Minggu, 20 November 2016

Mubaahalah Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy tentang Kekafiran Ibnu ‘Arabiy Ash-Shuufiy


Al-Imaam Burhaanuddiin Al-Biqaa’iy rahimahullah berkata:

Telah menceritakan kepada kami Syaikh kami, Syaikhul-Islaam Haafidhul-‘Ashr, Qaadli Al-Qudlaat, Abul-Fadhl Syihaabuddiin Ahmad bin ‘Aliy bin Hajar Al-Kinaaniy Al-‘Asqalaaniy, Al-Mishriy Asy-Syaafi’iy; kemudian aku melihat adanya penukilan (peristiwa ini) dari kitab Al-Haafidh Taqiyyuddiin Al-Faasiy tentang pengkafiran Ibnu ‘Arabiy, dimana syaikh kami (Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy) telah memperbaiki sebagian tulisannya dengan tangannya sendiri. Ia (Ibnu Hajar) berkata:

“Pada jaman pemerintahan Adh-Dhaahir Al-Burquuq, ada seseorang yang bernama Ibnul-Amiin yang sangat fanatik terhadap Ibnu ‘Arabiy, penulis kitab Al-Fushuush. Dan aku termasuk orang yang banyak menjelaskan aibnya, menampakkan kejelekan dan kejahatannya. Dan di Mesir waktu itu juga, terdapat seorang syaikh bernama Asy-Syaikh Shafaa, punya kedekatan dengan Adh-Dhaahir. Ibnul-Amiin mengancamku dengan melaporkanku kepadanya (Asy-Syaikh Shafaa) sehingga ia menyebutkan di hadapan sulthaan bahwa di Mesir ada sekelompok orang – aku termasuk diantaranya – yang membicarakan orang-orang shaalih dengan keburukan dan yang semisalnya. Pada waktu itu, banyak terjadi kedhaliman, musibah, dan kerugian yang amat sangat. Dan kebetulan waktu itu aku mempunyai harta, sehingga aku khawatir ia (sulthaan) akan menghukumku dan aku pun takut akan bencana yang ditimbulkan olehnya (kepadaku).

Aku berkata (kepada Ibnul-Amiin) :
“Sesungguhnya di sini ada sesuatu yang lebih dekat  dari yang engkau inginkan. Yaitu sesuatu yang sebagian Huffaadh katakan sebagai ketetapan istiqraa’ ketika ada dua orang yang bermubahalah (saling mendoakan laknat Allah) atas sesuatu perkara, kemudian berlalu satu tahun bagi orang yang berada di atas kebathilan di antara mereka berdua. Maka marilah kita bermubahalah untuk mengetahui siapakah yang berada di atas kebenaran di antara kita dan siapa pula yang berada di atas kebathilan”.

Maka aku dan dia bermubahalah. Aku katakan kepadanya : “Katakan : ‘Ya Allah, apabila Ibnu ‘Arabiy berada di atas kesesatan, maka laknatlah aku dengan laknat-Mu”. Lalu ia mengatakannya. Setelah itu aku berkata : “Ya Allah, seandainya Ibnu ‘Arabiy berada di atas petunjuk, maka laknatlah aku dengan laknat-Mu”. Kemudian kami berpisah.

Dulu ia tinggal di Raudlah. Salah seorang anak tentara pernah menjamunya. Karena satu alasan, ia meninggalkan mereka. Ia keluar di awal waktu malam, dan mereka pun keluar mengikutinya untuk mengawalnya. (Dalam perjalanan) ia merasakan sesuatu yang melintas di kakinya. Ia berkata kepada shahabat-shahabatnya : “Ada sesuatu yang halus melewati kakiku. Coba kalian periksa apakah itu”.

Mereka pun memeriksanya, namun tidak menemukan apapun. Ia meneruskan perjalanannya. Tidaklah ia sampai ke rumahnya, kecuali ia dalam keadaan buta. Dan tidaklah tiba waktu Shubuh, kecuali ia telah meninggal. Peristiwa itu terjadi pada bulan Dzulqa’dah tahun 797 H, sedangkan mubahalah dilakukan pada bulan Ramdlaan tahun tersebut. Sewaktu mubahalah terjadi, aku diberitahu oleh orang yang hadir bahwa orang yang berada di atas kebathilan dalam mubahalah tidak akan hidup lebih dari satu tahun (pasca mubahalah). Dan hal itu memang terjadi, segala puji bagi Allah. Aku pun merasa lega dari kejahatannya dan merasa aman dari perbuatan makarnya....”

[Cerkiis.blogspot.com, Sumber : selesai – diambil dari kitab Tanbiihul-Ghabiy ilaa Takfiiriy Ibnil-‘Arabiy oleh Burhaanuddiin Al-Biqaa’iy, hal. 149-150, tahqiiq & ta’liiq : ‘Abdurrahmaan Al-Wakiil; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cet. Thn. 1400 H – abul-jauzaa’, perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 10061435/10042014 – 23:50].