MENGOLOK-OLOK SYARI'AT
Tanya : Seringkali didapatkan sebagian muslim mengatakan pada sebagian yang lain yang menjalankan sunnah memelihara jenggot dengan ”jenggot kambing”, atau orang yang menaikkan batas celananya di atas mata kaki dengan ”kebanjiran”. Apa hukum Islam dalam hal ini ?
Jawab : Di antara tanda orang yang beriman adalah menetapi syari’atnya dan mengagungkannya dalam setiap sendi kehidupan.
Allah ta’ala telah berfirman :
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
”Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” [QS. Al-Hajj : 22].
Adalah sikap yang bertentangan dengan keimanan jika ada orang yang mengejek, mencemooh, dan memperolok syari’at atau orang yang melaksanakan syari’at. Para ulama menyebut sikap-sikap seperti itu dengan istilah : istihzaa’. Sikap istihzaa’ ini merupakan sikap asli yang berasal dari orang-orang kafir. Salah satu kaum yang selalu ber-istihzaa’ terhadap Islam dan kaum muslimin adalah Yahudi. Allah telah mengabadikan sikap orang Yahudi dalam Al-Qur’an ketika mereka membuat plesetan-plesetan untuk menghina Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa`ina", tetapi katakanlah: "Undhurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih." [QS. Al-Baqarah : 104].[1]
Istihzaa’ adalah sikap/perbuatan yang sangat berbahaya bagi seorang muslim jika melakukannya. Para ulama telah sepakat bahwa istihzaa’ merupakan dosa besar yang dapat menyebabkan kekafiran mengeluarkan pelakunya dari Islam. Sejarah Islam telah mencatat bagaimana sikap kaum munafiqiin yang mengolok-olok Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dan kaum muslimin yang dengan itu menyebabkan kekafiran mereka, sebagaimana difirmankan Allah ta’ala :
يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَنْ تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُمْ بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ مَا تَحْذَرُونَ * وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ * لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
"Orang-orang yang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: "Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)". Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. [QS. At-Taubah : 64-66].
Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah dalam Tafsir-nya dan Al-Imam Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan asbabun-nuzul (sebab turunnya) ayat di atas dengan sanad tidak mengapa (la ba’sa) dari Abdullah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma :
قال رجل في غزوة تبوك، في مجلس: ما رأينا مثل قرائنا هؤلاء؛ أرغب بطونا، ولا أكذب ألسنا، ولا أجبن عند اللقاء. فقال رجل في المجلس: كذبت، ولكنك منافق، لأخبرن رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ ، فبلغ ذلك النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ ونزل القرآن. قال عبد الله بن عمر: فأنا رأيته متعلقا بحقب ناقة رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ ، تنكبه الحجارة، وهو يقول: يا رسول الله إنما كنا نخوض ونلعب. ورسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ يقول: ( أ بالله وآياته ورسوله كنتم تستهزؤون لا تعتذروا قد كفرتم بعد إيمانكم )
Dalam majelis, berkatalah seorang laki-laki pada perang Tabuk : “Kami tidak pernah melihat seperti tamu-tamu kita ini; sangat mementingkan perut (rakus), sangat pendusta dan penakut dalam pertempuran/peperangan”. Maka berkatalah seseorang kepadanya : “Engkau berdusta, engkau jelas munafik. Akan aku laporkan apa yang engkau ucapkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”. Maka, sampailah ucapan tersebut kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian turunlah ayat di atas. Ibnu Umar kemudian melanjutkan : “Maka aku lihat laki-laki tersebut bergantung di belakang unta Nabi, tersandung batu-batu, sambil berkata : ‘Ya Rasulullah, kami hanya main-main saja, tidak sungguh-sungguh”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu mengolok-olok?. Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir setelah beriman” [selesai].
Al-Imam Abu Bakr Al-Jashshash rahimahullah berkata :
فيه الدلالة على أن اللاعب والجاد سواء في إظهار كلمة الكفر على غير وجه الإكراه. لأن هؤلاء المنافقين ذكروا أنهم قالوا ما قالوه لعبا، فأخبر الله عن كفرهم باللعب بذلك. وروى الحسن وقتادة أنهم قالوا في غزوة تبوك: أيرجو هذا الرجل أن يفتح قصور الشام وحصونها!! هيهات هيهات. فأطلع الله نبيه على ذلك. فأخبر أن هذا القول كفر منهم على أي وجه قالوا من جِد أو هزل، فدل على استواء حكم الجاد والهازل في إظهار كلمة الكفر. ودل ـ أيضا ـ على أن الاستهزاء بآيات الله، أو بشيء من شرائع دينه: كفر من فاعله
”Pada ayat tersebut terdapat dalil bahwa seseorang yang bermain-main atau sungguh-sungguh adalah sama kedudukannya dalam hal mengeluarkan kalimat kufur yang dilakukan dengan sengaja. Orang-orang munafik tersebut mengatakan bahwa mereka mengatakan perkataan itu hanya main-main saja. Maka Allah mengkhabarkan (kepada Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam) akan kekafiran mereka atas sebab hal itu. Al-Hasan dan Qatadah meriwayatkan bahwasannya mereka (kaum munafiq) berkata dalam peperangan Tabuk : ”Apakah laki-laki ini (yaitu Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam) berangan-angan untuk membuka istana-istana Syaam beserta benteng-bentengnya ?! Sungguh sangat jauh khayalan ini”. Maka Allah menampakkan perkataan mereka kepada Nabi-Nya. Allah mengkhabarkan bahwasannya perkataan mereka itu adalah tanda kekufuran mereka, baik itu serius atau main-main saja. Ini menunjukkan bahwa dalam mengeluarkan ucapan-ucapan kufur baik serius atau main-main itu hukumnya sama. Juga menunjukkan bahwa mengolok-olok ayat-ayat Allah atau satu bagian dari syari’at agama-Nya adalah kekufuran bagi si pelaku” [selesai –Ahkaamul-Qur’an juz 3 hal 142].
Al-Imam Ibnul-Jauzi rahimahullah berkata :
وقوله: {قَدْ كَفَرْتُمْ } أي: قد ظهر كفركم بعد إظهاركم الإيمان؛ وهذا يدل على أن الجد واللعب في إظهار كلمة الكفر سواء.
”Dan firman-Nya : ”Sungguh karena kamu telah kafir”; yaitu tampaknya kekafiranmu setelah keimananmu. Ini menunjukkan bahwa sungguh-sungguh atau bermain-main dalam mengeluarkan kalimat kekufuran adalah sama” [Zaadul-Masiir 3/465].
Al-Lajnah Ad-Daaimah lil-Buhuts wal-Iftaa’ pernah ditanya tentang hukum orang yang mengolok-olok sebagian perkara-perkara yang disunnahkan seperti siwak, pakaian di atas mata kaki, dan minum sambil duduk; maka dijawab :
من استهزأ ببعض المستحبات، كالسواك، والقميص الذي لا يتجاوز نصف الساق، والقبض في الصلاة، ونحوها مما ثبت من السنن؛ فحكمه: أنه يبين له مشروعية ذلك، وأن السنة عن الرسول ـ صلى الله عليه وسلم ـ دلت على ذلك؛ فإذا أصر على الاستهزاء بالسنن الثابتة: كفر بذلك، لأنه بهذا يكون متنقصا للرسول ـ صلى الله عليه وسلم ـ ولشرعه، والتنقص بذلك كفر أكبر
”Barangsiapa yang mengolok-olok sebagian perkara yang disunnahkan, seperti siwak, berpakaian tidak melebihi pertengahan betis, bersedekap ketika shalat dan lainnya yang telah tetap dari Sunnah; maka hukumnya adalah : Hendaknya ia diberikan penjelasan tentang disyari’atkannya perbuatan tersebut (yang ia olok-olok). Bahwasannya Sunnah Rasul shallallaahu ’alaihi wasallam menunjukkan demikian. Apabila setelah diberi penjelasan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari Sunnah yang telah tetap, (orang tersebut masih saja mengolok-olok), maka ia telah kufur. Hal itu disebabkan karena ia telah mencela dan menghujat Rasul shallallaahu ’alaihi wasallam dan syari’atnya. Mencela dan menghujat yang seperti ini maka termasuk kufur akbar” [Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah lisy-Syawaarifi hal. 141-142],
Memanjangkan jenggot dan menaikkan celana di atas mata kaki (tidak isbal) termasuk diantara syari’at Islam yang diajarkan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam.
[2] Maka tidak pantas bagi seseorang meninggalkannya, apalagi malah mengolok-oloknya. Hendaknya setiap kaum muslimin senantiasa menjaga lisannya agar tidak sampai digelincirkan oleh syaithan untuk mengucapkan kalimat-kalimat kekufuran yang akan membuatnya menyesal di dunia dan di akhirat.
Wallaahu a’lam.
Catatan Ringkas :
karena ditakutkan orang yang baru belajar atau orang awwam, akan mudah mengkafirkan orang yang mengatakan hal diatas. padahal orang yang mengatakan tersebut belum mengetahui bahwa memanjangkan jenggot dan celana diatas mata kaki adalah syari'at Allah.
bahkan jika ada yang mengatakan 'khamr halal' atau ada yang mengatakan 'zina itu halal';
tapi yang mengatakannya adalah orang yang tinggal dibawah gunung yang belum pernah sampai padanya hukum tentang keduanya. maka orang seperti ini pun terhalang dalam vonis pengkafiran, seperti yang dikemukakan syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam majmu fatawanya.
tidak semua paham akan hal ini, alangkah baiknya kita menjelaskan secara singkat agar tidak terjadi kesalah-pahaman. Adapun yang dituliskan di sini adalah hukum umum dan belum pada bahasan kaidah-kaidah dalam pengkafiran. Wallahu a'lam.
BAHAYA MENGOLOK-OLOK SYARI'AT
Ada orang berkata :
“habis jenuh juga sih dengan segala promosi ke-Arab-an gaya orang2 fundies (model brother ……….). kemaren saya lihat di TV orang2 yang mengklaim mu'min dengan atribut abad ke-7 mereka (ya ampuun.. ada yang masih primitif di abad 21 ini!! ) pake ubel2 , celana ngatung , jenggot panjang , jidat hitem (maksudnya mau aplikasi QS 48:29) dan...... siwak yang penuh dengan bakteri! ..hiyyyy”
Aneh memang keadaan kaum muslimin sekarang ini. Dan patutlah kalau kaum muslimin saat ini dikatakan mundur dan telah hilang ‘izzah-nya di hadapan kaum kuffar. Sulit dibayangkan memang bahwa perkataan di atas muncul dari mulut kaum muslimin. Inilah yang dinamakan istihzaa’ atau sukhriyah (mengolok-olok) syari’at dan ahlinya.
Dan orang yang telah tertipu dengan manhaj Liberal dan manhaj Aqlaniy - manhaj-nya kaum Orientalis - , maka mereka tidak akan merasa “puas” sebelum kita ikut makan babi, bercelana pendek setengah paha, membuka hijab bagi para akhwat, menenteng rokok dan khamr, berpraktek riba, meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta mencintai segala produk budaya kaum kuffar.
Ikhwah fillaah,..
Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa sikap istihzaa’/sukhriyah adalah salah satu pokok sifat yang dimiliki oleh orang kafir, sebagaimana firman-Nya :
زُيِّنَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَيَسْخَرُونَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ اتَّقَوْا فَوْقَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal, orang-orang yang bertaqwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rizki kepada orang-orang yang dikehendaki tanpa batas” [QS. Al-Baqarah : 212].
يَا حَسْرَةً عَلَى الْعِبَادِ مَا يَأْتِيهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ
“Alangkah besarnya penyesalan hamba-hamba itu. Tidak datang seorang Rasul-pun kepada mereka melainkan mereka selalu mengolok-oloknya” [QS. Yaasiin : 30].
Mengenai hukum syar’i istihzaa’ dan sukhriyah terhadap muslimin ini terdiri dari dua :
1. Istihzaa’/sukhriyah karena cacat pembawaan; seperti pendek, pincang, buta, gagap, dungu, dan lain-lain. Serta istihzaa’/sukhriyah terhadap kelakuan jelek seperti cepat marah atau bodoh. Hukum istihzaa’/sukhriyah jenis ini adalah haram, dan termasuk dosa besar. Allah ta’ala memperingatkan hamba-Nya agar jangan terjatuh ke dalam perbuatan ini. Balasan perbuatan ini adalah adzab yang pedih. Oleh karena itu Allah ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah satu kaum mengolok-olok kaum yang lain. Boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik daripada mereka yang mengolok-olok. Dan jangan pula perempuan-perempuan mengolok-olok perempuan-perempuan yang lain. Boleh jadi, perempuan yang diolok-olok lebih baik daripada perempuan yang mengolok. Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri. Dan janganlah kamu memanggil dengan gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan buruk setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertaubat, mereka itulah orang-orang yang dhalim” [QS. Al-Hujuraat : 11].
Barangsiapa yang terjerumus ke dalam perbuatan ini, harus berhenti, dan bertaubat dengan taubat yang benar. Kemudian berniat untuk tidak mengulanginya.
2. Istihzaa’ terhadap kaum mukminin justru karena ketaatannya kepada hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam; seperti mengolok-olok orang yang memelihara shalatnya, atau mengolok-olok orang yang menganjurkan taat kepada Allah, atau yang memanjangkan jenggotnya, atau memendekkan pakaian di atas mata kaki karena ingin mengikuti Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Hukum istihzaa’/sukhriyah jenis kedua ini sangat keras/tegas. “Kerasnya” hukum ini tentu saja karena secara tidak langsung ia mengolok-olok syari’at Islam dan Sunnah Rasul. Dalam hal ini, ada dua keadaan.
PERTAMA, Orang yang melakukan istihzaa’/sukhriyah tersebut tidak mengetahui bahwa yang ia olok-olok itu adalah syariat Islam, seperti dalam hal tidak isbal (memendekkan celana/pakaian di atas mata kaki). Ia melakukannya lebih tertuju pada individu pelakunya yang dirasakan aneh, lucu, dan ‘tidak lazim’. Jadi, ia tidak berniat mengolok-olok syari’atnya itu sendiri.
Hukumnya dalam hal ini adalah Haram, Dosa Besar.
KEDUA, Orang tersebut melakukannya karena orang yang diolok-olok tersebut menjalankan kewajiban atau Sunnah Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka dalam hal ini dia murtad dan menjadi kafir tulen berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’. Allah ta’ala berfirman :
يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَنْ تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُمْ بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ مَا تَحْذَرُونَ (64) وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ (66)
“Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan kepada mereka suatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka : “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)”. Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab : “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda-gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah : “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu mengolok-olok?. Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir setelah beriman. Jika Kami maafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka bertaubat), niscaya Kami mengadzab golongan (yang lain), karena mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa” [QS. At-Taubah : 64-66].
Ath-Thabariy dan Ibni Abi Haatim meriwayatkan dengan sanad laa ba’sa bihi, Abdullah bin Umar radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata :
قال رجل في غزوة تبوك، في مجلس: ما رأينا مثل قرائنا هؤلاء؛ أرغب بطونا، ولا أكذب ألسنا، ولا أجبن عند اللقاء. فقال رجل في المجلس: كذبت، ولكنك منافق، لأخبرن رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ ، فبلغ ذلك النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ ونزل القرآن. قال عبد الله بن عمر: فأنا رأيته متعلقا بحقب ناقة رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ ، تنكبه الحجارة، وهو يقول: يا رسول الله إنما كنا نخوض ونلعب. ورسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ يقول: ( أ بالله وآياته ورسوله كنتم تستهزؤون لا تعتذروا قد كفرتم بعد إيمانكم
“Ada seorang laki-laki berkata pada perang Tabuk dalam satu majelis : “Kami tidak pernah melihat orang seperti qurraa’ kita ini yang lebih mementingkan perut (rakus), dusta lisannya, dan penakut ketika bertemu musuh”. Maka berkatalah seseorang dalam majelis : “Engkau dusta, bahkan engkau munafik. Akan aku laporkan apa yang engkau katakana itu kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”. Maka, sampailah ucapan tersebut kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian turunlah ayat di atas. ‘Abdullah bin Umar berkata : “Maka aku pun melihat laki-laki itu bergantung di belakang onta Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan tersandung-sandung batu sambil berkata : “Wahai Rasulullah, kami hanyalah main-main saja, tidak sungguh-sungguh”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu mengolok-olok?. Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir setelah beriman”.
Para ulama’ mengambil hukum dari QS. At-Taubah ayat 64-66 tadi tentang kafirnya orang yang memperolok-olok ayat-ayat Allah, syari’at-Nya, dan agama-Nya; baik yang dikatakannya itu sungguh-sungguh atau hanya sekedar main-main saja (bercanda).
Dalam hadits diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy rahimahullah dari Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu, dijelaskan tentang olok-olokan kaum munafik terhadap amalan-amalan Islam yang dilakukan oleh kaum mukminin :
لما نزلت آية الصدقة؛ كنا نحامل على ظهورنا، فحاز رجل فتصدق بشيء كثير، فقالوا: مرائي. وجاء رجل فتصدق بصاع، فقالوا: إن الله لغني عن صدقة هذا
“Ketika turun ayat shadaqah, kami (para shahabat) membawanya di punggung kami. Maka datanglah seorang laki-laki bershadaqah dengan jumlah yang banyak. Mereka (orang-orang munaafik) mengatakan : ‘Dia berbuat riyaa’ (ingin dipuji)’. Kemudian datanglah seorang laki-laki bershadaqah dengan satu sha’, mereka pun berkata : ‘Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan shadaqah ini”. (Diriwayatkan pula oleh Muslim.)
Ibnu Hajar Al-Haitsamiy rahimahullah dalam kitabnya Al-I’laam bi-Qawaathi’il-Islaam menyebutkan beberapa hal yang dapat menyebabkan seseorang kafir (jika melakukannya) adalah : ada sekelompok manusia yang berkumpul, seorang di antara mereka duduk di tempat tinggi yang menyerupai para penasihat, kemudian mereka bertanya tentang satu permasalahan sambil tertawa, lalu memukulkan tongkat. Atau, mereka menyerupai pengajar (ustadz), diambilnya kayu, yang lain duduk mengelilingi mereka seperti sikap anak-anak. Lalu mereka tertawa sambil ber-istihtizaa’ (mengolok-olok). Atau berkata : ‘Sedikit bubur ini lebih baik daripada ilmu (agama)’. Yang demikian ini dianggap sebagai satu kekafiran oleh beliau (Al-Haitsamiy).
Al-Lajnah Ad-Daaimah pernah ditanya :
ما حكم من استهزأ ببعض المستحبات، كالسواك، والقميص القصير، وبالشرب جالسا؟
“Apa hukum orang yang mengolok-olok sebagian syari’at mustahabbah, seperti siwak, pakaian yang pendek (di atas mata kaki), orang yang minum sambil duduk ?”.
Mereka menjawab :
من استهزأ ببعض المستحبات، كالسواك، والقميص الذي لا يتجاوز نصف الساق، والقبض في الصلاة، ونحوها مما ثبت من السنن؛ فحكمه: أنه يبين له مشروعية ذلك، وأن السنة عن الرسول ـ صلى الله عليه وسلم ـ دلت على ذلك؛ فإذا أصر على الاستهزاء بالسنن الثابتة: كفر بذلك، لأنه بهذا يكون متنقصا للرسول ـ صلى الله عليه وسلم ـ ولشرعه، والتنقص بذلك كفر أكبر
“Barangsiapa yang mengolok-olok sebagian perkara yang disunnahkan, seperti siwak, berpakaian tidak melebihi pertengahan betis, bersedekap ketika shalat dan lainnya yang telah tetap dari Sunnah; maka hukumnya adalah : Hendaknya ia diberikan penjelasan tentang disyari’atkannya perbuatan tersebut (yang ia olok-olok). Bahwasannya Sunnah Rasul shallallaahu ’alaihi wasallam menunjukkan demikian. Apabila setelah diberi penjelasan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari Sunnah yang telah tetap, (orang tersebut masih saja mengolok-olok), maka ia telah kufur. Hal itu disebabkan karena ia telah mencela dan menghujat Rasul shallallaahu ’alaihi wasallam dan syari’atnya. Mencela dan menghujat yang seperti ini maka termasuk kufur akbar” [selesai].
Pertanyaan :
ما حكم ساب الدين إن كان جاهلا، هل يعذر بجهله أم أنه لا عذر بالجهل في هذه المسألة؟ وهل إذا كان مقصده سب الشخص نفسه، فجرى على لسانه سب دينه، هل يعذره هذا من الكفر، أم ماذا؟ وما أقوال السلف في هذا الأمر؟
“Apa hukum orang yang mencela agama karena kebodohan ? Apakah ia diberikan udzur karena kebodohannya itu ataukah tidak dalam masalah ini ? Seandainya orang itu bermaksud mencela pribadi seseorang, namun akhirnya lisannya keluar celaan, apakah ia diberikan udzur atas kekafiran ataukah tidak ? Bagaimana perkataan salaf dalam permasalahan ini ?
Jawaban :
سب الله، أو سب كلامه، أو شيء منه: كفر. وكذا سب الرسول ـ صلى الله عليه وسلم ـ ، أو سنته، أو شيء منها، أو سب دين الشخص إذا كان دينه الإسلام؛ فيجب أن يبين له الحكم إذا كان مثله يجهل ذلك، فإن أصر على السب فهو: كافر مرتد عن ملة الإسلام، فإن تاب وإلا قتل، لقوله تعالى: ( قل أ بالله وآياته ورسوله كنتم تستهزؤون لا تعتذروا قد كفرتم بعد إيمانكم).
وأما من سب شخصا مسلما لذاته، فجرى على لسانه دين ذلك الشخص، بدون قصد، وإنما هو محض خطأ منه، فإن مثله لا يكفر، ولكن يوصى بالتحرز والحذر بكلماته، حتى لا يقع في الكفر وهو لا يشعر
Mencela Allah, atau mencela firman-Nya, atau mencela sesuatu hal dari-Nya adalah perbuatan kufur. Demikian juga dengan mencela Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, atau mencela sunnahnya, ataupun sesuatu yang berasal darinya, atau mencela agama Islam. Maka, wajib diberi penjelasan tentang hukum-hukumnya jika ia memang tidak mengetahui. Jika sudah mengetahui, tetapi ia tetap terus mencela; maka ia kafir lagi murtad dari agama Islam. Jika bertaubat, maka taubatnya diterima. Jika tidak bertaubat, ia dibunuh. Hal itu berdasarlan firman Allah ta’ala : “Katakanlah : ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok ?. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman”.
Jika celaan itu ditujukan kepada pribadi seorang muslim, misalnya. Lalu dari mulutnya keluar celaan juga terhadap dien/agama orang tersebut tanpa sengaja, ini adalah kesalahan yang tidak mengkafirkan. Akan tetapi, orang yang mencela perlu diberi nasihat, bimbingan, dan peringatan agar dia berhati-hati dalam berucap dan berkata. Hal seperti itu dilakukan agar orang tersebut tidak jatuh pada kekufuran tanpa ia sadari” [Fataawaa Lajnah Daaimah Lisy-Syawaarif, hal. 141 - 142].
Asy-Syaikh Abdul-‘Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya :
أرى كثيرا من الشباب إذا رأوا الشباب المحافظ على صلاته، ودينه؛ يستهزؤون به.. ويتكلمون عن الدين باستهتار وعدم مبالاة؛ فما القول في ذلك؟ وهل تجوز مجالستهم، والمرح معهم في أوقات ليس فيها صلاة؟
“Saya melihat banyak pemuda jika melihat sekelompok pemuda yang memelihara shalatnya dan agamanya, mereka mengolok-oloknya. Mereka berkata-kata tentang agama secara sembrono tanpa peduli. Bagaimana Anda tentang hal ini ?. Bolehkah kami duduk-duduk di majelis mereka ? dan juga bergembira bersama di luar waktu shalat?”.
Beliau menjawab :
الاستهزاء بالإسلام، أو بشيء منه؛ كفر أكبر ... ومن يستهزئ بأهل الدين، والمحافظين على الصلوات، من أجل دينهم ومحافظتهم عليه، يعتبر مستهزئا بالدين، فلا تجوز مجالسته، ولا مصاحبته، بل يجب الإنكار عليه، والتحذير منه، ومن صحبته، وهكذا من يخوض في مسائل الدين بالسخرية والاستهزاء يعتبر كافرا، فلا تجوز صحبته، ولا مجالسته، بل يجب الإنكار عليه، والتحذير منه، وحثه على التوبة النصوح، فإن تاب ـ فالحمد لله ـ وإلا وجب الرفع عنه إلى ولاة الأمور، بعد إثبات أعماله السيئة بالشهود العدول حتى ينفذ فيه حكم الله، من جهة المحاكم الشرعية
“Mengolok-olok (istihzaa’) terhadap Islam dan hal-hal yang terkait dengannya merupakan kufur akbar. Dan barangsiapa mengolok-olok orang-orang yang beriman dan senantiasa menjaga shalatnya dikarenakan faktor agamanya dan penjagaannya terhadap shalat tersebut, maka itu diperhitungkan mengolok-olok agama. Maka, tidak diperbolehkan duduk-duduk di majelis mereka dan bershahabat dengan mereka. Bahkan wajib untuk mengingkarinya dan memperingatkannya dan orang-orang yang bershahabat dengannya. Begitu juga dengan orang yang berbicara tentang permasalahan agama dengan sikap sukhriyyah dan istihzaa’, dianggap kaafir. Tidak boleh bershahabat dan duduk-duduk dengannya. Bahkan, wajib untuk mengingkarinya dan memperingatkannya. Menganjurkannya untuk bertaubat dengan sebenar-benarnya dari perbuatan yang dilakukannya itu. Jika ia bertaubat – Alhamdulillah - , dan jika tidak bertaubat, ia diajukan kepada wulaatul-umuur, setelah terbukti perbuatan jeleknya itu dengan persaksian saksi-saksi yang adil agar hukum Allah dapat dilaksanakan oleh pengadilan syari’at” [Majalah Ad-Da’wah no. 978]. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari artikel : abul-jauzaa, dengan judul "Mengolok-Olok Syari'at" , "Bahaya Mengolok-Olok Syari’at". abul-jauzaa’ – ngaglik, sleman, Yogyakarta - banyak mengambil dari buku Al-Qaulul-Mubiin fii Hukmil-Istihzaa' bil-Mukminiin karya Dr. 'Abdus-Salaam bin Barjas rahimahullah - maktabah islamspirit].
Pertanyaan :
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Saya masih sangat awam, baru beberapa bulan berkenalan dengan istilah manhaj. Dalam sebuah diskusi di dunia maya, ada seseorang yang bertanya tentang hukum bergaul dengan non muslim dan pelaku bid'ah. Pemahaman saya atas pertanyaan ini adalah bergaul sehari-hari, bertetangga, ada kalanya saling menyapa, ataupun bercanda.. .tetapi tidak sampai pada kalimat-kalimat yang menyinggung soal agama pun hingga mengolok-olok agama.
Salah satu admin menjawab, bahwasanya keadaan mereka yang non muslim dan pelaku bid'ah itu adalah sudah termasuk mengolok-olok secara tersembunyi. Karena bila tidak, tentu mereka sudah meninggalkan kekafirannya atau bid'ah yang mereka lakukan. Jadi tidak boleh bergaul dengan mereka.
Afwan, apakah kaidah seperti ini benar? Karena bila benar demikian, lalu bagaimana kami bergaul dengan tetangga, yang notabene saya adalah minoritas? Bahkan keluarga saya pun masih banyak yang melakukan bid'ah dengan berbagai alasan kelalaian. Bila benar kaidah di atas, bukankah itu artinya saya tidak boleh menghadiri undangan dari keluarga karena nanti akan bermajelis dengan mereka yang melakukan bid'ah?
Afwan, Saya tidak bermaksud mencari-cari keringanan, tetapi ingin mencari kebenaran yang dikemas dalam kelemah-lembutan. Atas waktu dan nasihatnya, saya sampaikan jazakallah khairan.
Jawaban :
wa'alaikumus-salaam warahmatullaahi wabarakatuh.
bermuamalah dengan non ahlus-sunnah atau bahkan kafir sekalipun diperbolehkan. Allah ta'ala berfirman :
لاّ يَنْهَاكُمُ اللّهُ عَنِ الّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرّوهُمْ وَتُقْسِطُوَاْ إِلَيْهِمْ إِنّ اللّهَ يُحِبّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarangkamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” [QS. Al-Mumtahanah : 8].
Kita tetap wajib berbuat baik dengan kepada kedua orang tua atau kerabat kita yang masih kafir.
Kita bergaul sewajarnya dengan mereka, berbuat baik kepada mereka, dengan harapan, semoga Allah membuka hati mereka memeluk Islam disebabkan akhlaq kita kepada mereka.
Namun jika muamalah kita malah menimbulkan kemudlaratan terhadap diri dan agama kita, maka kita tinggalkan mereka.
Wallaahu a'lam.
(Dijawab Oleh : Ustadz Abuul Jauzaa')
Footnote :
[1] Tentang syari’at memanjangkan jenggot :
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم جزوا الشوارب وأرخوا اللحى خالفوا المجوس
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Pangkaslah kumis, panjangkanlah jenggot, dan selisihilah kaum Majusi” [HR. Muslim no. 260].
Tentang syari’at mengangkat pakaian/celana/sarung di atas mata kaki :
عن حذيفة قال أخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم بعضلة ساقي أو ساقه فقال هذا موضع الإزار فإن أبيت فأسفل فإن أبيت فلا حق للإزار في الكعبين قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح
Dari Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memegang urat betisku. Maka beliau bersabda : “Ini adalah batas panjang kain sarungmu. Apabila engkau enggan, maka boleh di bawahnya. Dan jika engkau enggan, maka tidak ada hak bagi kain sarung untuk melebihi mata kaki” [HR. At-Tirmidzi no. 1783; dan beliau berkata : Ini adalah hadits hasan shahih].
[2] ”Raa’inaa” artinya : sudilah kiranya kamu memperhatikan kami. Ketika para shahabat radliyallaahu ’anhum menggunakan kata-kata ini kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, orang-orang Yahudi pun latah meniru mereka namun dengan diplesetkan untuk menghina beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. Orang Yahudi mengatakan : ”Ru’unah” yang artinya adalah : ketololan yang amat sangat. Oleh karena itulah, Allah memerintahkan para shahabat agar mengatakan undhurnaa yang artinya sama dengan raa’inaa.