Jumat, 13 Mei 2016

Kedatangan Rasullullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam Di Madinah

Kedatangan Rasullullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam Di Madinah


BAHASAN : SIRAH NABI

KEDATANGAN RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DI MADINAH


Begitu terdengar keberangkatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah dari Makkah menuju Madinah, maka kaum Anshâr keluar dari rumah-rumahnya untuk menunggu kedatangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menunggu kedatangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap hari pada hari masih pagi. Jika panas sudah terik, mereka pun kembali pulang ke rumah masing-masing. Demikian Imam Bukhâri rahimahullah, Ibnu Ishâq, al Hâkim dan ulama lainnya meriwayatkan.

Dan seperti biasa, hari Senin, 12 Rabi’ul Awal tahun ke-14 kenabian (tahun pertama hijriyah, bertepatan 23 September 622 M)[1], kaum Anshar keluar menunggu kedatangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika panas sudah terik, mereka pun kembali ke rumah masing-masing. Saat itu, ada seorang Yahudi sedang naik di salah satu bangunan yang tinggi di Madinah untuk suatu keperluannya. Seketika ia melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya, maka diapun berseru: “Wahai orang-orang Arab,[2] inilah kakek kalian yang kalian tunggu”.

Sehingga sontak kaum muslimin yang mendengar seruan orang Yahudi itu bangkit mengambil senjata-senjata mereka, menyongsong kedatangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di tempat mereka yang merupakan daerah bebatuan. Suara riuh dan takbir menggema di Bani Amr bin ‘Auf. Kaum muslimin merasa sangat bahagia dan berduka cita dengan kedatangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menyambut dan menghormatinya sebagai seorang nabi. Sebagian kaum muslimin yang belum pernah berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghormati Abu Bakar sebagaimana menghormati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena mengira dialah Nabi yang dimaksudkan.

Ketika panas kian terik, Abu Bakar Radhiyallahu anhu berdiri dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berteduh pada selendang Abu Bakar Radhiyallahu anhu. Sehingga kaum muslimin pun mengerti mana yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam [3]. Mereka pun berkumpul di sekitar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengerumuninya. Nampak ketenangan menaungi mereka, dan saat itu turun wahyu kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلَاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَالْمَلَائِكَةُ بَعْدَ ذَٰلِكَ ظَهِيرٌ

Maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. [at-Tahrîm/66 : 4]

Kaum wanita dan para budak berseru menyambut kedatangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang … Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang … Allahu Akbar … Muhammad datang”.

Abu Darda` Radhiyallahu anhu, salah satu yang menyaksikan peristiwa ini mengisahkan: “Aku tidak pernah melihat penduduk Madinah lebih bergembira dengan sesuatu sebagaimana kegembiraan mereka dengan kedatangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. [HR al-Bukhâri dalam al-Fath ,7/260].[4]

Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan dan singgah di Quba’ di daerah Bani Amr bin ‘Auf. Di daerah itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal selama 14 hari dan mendirikan masjid pertama setelah hijrah, yaitu biasa disebut dengan Masjid Quba`.

Ketika hendak memasuki Madinah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim pesan kepada para pembesar Bani Najar, dan mereka pun berdatangan dengan pedang terhunus. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengendarai tunggangannya lagi ditemani Abu Bakar Radhiyallahu anhu, berjalan ke arah Madinah. Ketika sampai di daerah Bani Salim bin ‘Auf, mereka mendapati hari Jum’at. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat Jum’at di suatu lembah bersama para sahabatnya yang berjumlah sekitar seratus orang[5] . Ini merupakan shalat Jum’at pertama yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam kota.[6]

Setelah menunaikan shalat Jum’at, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya memasuki Madinah dalam suasana penuh gembira. Tidak ada satupun rumah yang dilalui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali penghuninya memegang tali kekang tunggangannya dan berharap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal bersama mereka. Tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Biarkanlah (ia berjalan), karena sesungguhnya dia ada yang menyuruhnya!”

Unta tunggangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus berjalan hingga sampai di Bani Nujjar, tempat masjid Nabawi sekarang ini. Unta itupun berhenti, namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak turun dari atas punggungnya. Unta itu bangkit, dan ia berjalan lagi. Tidak beberapa lama, unta tunggangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menoleh dan kembali ke tempat pemberhentian yang pertama, yaitu di daerah Bani Nujjâr, tepat di depan rumah Abu Ayyûb al-Anshâri Radhiyallahu anhu. Akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam turun.

Melihat hal ini, Abu Ayyûb Radhiyallahu anhu bergegas menghampiri barang bawaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejurus kemudian memasukkannya ke dalam rumahnya, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْمَرْءُ مَعَ رَحْلِهِ

Si pemilik barang ikut bersama barangnya.[7]

Rumah Abu Ayyûb Radhiyallahu anhu terdiri dari dua tingkat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di bagian bawah, sedangkan Abu Ayyûb Radhiyallahu anhu dan istrinya di bagian atas.

Suatu malam Abu Ayyûb Radhiyallahu anhu tersadar keberadaan dirinya, sehingga ia berkata: “Kita berjalan di atas kepala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,” lalu mereka minggir dan tidur di bagian tepinya. Kemudian ia meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar pindah ke bagian atas, sedangkan Abu Ayyûb Radhiyallahu anhu dan istrinya pindah ke bawah.

Mendengar permintaan Abu Ayyûb Radhiyallahu anhu, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali: “Di bawah lebih mudah,” tetapi Abu Ayyûb Radhiyallahu anhu menjawab: “Saya tidak akan menaiki suatu atap, sedangkan engkau berada di bawahnya,” maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pindah naik ke bagian atas rumah Abu Ayyûb, dan Abu Ayyûb pun turun menempati bagian bawah.

Abu Ayyûb Radhiyallahu anhu membuatkan makanan untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika wadah makanan dikembalikan, ia menanyakan bekas tempat tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu diikutinya tempat itu.

Suatu hari, Abu Ayyûb Radhiyallahu anhu membuatkan makanan yang ada bawang putihnya untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika dikembalikan, ia juga menanyakan bekas tempat tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dijawab: “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak makan”.

Mendengar jawaban ini, Abu Ayyûb kaget, lalu ia naik menuju Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya: “Apakah bawang itu haram?”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak, tetapi aku tidak menyukainya,” maka Abu Ayyûb Radhiyallahu anhu menimpali: “Aku membenci apa yang engkau benci …”.[8]

Dalam riwayat lain diceritakan, ketika Abu Ayyûb Radhiyallahu anhu masih tinggal di atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, suatu hari, wadah air milik Abu Ayyûb Radhiyallahu anhu pecah, maka ia segera mengeringkan dengan selimut miliknya yang hanya satu-satunya dan biasa dipakai untuk berselimut. Abu Ayyûb Radhiyallahu anhu khawatir, jika air akan menetesi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga bisa mengganggunya.[9]
Ada yang meriwayatkan, Abu Ayyûb meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pindah ke atas lantaran peristiwa ini, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memenuhi permintaannya. Sedangkan yang tertera dalam riwayat Imam Muslim dan Ahmad, bahwasanya yang menjadi penyebabnya ialah Abu Ayyûb merasa tidak enak berada di atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Riwayat inilah yang lebih benar.

Demikian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal sementara bersama Abu Ayyûb. Sedangkan Abu Bakar Radhiyallahu anhu, ia tinggal bersama Habib. Ada yang mengatakan Khubaib bin Yasaf. Ada pula yang mengatakan Abu Bakar Radhiyallahu anhu tinggal bersama Kharijah bin Zaid.

Pelajaran dari Kisah Hijrah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

1. Dalam khutbah ketika Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah), Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, setelah penaklukkan Makkah tidak ada lagi kewajiban hijrah (dari Makkah menuju Madinah). Akan tetapi kewajiban berjihad dan berniat tetap ada.[11] Hijrah dari negeri kafir ke negeri muslim tetap wajib sampai hari kiamat.

2. Peran Abu Bakar Radhiyallahu anhu dalam hijrah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dianggap sebagai keutamaan yang sangat tinggi. Cukup menunjukkan kemuliaannya. Allah Azza wa Jalla menyebutnya dalam Al-Qur`an:

إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا

Jikalau kalian tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya; (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Makkah) mengeluarkannya (dari Makkah) sedang dia salah seseorang dari dua orang, ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah berduka cita, sesungguhya Allah bersama kita”. [at-Taubah/9 ayat 40].

3. Memperhatikan kisah tabarruk (mencari barakah) Abu Ayyûb dan istrinya dengan menggunakan bekas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka jelaslah bahwa disyari’atkan mencari barakah dengan menggunakan bekas-bekas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika ada.

4. Perlakuan Abu Ayyûb dan keluarganya atas diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan besarnya kecintaan para sahabat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kejadian seperti ini terulang terus dalam banyak peristiwa. (Ustadz Ahmad Nusadi).

[Http://cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196, artikel: almanhaj]

Footnote

[1]. Lihat Rahîqul-Makhtûm, hlm. 190-191.

[2]. Dalam riwayat Ibnu Ishâq: “Wahai Bani Qîlah,” maksudnya adalah kaum Anshâr. Qîlah adalah nama kakek mereka – Ibnu Hisyâm, 2/157.
[3]. Sampai disini riwayat Imam Bukhâri.

[4]. Lihat Sîratun-Nabawiyah ash-Shahîhah, hlm. 219. Adapun riwayat yang menceritakan kedatangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam disambut dengan nasyid “Thala’al badru ‘alainâ …,” maka riwayat ini diperselisihkan keshahîhannya oleh para ulama.

[5]. Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad (2/236-237) dengan sanad yang bersambung, dan para periwayatnya adalah orang-orang tsiqah. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Ishâq dengan riwayat yang mu’alaq (Ibnu Hisyam, 2/159).

[6]. Jika kita menganggap riwayat Ibnu Ishâq tentang kedatangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam singgahnya di Quba’, masuk Madinah dan pembangunan masjid serta tinggal di rumah Ayyûb al-Anshâri merupakan satu riwayat. Sebagaimana dipahami oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab ad Dalâ-il, 2/512.

[7]. Riwayat tentang kedatangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Biarkanlah (dia berjalan) karena sesungguhnya dia ada yang menyuruhnya!” diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad (1/236-237) dengan sanad yang bersambung dan orang-orang terpercaya, kecuali al-Waqidi. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Ishâq dengan sanad hasan.

Sedangkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya: “Si pemilik barang ikut bersama barangnya” terdapat dalam riwayat al-Baihaqi dalam kitab ad Dalâ-il dengan sanad yang terdapat di dalamnya ‘Athaf bin Khâlid yang dinilai memiliki kelemahan.

Ibnu Hajar berkomentar tentang orang ini: “Dia itu shaduq (jujur) yang tertuduh”.

Adz-Dzahabi berkata: “Dia tidak bisa dijadikan hujjah”.

Penyusun kitab as-Sîratun-Nabawiyah fi Dhau’il Mashâdiril-Ashliyah berkata: “Namun hadits ini diperkuat oleh keberadaan kisah ini secara umum dengan sanad hasan yang diriwayatkan Ibnu Ishâq”.

[8]. HR Imam Muslim, 3/1623-1624, no. 2053.

[9]. Diriwayatkan oleh Ibnu Ishâq dengan sanad hasan. Juga al-Hâkim, dan ia berkata: “Shahîh menurut Shahih Muslim, namun beliau t tidak membawakannya”. Hal ini disepakati oleh adz-Dzahabi dalam Talkhish beliau rahimahullah.

[10]. Riwayat ini dibawakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitab al-Ishâbah, 1/415

[11]. HR Imam Bukhâri dan Muslim