BAHASAN : SIRAH NABI
BAI’ATUL-AQABAH YANG PERTAMA
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan selamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min”. [at-Taubah/9:128]
MENCARI TEMPAT IBADAH YANG AMAN
Sebagai seorang rasul yang sangat menyayangi umatnya, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berusaha mencari tempat atau wilayah yang bisa untuk melakukan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla secara aman. Di antara usaha beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu memerintahkan kepada para sahabatnya berhijrah ke Habasyah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berhijrah ke Thâif dan menawarkan diri kepada kabilah-kabilah yang ada.
Dalam meluaskan dakwah agama yang haq ini, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak selalu memanfaatkan setiap momen-momen penting. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan momen-momen itu berlalu begitu saja. Semua momen itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam manfaatkan untuk berdakwah.
Begitu juga dengan musim haji dan keramaian pasar-pasarnya, merupakan momen penting sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memanfaatkannya untuk menjumpai para pemuka suku yang memiliki pengaruh dan manusia pada umumnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan kepada para kepala suku untuk mau melindungi supaya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa berdakwah, tanpa memaksa para pemuka itu untuk menerima dakwahnya.[1]
Di antara seruan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada momen itu ialah: “Adakah orang yang bisa membawaku ke kaumnya, karena kaum Quraisy melarangku menyampaikan perkataan Rabbku?”[2]
Banyak kabilah sudah didatangi dan didakwahi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak semuanya menerima. Di antara pendatang yang didakwahi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan yang paling besar sambutannya ialah orang-orang Madinah. Pada tahun ke sebelas kenabian, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan diri kepada sekelompok orang dari suku Khazraj[3] di ‘Aqabah (bukit) Mina. Mereka duduk bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau mendakwahkan Islam kepada mereka serta membacakan Al-Qur`ân. Mereka pun dengan mudah menerima Islam.
Salah satu faktor sehingga mereka mudah terbuka menerima Islam, ialah karena mereka hidup bersama orang-orang Yahudi. Sebagaimana diketahui, orang-orang Yahudi adalah Ahli Kitab dan memiliki ilmu. Jika terjadi pertikaian di antara mereka, maka orang-orang Yahudi akan berkata: “Sesungguhnya akan ada seorang nabi yang diutus dan waktunya sudah dekat. Kami akan mengikutinya dan memerangi kalian bersamanya sebagaimana memerangai kaum ‘Ad dan Iram”.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak orang-orang Madinah ini masuk Islam, mereka saling memandang dan berseru: “Demi Allah! Kalian tahu, bahwasanya ia benar-benar utusan Allah yang diharapkan kedatangannya oleh Yahudi. Jangan sampai mereka mendahului kalian,” maka orang-orang Madinah itu pun menerima dakwah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memeluk Islam.
Faktor lain yang menjadi penyebab terbukanya penduduk Madinah menerima Islam, yaitu adanya peristiwa Yaumu Bu’âts. Imam al-Bukhâri meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, beliau Radhiyallahu ‘anha berkata:
كَانَ يَوْمُ بُعَاثَ يَوْمًا قَدَّمَهُ اللَّهُ لِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ وَقَدْ افْتَرَقَ مَلَؤُهُمْ وَقُتِلَتْ سَرَوَاتُهُمْ وَجُرِّحُوا فَقَدَّمَهُ اللَّهُ لِرَسُولِهِ فِي دُخُولِهِمْ فِي الْإِسْلَامِ
“Yaum Bu’âts adalah satu hari yang disediakan oleh Allah Azza wa Jalla untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Pada hari itu, Red.) tokoh-tokoh mereka berpecah-belah. Para pemuka mereka yang terbaik terbunuh dan terluka. Maka Allah Azza wa Jalla mempersiapkan (peristiwa) itu untuk Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya mereka bisa masuk Islam”.
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, Bu’âts yaitu tempat, ada yang mengatakan benteng, ada yang mengatakan sawah yang berada di kabilah Bani Quraizhah, dua mil dari Madinah. Di tempat ini pernah terjadi pertempuran antara kabilah Aus dan kabilah Khazraj. Dalam peristiwa ini banyak tokoh mereka yang menjadi korban. Peristiwa ini terjadi lima tahun menjelang hijrah Rasulullah. Ada yang mengatakan empat tahun, dan ada pula yang mengatakan lebih dari empat tahun. Adapun pendapat yang lebih kuat ialah pendapat pertama. Para pembesar-pembesar mereka yang tidak mau beriman, maksudnya yang sombong dan tidak mau menerima Islam terbunuh dalam peristiwa itu, sehingga Islam (ketika nantinya masuk Madinah) tidak berada di bawah kendali orang lain.[4]
Demikian di antara faktor-faktor yang menyebabkan mereka terbuka menerima Islam. Sehingga ketika mereka mendengar dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bukit Mina, mereka pun menerimanya, kemudian bubar meninggalkan Mina dan berjanji akan menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada musim haji tahun berikutnya.
BAI’AH ‘AQABAH PERTAMA
Pada tahun yang dijanjikan, yaitu tahun 12 kenabian, dua belas orang Madinah yang sudah memeluk Islam –sebagian di antara mereka ialah orang-orang yang pernah berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menerima dakwahnya dan beriman kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun sebelumnya– datang ke Makkah menunaikan ibadah haji. Mereka pun berjumpa dengan Rasulullah dan membaiat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam al-Bukhâri [5], Muslim [6], an-Nasâ`i [7], Ahmad [8], Ibnu Ishâq [9], Ibnu Sa’ad [10], dan lain-lain meriwayatkan dari hadits ‘Ubâdah bin Shâmit Radhiyallahu ‘anhu, ia merupakan salah seorang yang menunaikan haji kala itu. Mereka meriwayatkan bunyi bai’ah tersebut, yaitu perkataan ‘Ubâdah: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka:
تَعَالَوْا بَايِعُونِي عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا تَسْرِقُوا وَلَا تَزْنُوا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ وَلَا تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ وَلَا تَعْصُونِي فِي مَعْرُوفٍ فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ بِهِ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ لَهُ كَفَّارَةٌ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَسَتَرَهُ اللَّهُ فَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَاقَبَهُ وَإِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ
“Kemarilah, hendaklah kalian berbai’at kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan apapun, kalian tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki kalian, tidak durhaka kepadaku dalam perkara yang ma’ruf. Barang siapa yang menepati bai’at (janji) ini, maka ia akan mendapatkan pahala dari Allah Azza wa Jalla. Barang siapa yang melanggar salah satunya, lalu dihukum di dunia, maka hukuman itu menjadi kaffarah (penghapus dosa) baginya. Barang siapa yang melanggar salah satunya, lalu Allah Azza wa Jalla menutupi kesalahannya tersebut, maka urusannya dengan Allah, jika Allah Azza wa Jalla berkehendak, maka Allah bisa menghukumnya; jika Allah Azza wa Jalla berkehendak, maka Allah Azza wa Jalla bisa memaafkanya”.
Para penduduk Madinah ini pun kemudian berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bai’ah (baiat) inilah yang dikenal dengan istilah bai’atul-‘aqabatil-ûlâ (baiat ‘Aqabah yang pertama).
‘Ubâdah bin Shamit Radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat Ibnu Ishâq[11] berkata: “Lalu kami pun berbaiat kepada Rasulullah dengan baiat wanita. Peristiwa ini terjadi sebelum diwajibkan perang”.
Ketika hendak kembali ke negara asal mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mush’ab bin Umair Radhiyallahu ‘anhu untuk membacakan Al-Qur’an kepada mereka, mengajarkan kepada mereka tentang Islam dan memberikan pemahaman tentang din (agama). Oleh karenanya, Mush’ab bin Umair Radhiyallahu ‘anhu diberi gelar “Muqri’ul-Madinah”. Kedudukan Mush’ab bin Umair Radhiyallahu ‘anhu berada di atas kedudukan As’ad bin Zurârah Radhiyallahu ‘anhu.
Abu Dâwud [12], Ibnu Ishâq [13], dan yang lainnya meriwayatkan melalui jalur ‘Abdur-Rahmaan bin Ka’ab bin Mâlik, bahwasanya orang yang pertama kali melaksanakan shalat Jum’at di Madinah ialah As’ad bin Zurârah Radhiyallahu ‘anhu. Ketika jumlah mereka sudah mencapai empat puluh, mereka diimami oleh Mush’ab bin Umair Radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengirim surat kepadanya (Mush’ab bin Umair Radhiyallahu ‘anhu) supaya berjama’ah bersama mereka.[14]
Mush’ab bin Umair Radhiyallahu ‘anhu dengan bantuan As’ad bin Zurârah Radhiyallahu ‘anhu berhasil mengislamkan banyak orang Madinah. Di antara mereka, ialah Usaid bin al Hudhair dan Sa’ad bin Mu’aadz. Keduanya merupakan tokoh. Sehingga keislaman dua tokoh ini menyebabkan seluruh Bani ‘Abdil-Asyhal, laki-laki dan wanita memeluk Islam, kecuali Ushairam ‘Amr bin Tsâbit bin Waqsy. Dia baru masuk Islam pada saat berkecamuk perang Uhud. Saat itu dia menyatakan keislamannya, lalu terjun ke medan tempur dan meninggal sebelum sempat sujud (shalat) kepada Allah sama sekali. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberitahu tentangnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
عَمِلَ قَلِيلًا وَأُجِرَ كَثِيرًا
“Dia melakukan amal yang sedikit, tetapi pahalanya banyak”.[15]
Mulai sejak itu, hampir tidak ada satu pun rumah kaum Anshaar yang sepi dari Islam, baik laki maupun perempuan. Hingga waktunya, sebelum tiba musim haji berikutnya yaitu tahun ketiga belas kenabian, Mush’ab bin Umair kembali ke Makkah dan memberi kabar gembira kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keberhasilan misinya dengan taufiq Allah Azza wa Jalla.
Diringkas dari: As-Sîratun-Nabawiyah fî Dhau`il-Mashâdiril-Ashliyyah, halaman 241-248
[Http://cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XI/1429H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016, artikel: almanhaj]
Footnote
[1]. Lihat Maghâzi Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karya ‘Urwah, hlm. 117, dari hadits Ibnu Lahii’ah, dan riwayat ini terhenti sampai ‘Urwah, sehingga riwayat ini hukumnya mursalah. Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqii dalam ad-Dalaa`il, 2/414, dari hadits Musa bin ‘Uqbah dari az-Zuhri, juga secara mursal. Kedua riwayat yang mursal ini memiliki landasan shahîh, sebagaimana dijelaskan pada catatan kaki berikutnya.
[2]. Diriwayatkan oleh Abu Daawud dalam Sunan-nya, 5/Kitab Sunnah, hadits no. 4734. Ibnu Mâjah dalam al-Muqaddimah, hlm. 73, hadits no. 201. Imam Ahmad dalam al-Fathurrabâni, 20/267, dari hadits Jaabir Radhiyallahu ‘anhu. Riwayat ini disebutkan oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab Sirah-nya, hlm. 282 dan beliau rahimahullah berkata: “Riwayat ini sesuai dengan syarat Imam al-Bukhâri”.
[3]. Menurut Ibnu Ishaq, jumlah mereka ada enam orang. Lihat Sirah Ibnu Hisyâm, 2/82. Adapun Ibnu Katsir rahimahullah, ia berkata dalam al-Bidâyah: “Musa bin ‘Uqbah menyebutkan dalam riwayatnya dari az-Zuhri dan ‘Urwah bin Zubair, bahwasanya jumlah mereka ada delapan orang”. Dan Ibnu Sa’ad menyebutkan kedua perkataan tersebut. Ketika beliau rahimahullah menyebutkan riwayat yang menyatakan jumlah mereka ada enam yaitu riwayat Ibnu Ishaq, beliau berkata: “Muhammad bin ‘Umar al Wâqidi berkata,”Ini riwayat paling shahîh yang kami dengar tentang jumlah mereka, dan ini telah disepakati.” Lihat ath-Thabaqât, 1/219.
[4]. Al-Fath, 14/262, hadits no. 3777.
[5]. Al-Fath, 15/74, hadits no. 3777. Lafazh berikut ini merupakan riwayat beliau rahimahullah.
[6]. Shahîh Muslim, hadits no. 170.9
[7]. Kitab al-Bai’atu ‘alal Jihâd, 7/141-142.
[8]. Al-Musnad, 5/313.
[9]. Ibnu Hisyâm, 2/85-86, dan sanadnya hasan.
[10]. Ath-Thabaqât, 1/219-220 dari riwayat al-Wâqidî, namun sanadnya sangat lemah.
[11]. Ibnu Hisyâm, 2/86.
[12]. As-Sunan, 1/645-646, hadits no. 1069.
[13]. Diriwayatkan dengan sanad hasan, Ibnu Hisyâm 2/8, dan para perawi lainnya meriwayatkan hadits ini melalui jalur beliau, kecuali Abu Dawud rahimahullah.
[14]. Sunan ad-Dâruquthnî, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam al-Fath, 15/75. Ibnu Katsîr dalam kitab al-Bidâyah (3/166) berkata: “Dalam sanadnya terdapat keghariban. Wallâhu a’lam.”
[15]. Tentang keislamannya yang terlambat serta kisahnya dalam perang Uhud dan penyebutan namanya, secara jelas terdapat dalam riwayat Ibnu Ishâq dalam kitab as-Siyar wal-Maghâzî dengan sanad shahîh dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam al-Fath 11/286.
Tentang kisahnya dalam perang Uhud tetapi tanpa penyebutan nama, dibawakan dalam riwayat Imam al-Bukhâri, al-Fath, 11/286 hadits no. 2808. Imam Muslim, 3/1509, hadits no. 1900. Abu Dâwud, 3/43 hadits no. 2537, tanpa menyebutkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
عَمِلَ قَلِيلًا وَأُجِرَ كَثِيرًا
“Dia melakukan amal yang sedikit, tetapi pahalanya banyak”.
[16]. Kisah tentang kembalinya Mush’ab bin ‘Umair dibawakan oleh Ibnu Ishâq, Ibnu Hisyâm (2/92), dengan tanpa sanad.