JIKA MENCARI KERJA DENGAN KATEBELCE
Salah satu yang mendukung terciptanya keluarga yang harmoni dan menjadi tuntutan seorang kepala keluarga adalah tersedianya nafkah bagi keluarganya. Yang ini, tentunya ditempuh dengan cara mencari penghasilan. Baik dengan berusaha secara mandiri, ataupun bekerja pada orang lain, atau di suatu tempat tertentu.
Dikarenakan sesuatu hal, untuk menembus area pendapatan tersebut, terkadang diperlukan orang ketiga guna memuluskan keinginan mendapatkan peluang kerja. Seorang yang ingin mandiri, juga terkadang memerlukan orang ketiga sebagai penghubung, atau sekedar menguatkannya. Begitu pula untuk bisa berkarya di sebuah instansi, baik swasta atau negeri, terkadang juga memerlukan pihak ketiga, yang paling tidak berfungsi sebagai garansi kemampuan dan minatnya.
Begitulah dalam hidup bermasyarakat, ada saja orang yang membutuhkan bantuan dalam meraih keinginannya. Bantuan tersebut bukan berbentuk material, namun yang diperlukan adalah keberadaan diri orang yang dimintai tersebut. Misalnya karena memiliki status sosial, sehingga disegani masyarakat. Sebab menurut yang meminta tadi, kedudukan sosial seseorang yang dimintai tersebut, akan efektif menyelesaikan kepentingan dan urusannya.
Pertolongan semacam ini termasuk dalam makna pemberian syafa'at. Karena, merujuk makna lughawi, syafa'at adalah menjadikan seseorang tidak sendiri lagi, karena ada yang menemaninya setelah sebelumnya ia dalam keadaan sendiri. Bentuk pertolongan semacam ini bisa dianggap mustahab mahmud (dianjurkan lagi terpuji), namun juga ada yang berkategori muharram madzmum (haram lagi tercela) sebagaimana akan dijelaskan contohnya nanti.
ISLAM MEMOTIVASI SALING MENOLONG ANTAR SESAMA
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ٥:٢
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran". [al Maidah/5 : 2].
Menurut Ibnul Qayyim, ayat ini mencakup seluruh kebaikan antar sesama manusia dalam kehidupan di dunia dan akhirat, dan antara mereka dengan Allah. Sesungguhnya setiap manusia tidak bisa lepas dari dua hal dan kewajiban ini, (yaitu) kewajibannya terhadap Allah dan kewajibannya terhadap sesama manusia.
Yang berkaitan dengan sesama manusia, (yaitu) berbentuk pergaulan, saling menolong dan menjalin persahabatan. Kewajibannya (terhadap Allah), (yakni) agar interaksinya dengan mereka dalam bentuk saling menolong untuk menggapai ridha Allah dan dalam ketaatan kepada-Nya, yang merupakan puncak kebahagiaan seorang hamba dan kesuksesan. Tidak ada kebahagiaan baginya selain dengan itu.[1]
BANTUAN SYAFA'AT YANG DIPERBOLEHKAN
Di antara dalil dari Sunnah, yaitu riwayat yang terdapat dalam Shahihain, dari Abu Musa al Asy'ari Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Jika Rasulullah kedatangan orang yang meminta atau dimintai suatu hajat, (maka) beliau bersabda:
اشْفَعُوا تُؤْجَرُوا وَيَقْضِي اللَّهُ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا شَاءَ
"Berikan syafa'at, niscaya kalian mendapat pahala. Allah akan memutuskan melalui lisan Nabi-Nya apa yang dikehendaki".[2]
Isyfa’u adalah, sebuah perintah untuk mengeluarkan syafa'at (bantuan). Tu`jaru artinya, niscaya kalian akan mendapat balasan pahala dari Allah atas bantuan syafa'at yang kalian keluarkan, kendatipun tidak memudahkan urusan.[3]
Dalam hadits di atas, seperti diungkapkan al Qurthubi, memuat pelajaran, (yaitu) berupa anjuran untuk melakukan kebaikan secara langsung atau menjadi penyebabnya. Perintah ini bersifat nadb (anjuran, sunnah). Namun terkadang bisa beralih menjadi wajib.[4]
Imam Nawawi menjelaskan: "Dianjurkan memberikan syafa'at kepada orang-orang yang mempunyai keperluan-keperluan yang hukumnya mubah, baik permohonan syafa'at di hadapan penguasa, gubernur atau orang yang setingkat kedudukannya dengan mereka, atau kepada siapapun dari anggota masyarakat. Baik syafa'at itu dengan tujuan agar penguasa menahan diri dari perbuatan zhalim, atau mempermudah penyerahan harta buat orang yang membutuhkan, dan lain sebagainya".[5]
Beliau juga mengatakan: "Ketahuilah, memberikan syafa'at (menjadi perantara), dianjurkan di hadapan para penguasa dan orang-orang yang memegang wewenang dan mampu menjalankannya, selama syafa'at tersebut tidak bersentuhan dengan aspek hadd (hukuman pidana) atau memberi syafa'at pada perkara yang tidak boleh ditinggalkan, seperti syafa'at orang yang memelihara anak kecil, orang gila atau pemberi wakaf atau selainnya, untuk menjatuhkan beberapa hak milik orang yang berada di bawah kekuasaannya. Seluruh syafa'at ini hukumnya haram, baik untuk pemberi syafa'at, dan juga atas orang yang mengeluarkan hak syafa'at. Dan diharamkan atas selain keduanya untuk mengusahakannya jika mengetahui." [6]
Pemberian bantuan pengurusan di hadapan orang-orang untuk mempermudah perolehan hak atau menahan keburukan atau tujuan serupa lainnya, yang berkait dengan kebutuhan-kebutuhan manusia yang hukumnya mubah, merupakan usaha yang disenangi dan perbuatan yang baik.
TELADAN DARI GENERASI SALAF
Dalam biografi Imam Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, tertuang bahwa beliau acapkali menulis permohonan syafa'at bagi orang yang mendatanginya kepada para pemegang jabatan.
Suatu hari al Mutawalli (seorang penguasa) berkata: “Engkau menulis permohonan syafa'at kepada kami bagi orang-orang yang kami tidak ingin menerima syafa'at (dari siapapun) untuk mereka, sedangkan kami ingin tidak menolak permintaanmu”.
Mendengar ungkapan al Mutawalli ini, maka beliau menjawab: “Mengenai diriku, maka aku sudah memenuhi keinginan orang yang mendatangiku. Terserah kalian, mau menerima tulisanku atau tidak," maka al Mutawalli berkata: "Tidak akan kami tolak selamanya".[7]
Abu Muzhfir al Khuza’i selalu mengharuskan dirinya untuk membantu menyelesaikan keperluan-keperluan manusia. Ada orang berkomentar: “Wahai Syaikh, kemungkinan saja timbul kegerahan dari dirimu dalam menyelesaikan apa yang engkau kerjakan (buat orang lain),” (tetapi) beliau menjawab: “Aku akan selalu menulis. Jika hajat orang yang saya menulis untuknya, itulah tujuanku. Jika tidak terlaksana, saya sudah terbebas dari tuntutan dan sama sekali tidak terpengaruh dengan itu”.
Seorang penyair melantunkan:
Diwajibkan atas diriku zakat apa yang kumiliki
Dan zakat jabatanku adalah membantu dan memberi syafa'at
Kalau engkau punya, berbuat baiklah. Jika tidak mampu, berusahalah dengan sekuat tenaga untuk membantu (orang lain)
BANTUAN YANG DILARANG
Berbeda halnya dengan syafa'at, maka yang bertujuan menggugurkan hak-hak orang lain atau menetapkan kebatilan atau memeti-eskan hukuman pidana, ini merupakan usaha yang tercela lagi tertolak.
Nash-nash syari'at menunjukkan kepada makna sebagaimana yang telah dikemukakan. Allah Ta'ala berfirman:
مَّن يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُن لَّهُ نَصِيبُُ مِّنْهَا وَمَن يَشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَكُن لَهُ كِفْلُُ مِّنْهَا
"Barangsiapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) darinya. Dan barangsiapa yang memberi syafa'at yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) darinya" [an Nisaa`: 85].
Ibnu Katsir, dalam menafsirkan ayat ini, beliau menjelaskan:
مَّن يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُن لَّهُ نَصِيبُُ مِّنْهَا , yaitu, barangsiapa yang berusaha dalam sebuah perkara yang bisa mendatangkan kebaikan, maka ia akan mendapatkan bagian darinya.
وَمَن يَشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَكُن لَهُ كِفْلُُ مِّنْهَا , maksudnya, ia akan terbebani dosa dari masalah yang muncul atas usaha dan niatnya.
Mujahid bin Jubair berkata: "Ayat ini turun berhubungan dengan bantuan-bantuan syafa'at yang dikeluarkan manusia untuk orang lain".[8] Orang yang memberikan syafa'at yang baik, ia akan meraih pahala atasnya, meskipun permohonannya tidak diterima. Ia telah melakukan upaya, yang tidak bisa dikerjakan orang lain.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari al Hasan al Bashri, ia berkata: "Barangsiapa memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan mendapat pahalanya, meski permohonannya ditolak. Sebab Allah berfiman:
مَّن يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُن لَّهُ نَصِيبُُ مِّنْهَا [Dia tidak mengatakan yusyaffa' (harus diterima syafaatnya)]".[9]
As Sa’di menjelaskan di dalam tafsirnya, yang dimaksud dengan syafa'at di sini, yaitu memberikan pertolongan (kepada orang lain) dalam suatu masalah. Siapa saja yang menolongnya dalam perkara-perkara yang baik –termasuk mendukung orang yang teraniaya haknya dengan syafa'at di hadapan pihak yang menzhalimi- , maka ia memperoleh bagian pahala dari usahanya. Begitu pula, orang yang menolong orang lain dalam perkara yang buruk, maka ia ikut menanggung beban sesuai dengan kadar pertolongannya. Dalam ayat ini terdapat anjuran yang nyata, agar saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan, serta larangan keras dalam hal saling membantu perbuatan dosa dan kejelekan.[10]
Juga riwayat lain dalam Shahihain, dari 'Aisyah, bahwa orang-orang Quraisy dibingungkan dengan urusan wanita dari suku Makhzumi yang telah mencuri. Mereka saling bertanya: "Siapa yang akan melobi Rasulullah?" Ternyata tidak ada yang berani untuk melakukannya kecuali Usamah, kekasih Rasulullah. Maka Usamah pun membicarakannya dengan Rasulullah. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
َ أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ ثُمَّ قَالَ إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
"Apakah engkau akan memberikan syafa'at pada aturan hukum pidana dari Allah?" Kemudian beliau berdiri seraya berbicara: "Wahai manusia, sesungguhnya bangsa sebelum kalian sesat, (karena) jika ada orang mulia dari kalangan mereka mencuri, maka dibiarkan. Bila yang mencuri orang yang lemah, niscaya mereka tegakkan hukum atasnya. Demi Allah, jikalau Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan potong tangannya". [11]
Dalam hadits ini termuat larangan mengajukan permohonan pembatalan hukuman dalam perkara pidana, jika telah sampai kepada penguasa. Karena itu, Bukhari menempatkan hadits ini dalam bab yang berjudul "Bab Dibencinya Pemberian Syafa'at Dalam Perkara Hukum Pidana Yang Telah Sampai Kepada Penguasa". [12]
Senada dengan itu, Imam an-Nawawi juga mengatakan, pemberian syafa'at dalam masalah (pembatalan) hukuman pidana, hukumnya haram. Demikian juga pengeluaran hak syafa'at untuk mendukung kebatilan atau membatalkan sebuah hak atau yang lainnya, ini hukumnya haram".[13]
BOLEHKAH MEMBANTU MEMASUKKAN SESEORANG KE SEBUAH INSTANSI?
Secara khusus, Komisi Fatwa Kerajaan Saudi, al Lajnatid-Da-imati lil-Buhutsil-'Ilmiyyah wal-Ifta', pernah menjawab pertanyaan yang berbunyi: Bagaimana hukum wasilah (perantara)? Boleh atau haram? Misalnya, saya ingin bekerja atau mendaftar di sebuah sekolah dan lain sebagainya, dengan memanfaatkan bantuan perantara agar diterima. Bagaimana hukum masalah ini?
Komisi Fatwa memberikan jawaban:
Pertama. Jika keberadaan perantara yang membantumu memperoleh pekerjaan tersebut menyebabkan tersingkirkannya orang yang lebih utama dan berhak dari dirimu, (baik) dari aspek kapasitas ilmiah yang berkaitan dengan pekerjaan dan kemampuan mengemban tugas-tugas serta pelaksanaannya dengan penuh ketelitian di dalamnya, maka bantuan perantara di sini diharamkan. Mengingat :
1. Mengandung tindak kezhaliman kepada orang yang lebih memiliki kemampuan.
2. Mengandung kezhaliman kepada pemerintah, karena telah terhalang menemukan pegawai yang kecakapan dan ketekunannya dapat membantu mengangkat kemajuan dalam salah satu aspek kehidupan.
3. Merupakan perbuatan aniaya kepada rakyat, karena menghalangi mereka dari sosok-sosok pegawai yang mampu menjalankan pelayanan dengan sebaik-baiknya. Selain itu.
4. Memicu timbulnya rasa hasad dan prasangka buruk, serta kerusakan di masyarakat.
(Tetapi), apabila tidak menimbulkan tersingkirnya atau berkurangnya hak orang lain, (maka) hukumnya boleh, bahkan muraghghabun fih (dianjurkan) ditinjau dari kacamata syari'at. Pelakunya mendapatkan pahala, insya Allah. Terdapat rawayat dari Nabi, beliau bersabda:
اشْفَعُوا تُؤْجَرُوا وَيَقْضِي اللَّهُ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا شَاءَ
"Berikan syafa'at, niscaya kalian mendapat pahala. Allah akan memutuskan melalui lisan Nabi-Nya, apa yang dikehendaki".[14]
Kedua. Sekolah-sekolah dan universitas (negeri) merupakan fasilitas umum milik semua orang. Di sana, manusia akan mendalami hal-hal yang bermanfaat bagi agama dan dunia mereka. Tidak ada seorang pun yang lebih utama dibandingkan orang lain, kecuali dengan alasan-alasan yang dibenarkan selain syafa'at. Kalau pemberi syafa'at mengetahui akan menimbulkan tercampaknya seseorang yang lebih berhak masuk -ditinjau dari sisi kapabilitas, usia atau lebih dahulu melayangkan lamaran dan lain sebagainya-, maka andil perantara di sini terlarang. [15] Terlebih lagi (jika) dengan mengikutkan kekuatan uang, yang biasa disebut suap atau risywah, jelas lebih tidak boleh lagi. Suap jelas-jelas diharamkan oleh agama Islam, dan termasuk perbuatan dosa besar.
Wallahul-Muwaffiiq. (Mas)
Maraji`:
- Ar-Risalah at-Tabukiyah, Ibnul Qayyim, Tahqiq Salim bin 'Id al Hilali.
- Fatawa Ulama al Baladil-Haram, Khalid bin 'Abdir-Rahman al Juraisi.
- Asy-Syafa’at, Nashir al Judai’.
- Taisirul-Karimir-Rahman, as Sa’di.
[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun X/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016, artikel: almanhaj]
Footnote :
[1]. Ar-Risalah at-Tabukiyah, hlm. 30.
[2]. HR Bukhari (2/18), Muslim (4/2026).
[3]. Ma’alim fi Thariq Thalabil-‘Ilm, hlm. 160.
[4]. Faidhul-Qadir (1/525), dikutip dari al Ma’alim, hlm. 161.
[5]. Syarhu an-Nawawi li Shahih Muslim (16/177/178), secara ringkas.
[6]. Al Adzkar, an-Nawawi, hlm. 507.
[7]. Dza-il Thabaqatil-Hanabilah (2/55). Dinukil dari al Ma’alim
[8]. Tafsir Ibnu Katsir (1/532).
[9]. Jami'ul-Bayani 'an Ta`wili Ayil-Qur`an (5/186).
[10]. Taisirul-Karimir-Rahman, hlm. 190-191 secara ringkas.
[11]. Shahih Bukhari (7/16), Shahih Muslim (3/1315).
[12]. Fathul-Bari (12/95).
[13]. Syarhu an-Nawawi li Shahih Muslim (16/177/178), secara ringkas.
[14]. HR Bukhari (2/18), Muslim (4/2026).
[15]. Fatawa Ulama al Baladil-Haram, hlm. 568-569.