Kamis, 24 November 2016

Taqlid dan Sedikit Penjelasan Tentang Perbedaannya dengan Ittiba'


Definisi Taqlid

Kata taqliid (تَقْلِيْدٌُ) adalah mashdar dari qallada – yuqallidu (قَلَّدَ - يُقَلِّدُ). Secara bahasa, ia adalah bermakna :

وضع الشيء في العنق محيطاً به كالقلادة

”Meletakkan sesuatu di leher dengan melilitkannya seperti kalung” [Al-Ushul min ’Ilmil-Ushul oleh Ibnu ’Utsaimin hal. 49 – Maktabah Al-Misykah. Definisi yang serupa dikatakan pula oleh Asy-Syinqithi dalam Mudzakaratu Ushuulil-Fiqh hal. 305 – Cet. Multaqaa Ahlil-Hadiits].


Adapun secara istilah (syari’at) taqliid bermakna :

قبول قول الغير من غير معرفة دليله


”Menerima satu perkataan tanpa mengetahui dalilnya” [Mudzakaratu Ushuulil-Fiqh hal. 306 – Cet. Multaqaa Ahlil-Hadiits].

اتباع من ليس قوله حجة

”Mengikuti orang yang perkataannya bukan hujjah” [Al-Ushul min ’Ilmil-Ushul oleh Ibnu ’Utsaimin hal. 49 – Maktabah Al-Misykah].

العمل بقول الغير من غير حجة

”Satu perbuatan yang didasarkan oleh satu perkataan tanpa hujjah” [Irsyaadul-Fuhuul oleh Asy-Syaukani juz 2 hal. 51 – Maktabah Al-Misykah].

Al-Amidy mendefinisikan hal yang mirip dengan Asy-Syaukani [Ihkaamul-Ahkaam 4/220].

Apakah taqlid itu terpuji dalam ilmu ?

Al-Hafidh Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah dalam kitabnya yang masyhur : Jami’u Bayanil-‘Ilmi wa Fadhlihi juz 2 hal. 36-37 mengatakan :

العلم عند العلماء المتكلمين في هذا المعنى هو ما استيقنته وتبينته وكل من استقن شيئا وتبينه فقد علمه وعلى هذا من لم يستيقن الشيء وقال به تقليدا أفلم يعلمه والتقليد عند جماعة العلماء غير الاتباع لأن الاتباع هو ان تتبع القائل على ما بان لك من فضل قوله وصحة مذهبه والتقليد أن تقول بقوله وأنت لا تعرفه ولا وجه القول ولا معناه

“Definisi ilmu menurut ulama adalah : Sesuatu yang kamu perdalami dan kamu pahami, dan setiap orang yang mendalami sesuatu dan memahaminya maka sesungguhnya dia mengetahui. Atas dasar ini, maka orang yang tidak mendalami sesuatu, lalu ia mengatakannya karena taqlid, maka dia tidak mengetahuinya. Sedangkan taqlid menurut ulama adalah bukan ittiba’ (mengikuti). Sebab ittiba’ adalah bila kamu mengikuti orang yang berpendapat tentang sesuatu yang telah kamu ketahui keshahihan (kebenaran) pendapatnya. Sedangkan taqlid adalah bila kamu mengatakan pendapat seseorang dan kamu tidak mengetahui arah dan arti pendapat tersebut” [selesai].

Bahkan Ibnu Abdil-Barr menulis dalam kitabnya tersebut satu bab khusus yang berjudul : Kerusakan Taqlid dan Penafikannya; Serta Perbedaan Antara Taqlid dan Ittiba’ [باب فساد التقليد ونفيه والفرق بين التقليد والاتباع]. Pada bab tersebut beliau menukil perkataan salah seorang pembesar ulama Malikiyyah yang bernama : Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad Al-Bashri Al-Maliki :

وقال أبو عبد الله بن خويز منداد البصري المالكي التقليد معناه في الشرع الرجوع إلى قول لا حجة لقائله عليه وذلك ممنوع منه في الشريعة والاتباع ما ثبت عليه حجة وقال في موضع آخر من كتابه كل من ابتعت قوله من غير أن يجب عليك قوله لدليل يوجب ذلك فأنت مقلده والتقليد في دين الله غير صحيح وكل من أوجب عليك الدليل اتباع قوله فأنت متبعه والاتباع في الدين مسوغ والتقليد ممنوع

Dan berkata Abu ‘Abdillah bin Khuwaiz Mindad Al-Bashri Al-Maliki : “Makna taqlid dalam syari’at adalah merujuk suatu pendapat yang tidak memiliki hujjah, dan yang demikian itu adalah dilarang dalam syari’at. Sedangkan ittiba’ adalah (merujuk) pada satu pendapat yang disertai hujjah (dalil)”. Dan beliau berkata di tempat yang lain : “Setiap orang yang Engkau ikuti perkataannya tanpa ada dalil yang mengharuskan hal itu, maka Engkau adalah orang yang taqlid kepadanya. Sementara taqlid tidaklah dibenarkan dalam agama Allah. Setiap orang yang Engkau ikuti karena adanya dalil yang mengharuskan Engkau mengikuti pendapatnya, maka Engkau dianggap ittiba’ (mengikutinya). Ittiba’ adalah hal yang diperkenankan dalam agama sedangkan taqlid adalah hal yang dilarang” [selesai – lihat Jami’u Bayanil-‘Ilmi wa Fadhlihi 2/117].

Imam As-Suyuthi berkata :
“Sesungguhnya orang yang taqlid itu tidak dinamakan orang yang berilmu” [Dinukil As-Sindi dalam hasyiyah-nya/ terhadap Sunan Ibni Majah 1/7 dan dia menetapkannya].

Bagaimana bisa seorang yang taqlid (muqallid) dinamakan sebagai orang yang berilmu padahal ia hanya mendasarkan perkataan dan perbuatannya hanya dengan konsep “ikut-ikutan” ? Hakekat seorang muqallid , tidaklah membangun amalnya dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan pengetahuan ijma’.

Beda dengan Ittiba'

Konsep taqliid sangatlah berbeda dengan ittiba’ . Ittiba’ adalah mengikuti satu pendapat dari seorang ulama dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh ulama tersebut. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah memberikan penjelasan yang menukil dari perkataan Abu Dawud : “Aku mendengar Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan : Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya radliyallaahu ‘anhum” [selesai – lihat I’lamul-Muwaqqi’in 2/139].

Konsep ittiba’ inilah yang tercermin dari perkataan :

Al-Imam An-Nu'man bin Tsabit, Abu Hanifah :

لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا ما لم يعلم من أين أخذناه

“Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil pendapat kami sebelum dia mengetahui dari mana kami mengambilnya” [Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 6/293].

Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i :

أجمع المسلمون على أن من استبان له سنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يحل له أن يدعها لقول أحد

“Kaum muslimin telah bersepakat bahwa barangsiapa yang telah mendapatkan kejelasan baginya tentang Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena pendapat seseorang” [Al-Fulani halaman 68].

Al-Imam Malik bin Anas :

إنما أنا بشر أخطئ وأصيب، فانظروا في رأيي؛ فكل ما وافق الكتاب والسنة فخذوه، وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه

“Aku ini hanyalah manusia yang terkadang salah terkadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku, setiap pendapat yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, maka ambillah. Dan yang tidak sesuai maka tinggalkanlah” [Ibnu Abdil-Barr dalam Al-Jami’ 2/32].

Al-Imam Ahmad bin Hanbal :

لا تقلدني، ولا تقلد مالكاً ولا الشافعي ولا الأوزاعي، ولا الثوري، وخذ من حيث أخذوا

“Jangan engkau taqlid kepadaku, dan jangan pula kepada Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i, dan Ats-Tsauri. Tetapi ambillah darimana mereka mengambil” [Ibnul-Qayyim dalam I’lamul-Muwaqqi’in 2/302].

Sedikit uraian di atas dapat memberikan kejelasan kepada kita bahwa taqlid itu secara umum adalah perkara yang dicela dalam agama; dan ittiba’ adalah perkara yang dipuji dalam agama.

Dalil yang menjadi hujjah bathilnya taqlid adalah firman Allah :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتّبِعُوا مَآ أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ بَلْ نَتّبِعُ مَآ أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَآءَنَآ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami." "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?."[QS. Al-Baqarah : 170].

Mungkin sebagian orang merasa bingung mengapa ayat tersebut dijadikan sebagai dalil celaan terhadap taqlid padahal redaksinya memakai kata ittabi’uu (اتّبِعُوا) dan nattabi’ (نَتّبِعُ).

Maka hal ini dapat dijelaskan : Kata tabi’a (تَبِعَ) mempunyai makna bahasa, yaitu : mengikuti. Dan konteks mengikuti dalam ayat tersebut adalah mengikuti hal yang jelek dari perbuatan nenek moyang mereka dimana mereka (kaum kafir ‘Arab) tidak mempunyai hujjah tentang hal itu. Inilah yang disebut para ulama sebagai taqlid; yaitu mengikuti sesuatu tanpa hujjah/dalil (walaupun secara redaksi ayat menggunakan tabi’a). Ini adalah taqlid dalam pengertian istilah sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Mari kita simak apa yang dijelaskan oleh Al-Imam Al-Qurthubi dalam Tafsirnya (Al-Jami’u li Ahkaamil-Qur’an – penjelasan QS. Al-Baqarah ayat 170) :

قال علماؤنا: وقوة ألفاظ هذه الآية تعطي إبطال التقليد

“Telah berkata ulama-ulama kami bahwa kekuatan lafadh-lafadh yang terkandung dalam ayat ini menandakan batalnya taqlid” [selesai].

Al-Imam Asy-Syaukani dalam Fathul-Qadir (penjelasan QS. Al-Baqarah ayat 170) berkata :

وفي هذه الآية من الذم للمقلدين والنداء بجهلهم الفاحش واعتقادهم الفاسد ما لا يقادر قدره

“Dalam ayat tersebut terdapat celaan terhadap para muqallid (orang-orang yang taqlid), dan menyerukan kejahilan dan aqidah mereka yang rusak, yang tidak lagi mempunyai nilai” [selesai].

Kebalikan dari itu, di sisi lain Allah menggunakan kata tabi’a dalam makna positif dan terpuji. Allah berfirman :

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبّونَ اللّهَ فَاتّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رّحِيمٌ

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [QS. Ali ‘Imran : 31].

Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat tersebut :

هذه الاَية الكريمة حاكمة على كل من ادعى محبة الله وليس هو على الطريقة المحمدية فإنه كاذب في دعواه في نفس الأمر حتى يتبع الشرع المحمدي, والدين النبوي في جميع أقواله وأفعاله وأحواله

“Ayat yang mulia ini sebagai hakim bagi setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah, akan tetapi tidak mengikuti sunnah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam. Karena orang seperti ini berarti dusta dalam pengakuan cintanya kepada Allah sampai dia ittiba’ kepada syari’at agama Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam segala ucapan dan tindak tanduknya” [selesai].

Mengikuti Allah dan Rasul ekuivalen dengan mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah. Hal ini tentu berbeda dengan ayat celaan terhadap taqlid (QS. Al-Baqarah : 170) dimana "mengikuti" dalam ayat tersebut dalam konteks mengikuti kebiasaan nenek moyang. Nenek moyang bukanlah hujjah. Di sinilah perbedaan dua sisi "mengikuti" - antara taqlid dan ittiba'.

NB : Ini adalah tambahan atau bahkan mungkin pengulangan dari apa yang dijelaskan oleh Al-Ustadz Arif Fathul Ulum yang banyak ditulis kembali, disitir, atau direpro oleh sebagian ikhwah di beberapa website, blog, atau milis.

[Cerkiis.blogspot.com, Sumber : Penulis Ustadz Abul-Jauzaa’ 1429]