Mengenai kencing bayi laki-laki dan perempuan untuk pensuciannya ternyata dibedakan dalam syari’at Islam. Ini berlaku untuk bayi yang menjadikan Air Susu Ibu (ASI) sebagai kebutuhannya, belum menjadikan makanan sebagai konsumsi pokok. Kencing bayi laki-laki cukup diperciki sedangkan bayi perempuan harus dicuci sebagaimana kencing lainnya.
Dari Abu As Samh radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ
“Kencing bayi perempuan itu dicuci, sedangkan bayi laki-laki diperciki.” (HR. Abu Daud no. 376 dan An Nasai no. 305. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Yang dimaksud ‘jariyah’ dalam hadits di atas adalah bayi perempuan yang masih dalam masa menyusui. Sedangkan ‘ghulam’ yang dimaksud adalah untuk anak laki-laki hingga berusia baligh, namun kadang juga dimaksudkan untuk bayi laki-laki yang masih menyusui.
Adapun yang dimaksud ‘yughsalu’ adalah membanjiri air pada pakaian yang terkena kencing. Inilah yang diperlakukan pada bekas kencing bayi perempuan. Sedangkan bayi laki-laki cukup diperciki atau disebut dalam hadits dengan ‘yurosysyu’, dalam lafazh lain disebutkan dengan ‘yundhohu’, juga sama artinya diperciki. Maksud diperciki di sini adalah tidak membuat sampai air tersebut mengalir. Demikian keterangan dalam Minhatul ‘Allam, 1: 124 karya Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan.
Beberapa faedah dari hadits di atas:
1- Hadits di atas menunjukkan penanganan yang berbeda antara kencing bayi laki-laki dan kencing bayi perempuan. Keduanya sama-sama menggunakan air, namun cara pensuciannya yang berbeda. Kencing anak laki-laki cukup diperciki pada tempat atau pakaian yang terkena kencing. Dalam hadits lain dari Ummu Qois,
عَنْ أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ مِحْصَنٍ أَنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيرٍ ، لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ، فَأَجْلَسَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى حِجْرِهِ ، فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ ، فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ
Dari Ummu Qois binti Mihshon, bahwasanya ia datang dengan anak laki-lakinya yang masih kecil dan anaknya tersebut belum mengkonsumsi makanan. Ia membawa anak tersebut ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau lantas mendudukkan anak tersebut di pangkuannya. Anak tersebut akhirnya kencing di pakaian beliau. Beliau lantas meminta diambilkan air dan memercikkan bekas kencing tersebut tanpa mencucinya. (HR. Bukhari no. 223 dan Muslim no. 287). Sedangkan bayi perempuan tetap dicuci seperti kencing lainnya.
2- Anak laki-laki yang kencingnya diperciki adalah yang belum mengkonsumsi makanan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Ummu Qois di atas. Yang dimaksud adalah belum menjadi makanan sebagai kebutuhan pokoknya, kebutuhan pentingnya hanyalah ASI (Air Susu Ibu). Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin mengatakan bahwa makanan yang dikonsumsi sudah menggantikan susu (ASI) atau lebih dari itu. Adapun jika makanan sudah jadi kebutuhan yang lebih dari ASI, maka tetap dianggap ia sudah jadikan makanan sebagai kebutuhannya dan makanan itulah yang dimenangkan. Lihat Fathu Dzil Jalali wal Ikrom, 1: 214.
Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah bayi tersebut belum tertarik pada makanan.
Bukan dimaksud di sini bahwa bayi tersebut tidak mengkonsumsi makanan sama sekali karena ketika lahir pun ia sudah diberi obat, gula, dan ditahnik dengan kurma. Namun jika bayi tersebut sudah mengkonsumsi makanan secara rutin walaupun kadang-kadang masih mengkonsumsi ASI, tetap kencingnya dianggap seperti kencing orang dewasa yang mesti dicuci, tidak cukup diperciki.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Kencing bayi laki-laki diperciki selama ia masih menyusui. Adapun jika ia sudah mengkonsumsi makanan sebagai kebutuhan pokoknya, maka wajib kencing tersebut dicuci tanpa ada perselisihan di antara para ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 3: 174).
3- Kencing bayi laki-laki diperlakukan berbeda dengan bayi perempuan karena beberapa alasan:
a- Bayi laki-laki lebih sering dimomong (digendong), maka seringnya kencingnya ditemukan sehingga diperingan cukup diperciki dan tidak dicuci.
b- Bayi laki-laki tidak kencing di satu tempat saja, namun bisa berpindah-pindah. Hal ini berbeda dengan kencing bayi perempuan.
4- Hadits ini tidak menunjukkan bahwa kencing bayi laki-laki tidak najis. Kencing tersebut tetap najis namun cara pensuciannya yang berbeda. Imam Nawawi rahimahullahberkata, “Sebagian ulama Syafi’iyah menukil adanya ijma’ akan najisnya kencing bayi laki-laki. Para ulama tidak berselisih pendapat dalam hal ini kecuali Daud Azh Zhohiri.” (Syarh Shahih Muslim, 3: 173).
5- Hadits ini dipahami bahwa selain kencing -semisal kotoran bayi- diperlakukan seperti najis lainnya. Yang dibedakan di sini hanyalah dalam pensucian kencing.
6- Hukum laki-laki dan perempuan itu berbeda dalam masalah kencing bayi saja dibedakan. Maka jelas kelirunya ajaran ‘persamaan gender’ yang ingin selalu menyamakan laki-laki dan perempuan.
Semoga sajian singkat ini bermanfaat bagi para pembaca yang dianugerahkan bayi saat ini. Hanya Allah yang beri taufik.
[Http://Cerkiis.blogspot.com, artikel: rumaysho. @ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 10 Rajab 1434 H.]
يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ
“Kencing bayi perempuan itu dicuci, sedangkan bayi laki-laki diperciki.” (HR. Abu Daud no. 376 dan An Nasai no. 305. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Yang dimaksud ‘jariyah’ dalam hadits di atas adalah bayi perempuan yang masih dalam masa menyusui. Sedangkan ‘ghulam’ yang dimaksud adalah untuk anak laki-laki hingga berusia baligh, namun kadang juga dimaksudkan untuk bayi laki-laki yang masih menyusui.
Adapun yang dimaksud ‘yughsalu’ adalah membanjiri air pada pakaian yang terkena kencing. Inilah yang diperlakukan pada bekas kencing bayi perempuan. Sedangkan bayi laki-laki cukup diperciki atau disebut dalam hadits dengan ‘yurosysyu’, dalam lafazh lain disebutkan dengan ‘yundhohu’, juga sama artinya diperciki. Maksud diperciki di sini adalah tidak membuat sampai air tersebut mengalir. Demikian keterangan dalam Minhatul ‘Allam, 1: 124 karya Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan.
Beberapa faedah dari hadits di atas:
1- Hadits di atas menunjukkan penanganan yang berbeda antara kencing bayi laki-laki dan kencing bayi perempuan. Keduanya sama-sama menggunakan air, namun cara pensuciannya yang berbeda. Kencing anak laki-laki cukup diperciki pada tempat atau pakaian yang terkena kencing. Dalam hadits lain dari Ummu Qois,
عَنْ أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ مِحْصَنٍ أَنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيرٍ ، لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ، فَأَجْلَسَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى حِجْرِهِ ، فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ ، فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ
Dari Ummu Qois binti Mihshon, bahwasanya ia datang dengan anak laki-lakinya yang masih kecil dan anaknya tersebut belum mengkonsumsi makanan. Ia membawa anak tersebut ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau lantas mendudukkan anak tersebut di pangkuannya. Anak tersebut akhirnya kencing di pakaian beliau. Beliau lantas meminta diambilkan air dan memercikkan bekas kencing tersebut tanpa mencucinya. (HR. Bukhari no. 223 dan Muslim no. 287). Sedangkan bayi perempuan tetap dicuci seperti kencing lainnya.
2- Anak laki-laki yang kencingnya diperciki adalah yang belum mengkonsumsi makanan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Ummu Qois di atas. Yang dimaksud adalah belum menjadi makanan sebagai kebutuhan pokoknya, kebutuhan pentingnya hanyalah ASI (Air Susu Ibu). Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin mengatakan bahwa makanan yang dikonsumsi sudah menggantikan susu (ASI) atau lebih dari itu. Adapun jika makanan sudah jadi kebutuhan yang lebih dari ASI, maka tetap dianggap ia sudah jadikan makanan sebagai kebutuhannya dan makanan itulah yang dimenangkan. Lihat Fathu Dzil Jalali wal Ikrom, 1: 214.
Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah bayi tersebut belum tertarik pada makanan.
Bukan dimaksud di sini bahwa bayi tersebut tidak mengkonsumsi makanan sama sekali karena ketika lahir pun ia sudah diberi obat, gula, dan ditahnik dengan kurma. Namun jika bayi tersebut sudah mengkonsumsi makanan secara rutin walaupun kadang-kadang masih mengkonsumsi ASI, tetap kencingnya dianggap seperti kencing orang dewasa yang mesti dicuci, tidak cukup diperciki.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Kencing bayi laki-laki diperciki selama ia masih menyusui. Adapun jika ia sudah mengkonsumsi makanan sebagai kebutuhan pokoknya, maka wajib kencing tersebut dicuci tanpa ada perselisihan di antara para ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 3: 174).
3- Kencing bayi laki-laki diperlakukan berbeda dengan bayi perempuan karena beberapa alasan:
a- Bayi laki-laki lebih sering dimomong (digendong), maka seringnya kencingnya ditemukan sehingga diperingan cukup diperciki dan tidak dicuci.
b- Bayi laki-laki tidak kencing di satu tempat saja, namun bisa berpindah-pindah. Hal ini berbeda dengan kencing bayi perempuan.
4- Hadits ini tidak menunjukkan bahwa kencing bayi laki-laki tidak najis. Kencing tersebut tetap najis namun cara pensuciannya yang berbeda. Imam Nawawi rahimahullahberkata, “Sebagian ulama Syafi’iyah menukil adanya ijma’ akan najisnya kencing bayi laki-laki. Para ulama tidak berselisih pendapat dalam hal ini kecuali Daud Azh Zhohiri.” (Syarh Shahih Muslim, 3: 173).
5- Hadits ini dipahami bahwa selain kencing -semisal kotoran bayi- diperlakukan seperti najis lainnya. Yang dibedakan di sini hanyalah dalam pensucian kencing.
6- Hukum laki-laki dan perempuan itu berbeda dalam masalah kencing bayi saja dibedakan. Maka jelas kelirunya ajaran ‘persamaan gender’ yang ingin selalu menyamakan laki-laki dan perempuan.
Semoga sajian singkat ini bermanfaat bagi para pembaca yang dianugerahkan bayi saat ini. Hanya Allah yang beri taufik.
[Http://Cerkiis.blogspot.com, artikel: rumaysho. @ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 10 Rajab 1434 H.]