Minggu, 01 Oktober 2017
Pengakuan Cinta Rasul
Oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari
Seseorang tidaklah menjadi orang yang beriman sempurna, sampai dia mencintai Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih daripada seluruh manusia. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
"Tidaklah beriman –dengan keimanan yang sempurna- salah seorang dari kamu, sampai aku menjadi yang paling dia cintai daripada bapaknya, anaknya, dan seluruh manusia" [HR Bukhari, no. 15; Muslim, no. 44; dari Anas bin Malik].
Jika seseorang mencintai Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih daripada seluruh manusia, maka dia akan mengikuti petunjuk beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia akan lebih mengutamakan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam daripada petunjuk siapa saja dari kalangan manusia.
Al Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Ketahuilah, orang yang mencintai sesuatu, ia akan mengutamakannya dan mengutamakan kecocokan dengannya. Jika tidak, maka ia tidak benar di dalam kecintaannya, dan dia (hanya) sebagai orang yang mengaku-ngaku saja. Maka orang yang benar di dalam kecintaannya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah, orang yang nampak darinya tanda-tanda tersebut. Yang pertama dari tanda-tanda itu adalah, meneladani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mengamalkan sunnahnya (ajarannya), mengikuti perkataan dan perbuatannya, dan beradab dengan adab-adabnya, pada waktu kesusahan dan kemudahan, pada waktu senang dan benci”.[1]
Imam Ibnu Rajab al Hambali rahimahullah berkata: “Kecintaan yang benar mengharuskannya mengikuti dan mencocoki di dalam kecintaan apa-apa yang dicintai dan kebencian di dalam apa-apa yang dibenci... Maka barangsiapa mencintai Allah dan RasulNya dengan kecintaan yang benar dari hatinya, hal itu menyebabkan dia mencintai -dengan hatinya- apa yang dicintai oleh Allah dan RasulNya, dan dia membenci apa yang dibenci oleh Allah dan RasulNya, ridha dengan apa yang diridhai oleh Allah dan RasulNya, murka terhadap yang dimurkai oleh Allah dan RasulNya, dan dia menunjukkan kecintaan dan kebenciannya ini dengan anggota badannya”.[2]
Begitulah seharusnya kecintaan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi, pada zaman ini dan sebelumnya, banyak pengakuan cinta sebagian orang kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang dalam mewujudkannya dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak diridhai oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Di antara perbuatan-perbuatan tersebut ialah sebagaimana berikut ini.
1. Peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Syaikh Shalih al Fauzan –hafizhahullah- menyatakan, di antara bid’ah yang mungkar yang diada-adakan oleh sebagian orang adalah perayaan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada bulan Rabi’ul Awal. Di antara mereka ada yang sekedar berkumpul, mendengarkan bacaan kisah maulid, atau ceramah, atau qasidah. Di antara mereka ada yang membuat makanan tertentu dan manisan, lalu membagikannya kepada orang-orang yang hadir. Di antara mereka ada yang mengadakan di masjid-masjid. Di antara mereka ada yang mengadakan di rumah-rumah.
Di antara mereka ada yang tidak mencukupkan dengan apa yang telah disebutkan, lalu pertemuan itu dibuat mencakup hal-hal yang diharamkan dan kemungkaran-kemungkaran, berupa campur-aduk antara laki-laki dengan perempaun, tarian, nyanyian, atau perbuatan-perbuatan syirik, seperti minta dihilangkan kesusahan kepada Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, memanggil beliau, meminta pertolongan kepada beliau terhadap musuh, dan lainnya.
Dan (peringatan maulid) itu, dengan berbagai ragamnya dan perbedaan bentuk-bentuknya, serta perbedaan niat orang-orang yang mengadakannya, tidak ada keraguan dan kebimbangan, bahwa itu merupakan perbuatan bid’ah yang diharamkan, perkara baru yang diada-adakan oleh (kelompok) Syi’ah (yang mengaku keturunan Fatimah Radhiyallahu 'anhuma, (diada-adakan) setelah tiga generasi yang utama untuk merusak agama umat Islam.[3]
Kemudian Syaikh Shalih al Fauzan menyebutkan berbagai syubhat orang-orang yang mengadakan perayaan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antara syubhat-syubhat itu adalah, bahwa perayaan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menunjukkan kecintaan terhadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan menampakkan kecintaan kepada beliau Shallallahu 'alaihi was allam disyari’atkan.
Maka Syaikh Shalih al Fauzan membantah syubhat itu dengan mengatakan: “Tidak ada keraguan bahwa mencintai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan kewajiban atas setiap muslim, lebih besar daripada mencintai dirinya sendiri, anak, bapak, dan manusia seluruhnya. Semoga shalawat-shalawat dan salam diberikan kepada beliau.
Tetapi bukan berarti kita (kemudian) mengadakan sesuatu perkara baru (bid’ah) yang tidak disyari’atkan untuk kita. Bahkan mencintai beliau mengharuskan mentaati dan mengikuti beliau. Karena hal itu merupakan perwujudan kecintaan yang paling besar. Sebagaimana dikatakan di dalam sya’ir:
لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقًا لَأَطَعْتَهُ إِنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعٌ
Seandainya kecintaanmu itu benar, pastilah engkau akan mentaatinya,
Sesungguhnya orang yang mencintai itu mentaati orang yang dia cintai.
Mencintai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengharuskan menghidupkan sunnah (jalan, ajaran) beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, memegangnya kuat-kuat, dan menjauhi apa-apa yang menyelisihinya yang berupa perkataan dan perbuatan. Dan tidak ada keraguan, apa yang menyelisihi sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan bid’ah yang tercela dan kemaksiatan yang nyata, di antaranya adalah perayaan peringatan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bid’ah-bid’ah lainnya. Kebaikan niat tidak menjadikan bolehnya berbuat bid’ah di dalam agama. Karena sesungguhnya, agama itu dibangun di atas dua landasan, yaitu ikhlas (murni mencari ridha Allah) dan mutaba’ah (mengikuti sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ). Allah Ta’ala berfirman:
"(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan wajahnya kepada Allah (yaitu ikhlas, Pen), sedang ia berbuat kebajikan (yakni mutaba’ah. Pen), maka baginya pahala pada sisi Rabb-nya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati". [al Baqarah : 112].
Menyerahkan wajah kepada Allah adalah ikhlas kepada Allah, sedangkan ihsan (berbuat kebajikan) yakni mengikuti Rasul dan mencocoki sunnah.[4]
2. Memuji Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Secara Berlebihan.
Salah satu bentuk kecintaan adalah memuji kepada orang yang dicintai. Oleh karena itulah banyak sya’ir-sya’ir yang memuji Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan memuji sifat-sifat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Apabila pujian itu sesuai dengan hakikatnya, tidak berlebihan, maka tidak mengapa. Sebagaimana sebagian para penyair di kalangan sahabat memuji Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti Hassaan bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah, Ka’b bin Malik, dan lainnya Radhiyallahu 'anhum.
Namun sebagian orang memuji Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara berlebihan, bahkan ada yang sampai derajat kemusyrikan. Maka, hal ini termasuk sikap ghuluw (melewati batas) yang dilarang keras oleh agama, walaupun dengan alasan cinta Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengingatkan umatnya tentang hal ini dengan sabdanya:
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
"Janganlah engkau memujiku secara berlebihan sebagaimana Nashara telah memujiku secara berlebihan terhadap (Isa) Ibnu Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah “hamba Allah dan RasulNya”. [HR Bukhari, no. 3445, dari sahabat Umar bin al Khaththab].
Di antara contoh pujian yang berlebihan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah, qasidah (kumpulan sya’ir) mimiyah (yang diakhiri dengan huruf mim) karya Ibnu Sa’id al Bushiri (meninggal tahun 695H) di kota Iskandariyah, Mesir. Qasidah ini sangat terkenal pada sebagian umat Islam. Qasidah ini berisi kisah maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga banyak dibaca sebagian umat Islam saat merayakan peringatan maulid Nabi. Qasidah ini dikenal dengan nama burdah (selimut), karena konon, pembuat qasidah ini meminta kesembuhan dari penyakit lumpuh separo yang dia derita, dengan perantaraan pembacaan qasidahnya, lalu dia bermimpi didatangi oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengusapnya sehingga penyakitnya sembuh. Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan burdah kepadanya.
Perlu kita ketahui, bahwa mimpi tidak dapat dijadikan pedoman keyakinan dan hukum-hukum dalam masalah agama. Karena agama Islam telah sempurna, sehingga tidak membutuhkan tambahan dari mimpi-mimpi.
Penyimpangan nyata dari Qasidah Burdah Bushiri tersebut, antara lain adalah ucapannya pada bagian ke tiga dari qasidahnya:
يَا أَكْرَمَ الرُّسُلِ مَالِي مَنْ أَلُوْذُ بِهِ سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ الْعَمِمِ
Wahai Rasul yang paling mulia, tidak ada bagiku orang yang aku berlindung kepadanya kecuali engkau, di saat terjadinya musibah yang merata
Perkataan ini merupakan doa di saat kesusahan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan doa kepada selain Allah adalah syirik akbar yang mengeluarkan dari agama Islam!
3. Menciptakan Shalawat-Shalawat Bid’ah Dan Mengamalkannya.
Sesungguhnya shalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan salah satu bentuk ibadah yang agung. Kita dianjurkan memperbanyak bacaan shalawat, sehingga mengamalkannya merupakan sarana meraih kebaikan dan sekaligus menunjukkan kecintaan kita kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا
"Barangsiapa memohonkan shalawat atasku sekali, Allah bershalawat atasnya sepuluh kali". [HR Muslim, no. 408, dari Abu Hurairah].
Tetapi sayang, betapa banyak penyimpangan dan bid’ah yang dilakukan oleh banyak orang seputar shalawat Nabi. Antara lain tersebarnya shalawat-shalawat yang tidak disyari’atkan. Yaitu shalawat yang datang dari hadits-hadits dha’if (lemah), sangat dha’if, maudhu’ (palsu), atau tidak ada asalnya. Demikian juga shalawat yang dibuat-buat (umumnya oleh ahli bid’ah), kemudian mereka tetapkan dengan nama shalawat ini atau itu.
Shalawat seperti ini sangat banyak jumlahnya, bahkan sampai ratusan. Sebagai contoh, berbagai shalawat yang ada di dalam kitab Dalailul Khairat wa Syawariqul Anwar fii Dzikrish Shalah ‘ala Nabiyil Mukhtar, karya al Jazuli (meninggal th. 854H). Di antara shalawat bid’ah ini adalah shalawat Basyisyiyah, shalawat Nariyah, shalawat Fatih, dan lain-lain. Termasuk musibah, karena sebagian shalawat bid’ah itu mengandung kesyirikan.[5]
Jika demikian, maka mengamalkan shalawat-shalawat bid’ah itu merupakan kesesatan, bukan wujud kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
4. Merayakan Atau Mengagungkan Bekas-Bekas Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Yang Tidak Disyari’atkan Untuk Diagungkan.
Sebagian orang beranggapan bahwa salah satu bentuk mencintai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah dengan melestarikan, mengunjungi dan mengagungkan bekas-bekas atau jejak-jejak dari tempat-tempat yang dikaitkan dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seperti tempat kelahiran beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, tempat tahannuts (ibadah) beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam di goa Hira’, tempat bersembunyi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam di goa Tsaur, tempat mendekamnya onta beliau di Quba, Madinah, sumur jatuhnya cincin beliau, dan semacamnya. Anggapan seperti ini merupakan anggapan yang salah, anggapan jahiliyah dahulu maupun sekarang.
Umar bin al Khaththab Radhiyallahu 'anhu telah memerintahkan menebang pohon yang di bawahnya telah terjadi Bai’atur Ridhwan.
Demikian juga beliau Radhiyallahu 'anhu telah melarang orang-orang mengagungkan tempat-tempat yang dianggap mulia karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat di sana. Inilah riwayat yang menjelaskan hal tersebut :
Dari Ma’rur bin Suwaid, dia berkata: Aku bersama Umar di antara Makkah dan Madinah, kemudian beliau Radhiyallahu 'anhu shalat fajar (Shubuh) dengan kami. Beliau Radhiyallahu 'anhu membaca
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ (surat al Fiil) dan bersama لإِيلاَفِ قُرَيْشٍ (surat al Quraisy). Kemudian beliau melihat serombongan orang yang singgah dan shalat di dalam sebuah masjid. Maka beliau bertanya tentang mereka, maka orang-orang mengatakan: “(Itu adalah) sebuah masjid yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat di dalamnya,” kemudian Umar mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu binasa karena menjadikan jejak-jejak Nabi mereka sebagai tempat-tempat ibadah. Barangsiapa melewati suatu masjid, kemudian (waktu) shalat hadir, hendaklah dia shalat. Jika tidak, maka hendaklah dia terus".[6]
Sikap Umar bin al Khaththab Radhiyallahu 'anhu di atas sebagai wujud untuk menjaga aqidah umat. Jangan sampai umat terjerumus ke dalam kemusyrikan disebabkan ghuluw (melewati batas) terhadap jejak-jejak (bekas-bekas) orang-orang shalih.
Dari sini kita mengetahui, bahwa menunjukkan kecintaan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan cara melestarikan peninggalannya dan mengagungkannya, adalah merupakan sarana menuju kebinasaan. Maka tidak sepantasnya dilakukan oleh orang yang benar-benar mencintai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan cara mencintai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah dengan mewujudkan ittiba’ (mengikuti) terhadap sunnah beliau secara lahir batin, sebagaimana telah kami sampaikan.
Semoga kita memahami dan mengenal cara mewujudkan cinta kepada Rasullullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sebaik-baiknya.
[Http://Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12//Tahun IX/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Footnote
[1]. Asy Syifa’, hlm. 571, dinukil dari Abhaats fil I’tiqad, hlm. 37, karya Abdul ‘Aziz bin Muhammad Alu Abdul Lathif.
[2]. Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hlm. 2/397.
[3]. Hukmul Ih-tifal bi Dzikril Maulid Nabawi, karya Syaikh Shalih al Fauzan, termuat di dalam kumpulan risalah Huququn Nabi Bainal Ijlal wal Ikh-lal, hlm. 151-152.
[4]. Ibid, hlm. 159-160.
[5]. Lihat Mu’jamul Bida’, hlm. 345-346, karya Syaikh Raid bin Shabri bin Abi 'Ulfah; Fadh-lush Shalah ‘alan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, hlm. 20-24, karya Syaikh Abdul Muhshin bin Hamd al ‘Abbad; Minhaj al Firqah an Najiyah, hlm. 116-122, karya Syaikh Muhammad Jamil Zainu; dan Sifat Shalawat & Salam Kepada Nabi n , hlm. 72-73, karya Ustadz Abdul Hakim bin Amir bin Abdat.
[6]. Riwayat Abdurrazaq (2/118-119), Abu Bakar bin Abi Syaibah (2/376-377), dengan sanad yang shahih. Dinukil dari ar Raddu ‘ala ar Rifa’i wal Buuthi, hlm. 52-53, karya Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al ‘Abbad, Penerbit Dar Ibnil Atsir; Cet. I, Th. 1421H/2000M.