Kamis, 29 Oktober 2020

Adab-Adab Jamuan Dan Adab-Adab Menghadiri Undangan


ADAB-ADAB JAMUAN

Oleh Syaikh ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani

 
Di antara adab-adab mengundang orang untuk menghadiri suatu jamuan adalah sebagai berikut:

1. Hendaknya mengundang orang-orang yang bertaqwa, tidak mengundang orang-orang yang fasiq dan fajir, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِناً وَلاَ يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلاَّ تَقِيٌّ.

“Janganlah engkau bergaul kecuali dengan orang mukmin, dan janganlah sampai menyantap makanan kalian melainkan orang yang bertaqwa.”[1] 

2. Hendaknya tidak mengkhususkan undangan bagi orang kaya saja tanpa mengundang orang-orang miskin, sebagaimana hadits:

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ يُدْعَى إِلَيْهَا اْلأَغْنِيَاءُ دُوْنَ الْفُقَرَاءِ.

“Sejelek-jelek makanan adalah makanan jamuan resepsi, dimana hanya orang kaya saja yang diundang tanpa mengundang orang miskin.”[2] 

3. Hendaknya acara jamuan tersebut tidak ditujukan untuk berbangga-bangga dan menyombongkan diri, namun jamuan tersebut diadakan dengan tujuan untuk mengikuti Sunnah dan meneladani perbuatan Nabi kita dan Nabi-Nabi yang lain, seperti Nabi Ibrahim, dimana beliau diberi julukan Abu adh-Dhifan (orang yang suka menjamu tamu). Begitu pula hendaknya diniatkan untuk menghadirkan kegembiaran di kalangan orang-orang mukmin, berbagi suka cita, kesenangan di hati saudara-saudaranya.

4. Hendaknya tidak mengundang orang yang mempunyai kendala untuk menghadiri jamuan dan tidak pula mengundang orang yang merasa terganggu dengan tamu yang hadir. Hal ini sebagai usaha untuk menjauhkan gangguan dari seorang muslim, sedangkan mengganggu sesama muslim adalah perbuatan haram.[3] 

ADAB-ADAB DALAM MEMENUHI UNDANGAN JAMUAN

1. Hendaknya segera memenuhi undangan dan jangan sampai menunda-nundanya kecuali jika udzur (alasan tertentu yang dibenarkan), seperti khawatir dapat merusak agama[4] dan fisiknya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ دُعِيَ فَلْيُجِبْ

“Barangsiapa yang diundang, hendaklah ia memenuhinya.”[5] 
Dan hadits yang lainnya:

لَوْ دُعِيْتُ إِلَى كُرَاعِ شَاةٍ َلأََجَبْتُ، وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ لَقَبِلْتُ.

“Jika aku diundang untuk menghadiri jamuan makan kaki kambing, pasti aku akan penuhi, jika aku dihadiahi lengan kambing, pasti aku terima.”[6] 

2. Hendaknya tidak membedakan kehadirannya dalam rangka memenuhi dua undangan antara undangan dari orang miskin dan orang kaya, karena dengan (hanya mengutamakan untuk memenuhi undangan orang kaya dan) tidak memenuhi undangan dari orang miskin hanya akan membuatnya kecewa dan sedih. Di samping hal tersebut menggambarkan kesombongan, sedang sombong adalah sifat yang dibenci. Tentang memenuhi undangan orang miskin, diriwayatkan bahwa al-Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu anhuma berjalan melewati orang-orang miskin yang sedang menghamparkan serakan remukan roti di atas tanah dan mereka sedang memakannya. Mereka berkata kepada al-Hasan bin ‘Ali : “Mari makan siang bersama kami, wahai cucu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Al-Hasan bin ‘Ali berkata: “Ya boleh, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.” Usai berkata seperti itu, al-Hasan bin ‘Ali turun dari baghal (peranakan kuda dan keledai) tunggangannya dan makan bersama orang-orang miskin tersebut.

3. Hendaknya tidak membedakan kehadirannya dalam rangka memenuhi dua undangan, antara undangan dari orang yang tempat tinggalnya jauh dengan undangan dari orang yang tempat tinggalnya dekat. Jika engkau mendapatkan dua undangan tersebut, maka selayaknya untuk memenuhi undangan yang lebih dulu datang, dan menyampaikan permintaan maaf kepada pengundang yang kedua.

4. Hendaknya tidak menunda-nunda untuk datang ke jamuan makan hanya dengan alasan puasa, namun ia harus tetap hadir. Jika tuan rumah (pengundang) senang jika ia memakan hidangannya, maka diperbolehkan baginya membatalkan puasa (sunnah) yang dilakukannya, karena menghadirkan kegembiraan pada hati seorang mukmin itu adalah termasuk amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Atau apabila ia tetap ingin melanjutkan puasanya, maka hendaklah ia mendo’akan tuan rumah, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَـانَ صَائِـمًا فَلْيُصَلِّ وَ إِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ.

“Apabila seorang di antara kalian diundang (makan), maka penuhilah, apabila dia sedang berpuasa (sunnah) hendaklah dia mendo’akan pihak pengundang dan apabila ia tidak berpuasa hendaknya ia makan makanan (yang ada pada jamuan tersebut).”[7] 

5. Hendaknya kedatangannya dalam rangka memenuhi undangan diniatkan untuk menghormati saudaranya sehingga ia memperoleh ganjaran atas kehadirannya tersebut.

ADAB-ADAB MENGHADIRI UNDANGAN

1. Hendaknya jangan membuat pihak pengundang berlama-lama menunggu karena hal ini membuat pihak pengundang menjadi gelisah. Dan hendaknya tidak datang terlalu awal sehingga mengejutkan pihak pengundang sebelum mereka membuat persiapan, karena yang demikian itu dapat mengganggu pihak pengundang.

2. Jika ia masuk ke rumah pengundang, ia tidak boleh menonjolkan dirinya di pertemuan, namun selayaknya baginya untuk bersikap tawadhu’ di dalamnya dan jika tuan rumah (pengundang) menyuruhnya duduk di salah satu tempat, maka dia harus duduk di tempat itu dan tidak boleh pindah darinya.

3. Pihak pengundang harus segera menghidangkan makanan kepada para tamunya, karena dengan menyegerakan penghidangan makanan kepada tamunya termasuk perbuatan memuliakan tamu. Dan syari’at agama Islam telah memerintahkan ummatnya untuk memuliakan tamunya.[8] 

4. Hendaknya bagi tuan rumah tidak cepat-cepat membereskan makanan sebelum tangan tamu diangkat daripadanya dan selesai menikmati makanannya.

5. Hendaknya si pengundang (tuan rumah) dapat menghidangkan makanan secukupnya kepada para tamunya, apabila hidangan tersebut terlalu sedikit itu mengurangi kesopanan (kedermawanan) dan hidangan yang terlalu banyak itu mencerminkan perbuatan riya’ (berlebihan). Dan kedua hal tersebut (menghidangkan makanan yang terlalu sedikit dan terlalu banyak) adalah perbuatan yang tercela.

6. Apabila ada tamu singgah di rumah seseorang, ia tidak boleh singgah (menginap) di rumah tersebut lebih dari tiga hari, terkecuali jika tuan rumah memintanya untuk tetap tinggal di dalam rumahnya. Apabila tamu tersebut ingin keluar rumah (pulang), ia harus izin kepada tuan rumah.[9] 

7. Bagi tuan rumah sudah selayaknya mengajak jalan-jalan tamunya keluar rumah.

8. Jika seorang tamu pergi dari rumah yang disinggahinya, maka ia harus pergi dengan lapang dada, kendatipun misalnya ia mendapatkan perlakuan yang tidak selayaknya dari tuan rumah. Sikap lapang dada itu termasuk akhlaq mulia dimana dengannya seseorang dapat menyamai derajat orang yang berpuasa dan derajat orang yang melakukan shalat Tahajjud.[10]

[Cerkiis.blogspot.com, artikel: almanhaj.or.id, Disalin dari kitab Aadaab Islaamiyyah, Penulis ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani, Judul dalam Bahasa Indonesia Adab Harian Muslim Teladan, Penerjemah Zaki Rahmawan, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Kedua Shafar 1427H - Maret 2006M]

Footnote :

[1]. Hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4832), at-Tirmidzi (no. 2395) dan lainnya. Dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah dalam Shahiih al-Jaa-mi’ish Shaghiir (no. 7341) dan Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib (no. 3036).

[2]. HR. Al-Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 1432 (107), Abu Dawud no. 3742 dan Ahmad II/267.

[3]. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ ولاَ يُسْلِمُهُ.

“Seorang muslim adalah saudara muslim yang lainnya, tidak boleh menzhaliminya dan tidak membiarkannya dizhalimi.” [HR. Al-Bukhari no. 2442, Muslim no. 2580, Ahmad II/91, Abu Dawud no. 4893, at-Tirmidzi no. 1426]-penj.

[4]. Dalam Fathul Baari Syarah Shahih al-Bukhari (IX/250) tercantum perkataan dari Ibnu Baththal berkaitan dengan menghadiri undangan yang mengandung kemungkaran yang dapat merusak agama yaitu: “Tidak boleh menghadiri undangan yang mengandung kemungkaran (merusak agama), yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, karena hal itu mengidentifikasikan bahwa ia rela dan ridha atas kemungkaran tersebut. Jika ia melihat ada kemungkaran dan ia mampu mencegahnya, maka tidak ada masalah baginya untuk datang. Tetapi jika ia tidak mampu, maka kembalilah (ke rumah).”-penj.

[5]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3740) dan Ahmad (II/279). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahiih Sunan Abi Dawud.

[6]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5178).

[7]. HR. Muslim no. 1431 (106) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.

[8]. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ.

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah dia menghormati tamunya.” [HR. Al-Bukhari no. 6018, Muslim no. 47, Ahmad II/267, Abu Dawud no. 5154, at-Tirmidzi no. 2500]-penj.

[9]. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ، وَمَا جَائِزَتُهُ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَالضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ، فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ.

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya sesuai dengan jatah ha-rinya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: “Berapa lama jatah harinya, wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Siang hari dan malam hari, bertamu itu selama tiga hari dan selebihnya adalah shadaqah.” [HR. Al-Bukhari no. 6019, 6135]-penj.

[10]. Minhaajul Muslim karya Abu Bakar Aljazairi.