Senin, 21 Oktober 2019

Permasalahan Yang Sering Menghinggapi Kaum Remaja


PERMASALAHAN YANG SERING MENGHINGGAPI KAUM REMAJA

Hati yang mati tidak akan dihampiri oleh perasaan was-was atau pikiran yang bertentangan dengan agama Islam ini yang dihembuskan oleh syaitan. Syaitan tidak terpesona dan tidak tertarik dengan hati yang sudah mati seperti ini. Hati yang mati itu pasti akan binasa dan itulah yang diinginkan oleh syaitan, tidak lebih dari itu. Oleh karena itu, ketika ada yang mengatakan kepada Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu atau Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu ,”Sesungguhnya orang-orang Yahudi mengatakan bahwa mereka tidak pernah diganggu dengan rasa was-was saat mereka beribadah (diganggu dengan pikiran-pikiran yang merusak kekhusu’an ibadah mereka)”. Shahabat Nabi tersebut mengatakan, “Mereka benar. Syaitan tidak melakukan apapun pada hati yang sudah rusak dan mati.”

Hati yang menjadi incaran syaitan adalah hati yang hidup, hati yang terisi benih keimanan. Syaitan akan terus menyerangnya tanpa henti dan tak kenal lelah. Syaitan akan melemparkan ke dalam hati ini berbagai macam penyakit was-was yang bisa meracuni keimannya. Rasa was-was ini bisa menjadi virus dan senjata mematikan apabila hamba tersebut menyerah lalu mengikuti bisikan syaitan. Syaitan akan terus meniupkan rasa was-was sampai akhirnya bisa membuat seseorang menjadi ragu terhadap Rabbnya, agamanya dan akidahnya. Jika syaitan mendapati celah dalam hati seseorang, syaitan tidak akan menyia-nyiakan peluang itu sampai ia berhasil membuatnya keluar dari agamanya. Akan tetapi sebaliknya, disaat syaitan mendapatkan perlawanan dari hati tersebut serta mendapati hati tersebut begitu kokoh mempertahankan keimanannya, syaitan akan berpaling dan pulang dengan penuh kecewa, malu dan hina.

Virus was-was yang dilemparkan oleh syaitan kedalam hati seseorang, sejatinya tidak akan berbahaya bagi seseorang jika ia mampu menjaga hatinya dengan pengobatan yang telah diajarkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Ada seorang pria datang menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, ‘Ada sesuatu yang kurasakan dalam hati ini, seandainya aku jadi humamah (arang) jauh lebih aku senangi ketimbang harus mengatakannya.’ Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْحَمْدُ للهِ رَدَّ كَيْدَهُ إِلَى الْوَسْوَسَةِ

Segala puji bagi Allâh yang telah mengembalikan tipu daya syaitan kepada was-was tersebut[1]

Beberapa orang dari kalangan Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang menghadapnya seraya mengatakan, “Wahai Rasûlullâh, kami mendapati dalam diri kami sesuatu yang sangat berat bagi kami untuk mengucapkannya (merasa berat).” Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka, ‘Benarkah kalian sudah mendapati perasaan itu?’ Mereka menjawab, ‘Benar.’ Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan kepada mereka:

ذَلِكَ صَرِيْحُ الإِيْمَانِ

Itulah bukti keimanan yang nyata[2]

Maknanya adalah pengingkaran kalian terhadap rasa was-was yang sering muncul itu juga perasaan berat yang kalian rasakan saat rasa was-was itu muncul tidak akan membahayakan keimanan kalian sama sekali, bahkan itu merupakan indikasiakan kesempurnaan dan kokohnya iman kalian.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَأْتِي الشَّيْطَانُ أَحَدَكُمْ فَيَقُولُ مَنْ خَلَقَ كَذَا مَنْ خَلَقَ كَذَا حَتَّى يَقُولَ مَنْ خَلَقَ رَبَّكَ فَإِذَا بَلَغَهُ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ وَلْيَنْتَهِ

Setan akan datang pada salah satu di antara kalian, lalu dia berkata, ‘Siapa yang menciptakan ini? Siapa yang menciptakan itu?’ Sampai akhirnya dia membisikkan, ‘Siapa yang menciptakan Rabbmu?’ Jika sudah sampai pada (tahap) ini, maka hendaklah dia memohon perlindungan kepada Allâh dan berhentilah”.[3]

Dalam riwayat lain “Maka hendaklah dia mengatakan, ‘Aku beriman kepada Allâh dan rasul-Nya.”

Dalam hadist lain riwayat Abu Daud, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Hendaklah kalian mengucapkan:

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Katakanlah! Allâh itu Maha Esa, Allâh itu tempat bergantung, Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan,dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia

kemudian hendaklah ia meludah ke arah kiri sebanyak tiga kali dan mohonlah berlindungan kepada Allâh dari godaan syaitan yang terkutuk”.[4]

Dalam hadist-hadits di atas disebutkan bahwa para Shahabat g menceritakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang penyakit was-was, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan solusi penyembuhannya, yaitu melalui empat perkara berikut ini :

Pertama : Berusaha maksimal untuk menghentikan rasa was-was itu. Maksudnya adalah menghindari pemikiran semacam itu secara totalitas, berusaha melupakannya sampai seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa dan menyibukkan diri dengan pemikiran-pemikiran yang bagus.

Kedua : Memohon dan meminta perlindung kepada Allâh dari bisikan was-was dan dari godaan syaitan yang terkutuk.

Ketiga : Hendaknya mengatakan, “Saya beriman kepada Allâh dan Rasul-Nya.”

Keempat : Hendaklah membaca surat al-Ikhlas :

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Katakanlah Allâh itu Maha Esa, Allâh itu tempat bergantung, Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkandan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia

Kemudian meludah ke kiri tiga kali dan berdoa :

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

Aku berlindunglah kepada Allâh dari godaan syaitanyang terkutuk

RAGU DAN BINGUNG DENGAN TAKDIR

Permasalahan takdir adalah salah satu permasalahan yang sering menimbulkan polemik dalam hati dan pemikiran generasi muda. Mereka sering merasa bimbang dan bingung dalam masalah ini, padahal beriman kepada takdir merupakan salah satu rukun iman. Tanpa itu, keimanan seseorang tidak akan sempurna. Beriman kepada takdir Allâh yaitu dengan cara mempercayai dan meyakini penuh keyakinan bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah mengetahui dan mentakdirkan segala yang terjadi di langit dan di bumi, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ۗ إِنَّ ذَٰلِكَ فِي كِتَابٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allâh mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Sesungguhnya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amatlah mudah bagi Allâh. [Al-Hajj/22:70]

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah melarang debat dan berselisih dalam masalah takdir, sebagaimana larangan ini telah diisyaratkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa ia berkata, ‘Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi kami disaat kami (para Shahabat) sedang berselisih tentang takdir, maka memerahlah wajah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena marah’ kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَبِهَذَا أُمِرْتُمْ؟ أَوَ بِهَذَا أُرْسِلْتُ إِلَيْكُمْ , إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حِينَ تَنَازَعُوا فِي هَذَا الْأَمْرِ , عَزَمْتُ عَلَيْكُمْ أَنْ لَا تَنَازَعُوا فِيهِ

Apakah dengan ini kalian diperintahkan? Atau untuk inikah aku diutus kepada kalian? Sesungguhnya umat-umat sebelum kalian binasa ketika mereka berdebat dalam masalah ini. Aku tegaskan kepada kalian, janganlah kalian perdebatkan masalah ini!”[5]

Debat dan perbincangan yang dalam masalah takdir dapat menjerumuskan seseorang kedalam berbagai kebingungan yang terus mengikutinya sehingga sulit baginya untuk melepaskan diri. Jalan untuk menyelamatkan diri adalah dengan terus berusaha melakukan semua kebaikan yang diperintahkan dengan cara yang diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla . Karena Allâh Azza wa Jalla telah mengaruniai kita akal dan pikiran sehat, Allâh juga telah mengutus para Rasul serta mewahyukan kepada mereka kitab suci. Allâh Azza wa Jalla berfirman dalam al-Qur’ân:

لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

Agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allâh sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [An-Nisâ/4:165]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengatakan kepada para Shahabatnya, “Tiada seorangpun dari kalian kecuali telah ditulis tempatnya di neraka atau di surga.” Mereka berkata, “Wahai Rasûlullâh! Bolehkah kami bertawakal (pasrah) saja pada ketetapan yang telah ditetapkan buat kami?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :“Tidak, akan tetapi beramallah!! karena setiap orang akan dimudahkan untuk melakukan ketetapan yang telah ditetapkan untuknya. Orang yang ditetapkan sebagai orang yang bahagia akan dimudahkan untuk beramal dengan amalan orang yang bahagia. Adapun orang yang sengsara akan dimudahkan baginya untuk beramal dengan amalan orang yang sengsara.” Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini :

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ ﴿٥﴾ وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ ﴿٦﴾ فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ ﴿٧﴾ وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ ﴿٨﴾ وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ ﴿٩﴾ فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ

Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allâh), bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil, merasa dirinya cukup dan mendustakan pahala yang terbaik, maka Kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar [Al-Lail/92:5-10] [6]

Dalam riwayat ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk berusaha dan beramal serta melarang mereka pasrah kepada takdir yang telah tertulis, karena jika seseorangtercatat sebagai penghuni surga maka dia tidak akan menjadi penghuni surga kecuali jika dia beramal dengan amalan ahli surga. Begitu juga sebaliknya, kalau dia tercatat sebagai penghuni neraka maka dia tidak akan menjadi penghuni neraka kecuali jika dia melakukan amalan ahli neraka. Amalan itu sesuai kemampuan seseorang, karena ia tahu bahwa Allâh Azza wa Jalla telah menganugerahkan kepadanya keinginan dan kesanggupan untuk melakukan suatu amalan. Dengan kemauan dan kemampuan, dia bisa berbuat atau meninggalkan sesuatu.

Sebagai contoh sederhana, seseorang yang ingin melakukan travel (perjalanan), maka dia bisa melakukan perjalanan atau berkeinginan untuk menetap di suatu tempat, maka dia bisa menetap di tempat yang diinginkanya. Begitu pula ketika seseorang yang melihat kebakaran maka ia akan lari menghindarinya, sama seperti seseorang yang melihat sesuatu yang ia sukai, maka ia akan berusaha untuk mendapatkannya. Kesimpulannya, segala ketaatan dan kemaksiatan yang diperbuat atau ditinggalkan oleh seseorang adalah berdasarkan kehendak dan keinginannya.

Ada dua syubhat (kerancuan pola pikir) yang terjadi pada sebagian masyarakat :

Syubhat Pertama : Seseorang meyakini bahwa perbuatan yang ia lakukan dan yang ia tinggalkan hanya berdasarkan kehendak saja tanpa merasakan ada unsur takdir dalam melakukan dan meninggalkan perbuatan tersebut. Lalu bagaimana membuat ini sejalan dengan konsep keimanan, bahwa segala sesuatu itu terjadi atas kehendak dan takdir Allâh?

Jawabannya adalah: Kalau kita perhatikan perbuatan dan tingkah laku seseorang manusia, maka kita akan tahu dengan jelas bahwa setiap perbuatan dan tingkah laku seseorang itu merupakan hasil dari dua sebab; yakni kehendak dan kemampuan. Karena tidak mungkin perbuatan dapat terwujud tanpa dua sebab ini, kedua sebab ini merupakan ciptaan Allâh Azza wa Jalla . Kehendak adalah hasil daya otak dan kemampuan adalah hasil daya tubuh. Seandainya Allâh Azza wa Jalla mencabut akal dan kemampuan manusia, niscaya mereka tidak akan mungkin bisa melakukan sesuatu apapun.

Kesimpulnnya, ketika seseorang memiliki keinginan kuat untuk melakukan perbuatan sampai ia bisa merealisasikannya, maka dengan tegas kita yakini bahwa sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah menghendaki dan mentakdirkan hal itu. Karena jika Allâh Azza wa Jalla tidak menghendaki hal tersebut niscaya Allâh Azza wa Jalla akan menghapus darinya keinginan atau Allâh akan menjadikan sesuatu yang dapat menghalangi kemampuannya saat hendak merealisasikan keinginan tersebut. Hal ini senada dengan tanggapan seorang arab baduwi ketika ditanya : ‘Bagaimanakah engkau dapat mengenal Allâh?’ ia menjawab :‘Aku mengenal Allâh dengan hilangnya rasa tekad dan berubahnya keinginanku’.
Syubhat Kedua : Seseorang dihukum atas perbutan maksiat dan dosa yang telah diperbuatnnya. Mengapa dia dihukum atas perbuatan maksiatnya padahal itu sudah ditakdirkan baginya serta tidak mungkin baginya untuk menghindarinya?

Ini dijawab dengan dua jawaban:

Pertama, Jika demikian pernyataan yang anda katakan, maka anda harus menyatakan ini juga! Seseorang diberikan pahala atas perbuatan baik yang ia lakukan. Mengapa dia diberikan pahala atas apa yang dia lakukan padahal itu sudah tertulis dan sudah ditakdirkan baginya serta dia tidak mampu untuk menghindar dari takdir tersebut.

Adalah suatu yang tidak adil, jika anda menjadikan takdir sebagai alasan untuk dalam perkara kemaksiatan namun tidak dalam perkara ketaatan.

Kedua : Allâh Azza wa Jalla telah mengingkari syubhat semacam ini dan mengategorikannya sebagai pernyataan tanpa ilmu sebagaimana tercantum dalam firman-Nya :

سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ ۚ كَذَٰلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّىٰ ذَاقُوا بَأْسَنَا ۗ قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا ۖ إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ

Orang-orang yang mempersekutukan Allâh akan mengatakan, “Jika Allâh menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan sesuatu apapun”. Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, “Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta” [Al-An’âm/6:148]

Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa kaum musyrikin yang berdalih dengan takdir atas perbuatan syirik yang mereka lakukan itu memiliki pendahulu. Mereka itu telah mendustakan para rasul sebagaimana yang diperbuat oleh para pendahulu mereka. Begitulah keadaan mereka sampai Allâh Azza wa Jalla murka dan menimpakan siksa-Nya kepada mereka. Seandainya dalih mereka benar, niscaya Allâh Azza wa Jalla tidak menimpakan siksa kepada mereka. Allâh Azza wa Jalla juga telah memerintahkan Nabi-Nya untuk menantang mereka agar mendatangkan bukti kebenaran dalih mereka. Juga Allâh Azza wa Jalla telah menjelaskan sesunguhnya tidak ada alasan bagi mereka untuk berdalih dengan takdir dalam melakukan kemaksiatan.

Ketiga : Takdir Allâh Azza wa Jalla itu adalah rahasia Allâh Azza wa Jalla yang tersembunyi yang hanya diketahui oleh Allâh Azza wa Jalla sampai peristiwa yang ditakdirkan itu terjadi. Darimana si pelaku maksiat itu mengetahui bahwa Allâh Azza wa Jalla telah menakdirkannya untuk melakukan perbuatan maksiat sehingga dia berani melakukannya? Bukankah ada kemungkinan, Allâh telah mentakdirkan baginya perbuatan ketaatan?! Mengapa dia tidak mendahulukan ketaatan dari pada kemaksiatan, kemudian mengatakan, “Sesungguhnya Allâh telah mentakdirkan bagiku untuk melakukan ketaatan”.

Keempat : Allâh telah mengistimewakan manusia dengan mengaruniakan akal pikiran, kemampuan untuk memahami dan menurunkan al-Qur’an, mengutus para rasul, menjelaskan kepada meraka jalan yang baik dan jalan yang buruk. Allâh Azza wa Jalla juga telah menganugerahkan kepada mereka kehendak dan kemampuan yang dengan keduanya seseorang bisa memilih jalan mana yang akan mereka tempuh? Mengapa mereka lebih memilih jalan kemaksiatan yang mendatangkan kesengsaraan dari pada jalan ketaatan yang mendatangkan manfaat?

Secara logika, jika pelaku maksiat itu hendak melakukan perjalana ke suatu negara sementara dihadapannya ada dua jalan, salah satu jalannya itu bagus dan aman, sementara yang satunya lagi sulit, rusak lagi berbahaya. Dalam keadaan seperti ini, dia pasti akan memilih jalan yang pertama dan sama sekali tidak akan memilih jalan kedua dengan dalih Allâh Azza wa Jalla telah menakdirkannya untuk menempuh jalan itu. Seandainya dia memilih jalan yang sulit lagi menakutkan itu dengan dalih takdir, pasti dia akan dianggap bodoh dan gila oleh orang banyak.

Begitu pula dalam masalah ketaatan dan kemaksiatan, tidak ada berbeda. Maka hendaklah seseorang menempuh jalan yang baik, dan janganlah tertipu untuk memilih jalan yang sesat dengan alasan itu sudah menjadi takdir baginya. Demikian pula ketika kita melihat orang-orang bekerja, bersusah payah jalan kesana kemari dalam usaha mendapatkan rezeki, mereka tidak duduk santai di rumah tanpa kerja dan usaha dengan alasan ini sudah menjadi takdir.

Dengan demikian, adakah perbedaan antara amalan dunia dan akhirat?! Jika tidak ada perbedaan antara keduanya,kenapa anda jadikan takdir sebagai alasan untuk meninggalkan ketaatan kepada Allâh, sedangkan anda tidak menjadikan takdir sebagai alasan untuk meninggalkan amalan dunia?

Sesungguhnya perkara ini sebenarnya sangat mudah dan jelas sekali, akan tetapi bisikan hawa nafsu belaka yang telah membuat hati menjadi buta dan telinga menjadi tuli.

[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVIII/1436H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]

Footnote
[1] HR. Ahmad (1/235), Abu daud di kita “al-Adab” bab “fi Raddi al-Waswasah” no hadist 5112, An-Nasai dalam As-Sunanin Al-Kubra no hadits 10503
[2] HR. Muslim dalam Shahih-nya di kitab “Al Iman”, bab “Bayan al Waswasati fil-Iman wa ma Yaquluhu man Wajadaha”, hadits no. 132
[3]HR. Bukhari dalam Shahih-nya di kitab “Bad’ul-Khalqi”, bab “Shifatu Iblisa wa Junudihi”, hadits no. 3276; dan Muslim dalam Shahih-nya di kitab “Al Iman”, bab “Bayan al Waswasati fil-Iman wa ma Yaquluhu man Wajadaha”, hadits no. 134, 214.
[4] HR Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab “As-Sunnah”, bab “Fil-Jahmiyyah”, hadits no. 4722.
[5] HR. At-Tirmidzi, kitab Al-Qodar, Bab Maa Jaa Fi Tasydid Fi Al-Khoud Fi Al-Qodar No : 2133
[6] HR. Bukhari Muslim