Manakah yang mesti didahulukan saat makan malam -misalnya- telah tersaji, apakah makan dulu baru mengerjakan shalat? Atau bagaimana?
Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ
“Tidak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan, begitu pula tidak ada shalat bagi yang menahan (kencing atau buang air besar).” (HR. Muslim no. 560).
Dalam hadits dari Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan,
إِذَا قُدِّمَ الْعَشَاءُ فَابْدَءُوا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا صَلاَةَ الْمَغْرِبِ ، وَلاَ تَعْجَلُوا عَنْ عَشَائِكُمْ
“Jika makan malam telah tersajikan, maka dahulukan makan malam terlebih dahulu sebelum shalat Maghrib. Dan tak perlu tergesa-gesa dengan menyantap makan malam kalian.” (HR. Bukhari no. 673 dan Muslim no. 557).
Yang Dinafikan dalam Hadits
Jika disebutkan tidak dengan kata “laa” dalam hadits, maka yang dimaksud bisa tiga makna:
(1) laa yang menafikan keberadaan, artinya tidak ada, (2) laa yang menafikan kesahan, artinya tidak sah, (3) laa yang menafikan kesempurnaan, artinya tidak sempurna. Demikian maksud penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin.
Kalau dimaknakan dengan makna peniadaan secara total, tidaklah tepat karena masih saja ada orang yang shalat saat makanan sudah disajikan atau sambil menahan kentut.
Kalau shalat saat makanan tersaji tidak sah, ini bisa jadi menurut ulama yang berpendapat kekhusyu’an itu wajib ada di dalam shalat. Jika dalam shalat terlalu sibuk dengan hal-hal lain di luar shalat, shalatnya tidaklah sah.
Kalau kita nyatakan bahwa kekhusyu’an adalah sunnah shalat, bukanlah wajib sebagaimana yang dinyatakan oleh mayoritas ulama, berarti “laa” yang dimaksud dalam hadits adalah tidak sempurna. Dapat kita tarik kesimpulan bahwa yang lebih tepat, kalimat dalam hadits berarti “tidak sempurna shalat seseorang ketika makanan telah dihidangkan”.
Berarti, dapat kita sebut bahwa shalat saat makanan telah tersaji, hukumnya makruh.
Kalau dimaknakan dengan makna peniadaan secara total, tidaklah tepat karena masih saja ada orang yang shalat saat makanan sudah disajikan atau sambil menahan kentut.
Kalau shalat saat makanan tersaji tidak sah, ini bisa jadi menurut ulama yang berpendapat kekhusyu’an itu wajib ada di dalam shalat. Jika dalam shalat terlalu sibuk dengan hal-hal lain di luar shalat, shalatnya tidaklah sah.
Kalau kita nyatakan bahwa kekhusyu’an adalah sunnah shalat, bukanlah wajib sebagaimana yang dinyatakan oleh mayoritas ulama, berarti “laa” yang dimaksud dalam hadits adalah tidak sempurna. Dapat kita tarik kesimpulan bahwa yang lebih tepat, kalimat dalam hadits berarti “tidak sempurna shalat seseorang ketika makanan telah dihidangkan”.
Berarti, dapat kita sebut bahwa shalat saat makanan telah tersaji, hukumnya makruh.
Faedah Hadits
Beberapa faedah yang bisa disimpulkan dari hadits:
1- Islam sangat perhatian terhadap shalat sampai-sampai memerintahkan untuk konsentrasi dalam shalat dan menghilangkan pikiran di luar shalat.
2- Shalat dengan penuh kekhusyu’an lebih utama daripada shalat di awal waktu karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menyarankan untuk makan lebih dulu supaya kekhusyu’an shalat tidak terganggu dengan hadirnya makanan.
3- Memilih untuk menyantap makan tidaklah mengapa walau shalat jama’ah nantinya luput. Kalau menyantap saat waktu shalat itu bukan rutinitas dan telah rutin mengerjakan shalat secara berjama’ah, maka pahala berjama’ah tetap dicatat. Hal ini berdasarkan hadits,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seorang hamba dalam keadaan sakit atau bersafar, maka akan dicatat baginya semisal keadaan beramalnya saat mukim (tidak bersafar) atau saat sehat (tidak sakit).” (HR. Bukhari no. 2996). Makan saat shalat berjama’ah termasuk uzur yang sama dengan hadits ini, sehingga juga akan dicatat sama halnya ketika sakit atau bersafar.
4- Jika makanan belum dihidangkan saat sudah merasa lapar, maka tetap shalat dikerjakan lebih dulu. Hadits di atas dimaksudkan mendahulukan shalat jika makanan telah tersaji. Karena saat itu kecenderungan hati lebih besar dibanding saat makanan belum hadir.
Jadi prinsipnya bukanlah “ketika lapar lebih baik makan daripada shalat.” Prinsip yang dimaksud dalam hadits adalah “mendahulukan makan dari shalat saat makanan telah tersajikan.”
5- Maksud dari mendahulukan makan dari shalat adalah ketika benar-benar dalam keadaan butuh untuk makan (benar-benar lapar). Karena sebab larangan mendahulukan shalat kala itu adalah karena masalah khusyu’ dan konsentrasi hati. Jika hati tidak begitu butuh pada makan, maka tidak jadi larangan mendahulukan shalat saat itu. Karena “al hukmu yaduuru ma’a illatihi wujudan aw ‘adaman”, hukum itu berputar pada ada atau tidaknya illah.
6- Jika makanan telah tersaji namun saat itu tidak boleh disantap, maka bukan berarti shalat mesti ditinggalkan.
Misalnya, jika belum shalat Ashar dan kita baru terbangun saat mendekati matahari terbenam dan masih belum waktu berbuka puasa, namun makanan telah tersaji. Maka tidak bisa dikatakan bahwa kita tidak shalat Ashar saja karena makanan telah tersaji, tunda saja shalat tersebut sampai berbuka. Yang benar, shalat Ashar tetap dikerjakan meskipun makanan belum bisa disantap karena memang belum saatnya waktu berbuka.
7- Jika ada makanan porsi besar dan makanan ringan saat berbuka puasa, maka yang lebih baik tetap mendahulukan makanan ringan, barulah setelah shalat Maghrib dilanjutkan dengan makanan berat. Demikian kesimpulan dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin.
Referensi:
Fathu Dzil Jalali wal Ikrom, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan Madarul Wathon, cetakan pertama, tahun 1426 H, 2: 480-483, 2: 511-517.
[Cerkiis.blogspot.com, Artikel Rumaysho. Disusun di malam hari, 22 Jumadats Tsaniyyah 1435 H di rumah tercinta Panggang, Gunungkidul. Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal]