Senin, 09 Mei 2016

Isrâ’ Dan Mi’râj

Isrâ’ Dan Mi’râj


BAHASAN : SIRAH NABI

ISRA’ DAN MI’RAJ

Peristiwa Isrâ’ [1] dan Mi’râj [2] merupakan salah satu di antara mukjizat yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai wujud penghormatan dan pelipur lara setelah paman dan istri beliau meninggal dunia. Peristiwa ini juga sebagai penghibur setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan perlakuan tidak bersahabat dari penduduk Thâif.

Peristiwa Isrâ dan Mi’râj terjadi pada tahun kesepuluh kenabian. Namun para ulama berselisih tentang waktu kejadiannya. Yang tidak ada perseselisihan yaitu tentang kebenaran peristiwa ini, karena kejadian ini diabadikan dalam Al-Qur`ân dan Al-Hadits. Allah Azza wa Jalla menyebutkan peristiwa ini di dua tempat dalam Al- Qur`ân, yaitu al-Isrâ’/17 ayat 1 dan an-Najm/53 ayat 13-18.

Peristiwa ini terjadi di Makkah sebagaimana diriwayatkan dalam banyak hadits. Imam al-Bukhâri memiliki 20 riwayat dari enam sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Imam Muslim rahimahullah memiliki 18 riwayat dari tujuh sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Di antara hadits-hadits ini, tidak ada satupun yang menjelaskan secara lengkap semua kejadian Isrâ` dan Mi’râj ini dari awal sampai akhir, tetapi masing-masing menceritakan bagian per bagian.

Berdasarkan kandungan hadits dari riwayat-riwayat yang ada, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.

1. Adanya Pembelahan Dada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam.

Usai melaksanakan shalat ‘Isyâ` pada malam penuh barakah itu, Malaikat Jibril Alaihissalam mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membedah dada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia mencucinya menggunakan air Zam-am. Kemudian dibawakan bejana emas penuh dengan hikmah dan iman lalu dituangkan ke dada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu Malaikat Jibril menutup kembali dada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dibawanya naik ke langit [3].

2. Isrâ`.

Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku diberi Buraq, yaitu seekor hewan putih yang lebih besar dari himar dan lebih kecil dari keledai. Aku mengendarainya. Dia membawaku hingga sampai ke Baitul-Maqdis. Lalu aku mengikatnya di tempat para nabi menambatkan. Aku masuk ke Baitul-Maqdis dan shalat dua raka’at. Setelah itu aku keluar. Malaikat Jibril menghampiriku dengan membawa satu wadah berisi khamr dan satu wadah berisi susu. Aku memilih susu. Malaikat Jibril Alaihissalam berkata: ‘Engkau telah (memilih) sesuai dengan fithrah,’ setelah itu, ia membawaku naik ke langit”[4]. Dan dalam riwayat lain dikisahkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama para nabi sebelum naik ke langit [5].

3. Mi’râj.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibawa naik melewati beberapa langit. Pada setiap langit, Malaikat Jibril minta agar dibukakan pintu langit lalu ia ditanya: “Siapakah yang bersamamu?” Jibril Alaihissallam menjawab, ”Muhammad,” penghuni langit itupun menyambutnya.

Di langit dunia, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumpa dengan Nabi Adam Alaihissallam, di langit kedua berjumpa dengan Nabi Isâ Alaihissallam dan Nabi Yahya Alaihissallam, di langit ketiga berjumpa dengan Nabi Yûsuf Alaihissallam, di langit keempat dengan Nabi Idris Alaihissallam, di langit kelima dengan Nabi Hârûn Alaihissallam, di langit keenam dengan Nabi Musâ Alaihissallam, dan di langit ketujuh berjumpa dengan Nabi Ibrâhîm Alaihissallam yang sedang bersandar pada Baitul-Ma’mûr. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan perjalanan sampai ke Shidratul-Muntahâ (langit tertinggi). Di sinilah, Allah Azza wa Jalla mewajibkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya untuk menegakkan shalat 50 kali sehari semalam.

Akan tetapi dalam perjalanan kembali dari mi’râj ini, ketika sampai di tempat Nabi Musâ Alaihissallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: “Apa yang telah diwajibkan Rabbmu atas umatmu?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab pertanyaan ini, sehingga Musâ Alaihissallam meminta kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kembali menghadap Allah dan minta keringanan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan saran itu, dan Allah Azza wa Jalla pun berkenan memberi keringanan. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak kembali dan berjumpa dengan Nabi Musâ Alaihissallam, beliau Alaihissallam meminta Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar meminta keringanan lagi, dan saran itu pun dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai Allah Azza wa Jalla berkenan memberi keringanan. Hingga akhirnya, kewajiban shalat itu hanya lima kali sehari semalam. Setelah itu, ketika Nabi Musâ Alaihissallam meminta Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon keringanan lagi, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Aku sudah memohon kepada Rabbku sehingga aku merasa malu,” lalu terdengar suara: “Aku telah menetapkan yang Aku fardhukan, dan Aku telah memberikan keringanan kepada para hamba-Ku” [6].

4. Perjalanan Kembali Dari Mi’râj.

Berdasarkan riwayat-riwayat yang ada menunjukkan bahwa perjalanan kembali Rasulullah menempuh rute dari langit tertinggi menuju Baitul-Maqdis lalu ke Makkah [7]. Adapun sarana yang dipakai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Isrâ’ ialah Buraq.

Dari riwayat-riwayat tentang Mi’raj ini juga diketahui, bahwa riwayat yang menceritakan peristiwa ini menggunakan fi’il majhul (kata kerja pasif), sehingga sarana yang digunakan tidak diketahui dengan jelas. Dalam sebagian riwayat disebutkan: “Aku dipasangkan mi’râj”. Sehingga Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan perihal itu dengan perkataannya [8]: “Mi’râj, ialah tangga. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik menuju langit melalui tangga itu, bukan dengan Burâq sebagaimana persangkaan sebagian orang”.

SIKAP ORANG-ORANG QURAISY MENANGGAPI PERISTIWA ISRÂ’ DAN MI’RÂJ

Pada pagi hari setelah peristiwa ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam nampak merasa susah karena khawatir dianggap berdusta oleh kaumnya. Dalam keadaan seperti ini, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dihampiri oleh Abu Jahl yang menanyakan keadaannya. Rasulullah pun memberitahukan tentang Isrâ`.

Mendengar penuturan Rasulullah itu, maka spontan Abu Jahl meyakini jika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berdusta. Namun penolakan Abu Jahl ini tidak ia ucapkan saat itu. Abu Jahl hanya berkata: “Bagaimana pendapatmu jika aku memanggil kaummu? Apakah engkau akan memberitahukan kepada mereka peristiwa yang baru engkau sampaikan kepadaku?”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Ya,” maka Abu Jahl bergegas memanggil kaum Quraisy. Setelah mereka datang, Abu Jahl meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menceritakan yang telah ia alami. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakannya.

Orang-orang Quraisy pun terheran mendengar cerita beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara mereka ada yang pernah melihat Masjid al-Aqshâ, maka orang-orang ini pun meminta Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan sifat Masjidil-Aqshâ. Lalu Allah Azza wa Jalla mengangkat masjid itu, sehingga seolah bisa dilihat oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan sifat-sifatnya. Mendengar penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka pun berseru: ”Demi Allah, keterangannya benar”.[9]

Dalam sebuah riwayat diceritakan, orang-orang Quraisy mengingkari kepergian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Syam lalu kembali lagi ke Makkah yang hanya dalam waktu satu malam saja. Karena perjalanan itu biasa ditempuh jarak waktu dua bulan. Sehingga ada sebagian orang yang kemudian murtad saat itu.[10]

Berbeda dengan Sahabat Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu. Begitu diberitahu peristiwa itu, beliau Radhiyallahu ‘anhu langsung mempercayainya tanpa ragu sedikit pun, seraya berkata: “Demi Allah, jika benar ia mengatakannya, maka ia benar. Apa yang membuat kalian heran? Demi Allah, sesungguhnya ia memberitahukan kepadaku bahwa wahyu telah turun kepadanya dari langit ke bumi saat malam atau siang hari. Ini lebih besar dari masalah yang membuat kalian terheran itu!”

Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu pun kemudian mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan peristiwa yang telah didengarnya. Dan demikianlah keadaan Sahabat Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu, setiap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan sesuatu, maka beliau Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Engkau benar, aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah…,” lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Abu Bakr, engkau adalah shiddiq,” dan mulai saat itulah beliau Radhiyallahu ‘anhu dinamai ash-Shiddiq. Artinya orang yang selalu percaya.[11]

ISRÂ’ DAN MI’RÂJ DENGAN RUH DAN JASAD

Masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagaimana dikatakan oleh al-Qâdhi ‘Iyâdh, bahwa para ulama berbeda pendapat tentang Isrâ’ dan Mi’râj Rasulullah. Ada yang mengatakan, semua itu hanya terjadi dalam mimpi. Adapun pendapat yang benar yang dipegangi oleh umat dan sebagian besar ulama salaf serta mayoritas muta’akhhirîn baik ahli fiqih, ahli hadits maupun ahli ilmu kalam, bahwa Isrâ’ yang dialami Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah dengan jasadnya.

Ibnu Hajar[12] berkata: “Sesungguhnya Isrâ’ dan Mi’râj terjadi dalam waktu satu malam dengan jasad dan fisik Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beliau tersadar, terjadi setelah diangkat menjadi nabi. Pendapat inilah yang dipegangi mayoritas ulama ahli hadits, ahli fiqih dan ahli ilmu kalam. Zhahir hadist yang shahih menunjukkan hal itu. Dan tidak sepatutnya kita berpaling darinya, karena akal tidak memiliki alasan untuk mengatakan persitiwa itu mustahil sehingga perlu dita’wil ….”

Jika peristiwa Isrâ’ dan Mi’râj itu terjadi hanya dalam mimpi, maka sudah tentu orang-orang kafir Quraisy tidak akan mengingkarinya. Begitu pula, tentu sebagian orang yang sudah beriman tidak akan murtad. Jika hanya dengan mimpi, maka peristiwa Isrâ’ dan Mi’râj itu, sama sekali tidak memiliki nilai mu’jizat. Pendapat yang mengatakan peristiwa Isrâ’ dan Mi’râj hanya dalam mimpi, juga menyelisihi firman Allah Azza wa Jalla : yang artinya: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjidil Haram ke al-Masjidil-Aqshâ yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (al Isrâ`/17 ayat 1).

Permulaan ayat dengan tasbih menunjukkan adanya perhatikan kepada sesuatu yang penting. Begitu juga kalimat “bi ‘abdihi”, memiliki makna gabungan antara ruh dan jasad, sebagaimana dijelaskan oleh ‘Urjûn [13], dan yang lainnya.

PELAJARAN DARI KISAH ISRÂ’ DAN MI’RÂJ

1. Riwayat Isrâ’ dan Mi’râj telah disepakati keshahihannya oleh ulama ahli hadits dan sirah. Juga telah ditetapkan sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur`aan, hadits-hadits shahih, dan Ijma’ kaum muslimin. Peristiwa ini termasuk salah satu mu’jizat yang diterima Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barang siapa mengingkari peristiwa ini, berarti ia telah mengingkari sesuatu yang ma’lûm bid-dharûrah (diketahui secara pasti).

2. Peristiwa yang terjadi setelah beberapa ujian menimpa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, bertujuan untuk memperteguh semangat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga sebagai isyarat bahwa penderitaan yang beliau alami bukan karena Allah Azza wa Jalla meninggalkannya, akan tetapi sebagai sunnatullah bagi orang-orang yang dicintai-Nya.

3. Penyebutan antara Masjidil-Harâm, Masjidil-Aqshâ dan Mi’raj secara berurutan merupakan bukti yang menunjukkan tingginya kedudukan Masjidil-Aqshâ.

4. Ketika dibawakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa khamr dan susu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih susu. Ini menunjukkan bahwa Islam itu din (agama) yang sesuai fithrah.

5. Allah Azza wa Jalla mengumpulkan para rasul pembawa risalah untuk menyambut kedatangan pembawa risalah terakhir. Ini menunjukkan bahwa para nabi itu saling membenarkan, dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan rasul terakhir, serta menunjukkan tingginya kedudukan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi Rabbnya.

6. Menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Allah yang besar di langit dan bumi memberikan pengaruh dan motivasi yang kuat, sehingga tidak khawatir terhadap tipu daya kaum kuffar yang hakikatnya sangat lemah.

7. Diwajibkan shalat fardhu pada malam Mi’raj merupakan bukti betapa penting rukun Islam ini. Oleh karena itu, semestinya shalat bisa membebaskan manusia dari godaan nafsu syahwat dan tujuan-tujuan dunia.

[Diterjemahhkan oleh ustadz Ahmad Nusadi dari as-Siratun Nabawiyah fi Dhau-il Mashadiril ashliyah, karya Dr. Mahdi Rizqullah ahmad, hal 223-241]

[Http://cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XI/1428H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016, artikel: almanhaj]

Footnote

[1]. Isrâ’, yaitu perjalanan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dimulai dari al-Masjidil-Haram sampai ke al-Masjidil-Aqshâ.

[2]. Mi’râj, yaitu perjalanan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik dari al-Masjidil-Aqshâ menuju Sidratul-Muntahâ (langit tertinggi).

[3]. Lihat Imam al-Bukhâri/al-Fath, 17/284, no. 4709, 4710 dan 15-43-70, no. 3886, 3888, juga 18/242, no. 4856, 4858. Imam Muslim, 1/148, no. 163, 1/151, no. 164. Ibnu Asâkir dalam Tahdzîb Târîkh Dimasq, 1/386-387. Adz-Dzahabi mengatakan dalam kitab as-Sîrah: “Hadits ini adalah hadits yang hasan gharîb”.

[4]. HR Imam Ahmad dalam al-Fathur-Rabbâni, 20/251-252 dan sanadnya shahîh. Imam al-Bukhâri dalam al-Fath, 21/176, no. 5576. Imam Muslim, 1/145 no. 162. Lihat juga Imam al-Bukhâri dalam al-Fath, 21/176, no. 5610.

[5]. Diriwayatkan oleh al-Baihaqî dalam ad-Dalâil, 2/388. Doktor Qal’ah Jay dalam Khâsyiyah berkata: “Riwayat-riwayat tentang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama para nabi sebelum mi’râj saling menguatkan”. Ibnu Hajar berkata: “Itulah yang lebih jelas”. Beliau rahimahullah juga berkata: “Jumhûr sahabat menetapkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di Baitul-Maqdis”. Lihat hadits tentang bab ini dalam al-Fathur-Rabbâni, karya Imam Ahmad 20/244-264, beberapa bab tentang kisah Isrâ’ dan Mi’râj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[6]. Al-Bukhâri dalam al-Fath, 13/24, no. 3207. Muslim, 1/149, no. 163. Ahmad dalam al-Fathur-Rabbâni, 20/247-248 dari hadits Anas bin Mâlik bin Sha’sha’ah Radhiyallahu ‘anhu, dan sanadnya shahîh. Imam an-Nasâ’i, 1/217.

[7]. Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam ad-Dalâil, 2/355-357 dari riwayat at-Tirmidzi t dengan sanad beliau yang bersambung sampai ke Syadâd bin Aus. Al-Baihaqi berkata: “Ini adalah sanad yang shahih”.

[8]. Al-Bidâyatu wan-Nihâyah, 3/122.

[9]. Al-Bukhâri dalam al-Fath, 17/284, no. 4710. Muslim, 1/156, no. 170. Ahmad, al-Fathur-Rabbâni, 20/262-263 dari hadits Abbâs dengan sanad shahih. Lafazh ini merupakan riwayat Imam Ahmad.

[10]. Lihat Ibnu Hisyâm, 2/45 dari riwayat Ibnu Ishâq secara mu’allaq. Kabar tentang murtadnya sebagian orang terdapat dalam hadits-hadits shahîh, di antaranya hadits yang diriwayatkan al-Hakim dalam al Mustadrak (3/62-63), dan beliau rahimahullah menyatakan hadits ini shahîh. Ini disepakati oleh Imam adz-Dzahabi.

[11]. Diriwayatkan al Hakim dalam al-Mustadrak, 3/62-63. Beliau berkata: “Hadits ini sanadnya shahîh, namun tidak dibawakan oleh Imam al-Bukhâri dan Muslim”. Ini disepakati oleh adz-Dzahabi dalam Talkhîs al-Mustadrak.

[12]. Al-Bukhâri dalam al-Fath, 15/44, Kitab: al-Mab’ats, Bab: Hadîtsul Isrâ’.

[13]. Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , 2/342-350.