Minggu, 20 September 2020

Gila


GILA 

Dalam pandangan hukum syar'i, memvonis seseorang gila, itu tidak mudah dan harus berhati-hati. Karena orang yang gila itu tidak terkena beban syari'at. Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda:

رُفعَ القلَمُ عن ثلاثةٍ : عنِ الصَّبيِّ حتَّى يبلغَ ، وعن المجنونِ حتَّى يُفيق ، وعنِ النَّائمِ حتَّى يستيقظَ

"Pena catatan amal diangkat dari tiga orang: dari anak kecil sampai dia baligh, dari orang gila sampai ia waras, dari orang yang tidur sampai ia bangun" (HR. Bukhari secara mu'allaq, Abu Daud no.4400, dishahihkan Al Albani dalam Al Irwa' [2/5]).

Syaikh Ibnul Utsaimin berkata:

من لا عقل له فإنه لا تلزمه الشرائع، ولهذا لا تلزم المجنون، ولا تلزم الصغير الذي لم يميز، بل ولا الذي لم يبلغ أيضاً، وهذا من رحمة الله تعالى، ومثله أيضاً المعتوه الذي أصيب بعقله على وجه لم يبلغ حد الجنون

"Orang yang tidak berakal, maka tidak terkena kewajiban syariat. Maka kewajiban syariat itu tidak berlaku untuk orang gila, anak kecil yang belum mumayyiz, bahkan juga yang belum baligh. Ini adalah bentuk rahmat Allah ta'ala. Demikian juga orang yang pikun yang terganggu akalnya walaupun belum sampai level gila".

Kalau seseorang dikatakan gila, maka dia tidak wajib shalat, tidak wajib puasa, tidak boleh berjual-beli, tidak boleh bermuamalah dengan hartanya, tidak boleh akad nikah, dll. Ini konsekuensinya.

Apa patokan gila?

Disebutkan dalam Mausu'ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah :

أَنَّهُ اخْتِلاَل الْعَقْل بِحَيْثُ يَمْنَعُ جَرَيَانَ الأَْفْعَال وَالأَْقْوَال عَلَى نَهْجِهِ إِلاَّ نَادِرًا. وَقِيل: الْجُنُونُ اخْتِلاَل الْقُوَّةِ الْمُمَيِّزَةِ بَيْنَ الأَْشْيَاءِ الْحَسَنَةِ وَالْقَبِيحَةِ الْمُدْرِكَةِ لِلْعَوَاقِبِ بِأَنْ لاَ تَظْهَرَ آثَارُهَا، وَأَنْ تَتَعَطَّل أَفْعَالُهَا. وَعَرَّفَهُ صَاحِبُ الْبَحْرِ الرَّائِقِ بِأَنَّهُ: اخْتِلاَل الْقُوَّةِ الَّتِي بِهَا إِدْرَاكُ الْكُلِّيَّاتِ

"Gila adalah terganggu akalnya, sehingga seseorang tidak bisa berbuat dan berkata berdasarkan itikad yang benar kecuali sedikit saja. 

Sebagian ulama mengatakan: gila adalah rusaknya kekuatan pikiran untuk membedakan antara akibat baik dan buruk dari suatu perbuatan. Yaitu karena ia tidak tahu bagaimana akibat dari suatu perbuatan yang bahaya, atau dia meninggalkan suatu perbuatan yang jelas baik baginya.

Penulis kitab Al Bahrur Raa'iq menyebutkan: gila adalah rusaknya kekuatan akal secara menyeluruh sehingga tidak bisa memahami sesuatu" [selesai nukilan].

Dan salah satu indikasi gila, dalam pandangan syar'i, adalah tidak bisa diajak bicara dengan benar. Syaikh Abdullah Al Fauzan menyebutkan:

فجعل الشارع البلوغ علامة لظهور العقل و فهم الخطاب. و من لا يفهم لا يصح تكليفه لعدم الامتثال

"Syariat menjadikan baligh sebagai indikasi untuk munculnya akal dan kemampuan memahami perkataan. Siapa saja yang tidak memahami perkataan (orang lain) maka tidak sah untuk diberi beban syariat, karena ia tidak bisa memunculkan niat untuk menaati syariat" (Syarhul Waraqat, hal. 80).

Dari beberapa penjelasan di atas, indikasi gila menurut penjelasan para ulama, adalah:

* Tidak bisa berkata atau berbuat berdasarkan itikad yang benar
* Tidak tahu akibat dari suatu perbuatan yang membahayakan.
* Tidak pernah mengerjakan perbuatan yang jelas baik, seperti mandi, makan, memakai pakaian.
* Tidak paham apa-apa sama sekali 
* Tidak paham perkataan orang lain

Pembahasan turunan dari al junun (gila) juga ada beberapa bahasan:

* al 'atah (pikun)
* ad dahasy (linglung)
* as safah (idiot)

Yang ini semua ada babnya masing-masing.

Intinya yang ingin kami sampaikan, jangan sampai memvonis seseorang itu gila padahal dia tidak gila. Karena konsekuensinya berat. Jika seseorang disebut gila tapi dibiarkan berjual-beli, akad nikah, dan lainnya, maka ini aneh!

Dan tidak sekedar pernah periksa atau dirawat di RJS lalu otomatis gila. Dan juga tidak sekedar orang-orang mengatakan "si Fulan gila" lalu dia otomatis gila dalam pandangan syari'at. Namun perlu melihat batasan-batasan syari'at dalam hal ini. 

Wallahu a'lam.

♻ Ustadz Yulian Purnama
🌐 Cerkiis.blogspot.com