Jumat, 29 April 2016

Diangkatnya Muhammad Menjadi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Diangkatnya Muhammad Menjadi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

BAHASAN : SIRAH NABI

DIANGKATNYA MUHAMMAD MENJADI NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM

Pada edisi lalu, telah dipaparkan bahwa para ahli kitab sudah mengetahui akan kedatangan seorang rasul. Mereka mengetahui nama dan sifatnya. Akan tetapi, karena faktor kesombongan dan kecongkakan, saat rasul yang ditunggu-tunggu ini telah diutus oleh Allah Azza wa Jalla , dan ternyata bukan dari golongan mereka, serta merta mereka mengingkarinya.

Di antara peristiwa manakjubkan menjelang kenabian,yaitu adanya sebuah batu yang mengucapkan salam kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Peristiwa ini diceritakan sendiri oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim (4/1782) :

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَأَعْرِفُ حَجَرًا بِمَكَّةَ كَانَ يُسَلِّمُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ أُبْعَثَ إِنِّي لَأَعْرِفُهُ الْآنَ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Sungguh aku mengetahui, ada sebuah batu di daerah Mekkah, yang dia itu mengucapkan salam kepadaku sebelum aku diangkat menjadi Rasul. Aku sungguh mengetahuinya sekarang.”

Ketika menjelaskan hadits ini, Imam Nawawi mengatakan, di dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang salah satu mu’jizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

PERISTIWA TURUNNYA WAHYU
Aisyah Radhiyallahu anhuma menceritakan, peristiwa menjelang kenabian dan saat wahyu pertama diturunkan melalui Malaikat Jibril Alaihissallam, ia Radhiyallahu anhuma mengatakan[1] : “Peristiwa yang mengawali turunnya wahyu kepada Rasulullah, yaitu mimpi yang benar dalam tidur. Beliau tidak memimpikan sesuatu, kecuali mimpi itu datang bagaikan cahaya Subuh”.

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam suka berkhalwat (menyendiri), bertempat di dalam Gua Hira.[2] Disanalah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertahannuts[3] (yaitu beribadah) selama beberapa malam sebelum pulang ke keluarganya dan mengambil bekal lagi untuk beribadah, kemudian kembali lagi ke Khadijah, serta mengambil bekal lagi untuk itu. Peristiwa ini berulang terus sampai al haq datang kepadanya. Namun tidak ada riwayat yang menjelaskan cara beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam beribadah pada waktu itu.[4]

Malaikat Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam [5] dan mengatakan :

اقْرَأْ قَالَ مَا أَنَا بِقَارِئٍ قَالَ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ قُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّانِيَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ فَقُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّالِثَةَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي

“Bacalah !”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Saya tidak bisa membaca,” beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ”Lalu Malaikat Jibril merangkulku, sampai aku merasa kepayahan, kemudian dia melepasku dan mengatakan : “Bacalah!”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Saya tidak bisa membaca,” dia merangkulku untuk kali kedua, sampai aku merasa kepayahan, kemudian dia melepasku dan mengatakan,”Bacalah!”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Saya tidak bisa membaca,” dia merangkulku untuk ketiga kalinya, sampai aku merasa kepayahan, kemudian dia melepasku, dan mengatakan :

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ ﴿١﴾ خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ ﴿٢﴾ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ ﴿٣﴾ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ ﴿٤﴾ عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ ﴿٥﴾ كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَىٰ

Bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabb-mulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. [al ‘Alaq/96 : 1-5].

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dengan hati gemetar. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke Khadijah binti Khuwailid dan berseru : “Selimuti aku! Selimuti aku!” Kemudian beliau diselimuti sampai rasa takutnya hilang.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan apa yang dialaminya kepada Khadijah, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Aku mengkhawatirkan diriku sendiri.”

Khadijah berkata seraya menghibur : “Sama sekali tidak. (Bergembiralah), demi Allah! Allah Azza wa Jalla tidak akan membinasakanmu selama-lamanya. Karena engkau menyambung tali silaturrahim, (berkata jujur), menghormati tamu, mampu menahan beban (tidak berkeluh-kesah), membantu orang tidak punya, serta menolong duta-duta kebenaran”.

Lalu Khadijah membawanya mendatangi Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uza, sepupu Khadijah, yaitu anak dari saudara bapaknya. Pada masa jahiliyah, Waraqah ini penganut agama Nashrani. Dia bisa menulis kitab dalam bahasa Ibrani. Dia menulis Injil dalam bahasa Ibrani, sesuai dengan kehendak Allah. Dia sudah lanjut usia dan buta.

Khadijah berkata kepadanya : “Wahai, anak pamanku (sepupuku). Dengarkanlah cerita dari anak saudaramu ini,” Waraqah menyahut, ”Wahai, anak saudaraku! Apa yang engkau lihat?”

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai menceritakan apa yang dilihatnya. Setelah mendengar cerita itu, Waraqah berkata : “Ini adalah an Namus yang pernah turun kepada Nabi Musa Alaihissallam. Seandainya aku masih muda saat itu, seandainya aku masih hidup dikala engkau diusir oleh kaummu,” (mendengar ini) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ”Apakah mereka akan mengusirku?”

Waraqah menjawab, ”Ya. Tidak ada seorang pun yang datang membawa seperti yang apa engkau bawa, kecuali dia akan dianiaya. Seandainya aku masih mendapatkan zamanmu, pasti aku akan benar-benar menolongmu,” dan tak lama kemudian Waraqah meninggal. [HR Imam Bukhari, no. 6982] [6].

Hadits yang panjang ini menjelaskan :

1. Iqra’ (al Alaq ayat 1-5) merupakan bagian dari al Qur`an yang pertama kali turun kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Peristiwa ini terjadi saat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berusia 40 tahun. Sedangkan riwayat yang menyatakan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima wahyu saat usia empat puluh tiga tahun adalah riwayat yang sadz (riwayat dari orang tsiqah, namun menyelisihi riwayat dari orang-orang yang lebih tsiqah). Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam an Nawawi dan Imam Ibnu Hajar al Asqalani. [Lihat ash Shirat an Nabawiyah ash Shahihah, hlm. 124].

2. Turunnya wahyu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan peristiwa yang tidak disangka-sangka. Oleh karena itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan ketakutan teramat sangat.

3. Sikap Khadijah dalam menenangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membantunya untuk mengetahui hakikat dari kejadian tersebut.

4. Menunjukkan kadar pengetahuan Waraqah tentang para nabi dan peringatannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kejadian-kejadian yang dialaminya. Juga menjelaskan tentang keinginannya untuk membantu dan mendukung Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika dia masih hidup, namun dia meninggal sebelum peristiwa yang diperkiraan itu terjadi.

[Http://cerkiis.blogspot.comDisalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196, almanhaj.or.id]

Footnote
[1]. HR Imam Bukhari dalam at Tafsir, no. 4953. Lihat Shahih Sirah, karya Syaikh al Albani, hlm. 84.

[2]. Yang terletak di bukit Hira. Untuk sampai kesana, perlu waktu sekitar tiga puluh menit. Lihat Sirah an Nabawiyah ash Shahihah, hlm. 123.

[3]. Ibnu Hajar (Fathul Baari 12/355) mengatakan : “Seakan berkhalwat itu termasuk perkara-perkara syar’i yang masih tersisa pada mereka dalam bentuk sunnah i’tikaf”.

Ibnu Ishaq (Sirah Ibnu Hisam, 1/253) menyatakan : “Berkhalwat itu merupakan salah satu cara di antara cara-cara beribadah yang dilakukan oleh kaum Quraisy pada masa jahiliyah”. Lihat Sirah an Nabawiyah ash Shahihah, hlm. 123.

[4]. Sirah an Nabawiyah ash Shahihah, hlm. 125.

[5]. Peristiwa ini terjadi pada hari Senin saat siang hari bulan Ramadhan.

[6]. Shahih Sirah, karya Syaikh al Albani, hlm. 85-86.