JANGANLAH BERBUAT KERUSAKAN DI MUKA BUMI
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, setelah (diciptakan) dengan baik. Berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allâh sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan. [al-A’râf/7:56]
Saat menjelaskan maksud ayat ini, Abu Bakar bin ‘Ayyâsy rahimahullah (wafat th. 194 H) berkata, “Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada penduduk bumi ketika mereka sedang dalam kerusakan, lalu Allâh Azza wa Jalla memperbaiki mereka dengan mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka barangsiapa mengajak kepada sesuatu yang bertentangan dengan apa yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia benar-benar termasuk orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi.”[1]
Abu Ja’far ath-Thabari rahimahullah (wafat th. 310 H) mengatakan, “Maksud dari firman Allâh Azza wa Jalla :
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا
“Adalah janganlah engkau menyekutukan Allâh Azza wa Jalla dan janganlah engkau berbuat maksiat di muka bumi, karena perbuatan seperti itu adalah pengerusakan yang sebenarnya di muka bumi”.
بَعْدَ إِصْلَاحِهَا, yakni setelah Allâh memperbaiki bumi itu untuk orang-orang yang menaati Allâh Azza wa Jalla, dengan mengutus para rasul kepada mereka yang menyeru kepada kebenaran, dan menjelaskan hujjah-hujjah kepada mereka.”
وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا yakni ikhlaskanlah semua doa dan amal hanya untuk Allâh Azza wa Jalla dan janganlah engkau menyekutukan-Nya dengan apapun juga seperti ilah-ilah, berhala dan lainnya. Serta hendaklah semua yang engkau lakukan itu didasari dengan rasa takut kepada siksa-Nya dan mengharapkan pahala-Nya.”[2]
Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat th. 751 H) mengatakan, “Mayoritas ahli tafsir mengatakan, janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi dengan melakukan perbuatan-perbuatan maksiat dan mengajak ketaatan kepada selain Allâh Azza wa Jalla setelah Allâh Azza wa Jalla memperbaikinya dengan mengutus para rasul dan menerangkan syariat serta mengajak supaya taat kepada Allâh Azza wa Jalla. Karena sesungguhnya menyembah selain Allâh, berdoa kepada selain-Nya dan melakukan perbuatan syirik kepada-Nya adalah kerusakan yang paling besar di muka bumi. Bahkan kerusakan bumi pada hakekatnya hanyalah disebabkan oleh syirik kepada Allâh dan menyalahi perintah-Nya“.
Dengan demikian perbuatan syirik, berdoa kepada selain Allâh Azza wa Jalla, mengagungkan sesembahan selain-Nya dan mentaati selain Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kerusakan terbesar di muka bumi. Semua ini tidak mendatangkan kebaikan sama sekali untuk bumi dan juga untuk penduduknya kecuali kalau Allâh menjadi satu-satunya Dzat yang mereka ibadahi dan taati, memohon kepada-Nya dan tidak taat kepada selain Allâh Azza wa Jalla, kemudian selalu menaati rasul-Nya dan mengikuti (petunjuk)nya, bukan yang lain. Makhluk selain Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya wajib ditaati jika menyerukan ketaatan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun jika menganjurkan perbuatan maksiat dan menyuarakan hal-hal yang menyalahi syariat-Nya, maka ia tidak boleh didengar dan ditaati.
Barangsiapa memperhatikan kondisi alam, maka ia akan dapati bahwa setiap kebaikan di muka bumi ini bersumber pada tauhidullâh (mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla), beribadah kepada-Nya dan menaati Rasul-Nya. Sebaliknya, setiap kejahatan, fitnah, malapetaka, kekeringan, berkuasanya musuh atas umat Islam dan bencana lainnya, penyebabnya adalah menyalahi Rasul-Nya dan menyeru kepada selain Allâh dan Rasul-Nya.”[3]
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah (wafat th. 774 H) menjelaskan tentang ayat ini, “Allâh Azza wa Jalla melarang perilaku merusak dan hal-hal yang membahayakannya, setelah Allâh Azza wa Jalla melakukan perbaikan di muka bumi. Karena jika berbagai macam urusan sudah berjalan dengan baik dan setelah itu terjadi kerusakan, maka kondisi demikian ini lebih berbahaya bagi umat manusia. Maka, Allâh Subhanahu wa Ta’ala melarang hal itu, dan memerintahkan hamba-hamba-Nya agar beribadah, berdoa, merendahkan diri kepada-Nya dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Oleh karena itu, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya-red), “…Berdoalah kepada-Nya dengan penuh rasa takut dan penuh harap…” Maksudnya, takut terkena siksa Allâh Azza wa Jalla dan berharap bisa meraih pahala melimpah di sisi-Nya.
Kemudian Allâh berfirman.
إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
“…Sesungguhnya rahmat Allâh sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.”
Allâh menggunakan kata قَرِيبٌ dan bukan قَرِيْبَةٌ (padahal kata رحمة itu untuk muannats, mestinya menurut bahasa harus menggunakan قَرِيْبَةٌ –red), karena yang dijelaskan adalah kandungan dari kalimat rahmat yaitu tsawâb (pahala), atau karena kata rahmat itu disandarkan kepada Allâh Azza wa Jalla . Oleh karena itu, Allâh mengatakan :
إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
Sesungguhnya rahmat Allâh sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik[4]
FAWA’ID AYAT INI
Dari uraian di atas, kita bisa mengambil beberapa faidah[5] :
1. Janganlah berbuat kerusakan di muka bumi dengan melakukan perbuatan syirik, maksiat dan kerusakan lainnya
2. Sesungguhnya perbuatan maksiat itu merusak akhlak, amal dan rezeki
Para rasul diutus untuk memperbaiki kehidupan di muka bumi
3. Wajib berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla dengan penuh keikhlasan, karena doa adalah ibadah
4. Beramal dan berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla harus dilandasi dengan rasa takut dan penuh harap
5. Dianjurkan untuk berbuat ihsan (berbuat kebaikan)
[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
Footnote
[1] Tafsîr Ibnu Abi Hâtim ar-Râzi 4/124 cet. Dârul Kutub al-‘Ilmiyyah
[2] Tafsîr ath-Thabari 5/515 cet. Dârul Kutub al-‘Ilmiyyah.
[3] Badâi’ul Fawâid, hlm. 385, tahqîq Basyîr ‘Uyûn dan lihat juga Badâi’ut Tafsîr hlm 1/404 oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, dikumpulkan oleh Yusra as-Sayyid Muhammad.
[4] Tafsîr al-Qurânil ‘Azhîm 3/429, tahqîq Sâmi bin Muhammad Salâmah, cet. Ke-IV Dârut Thayyibah th. 1428 H].
[5] Taisîr Karîmir Rahmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân oleh Syekh Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah dan Aisarut tafâsîr oleh Syekh Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri dan kitab-kitab lainnya).
[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
Footnote
[1] Tafsîr Ibnu Abi Hâtim ar-Râzi 4/124 cet. Dârul Kutub al-‘Ilmiyyah
[2] Tafsîr ath-Thabari 5/515 cet. Dârul Kutub al-‘Ilmiyyah.
[3] Badâi’ul Fawâid, hlm. 385, tahqîq Basyîr ‘Uyûn dan lihat juga Badâi’ut Tafsîr hlm 1/404 oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, dikumpulkan oleh Yusra as-Sayyid Muhammad.
[4] Tafsîr al-Qurânil ‘Azhîm 3/429, tahqîq Sâmi bin Muhammad Salâmah, cet. Ke-IV Dârut Thayyibah th. 1428 H].
[5] Taisîr Karîmir Rahmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân oleh Syekh Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah dan Aisarut tafâsîr oleh Syekh Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri dan kitab-kitab lainnya).