Senin, 07 Oktober 2019

Berbuat Kerusakan Di Muka Bumi


BERBUAT KERUSAKAN DI MUKA BUMI

Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA

Kebanyakan manusia yang hidup di zaman sekarang ini, hanya menjadikan perkara-perkara lahir yang kasat mata sebagai barometer dalam menilai berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar mereka. Ini merupakan efek dari dominasi hawa nafsu dan cinta dunia dalam diri mereka.

Mereka tidak tergerak untuk memahami hakekat semua kejadian tersebut, karena mereka tidak memiliki keyakinan yang kokoh terhadap perkara-perkara gaib (yang tidak nampak) dan mereka melupakan kehidupan abadi di akhirat nanti.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

Mereka hanya mengetahui yang lahir (nampak) dari kehidupan dunia; sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai [ar-Rûm/30:7]

Sebagai contoh yang nyata, dalam memahami arti kerusakan di muka bumi yang sedang mencuat belakangan ini. Saat ini, banyak orang, tidak terkecuali kaum Muslimin, yang mengartikan kerusakan di muka bumi hanya sebatas pada hal-hal yang nampak, seperti bencana alam, kebakaran, pengerusakan hutan, penyakit menular yang mewabah, banjir bandang, pemanasan global dan lain sebagainya. Mereka melupakan kerusakan-kerusakan yang tidak kasat mata yang lebih parah efek buruknya. Padahal ini adalah kerusakan yang paling besar dan fatal akibatnya. Kerusakan inilah yang menjadi penyebab kerusakan-kerusakan yang di permukaan bumi.

ARTI KERUSAKAN DI BUMI YANG SEBENARNYA

Allâh Jalla Jalaluhu berfirman :

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tangan (maksiat)[1] manusia, supaya Allâh merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) [ar-Rûm/30:41]

Dalam ayat yang mulia ini, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bahwa penyebab utama semua kerusakan[2] yang terjadi di muka bumi dengan berbagai bentuknya adalah perbuatan buruk dan maksiat yang dilakukan manusia. Ini menunjukkan bahwa perbuatan maksiat adalah inti kerusakan yang sebenarnya dan merupakan sumber utama kerusakan-kerusakan yang tampak di muka bumi.

Imam Abul ‘Aliyah ar-Riyâhi [3] mengatakan, “Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allâh di muka bumi berarti dia telah berbuat kerusakan di muka bumi, karena bumi dan langit itu baik dengan sebab ketaatan (kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala -pent)” [4]
.
Imam asy-Syaukâni rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas mengatakan, “(Dalam ayat ini) Allâh menjelaskan bahwa perbuatan syirik dan maksiat adalah sebab timbulnya (berbagai) kerusakan di alam semesta”[5]

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jallaberfirman :

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

Dan musibah apa saja yang menimpa kamu maka itu disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu sendiri [asy-Syûra/42:30]

Syaikh Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa semua musibah yang menimpa manusia, (baik) pada diri, harta maupun anak-anak mereka, serta pada apa yang mereka sukai, tidak lain sebabnya adalah perbuatan-perbuatan buruk (maksiat) yang pernah mereka lakukan…”[6]
.
Tidak terkecuali dalam hal ini, musibah dan “kerusakan” yang terjadi dalam rumah tangga, seperti hubungan yang tidak harmonis antara suami dan istri, sering terjadi pertengkaran, penyebab utama semua ini adalah perbuatan maksiat yang dilakukan oleh sang suami atau istri.

Inilah makna yang terungkap dalam ucapan salah seorang ulama Salaf yang mengatakan, “Sungguh (ketika) aku bermaksiat kepada Allâh, maka aku melihat (pengaruh buruk) perbuatan maksiat tersebut pada tingkah laku istriku…”[7] .

Oleh sebab itu pula, Allâh Azza wa Jalla menamakan orang-orang munafik sebagai orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi, karena buruknya perbuatan maksiat yang mereka lakukan dalam menentang Allâh Azza wa Jalla dan Rasûl-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allâh berfirman :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَٰكِنْ لَا يَشْعُرُونَ

Dan bila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi !” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar (Qs al-Baqarah/2:11-12).

Syaikh Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah berkata, “Melakukan maksiat di muka bumi merupakan bentuk perusakan lantaran perbuatan tersebut menyebabkan rusaknya apa yang ada di muka bumi, seperti biji-bijian, buah-buahan, pepohonan dan tumbuh-tumbuhan, sehingga terjangkiti penyakit yang disebabkan perbuatan maksiat. (Penyebab lain perbuatan maksiat disebut dengan perusakan-red) adalah karena perbaikan (yang merupakan lawan dari pengerusakan-red) di muka bumi dilakukan dengan memakmurkan bumi dengan ketaatan dan keimanan kepada Allâh Azza wa Jalla . Inilah tujuan Allâh Azza wa Jalla menciptakan manusia dan menempatkan mereka di bumi, serta melimpahkan rezeki kepada mereka agar bisa menopang mereka dalam melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Jika mereka melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketaatan kepada Allâh (maksiat) berarti mereka telah berusaha merusak dan menghancurkan tujuan utama penciptaan bumi”[8] .

Oleh karena itu, kematian para pelaku maksiat merupakan sebab utama penurunan angka kerusakan di muka bumi. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَالْعَبْدُ الْفَاجِرُ يَسْتَرِيحُ مِنْهُ الْعِبَادُ وَالْبِلَادُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ

(Kematian) seorang hamba yang fajir (banyak berbuat maksiat) akan menjadikan manusia, negeri, pepohonan dan binatang terlepas (terhindar dari kerusakan akibat perbuatan maksiatnya) [9]

SYIRIK DAN BID’AH SEBAB TERBESAR KERUSAKAN DI MUKA BUMI
Karena perbuatan syirik (menyekutukan Allâh Azza wa Jalla dalam beribadah) adalah dosa yang paling besar di sisi Allâh Azza wa Jalla , maka kerusakan yang ditimbulkan akibat perbuatan ini pun sangat besar, bahkan perbuatan inilah yang menjadi sebab utama kerusakan terbesar di muka bumi.

Imam Qatâdah [10] rahimahullah dan as-Suddi rahimahullah berkata: “Kerusakan (yang sesungguhnya) adalah perbuatan syirik. Inilah kerusakan yang paling besar”[11]
.
Demikian juga perbuatan bid’ah [12] . Semua seruan dakwah yang bertentangan dengan petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada hakekatnya merupakan sebab terjadinya kerusakan di muka bumi. Karena petunjuk dan kebenaran yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya aturan untuk memakmurkan dan mensejahterakan alam semesta. Sehingga semua seruan agama yang bertentangan dengan petunjuk beliau adalah sebab utama kerusakan di muka bumi.
Atas dasar itu, Imam Abu Bakar Ibnu ‘Ayyâsy al Kûfi[13] ketika ditanya tentang makna firman Allâh Jalla Jalaluhu:

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya…[al-A’râf/7:56]

Beliau mengatakan, “Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla mengutus Nabi Muhammad n kepada umat manusia, (ketika) mereka dalam keadaan rusak. Lalu Allâh Azza wa Jalla memperbaiki (keadaan) mereka dengan (petunjuk yang dibawa) Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga orang yang mengajak (manusia) kepada selain petunjuk yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia termasuk orang-orang yang melakukan kerusakan di muka bumi”[14]

CARA MENGATASI DAN MEMPERBAIKI KERUSAKAN DI MUKA BUMI
Sebab utama kerusakan di muka bumi adalah perbuatan maksiat dengan segala bentuknya. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk memperbaiki kerusakan tersebut yaitu dengan bertaubat dengan benar (nasûh)[15] dan kembali ke jalan Allâh. Karena taubat nasûh akan menghilangkan semua dampak negatif perbuatan dosa yang pernah dilakuakan oleh seseorang.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ

Orang yang telah bertobat (dengan sungguh-sungguh) dari perbuatan dosa seperti orang yang tidak punya dosa (sama sekali) [16]

Inilah makna yang diisyaratkan dalam firman Allâh Azza wa Jalladi atas,

لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

…supaya Allâh merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) [ar Rûm/30:41].

Artinya, agar mereka bertaubat dari perbuatan-perbuatan (maksiat) yang menimbulkan kerusakan besar (dalam kehidupan mereka), sehingga kemudian keadaan mereka akan baik dan sejahtera [17]

Dalam hal ini, Sahabat yang mulia, Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu pernah mengucapkan dalam doanya, “Ya Allâh, sesungguhnya tidak akan terjadi suatu malapetaka kecuali dengan (sebab) perbuatan dosa, dan tidak akan hilang malapetaka tersebut kecuali dengan taubat (yang sungguh-sungguh)…”[18] .

Jadi, kembali kepada petunjuk Allâh Azza wa Jalla dan Rasûl-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara mempelajari, memahami dan mengamalkannya adalah solusi untuk menghilangkan kerusakan di muka bumi dalam segala bentuknya, bahkan menggantikannya dengan kebaikan, kemaslahatan dan kesejahteraan. Karena memang agama Islam disyariatkan oleh Allâh Azza wa Jalla Dzat yang maha sempurna ilmu dan hikmah-Nya [19] untuk kebaikan dan kemaslahatan hidup manusia. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allâh dan seruan Rasûl-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan)[20] hidup bagimu” [al-Anfâl/8:24].

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat hanya bisa diraih dengan memenuhi seruan Allâh dan Rasûl-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allâh dan Rasûl-Nya maka dia tidak akan merasakan (kebahagiaan-red) hidup, meskipun dia masih hidup sebagaimana binatang yang paling hina (sekalipun). Maka hidup bahagia yang hakiki adalah kehidupan orang yang memenuhi seruan Allâh dan Rasûl-Nya secara lahir maupun batin”[21] .

Dalam ayat lain Allâh Jalla Jalaluhu berfirman :

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, Kami pasti akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya [al-A’râf/7:96]

Artinya, kalau saja mereka beriman dalam hati mereka dengan iman yang benar dan dibuktikan dengan amal shaleh serta merealisasikan ketakwaan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala lahir dan batin dengan meninggalkan semua larangan-Nya, maka niscaya Allâh akan membukakan (pintu-pintu) keberkahan di langit dan bumi bagi mereka. Allâh Azza wa Jalla akan menurunkan hujan deras (yang bermanfaat) dan menumbuhkan tanam-tanaman untuk kehidupan mereka dan hewan-hewan (ternak) mereka. (Mereka akan hidup) dalam kebahagiaan dan rezeki yang berlimpah, tanpa ada jerih payah, keletihan maupun penderitaan. Namun (kenyataanya-red) mereka tidak beriman dan bertakwa, akhirnya Allâh menyiksa mereka karena perbuatan (maksiat) mereka” [22]
.
Oleh karena itu, orang-orang yang mengusahakan perbaikan di muka bumi yang sebenarnya itu adalah orang-orang yang menyeru manusia agar kembali kepada petunjuk Allâh Azza wa Jalladan Rasûl-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan mengajarkan dan menyebarkan tauhid dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada manusia.

Mereka inilah orang-orang yang menciptakan kemaslahatan dan kesejahteraan alam semesta beserta isinya, tidak terkecuali hewan-hewan di daratan maupun lautan. Mereka ikut merasakan kebaikan tersebut. Sehingga mereka senantiasa mendoakan kebaikan dari Allâh untuk orang-orang tersebut, sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada mereka[23] .

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ

Sesungguhnya orang yang berilmu (dan mengajarkan ilmunya kepada manusia) akan selalu dimohonkan pengampunan dosanya oleh semua makhluk yang ada di langit (para malaikat) dan di bumi, sampai-sampai (termasuk) ikan-ikan yang ada di lautan… .[24]

Sekaligus ini menunjukkan bahwa kematian orang-orang berilmu yang selalu mengajak manusia kepada petunjuk Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasûl-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pertanda akan munculnya malapetaka dan kerusakan dalam kehidupan manusia. Karena dengan wafatnya mereka, akan berkurang penyebaran ilmu tauhid dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah manusia. Ini merupakan sebab timbulnya kerusakan dan bencana dalam kehidupan.

Dalam hal ini, imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah [25] pernah mengatakan, “Kematian orang yang berilmu merupakan kebocoran (kerusakan) dalam Islam yang tidak bisa ditambal (diperbaiki) oleh apapun selama siang dan malam masih terus berganti”[26] .

PENUTUP
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin dalam mengajak mereka untuk selalu kembali kepada petunjuk Allâh Azza wa Jalladan Rasul-Nya, yang itu merupakan sumber kebaikan dan kebahagiaan hidup yang hakiki bagi mereka.

[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Footnote
[1]. Lihat Tafsîr al-Qur’ânil ‘Azhîm karya Ibnu Katsîr (3/576).
[2]. Karena huruf alif dan lam di awal kata al fasâd bermakna lil istigrâq yang memberikan makna semua atau seluruh-red
[3]. Beliau adalah Rufâi’ bin Mihrân ar-Riyâhi (wafat tahun 90 H). Seorang Tabi’in senior yang terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat Taqrîbut Tahdzîb hlm. 162
[4]. Dinukil oleh Imam Ibnu Katsîr dalam tafsir beliau (3/576).
[5]. Fathul Qadîr (5/475)
[6]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 759
[7]. Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab ad-Dâ’u Wad Dawâ’ hlm. 68
[8]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 42
[9]. HSR al-Bukhâri (6512) dan Muslim (no. 2245)
[10]. Beliau adalah Qatâdah bin Di’âmah as Sadûsi al-Bashri (wafat setelah tahun 110 H). Beliau adalah imam besar dari kalangan Tabi’in yang sangat terpercaya dan kuat dalam meriwayatkan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat kitab Taqrîbut Tahdzîb, hlm. 409).
[11]. Dinukil oleh Imam al-Qurthubi dalam tafsir beliau 14/40
[12]. Yaitu mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama yang tidak dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[13]. Beliau adalah imam dari kalangan Atba’ut Tâbi’în senior, seorang ahli ibadah dan terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (wafat 194 H). Lihat kitab Taqrîbut Tahdzîb hlm. 576
[14]. Tafsir Ibni Abi Hâtim ar Râzi (6/74) dan ad Durrul Mantsûr (3/477).
[15]. Yaitu taubat yang benar dan sungguh-sungguh, sehingga menghapuskan dosa-dosa yang lalu
[16]. HR. Ibnu Mâjah no. 4250 dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr no. 10281 dan dinyatakan hasan oleh Ibnu Hajar dan Syaikh al-Albâni. Lihat adh-Dha’îfah no. 615
[17]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 643
[18]. Dinukil oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalâni dalam Fathul Bâri (3/443).
[19]. Hikmah adalah menempatkan segala sesuatu tepat pada tempatnya. Ini bersumber dari kesempurnaan ilmu Allâh Subahnahu wa Ta’ala, lihat kitab Taisîrul Karîmir Rahmân (hlm. 131).
[20]. Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr (4/34).
[21]. al-Fawâ-id (hlm. 121- cet. Muassasatu Ummil Qurâ’).
[22]. Taisîrul Karîmir Rahmân (hlm. 298).
[23]. Lihat kitab Miftâhu Dâris Sa’âdah (1/64) dan Faidhul Qadîr (4/268).
[24]. HR at-Tirmidzi (no. 2682) dan Ibnu Mâjah (no. 223), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albâni.
[25]. Beliau adalah al-Hasan bin abil Hasan Yasar al-Bashri (wafat 110 H), seorang imam besar dan termasyhur dari kalangan tabi’in. Lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 160).
[26]. Diriwayatkan oleh imam Ad-Darimi dalam kitab “as-Sunan” (no. 324) dengan sanad yang shahih.