Rabu, 07 Juni 2017

Bekam, Sunnah atau Bukan Sunnah ?

Bekam, Sunnah atau Bukan Sunnah ?
Fiqh Ulama

Tanya : Assalamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakatuh. Saya mau nanya tentang bekam. Sebenarnya bekam itu termasuk sunnah atau bukan sunnah ? karena ada yang mengatakan bahwa bekam itu bukan termasuk sunnah Nabi. Terima kasih atas jawabannya.

Jawab : Wa’alaikumus-salaam warahmatullaahi wabarakatuh. Terima kasih pula atas pertanyaannya. Ada beberapa hadits yang berkaitan dengan bekam di antaranya :

أَخْبَرَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: ثنا الْمُعْتَمِرُ، عَنْ حُمَيْدٍ، عَنْ أَنَسٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " أَفْضَلُ مَا تَدَاوَيْتُمْ بِهِ الْحِجَامَةُ، وَالْقُسْطُ الْبَحْرِيُّ "

Telah mengkhabarkan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim[1], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Mu’tamir[2], dari Humaid[3], dari Anas[4] : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sebaik-baik pengobatan yang kalian berobat dengannya adalah bekam dan al-qusthul-bahr” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 7537; shahih].

Dalam jalur lain, disebutkan dengan lafadh yang mengandung perintah :

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَّاحِ، نَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَطَاءٍ، نَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: عَلَيْكُمْ بِالْحِجَامَةِ وَالْقُسْطِ الْبَحَرِيِّ.

Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Ash-Shabbaah[5] : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdul-Wahhaab bin ‘Athaa’[6] : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid[7], dari Qataadah[8], dari Anas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Hendaknya kalian melakukan bekam dan terapi al-qusthul-bahr” [Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 7098].

Sanad riwayat ini hasan.

Al-Hasan bin Ash-Shabbaah mempunyai mutaba’ah dari Ibnu Sa’d sebagaimana dalam Thabaqaat-nya 1/218 dan Umayyah bin Bisthaam sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath 3/170 no. 2831 – dengan lafadh sebagaimana dibawakan An-Nasaa’iy.

Perintah untuk berbekam ini lebih dikhususkan pada waktu-waktu tertentu sebagaimana riwayat :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ الْحَارِثِيُّ، ثنا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ الْجُعْفِيُّ، عَنْ حَمْزَةَ الزَّيَّاتِ، عَنْ أَبَانِ بنِ صَالِحٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " احْتَجِمُوا لِخَمْسَ عَشْرَةَ، وَفِي سَبْعَ عَشْرَةَ، أَوْ تِسْعَ عَشْرَةَ، أَوْ إِحْدَى وَعِشْرِينَ، لا يَتَبَيَّغْ بِكُمُ الدَّمُ "

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ya’quub[9] : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdil-Hamiid Al-Haaritsiy[10] : Telah menceritakan kepada kami Husain bin ‘Aliy Al-Ju’fiy[11], dari Hamzah Az-Zayyaat[12], dari Abaan bin Shaalih[13], dari Anas, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Berbekamlah pada tanggal 15, 17, 19, atau 21. Jangan sampai darahmu bergolak “ [Al-Amaaliy, no. 331].

Sanad riwayat ini shahih.

Abaan mempunyai mutaba’aat dari :
1.     An-Nahhaas bin Qahm Al-Qaisiy; sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 3486, namun sanadnya sangat lemah, terutama disebabkan oleh ‘Utsmaan bin Mathr Asy-Syaibaaniy, munkarul-hadiits.
2.     Mu’aawiyyah bin Qurrah Al-Muzanniy; sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa, 9/340 dengan sanad lemah. Kelemahannya terletak pada Zaid Al-Hawaariy Al-‘Ammiy.
3.     Qataadah bin Di’aamah; sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 5652, namun sanadnya sangat lemah dikarenakan Yuusuf bin ‘Athiyyah Ash-Shaffaar, seorang yang tertuduh memalsukan hadits.
Hadits Anas ini mempunyai syaahid dari Ibnu ‘Abbaas dengan sanad lemah sebagaimana diterangkan oleh Al-Albaaniy dalam Adl-Dla’iifah no. 1863.

Juga dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu :

حَدَّثَنَا أَبُو تَوْبَةَ الرَّبِيعُ بْنُ نَافِعٍ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْجُمَحِيُّ، عَنْ سُهَيْلٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنِ احْتَجَمَ لِسَبْعَ عَشْرَةَ، وَتِسْعَ عَشْرَةَ، وَإِحْدَى وَعِشْرِينَ، كَانَ شِفَاءً مِنْ كُلِّ دَاءٍ "

Telah menceritakan kepada kami Abu Taubah Ar-Rabii’ bin Naafi’ : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin bin ‘Abdirrahmaan Al-Jumahiy, dari Suhail, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang berbekam pada tanggap 17, 19, atau 21, maka ia menjadi obat bagi segala macam penyakit” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3861; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud, 2/463].

Perintah berbekam dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ini didasari oleh perintah malaikat saat beliau israa’, sebagaimana yang beliau sabdakan :

ما مررت ليلة أسري بي بملإ من الملائكة ، إلا كلهم يقول لي : عليك يا محمد بالحجامة

“Tidaklah aku melewati satu malaikat pada malam aku di-isra’-kan, kecuali mereka semua berkata kepadaku : “Lakukanlah bekan wahai Muhammad”.

Di lain lafadh :

مُرْ أُمَّتَكَ بِالْحِجَامَةِ

‘Perintahkanlah umatmu untuk berbekam” [lihat : Ash-Shahiihah no. 2263].

Tidaklah malaikat memerintahkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kecuali perintah itu datang dari Allah ta’ala[14] yang mengandung kebaikan.

Dari beberapa hadits di atas dapat kita ambil beberapa faedah, bahwasannya bekam :

a.     adalah sebaik-baik pengobatan;

b.     diperintahkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam;

c.      diperintahkan oleh malaikat;

Bahkan dalam satu hadits disebutkan bahwa bekam terkandung barakah :

الْحِجَامَةُ عَلَى الرِّيقِ أَمْثَلُ، وَفِيهَا شِفَاءٌ وَبَرَكَةٌ، وَهِيَ تَزِيدُ فِي الْعَقْلِ، وَتَزِيدُ فِي الْحِفْظِ، وَتَزِيدُ الْحَافِظَ حِفْظًا......

“Berbekam sebelum makan pagi sangat baik, karena padanya terdapat obat dan barakah, dapat menambah kecerdasan dan hapalan. Menambah hapalan seorang penghapal....” [lihat : Ash-Shahiihah no. 766].

Seandainya hadits ini shahih,[15] maka aktifitas berbekam merupakan aktifitas tabarruk, dan tabarruk sendiri adalah ibadah.

Dari sini dapat diketahui – sebagaimana hal yang Anda tanyakan di atas – bahwa bekam itu merupakan sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu, sunnah dalam pengobatan yang dilakukan ketika ada kebutuhan.[16] Inilah yang dikatakan beberapa ulama kita.[17]

Tentu saja, Allah ta’ala akan memberikan pahala dan kebaikan bagi siapa saja yang melakukannya (karena mencontoh Nabinya shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Wallaahu a’lam.

Semoga jawaban ringkas ini ada manfaatnya.

[Cerkiis.blogspot.com, Penulis: Ustadz Abul Jauzaa – wonokarto, wonogiri – 25032012].

Footnote :

[1]      Ishaaq bin Ibraahiim bin Habiib bin Asy-Syahiid, Abu Ya’quub Al-Bashriy Asy-Syahiidiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, wafat tahun 257 H. Dipakai oleh Abu Daawud dalam Al-Maraasiil, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 125 no. 326].

[2]      Mu’tamir bin Sulaimaan bin Tharkhaan At-Taimiy, Abu Muhammad Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 106 H, dan wafat tahun 187 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 958 no. 6833].

[3]      Humaid bin Abi Humaid Ath-Thawiil Al-Bashriy, Abu ‘Ubaidah Al-Khuzaa’iy; seorang yang tsiqah, namun sering melakukan tadliis. Termasuk thabaqah ke-5, lahir tahun 68 H, dan wafat tahun 142/143 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 274 no. 1553].

[4]      Anas bin Maalik bin An-Nadlr bin Dlamdlam bin Zaid bin Haraam bin Jundab bin ‘Aamir bin Ghunm bin ‘Adiy bin An-Najjaar Al-Anshaariy An-Najjaariy, Abu Hamzah Al-Madaniy; salah seorang shahabat masyhuur. Wafat tahun 93 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 154 no. 570].

[5]      Al-Hasan bin Ash-Shabbaah bin Muhammad Al-Bazzaar, Abu ‘Aliy Al-Waasithiy tsumma Al-Baghdaadiy; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : ‘jujur namun sering ragu (yahimu)’. Ahmad berkata : “Tsiqah, shaahibus-sunnah”. Abu Haatim berkata : “Shaduuq” Muhammad bin Jum’ah Al-Haafidh berkata : “Salah seorang dari kalangan orang-orang shaalih”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak kuat (laisa bil-qawiy)”. Di lain tempat ia berkata : “Shaalih”.  Oleh karenannya yang benar tentang dirinya bahwasannya ia seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 249 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib hal. 239 no. 1261 dan Tahriirut-Taqriib 1/274-275 no. 1251].

[6]      ‘Abdul-Wahhaab bin ‘Athaa’ Al-Khaffaaf, Abu Nashr Al-‘Ijliy; seorang yang shaduuq, namun kadang keliru. Termasuk thabaqah ke-9, wafat tahun 204 H atau 209 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Khalqu Af’aalil-‘Ibaad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 633 no. 4290]. Perinciannya adalah sebagai berikut :

‘Abdul-Wahhaab, ia adalah Ibnu ‘Athaa’ Al-Khaffaaf; seorang yang diperselisihkan. Ahmad berkata : “Dla’iiful-hadiits, mudltharib” [Mausu’ah Aqwaal Al-Imam Ahmad, 2/399]. Telah berkata ‘Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimiy dan Abu Bakr bin Abi Khaitsamah, dari Yahyaa bin Ma’iin : “Tidak mengapa dengannya”. Telah berkata Al-Ghallaabiy dari Yahyaa bin Ma’iin : “Ditulis haditsnya”. Dan telah berkata ‘Abbaas Ad-Duuriy dari Yahyaa bin Ma’iin : “Tsiqah”. As-Saajiy berkata : “Shaduuq, namun tidak kuat”. Ibnu Abi Haatim berkata : Aku pernah bertanya kepada ayahku tentangnya, lalu ia menjawab : ‘Tempatnya kejujuran’. Aku bertanya lagi : ‘Apakah ia lebih engkau senangi ataukah Abu Zaid An-Nahwiy dalam riwayat Ibnu Abi ‘Aruubah ?’. Ia menjawab : ‘’Abdul-Wahhaab di sisi mereka bukanlah seorang yang kuat dalam hadits”. Ibnu Sa’d berkata : “Ia seorang yang shaduuq, insya Allah”. Ibnu Hibbaan dan Ibnu Syaahiin menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Ad-Daaruquthniy berkata : “Tsiqah”. Al-Bukhaariy berkata : “Ditulis haditsnya,….aku harapkan (haditsnya dapat dipergunakan sebagai hujjah)”. An-Nasaa’iy dan Ibnu ‘Adiy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Al-Hasan bin Sufyaan berkata : “Tsiqah”. Al-Bazzaar berkata : “Tidak kuat. Namun para ulama telah membawakan haditsnya” [lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 6/450-453 no. 838]. Adz-Dzahabiy berkata : “Shaduuq” [Miizaanul-I’tidaal, 2/681 no. 5322].

Kesimpulannya, ia seorang yang shaduuq. Wallaahu a’lam.

[7]      Sa’iid bin Abi ‘Aruubah Mihraan Al-‘Adawiy, Abun-Nadlr Al-Yasykuriy Al-Bashriy; seorang yang tsiqah haafidh, mempunyai banyak tulisan, akan tetapi banyak melakukan tadliis dan tercampur hapalannya (di akhir usianya). Ia orang yang paling tsabt dalam periwayatan hadits Qataadah. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 156 H/157 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 384 no. 2378 dan Ar-Ruwaatuts-Tsiqaat Al-Mutakallamu fiihim bimaa Laa Yuujibu Raddahum oleh Adz-Dzahabiy, hal. 97 no. 37].

Ibnu Hajar memasukkannya dalam thabaqah kedua perawi mudallis [Thabaqaatul-Mudallisiin, no. 50].
Catatan : ‘Abdul-Wahhaab bin ‘Athaa’ mendengar hadits sebelum ikhtilaath-nya, dan sekaligus orang yang paling tahu tentang hadits Sa’iid bin Abi ‘Aruubah sebagaimana dikatakan Ahmad bin Hanbal rahimahullah.

[8]      Qataadah bin Di’aamah bin Qataadah As-Saduusiy, Abul-Khaththaab Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun banyak melakukan tadliis. Termasuk thabaqah ke-4, lahir tahun 60 H/61 H, dan wafat tahun 117 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal. 798 no. 5553, Ta’riifu Ahlit-Taqdis hal. 102 no. 92, Al-Mudallisiin lil-‘Iraaqiy hal. 79-80 no. 49, dan Riwaayaatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy hal. 483-484].

[9]      Muhammad bin Ya’quub bin Yuunus bin Ma’qil bin Sinaan, Abul-‘Abbaas – terkenal dengan nama Al-Asham; seorang muhaddits di jamannya, tsiqah, ma’muun, tidak diperselisihkan tentang kejujuran dan keshahihan penyimakan haditsnya [lihat Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 15/452-460 no. 258].
[10]     Ahmad bin ‘Abdil-Hamiid bin Khaalid, Abu Ja’far Al-Haaritsiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah [Mausu’ah Aqwaal Ad-Daaruquthniy, hal. 72 hal. 259].

[11]     Al-Husain bin ‘Aliy bin Al-Waliid Al-Ju’fiy, Abu ‘Abdillah/Muhammad Al-Kuufiy Al-Muqri’; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 203 H/204 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 249 no. 1344].

[12]     Hamzah bin Habiib bin ‘Ammaarah Az-Zayyaat Al-Qaari’, Abu ‘Ammaarah Al-Kuufiy At-Taimiy; seorang yang shaduuq, zaahid, namun kadang ragu. Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 80 H, dan wafat 156 H/157 H. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 271 no. 1526]. Namun yang benar ia seorang yang lebih mendekati tsiqah. Telah di-tsiqah-kan oleh Ahmad, Ibnu Ma’iin, Ibnu Hibbaan, Al-‘Ijliy, dan Al-Fasawiy. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Ibnu Sa’d berkata : “Ia seorang laki-laki shaalih, memiliki beberapa hadits, shaduuq, lagi shaahibus-sunnah”. Adapun Al-Azdiy dan As-Saajiy mengkritik bahwa ia jelek hapalannya. Sudah dimaklumi bahwasannya keduanya (As-Saajiy dan Al-Azdiy) adalah sangat ketat dalam penilaian perawi [lihat : Tahriirut-Taqriib, 1/322 no. 1518].

[13]     Abaan bin Shaalih bin ‘Umair Al-Qurasyiy, Abu Bakr Al-Madaniy atau Al-Makkiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-5, lahir tahun 60 H, dan wafat tahun 115 H (dalam usia 55 tahun). Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 103 no. 138].

[14]     Karena Allah ta’ala berfirman :

لا يَسْبِقُونَهُ بِالْقَوْلِ وَهُمْ بِأَمْرِهِ يَعْمَلُونَ

“Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya" [QS. Al-Anbiyaa' : 27].

Ayat ini memberikan penjelasan bahwa para malaikat adalah makhluk yang tidak akan pernah mendahului Allah ta'ala dalam hal perintah (dan larangan)-Nya.

[15]     Saya pribadi masih ada sedikit ganjalan terhadap keshahihan hadits ini, wallaahu a’lam.

[16]     Seandainya bekam dikeluarkan dari lingkup sunnah secara mutlak, lantas apa faedahnya malaikat menyuruh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam agar berbekam, dan kemudian beliau pun memerintahkan umatnya untuk berbekam ?. Apa pula faedahnya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya berbekam pada waktu-waktu khusus yang beliau katakan mempunyai faedah dan keutamaan (sehingga bisa dimasukkan dalam sunnah) ?.

[17]     Baca : http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=28338

TANYA JAWAB

Tanya :
Assalamu`alaikum, Hanya menurut www.ustadzaris.com dan ana menguatkan pendapat dari Syaikh Abdurrahman bin Nashir al Barrak:

Bekam Bukan Sunnah Nabi 

Published: 29 Februari 2012Posted in: Bimbingan Islam, Konsultasi

السائل يقول: الحجامة هل هي سنة؟

Pertanyaan:

Apakah bekam itu terhitung sunnah Nabi [baca: amalan ibadah]?

فالحجامة نوع من الاستطباب والعلاج وهي نوع من الأمور العادية، لا من الأمور التعبدية. وما يفعله الرسول من الأمور العادية يدل على جوازه فالحجامة جائزة قط

Jawaban Syaikh Abdurrahman bin Nashir al Barrak:

Bekam adalah salah satu metode pengobatan, terapi penyakit sehingga dia tergolong perkara ‘adah [baca: non ibadah], bukan perkara ibadah.

Perkara non ibadah yang Nabi lakukan itu menunjukkan bolehnya hal tersebut. Sehingga kesimpulannya, bekam itu hanya kita nilai hanya sebagai perkara mubah [bukan sunnah Nabi yang minimal hukumnya adalah dianjurkan, pent].

Rekaman fatwa beliau mengenai hal di atas bisa di simak di link berikut ini: http://www.islamlight.net/albarrak/sounds/save/tagryrat/a131.rm

Wallahu`alam

Jawaban Abu Al-Jauzaa' :
Logika Hujjah Bekam Bukan Sunnah :

"Berobat adalah perkara adat, sehingga berkam juga masuk perkara adat. Ia hanya salah satu metode dalam berobat".

====

Saya ajak mengqiyaskan logika itu ke yang lain. Cermati hadits berikut :

الْبِسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فإنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكمْ، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُم

“Pakailah pakaian-pakaian kalian yang berwarna putih, sesungguhnya itu merupakan pakaian kalian yang terbaik, dan hendaknya kalian mengkafani mayat-mayat kalian dengan kain putih” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no 3878, At-Tirmidzi no 944, Ibnu Majah no 1472, Ahmad no 3332, dan hadits ini dishahihkan oleh Ibnul Mulaqqin dalam al-Badr al-Muniir 4/671, Ahmad Syakir dalam tahqiq Musnad Ahmad 5/143, dan Al-Albani dalam Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah hal 82].

Konsekuensi logika bekam di atas : Pakaian adalah masalah adat, jadi warna putih dalam hadits di atas juga adat. Bukan sunnah.

Namun kalau kita menuruti logika di atas, maka itu bertentangan dengan perkataan beberapa ulama dalam kitab-kitab mereka. Sudah masyhur dalam perkataan mereka bahwa pakaian putih itu disunnahkan. Misalnya saja An-Nawawiy rahimahullah memasukkan hadits tersebut dalam kitab Rayaadlush-Shaalihiin :

باب استحباب الثوب الأبيض وجواز الأحمر والأخضر والأصفر والأسود وجوازه من قطن وكتّان وشعر وصوف وغيرها إلا الحرير

"Baab istihbaab (disunnahkannya/disukainya) pakaian berwarna putih, dan diperbolehkannya warna merah,...dst."

Jika kita cermati hadits bekam dan pakaian, maka sama. Pada hadits-hadits bekam ada lafadh perintah, yaitu perintah dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam - sama seperti hadits pakaian di atas. Ia juga diperintahkan oleh malaikat (kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam), dimana diketahui bahwa perintah malaikat itu datang dari Allah. Keterangannya ada di artikel di atas. Bekam juga disebut sebaik-baik pengobatan, sebagaimana putih disebut sebagai sebaik-baik warna pakaian.

Pendek kata, saya condong pada pendapat yang mengatakan bahwa bekam itu adalah sunnah dalam pengobatan, sebagaimana putih merupakan sunnah dalam berpakaian.

wallaahu a'lam.