Pertanyaan :
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta’ ditanya:
Saya telah berwudhu untuk melakukan shalat lalu saya bawa seorang bayi, kemudian bayi itu menodai pakaian saya dengan air kencingnya, maka saya mencuci bagian yang terkena air kencing itu lalu saya shalat tanpa mengulangi wudhu. Apakah shalat saya itu sah?
Jawaban :
Shalat Anda sah, karena air kencing bayi yang mengenai Anda tidak membatalkan wudhu, akan tetapi Anda wajib mencuci noda yang mengenai Anda.
[Sumber: Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Jilid 1, Darul Haq, Cetakan VI 2010]
-----
Bekas Najis yang Sudah Kering
Pertanyaan :
Assalamu’alaikum Ustadz. Apakah najis cair bisa hilang/terangkat disebabkan sinar matahari maupun angin, seperti kencing bayi yang sedikit di pkaian kita? Terima kasih atas pencerahannya. (Dari: Abdillah)
Jawaban :
Wa’alaikumussalam. Kaidah pokok yang berlaku dalam masalah ini adalah
الحكم يدور مع علته وجوداً وعدماً
Hukum itu bergantung pada ada dan tidaknya ‘illah.
‘illah adalah segala sesuatu yang menyebabkan adanya hukum tertentu. Misalnya, wanita haid dilarang shalat. Adanya hukum ‘dilarang shalat’ karena adanya ‘illah berupa datang bulan. Ketika si wanita telah selesai haid, maka dia kembali wajib shalat, karena ‘illahnya sudah tidak ada.
Semacam juga berlaku untuk benda suci yang terkena najis. Baju atau kain suci yang terkena najis, statusnya menjadi najis, sehingga tidak boleh digunakan untuk shalat. Adanya hukum kain itu statusnya najis dan tidak boleh digunakan untuk shalat, karena adanya ‘illah berupa benda najis yang melekat di kain itu. Sehingga ketika benda najis itu telah hilang, maka kain itu kembali menjadi suci, karena ‘illahnya sudah tidak ada.
Imam Ibnu Utsaimin mengatakan,
إذا زالت عين النجاسة بأي مزيل كان، فإن المكان يطهر، لأن النجاسة عينٌ خبيثة، فإذا زالت زال ذلك الوصف وعاد الشيء إلى طهارته، لأن الحكم يدور مع علته وجوداً وعدماً
Apabila barang najis (yang menempel di benda suci) telah hilang dengan apapun caranya, maka benda itu kembali suci. Karena barang najis adalah barang kotor, sehingga ketika barang kotor ini sudah hilang maka sifat kotor pada benda (yang ketempelan najis) tersebut hilang, dan benda itu kembali suci. Karena setiap hukum bergantung kepada ada dan tidaknya ‘illah. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin, jilid 11, Bab. Izalah An-Najasah).
Menghilangkan Najis tidak Butuh Amal Tertetu
Perbuatan yang dilakukan manusia, secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi 2:
● Melakukan perintah (fi’lul ma’mur)
● Menjauhi larangan (ijtinabul mahdzur)
Hilangnya najis, termasuk jenis yang kedua, yaitu menjauhi larangan. Artinya, untuk menghilangkan najis, kita tidak diharuskan melakukan amal tertentu. Selama najis yang menempel di benda suci itu telah hilang, bagaimanapun caranya, maka status benda itu kembali suci. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:
كَانَتِ الْكِلاَبُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِى الْمَسْجِدِ فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ
“Dulu anjing-anjing sering kencing dan keluar-masuk masjid pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun mereka (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya) tidak mengguyur kencing anjing tersebut.” (HR. Bukhari 174, Abu Daud 382, dan lainnya).
Pada hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam para sahabat menganggap suci semua tanah masjid, padahal bisa jadi ada anjing yang kencing di sana. Namun, mengingat najis itu sudah hilang karena menguap, mereka menghukumi tanah itu tidak najis.
Dalam Aunul Ma’bud dinyatakan,
وَالْحَدِيثُ فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْأَرْضَ إِذَا أَصَابَتْهَا نَجَاسَةٌ فَجَفَّتْ بِالشَّمْسِ أَوِ الْهَوَاءِ فَذَهَبَ أَثَرُهَا تَطْهُرُ إِذْ عَدَمُ الرَّشِّ يَدُلُّ عَلَى جَفَافِ الْأَرْضِ وَطَهَارَتِهَا
Hadis ini menunjukkan dalil bahwa tanah yang terkena najis, kemduian kering karena terik matahari atau ditiup angin, sehingga bekas najisnya sudah hilang maka tanah itu menjadi suci. Karena, tidak diguyur air (pada hadis Ibnu Umar di atas), menunjukkan bahwa tanah itu telah kering, dan kembali suci.
Selanjutnya penulis mengatakan,
فَرُوِيَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ أَنَّهُ قَالَ جُفُوفُ الْأَرْضِ طُهُورُهَا
Diriwayatkan dari Abu Qilabah bahwa keringnya tanah, merupakan cara mensucikannya (Aunul Ma’bud, Syarh Abu Daud, 2:31).
Imam Ibnu Utsaimin mengatakan,
وإزالة النجاسة ليست من باب المأمور به حتى يقال: لابد من فعله، بل هو من باب اجتناب المحظور
“Menghilangkan najis bukanlah termasuk suatu amalan yang diperintahkan, sehingga dikatakan, harus melakukan amal tertentu untuk menghilangkan najis. Namun, terkait najis, termasuk bentuk menjauhi larangan.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin, jilid 11, Bab. Izalah An-Najasah).
Oleh karena itu, kencing bayi yang menempel di pakaian anda sudah kering, sehingga dipastikan dengan yakin tidak ada lagi bekas air kencing yang menempel di baju tersebut maka pakaian anda kembali suci.
Allahu a’lam
[Http://Cerkiis.blogspot.com, Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)]
Pertanyaan :
Assalamu’alaikum Ustadz. Apakah najis cair bisa hilang/terangkat disebabkan sinar matahari maupun angin, seperti kencing bayi yang sedikit di pkaian kita? Terima kasih atas pencerahannya. (Dari: Abdillah)
Jawaban :
Wa’alaikumussalam. Kaidah pokok yang berlaku dalam masalah ini adalah
الحكم يدور مع علته وجوداً وعدماً
Hukum itu bergantung pada ada dan tidaknya ‘illah.
‘illah adalah segala sesuatu yang menyebabkan adanya hukum tertentu. Misalnya, wanita haid dilarang shalat. Adanya hukum ‘dilarang shalat’ karena adanya ‘illah berupa datang bulan. Ketika si wanita telah selesai haid, maka dia kembali wajib shalat, karena ‘illahnya sudah tidak ada.
Semacam juga berlaku untuk benda suci yang terkena najis. Baju atau kain suci yang terkena najis, statusnya menjadi najis, sehingga tidak boleh digunakan untuk shalat. Adanya hukum kain itu statusnya najis dan tidak boleh digunakan untuk shalat, karena adanya ‘illah berupa benda najis yang melekat di kain itu. Sehingga ketika benda najis itu telah hilang, maka kain itu kembali menjadi suci, karena ‘illahnya sudah tidak ada.
Imam Ibnu Utsaimin mengatakan,
إذا زالت عين النجاسة بأي مزيل كان، فإن المكان يطهر، لأن النجاسة عينٌ خبيثة، فإذا زالت زال ذلك الوصف وعاد الشيء إلى طهارته، لأن الحكم يدور مع علته وجوداً وعدماً
Apabila barang najis (yang menempel di benda suci) telah hilang dengan apapun caranya, maka benda itu kembali suci. Karena barang najis adalah barang kotor, sehingga ketika barang kotor ini sudah hilang maka sifat kotor pada benda (yang ketempelan najis) tersebut hilang, dan benda itu kembali suci. Karena setiap hukum bergantung kepada ada dan tidaknya ‘illah. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin, jilid 11, Bab. Izalah An-Najasah).
Menghilangkan Najis tidak Butuh Amal Tertetu
Perbuatan yang dilakukan manusia, secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi 2:
● Melakukan perintah (fi’lul ma’mur)
● Menjauhi larangan (ijtinabul mahdzur)
Hilangnya najis, termasuk jenis yang kedua, yaitu menjauhi larangan. Artinya, untuk menghilangkan najis, kita tidak diharuskan melakukan amal tertentu. Selama najis yang menempel di benda suci itu telah hilang, bagaimanapun caranya, maka status benda itu kembali suci. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:
كَانَتِ الْكِلاَبُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِى الْمَسْجِدِ فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ
“Dulu anjing-anjing sering kencing dan keluar-masuk masjid pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun mereka (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya) tidak mengguyur kencing anjing tersebut.” (HR. Bukhari 174, Abu Daud 382, dan lainnya).
Pada hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam para sahabat menganggap suci semua tanah masjid, padahal bisa jadi ada anjing yang kencing di sana. Namun, mengingat najis itu sudah hilang karena menguap, mereka menghukumi tanah itu tidak najis.
Dalam Aunul Ma’bud dinyatakan,
وَالْحَدِيثُ فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْأَرْضَ إِذَا أَصَابَتْهَا نَجَاسَةٌ فَجَفَّتْ بِالشَّمْسِ أَوِ الْهَوَاءِ فَذَهَبَ أَثَرُهَا تَطْهُرُ إِذْ عَدَمُ الرَّشِّ يَدُلُّ عَلَى جَفَافِ الْأَرْضِ وَطَهَارَتِهَا
Hadis ini menunjukkan dalil bahwa tanah yang terkena najis, kemduian kering karena terik matahari atau ditiup angin, sehingga bekas najisnya sudah hilang maka tanah itu menjadi suci. Karena, tidak diguyur air (pada hadis Ibnu Umar di atas), menunjukkan bahwa tanah itu telah kering, dan kembali suci.
Selanjutnya penulis mengatakan,
فَرُوِيَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ أَنَّهُ قَالَ جُفُوفُ الْأَرْضِ طُهُورُهَا
Diriwayatkan dari Abu Qilabah bahwa keringnya tanah, merupakan cara mensucikannya (Aunul Ma’bud, Syarh Abu Daud, 2:31).
Imam Ibnu Utsaimin mengatakan,
وإزالة النجاسة ليست من باب المأمور به حتى يقال: لابد من فعله، بل هو من باب اجتناب المحظور
“Menghilangkan najis bukanlah termasuk suatu amalan yang diperintahkan, sehingga dikatakan, harus melakukan amal tertentu untuk menghilangkan najis. Namun, terkait najis, termasuk bentuk menjauhi larangan.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin, jilid 11, Bab. Izalah An-Najasah).
Oleh karena itu, kencing bayi yang menempel di pakaian anda sudah kering, sehingga dipastikan dengan yakin tidak ada lagi bekas air kencing yang menempel di baju tersebut maka pakaian anda kembali suci.
Allahu a’lam
[Http://Cerkiis.blogspot.com, Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)]