Yasar diserahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu dibebaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam [4].
KA’AB BIN AL-ASYRAF, SANG PENGHASUT
Orang dinisbatkan ke Bani Nabhaan dari Thayyi’. Orang tua Ka’ab ini pernah melakukan pembunuhan pada masa jahiliyah lalu dia pergi ke Madinah. Di Madinah, dia bergabung dengan Bani Nadhiir dan menikahi Uqailah putri Abul Haqiiq. Dari hasil pernikahan ini, lahirlah Ka’ab bin al-Asyraaf.[5]
Ka’aab seorang Penyair terkenal. Dia sangat geram dengan kemenangan yang dipetik Kaum Muslimin dalam Perang Badar. Setelah perang Badar usai, dia sengaja pergi ke Mekah untuk menyatakan bela sungkawa kepada kaum kufaar Quraisy atas korban yang berjatuhan dari pihak mereka dan sekaligus membakar semangat mereka untuk membalas. Orang ini juga mencaci maki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika di Mekah, Abu Sufyaan bertanya kepada Ka’ab bin al-Asyraf : “Saya mau bertanya kepadamu dengan nama Allah, apakah agama kami yang lebih dicintai Allah ataukah agama Muhammad dan para shahabatnya ? Siapakah diantara kami yang lebih dekat ke hidayah dan yang lebih mendekati kebenaran?” Ka’ab menjawab : “Jalan kalian lebih lurus.” Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya kepada Rasulullah :
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al kitab? mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. [an-Nisa’/4:51]
Ketika Ka’ab bin al-Asyraf kembali ke Madinah, dia melantunkan syair yang berisi sanjungan terhadap kaum Muslimah. Karena orang ini telah menghasut kaum Kuffaar, juga mencaci maki Rasulullah padahal kaum Yahudi Madinah sudah terikat perjanjian dengan Rasulullah untuk tidak membantu orang yang memusuhi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar orang ini dibunuh sebagai hukuman dan shock teraphy bagi yang lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan tugas ini kepada para shahabat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Siapakah yang bersedia membunuh Ka'ab bin Asyraf ? Karena ia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya. [HR. Bukhari dan Muslim]
Mendengar tawaran ini, Muhammad bin Maslamah Radhiyallahu anhu salah seorang shahabat menyatakan kesediaannya untuk melaksanakan tugas berat ini. Muhammad bin Maslamah membuat rencana matang untuk melaksanakan tugas ini. Dia meminta ijin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengucapkan perkataan yang menyenangkan Ka’ab, si yahudi yang mengkhianati perjanjian ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ijin kepada beliau Radhiyallahu anhu untuk melakukannya. Dia mendatangi Ka’ab dan mengatakan : Orang ini (maksudnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) ingin (kami mengeluarkan) shadaqah. Dia telah menyusahkan kami [HR Muslim]
Mendengar ini, Ka’ab mengatakan : Demi Allah, kalian akan semakin sengsara karena orang ini.” Lalu Muhammad bin Maslamah mengatakan : “Sesungguhnya sekarang kami telah mengikutinya dan kami tidak ingin meninggalkannya sebelum kami mengetahui akhir urusan orang ini (maksudnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Muhammad bin Maslamah Radhiyallahu anhu melanjutkan : “Aku ingin kamu meminjamkan sesuatu kepadaku ?” Ka’ab bertanya : “Apa jaminanmu ?” Muhammad bin Maslamah menjawab : “Apa yang kamu minta sebagai jaminan ?” Awalnya, Ka’ab meminta istri-istri para shahabat sebagai jaminannya, namun permintaan ini tidak bisa dipenuhi oleh Muhammad bin Maslamah. Lalu dia minta anak-anak mereka sebagai jaminan, namun permintaan inipun ditolak. Akhirnya mereka sepakat untuk menjadikan senjata sebagai jaminan dalam akad pinjam-meminjam itu.
Setelah terjadi kesepakatan antara Muhammad bin Maslamah dengan Ka’ab, dia berjanji kepada Ka’ab untuk datang lagi kepadanya dengan ditemani Harits bin Bisyr, Abbaad bin Bisyr, Abu Na’ilah serta Abu Abbas bin Jabr. Pada malam yang telah dijanjikan, mereka datang kepada Ka’ab dan memintanya untuk menemui mereka. Ka’ab keluar menemui mereka, meskipun dia sudah diperingatkan oleh istrinya yang merasakan firasat buruk. Dia tetap keluar dan akhirnya kesempatan ini tidak disia-siakan oleh para shahabat untuk memberi pelajaran kepada sang pengkhianat itu.’[6]
Ketika orang-orang Yahudi mengetahui kejadian ini dan menjadikannya sebagai argument, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada mereka perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan Ka’ab bin al-Asyraf. Mereka terkaget dan merasa khawatir terhadap keselamatan diri mereka. Melihat ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak mereka untuk membuat perjanjian damai diantara mereka. Lalu terbentuklah perjanjian damai, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abu Daud. Namun menurut pendapat yang kuat, perjanjian damai ini hanya sebagai penguat dari perjanjian damai yang pernah disepakati sebelum terjadi Perang Badar antara kaum Muslimin dengan orang-orang Yahudi Madinah yang dikenal dengan Shahifah Madinah (Piagam Madinah).
PELAJARAN DARI KISAH INI
1. Dalam peristiwa pembunuhan terhadap Ka’ab bin al-Asyraf ini terdapat dalil pensyari’atan tipu muslihat supaya bisa menghukum orang yang berhak mendapatkan hukuman karena pengkhiatan yang dilakukannya
2. Boleh berdusta kepada Musuh dan boleh menipu mereka, karena peperangan itu memang penuh tipuan
3. Hukuman mati bagi para pengkhianat akan menimbulkan rasa takut pada orang lain sehingga tidak berani melakukan pengkhianatan.
Marâji’ :
– As-Sîratun Nabawiyah Fî Dhau’il Mashâdir al-Ashliyyah, DR Mahdi Rizqullâh
– As-Sîratun Nabawiyyah as-Shahîhah, Dr Akram Dhiyâ’ al-Umary
[Http://cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016, artikel: almanhaj]
Footnote
[1]. As-Sîratun Nabawiyah Fî Dhau’il Mashâdir al-Ashliyyah, hlm. 368
[2]. Dalâil Nubuwwah karya al-Baihaqi, 3/165
[3] Diriwayatkan Ibnu Ishâq dengan sanad shahîh sampai ke `Abdullâh bin Ka’ab bin Mâlik. Akan tetapi sanad ini mursal (Sîratu Ibni Hisyâm, 2/422-423) dan Ibnu Sa’ad dalam Thabaqât 2/30 tanpa sanad. lihat as-Sîratun Nabawiyyah as-Shahîhah, hlm. 374
[4]. Al Waaqidi, 1/181, menurut beliau peristiwa ini disebut Perang Qaraaratul Kudr dan Ibnu Sa’ad, 2/30. Menurut Ibnu Sa’ad, peristiwa ini disebut dengan Perang Qarqaratul Kudr
[5]. Lihat. Fathul Baari, 15/209, Kitab al Maghaazi, Bab Qatlu Ka’b bin al-Asyraaf
[6]. Itulah ringkasan kisah dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, al-Fath, no. 4037 dan Imam Muslim, no. 1801 juga diriwayatkan oleh yang lain. Ada sedikit perbedaan antara kisah yang dibawakan oleh Imam Bukhari dan Muslim dengan kisah yang dibawakan oleh para ulama yang meriwayatkan peperangan Rasulullah, tapi intinya satu.