BAHASAN : SIRAH NABI
MERETAS BAI’ATUL AQABAH KEDUA
Setahun setelah Bai’atul-Aqabah pertama berlalu, tepatnya pada musim haji tahun ke-13 kenabian, sekelompok kaum muslimin Madinah dalam jumlah besar datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji bersama dengan kaum musyrik Madinah. Saat itu mereka dipimpin oleh al- Barrâ` bin Ma`rûr.[1]
Saat itu kaum muslimin sudah saling bertanya di antara mereka: “Sampai kapankah mereka membiarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpindah-pindah tempat di Makkah, terusir di pegunungan Makkah dan keselematannya terancam?”[2]
Sementara itu, komunikasi antara kaum muslimin Madinah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus terjalin secara rahasia. Komunikasi rahasia ini membawa pada kesepakatan menentukan waktu dan tempat pertemuan, untuk meletakkan pondasi kesepakatan terpenting dalam sejarah Islam.
Ibnu Ishâq [3] meriwayatkan kisah pertemuan ini dari Ka’ab bin Mâlik, ia Radhiyallahu anhu menceritakan:
Kemudian kami berangkat menunaikan ibadah haji, dan kami telah sepakat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk bertemu) di ‘Aqabah pada pertengan hari tasyrîq. Ketika usai melaksanakan ibadah haji dan malam itu adalah malam yang telah disepakati dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam … Malam itu kami tidur bersama rombongan di perkemahan. Ketika berlalu sepertiga malam, kami keluar dengan jalan kaki menuju tempat perjanjian dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami keluar mengendap-endap seperti kucing. Sampai akhirnya kami berkumpul di syi’b, yaitu celah antara dua bukit di dekat ‘Aqabah. Kami berjumlah 73 lelaki dan dua wanita yaitu Nusaibah binti Ka’ab atau Ummu ‘Ammârah dan Asmâ` binti ‘Amr bin ‘Adiy, yaitu Ummu Manî`.
Kami berkumpul di tempat itu menunggu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang bersama pamannya ‘Abbas bin ‘Abdil-Muththalib. Kala itu ‘Abbas masih menganut kepercayaan kaumnya, hanya saja dia ingin menghadiri urusan ponakannya, yaitu Muhammad dan memastikannya.
Ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah duduk, yang pertama kali berbicara ialah pamannya, ‘Abbas. Dia berkata, ”Wahai, kaum Khazraj –saat itu orang Arab menamakan orang-orang Anshar ini dengan nama Khazraj, baik yang benar-benar berasal dari Kabilah Khazraj maupun yang dari Kabilah Aus- sesungguhnya Muhammad memiliki kedudukan di sisi kami sebagaimana yang sudah kalian ketahui. Kami telah melindunginya dari kaum kami yang satu keyakinan dengan kami tentang dia. Jadi, Muhammad berada dalam penjagaan dan perlindungan kaumnya di daerahnya. Namun dia lebih memilih bergabung dengan kalian. Jika kalian merasa sanggup memenuhi apa yang kalian janjikan untuknya dan sanggup melindunginya dari orang yang menentangnya, maka terserah kalian. Karena dia (sebenarnya) berada dalam penjagaan dan perlindungan kaumnya di daerahnya”.
Ka’ab berkata: Lalu kami menyahut: “Kami sudah mendengar ucapanmu. Sekarang berbicaralah, wahai Rasulullah. Pilihlah untukmu dan Rabbmu apa yang engkau inginkan!”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan Al-Qur`ân, menyerukan Islam dan memberikan motivasi dalam berislam. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Aku bai’at kalian, supaya kalian menjagaku dari segala hal, yang kalian hindarkan dari istri-istri dan anak-anak kalian!”
Serta merta al-Barrâ` bin Ma`rûr Radhiyallahu anhu memegang tangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sembari berkata: “Demi Dzat yang telah mengutus dengan al-haq, sungguh kami akan menjagamu dari segala hal yang kami tolak dari kaum, wanita kami. Bai’atlah kami, wahai Rasulullah! Demi Allah, kami adalah kaum yang memiliki kemampuan bertempur dan saling bahu-membahu, kami telah mewarisi sifat ini dari pembesar-pembesar kami”.
Perkataan al-Barrâ` ini dipotong oleh Abul-Haitsâm, dia berkata: “Wahai Rasulullah, antara kami dan mereka (kaum Yahudi) pernah terjalin hubungan dan kami telah memutusnya. Jika kami telah melakukan itu lalu Allah memenangkanmu, apakah engkau akan kembali ke kaummu dan membiarkan kami?”
Mendengar pertanyaan ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum dan bersabda: “(Tidak, Red.) akan tetapi darah dibalas darah, kehancuran dibalas kehancuran. Aku bagian dari kalian, dan kalian bagian dariku. Aku akan memerangi orang-orang yang kalian perangi dan membiarkan orang-orang yang kalian biarkan”.
Mereka pun kemudian sepakat dengan persyaratan bai’at, namun sebelum bai’at dilaksanakan, al-‘Abbâs bin ‘Ubâdah bin Nadhlah dan As’ad bin Zurârah berkeinginan menjelaskan hakikat bai’at yang akan dilakukan, sehingga mereka benar-benar memahaminya. Kedua orang ini juga ingin memastikan kesiapan kaum Anshâr untuk berjihad dan berkorban membela dîn (agama) yang mulia serta membela Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah keduanya menjelaskan hakikat bai’at dan konsekwensinya kepada kaum Anshâr, mereka kini mengetahui bawasanya kaum Anshâr benar-benar sudah siap. Akhirnya bai’at pun dimulai. As’ad Radhiyallahu anhu menjabat tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berbai’at, lalu diikuti yang lainnya satu-persatu. Yang berbai’at kala itu mendapat kabar gembira, yaitu akan dimasukkan ke surga bagi yang menepati bai’atnya. Tentang siapa sahabat yang dibai’at pertama kali, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan As’ad, ada yang mengatakan al Barrâ`, dan ada yang mengatakan Abul-Haitsâm Radhiyallahu anhum.
Adapun prosesi bai’at dua wanita yang ikut dalam pertemuan tersebut, Ibnu Ishâq, menyatakan: “Ada yang menyangka kedua wanita juga menjabat tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berjabat tangan dengan wanita. Dalam bai’at itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengambil perjanjian; jika kaum wanita sudah menyepakatinya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka, ‘Pergilah kalian! Kalian sudah saya bai’at’.”
Imam Bukhâri,[5] Imam Muslim,[6] Ibnu Ishâq meriwayatkan pokok-pokok bai’at ini. Akan tetapi penjelasan lebih rinci dibawakan oleh Imam Ahmad[7] dari hadits Jâbir, dan al-Baihaqî.[8]
Jâbir Radhiyallahu anhu bertanya: “Wahai Rasulullah, kami berbai’at kepadamu dalam hal apa saja?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Kalian berbai’at kepadaku untuk selalu mau mendengar dan taat dalam keadaan giat (senang) atau malas (berat), selalu memberikan nafkah dalam keadaan susah atau senang, selalu memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, selalu di jalan Allah dan jangan terpengaruh dengan celaan orang yang mencela, jika aku sudah datang ke (tempat) kalian agar kalian menolongku, melindungiku dari hal-hal yang kalian hindarkan dari diri, istri dan anak-anak kalian. Dan kalian akan mendapatkan surga”. (Lafazh ini merupakan riwayat Imam Ahmad).
Ketika bai’at sudah terlaksana dan perwakilan masing suku-suku sudah ditentukan, kaum Anshâr pun bersiap-siap hendak meninggalkan tempat itu. Namun, tiba-tiba setan menyibak tabir pertemuan ini, agar kaum musyrik Makkah memiliki kesempatan untuk datang dan menangkapi kaum muslimin sebelum bubar.
Setan berseru dengan suara lantang: “Wahai, penduduk Mina! Tidakkah kalian merasa terhina? Orang-orang murtad itu (maksudnya kaum muslimin, Red.) berkumpul bersama Muhammad di daerah kekuasaan kalian!”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru: “Ini adalah Azab (nama jin yang tinggal di) Aqabah. Ini anak Azyab. Demi Allah, wahai musuh Allah! Sungguh, aku akan mengerahkan seluruh kemampuan untuk melawanmu.”[9]
Ketika mendengar teriakan setan ini, al-‘Abbas berkata: “Demi Dzat yang mengutusmu dengan al-haq, jika engkau mau, sesungguhnya kami bisa menyerang penduduk Mina dengan pedang-pedang kami besok hari,” tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka: “Kita belum diperintah untuk itu. Pulanglah kalian ke perkemahan,” kemudian para sahabat pun kembali ke tempat tinggal mereka.[10]
Keesokan harinya, para pembesar Quraisy mendatangi orang-orang Madinah di tempat tinggal mereka. Saat itu masih bercampur antara yang muslim dan yang musyrik. Para pembesar itu menanyakan kebenaran berita bai’at ini. Mereka juga menanyakan keinginan kaum muslimin Madinah yang ingin membawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Kaum musyrik Madinah yang mendengar pertanyaan ini bersumpah bahwasanya hal itu tidak benar. Sedangkan kaum Muslimin hanya saling perpandangan.[11]
Begitulah Bai’at ‘Aqabah yang kedua. Bai’at ini berlangsung dengan aman, dan kaum Anshâr bisa kembali ke Madinah.
Dari Bai’atul-‘Aqabah yang kedua bisa dipetik pelajaran:
1. Kaum Anshâr benar-benar memahami dan menyadari perlunya kesiapan mereka melindungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menghadapkan pada permusuhan dengan kaum Yahudi dan kaum musyrikin yang merupakan musuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini berarti jihad, meskipun pokok-pokok bai’at tidak menyebutkan tentang jihad secara jelas.
2. Usaha para pembesar Quraisy untuk menangkap kaum muslimin setelah mengetahui ada usaha kaum muslimin mengatur penjagaan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ini mengisyaratkan kesyirikan dan kekufuran akan senantiasa memusuhi iman di manapun juga.
3. Kerahasiaan peristiwa bai’at ini menunjukkan adanya syari’at agar berhati-hati dalam mengatur banyak perkara, terutama berkaitan dengan keberlangsungan dakwah.
4. Bai’at ‘ ini menjadi landasan bagi kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah, termasuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
5. Islam berjaya di Madinah, sehingga orang-orang yang pernah menyembunyikan keislamannya bisa menampakkannya di Madinah.
6. Orang-orang kafir Makkah menindas kaum muslimin setelah mengetahui bahaya hubungan antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kaum muslimin Madinah. Penindasan ini menjadi salah satu faktor yang mempercepat Rasulullah hijrah ke Madinah.
7. Bai’at ini melandasi berdirinya Daulah Islamiyah di Madinah, yang selanjutnya menjadi pusat penyebaran Islam ke seluruh dunia.
8. Permusuhan setan terhadap al-haq, dan ia merasa tersiksa, karena ketinggian al-haq merupakan kisah lama. Setan senantiasa membangkitkan rasa permusuhan terhadap kaum muslimin Madinah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
9. Kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya menyebabkan Allah tidak membebankan kewajiban jihad kecuali setelah Dârul Islam berdiri.
Diangkat dari: As-Sîratun-Nabawiyyah fî Dhau`il Mashâdiril-Ashliyyah,
Dr. Mahdi Rizqullah, Cet. I, Th. 1412 H / 1992 M, hlm. 248-256.
[Http://cerkiis.blogspot.com,Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016, artikel: almanhaj]
Footnote
[1]. Riwayat Ibnu Ishâq dengan sanad hasan. Lihat Ibnu Hisyâm, 2/92.
[2]. Hadits Jâbir bin ‘Abdillâh z dalam riwayat Imam Ahmad, al-Fathur-Rabâni (20/270) dan sanadnya shahîh. Imam al-Baihaqi meriwayatkan dalam ad-Dalâil (2/1442), dan adz-Dzahabi dalam as-Sîrah, hlm. 289.
[3]. Dengan sanad hasan. Lihat Ibnu Hisyâm, 2/94-97. Melalui jalur ini, diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dalam al-Fathur-Rabbâni (20/271-275), Fadhâ`ilush-Shahâbah (2/923) dengan ringkas. Dan pentahqîq kitab ini menshahîhkan sanadnya; al-Haitsami dalam al-Majma’, al-Baihaqi dalam as-Sunan (9/9). Ibnu Hibbân dalam Mawârid, hlm. 408, al-Hâkim dalam al-Mustadrak (2/624-625) dan beliau t mengatakan: “Hadits ini shahîh sesuai dengan syarat Bukhâri dan Muslim, namun keduanya tidak membawakan hadits ini”. Ad-Dzahabi mengatakan shahîh, dan adz-Dzahabi dalam as-Sîrah, hlm. 301-303, serta hadits ini dishahîhkan oleh Syaikh al Albâni dalam Hâsyiah Fiqhis-Sîrah, karya al-Ghazâli, hlm. 159.
[4]. Ibnu Hisyâm (2/120) tanpa sanad. Perkataan Ibnu Ishâq ini didukung oleh hadits semakna yang diriwayatkan Imam al-Bukhâri. Lihat al-Fath 20/99, no. 5288. Imam Muslim, 3/1489 no. 1866, dan ulama lainnya.
[5]. Al-Fath, 16/no. 7056, 17/7199 dan 7200. Lafazh hadits terdapat pada dua tempat. Jika engkau gabungkan keduanya, maka sama dengan riwayat Ibnu Ishâq. Dan sanad hadits 7199 dan 7200 sama dengan jalur periwayatan Ibnu Ishâq. Ibnu Hajar t mengingatkan bahwa kejadian itu pada bai’at ‘Aqabah yang kedua.
[6]. Lihat dalam Shahîh-nya, 3/1470, no. 1709 dengan jalur periwayatan yang sama dengan Ibnu Ishâq, sebagaimana dalam riwayat Imam al-Bukhâri.
[7]. Al-Fathur-Rabbâni, 20/270.
[8]. Lihat riwayat Jâbir dalam kitab ad-Dalâil.
[9]. Diriwayatkan Ibnu Ishâq dengan sanad hasan dari hadits Ka’ab bin Mâlik. Lihat Ibnu Hisyâm, 2/101-102.
[10]. Ibid.
[11]. Sîrah Ibnu Hisyâm dengan sanad hasan, dan dishahîhkan oleh Ibnu Hibbân. Lihat as-Sîratun Nabawiyyatush-Shahîhah, Dr. Diyâ’, hlm. 201.