Oleh Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil
KITAB : HARI KIAMAT [1]
20. BERLOMBA-LOMBA MENINGGIKAN BANGUNAN
Ini adalah salah satu tanda Kiamat yang muncul dekat dengan masa kenabian. Setelah itu menyebar sehingga manusia berbangga-bangga membuat bangunan tinggi dan menghiasi rumah. Hal itu disebabkan karena dunia dibentangkan kepada kaum muslimin dan melimpahnya harta digenggaman mereka setelah banyaknya penaklukan. Demikianlah keadaannya dalam waktu yang lama hingga banyak dari mereka yang tunduk pada dunia, dan penyakit umat sebelum mereka menjalari mereka, yaitu berlomba-lomba mengumpulkan harta dan menggunakannya pada tempat yang tidak layak menurut pandangan agama, hingga orang-orang badui dan yang semisalnya dari kalangan orang-orang fakir dilapangkan untuk memperoleh dunia seperti yang lainnya. Mereka mulai mendirikan bangunan bertingkat dan berlomba-lomba di dalamnya.
Semua hal ini telah terjadi, sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dijelaskan dalam ash-Shahiihain dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Jibril Alaihissallam ketika ia bertanya tentang waktu terjadinya Kiamat:
وَلَكِنْ سَأُحَدِّثُكَ عَنْ أَشْـرَاطِهَا... (فَذَكَرَ مِنْهَا:) وَإِذَا تَطَاوَلَ رِعَاءُ الْبَهْمِ فِي الْبُنْيَانِ فَذَاكَ مِنْ أَشْرَاطِهَا.
“Akan tetapi aku akan menyebutkan kepadamu tanda-tandanya… (lalu beliau menyebutkan, di antaranya:) jika para pengembala kambing berlomba-lomba meninggikan bangunan, maka itulah di antara tanda-tandanya.” [1]
Sementara dalam riwayat Muslim diungkapkan:
وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِي الْبُنْيَانِ.
“Dan engkau menyaksikan orang yang tidak memakai sandal, telanjang lagi miskin yang mengembala domba, berlomba-lomba membuat bangunan yang tinggi.” [2]
Dan dijelaskan dalam riwayat Imam Ahmad dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, beliau berkata:
يَا رَسُـولَ اللهِ، وَمَنْ أَصْحَابُ الشَّاءِ وَالْحُفَاةُ الْجِيَـاعُ الْعَالَةُ قَالَ: اَلْعَرَبُ.
“Wahai Rasulullah, dan siapakah para pengembala, orang yang tidak memakai sandal, dalam keadaan lapar dan yang miskin itu?” Beliau menjawab, “Orang Arab.” [3]
Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ... حَتَّى يَتَطَاوَلَ النَّاسُ فِي الْبُنْيَانِ.
“Tidak akan datang hari Kiamat… hingga manusia berlomba-lomba meninggikan bangunan.” [4]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Makna berlomba-lomba meninggikan bangunan adalah setiap orang yang membangun rumah ingin jika rumahnya itu lebih tinggi daripada yang lainnya. Mungkin pula maknanya adalah berbangga-bangga dengan memperhias dan memperindahnya, atau makna yang lebih umum dari itu. Hal itu telah banyak ditemukan bahkan bertambah banyak.”[5]
Hal ini telah nampak dengan jelas di masa sekarang ini. Orang-orang banyak berlomba mendirikan bangunan, merasa bangga dengan ketinggian, luas, dan keindahannya, bahkan masalah ini sampai pada pembangunan gedung pencakar langit yang terkenal di Amerika dan negeri-negeri lainnya.
[http://Cerkiis.blogspot.com, Artikel: almanhaj. Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir.]
Footnote
[1]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Iimaan, bab Su-aalul Jibriil an-Nabiyya J ‘anil Iimaan wal Islaam, bab Bayaanul Iimaan wal Islaam wal Ihsaan (I/161-164).
[2]. Shahiih Muslim, kitab al-Iimaan, bab Bayaanul Iimaan wal Islaam wal Ihsaan (I/158, Syarh an-Nawawi).
[3]. Musnad Ahmad (IV/332-334, no. 2926), Syarah Ahmad Syakir, beliau berkata, “Sanadnya shahih.”
Al-Haitsami berkata, “Ahmad dan al-Bazzar meriwayatkan dengan yang semisalnya… dan di dalam sanad Ahmad ada Syahr bin Hausyab.” (Majma’uz Zawaa-id I/38-39).
Al-Albani berkata, “Sanad ini tidak mengapa.” Lihat kitab Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah.” (III/ 332, no. 1345).
[4]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan bab (tanpa bab) (XIII/81-82, al-Fat-h).
[5]. Fat-hul Baari (XIII/88).
KITAB : HARI KIAMAT [1]
21. BUDAK WANITA MELAHIRKAN TUANNYA (RABBATAHA) [1]
Dijelaskan dalam hadits Jibril Alaihissallam yang panjang, sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
سَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا: إِذَا وَلَدَتِ الْمَرْأَةُ رَبَّتَهَا.
“Aku akan memberitahukan kepadamu tanda-tandanya; jika seorang (sahaya) wanita melahirkan tuannya.” [2] [Muttafaq ‘alaih]
Sementara dalam riwayat Muslim:
إِذَا وَلَدَتِ اْلأَمَةُ رَبَّهَا.
“Jika seorang sahaya wanita melahirkan tuannya.”
Para ulama berbeda pendapat tentang makna tanda Kiamat ini dengan berbagai pendapat. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menuturkan empat pendapat di antaranya:
Pertama : Al-Khaththabi berkata, “Maknanya adalah meluasnya kekuasaan Islam dan para pemeluknya dapat menguasai negeri-negeri syirik, dan banyaknya tawanan. Jika seorang laki-laki telah memiliki seorang budak wanita dan mendapatkan seorang anak darinya, maka anak itu bagaikan tuan bagi ibunya sendiri, karena ia adalah anak tuannya.”[3]
An-Nawawi rahimahullah mengungkapkan bahwa ini adalah pendapat mayoritas ulama. [4]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Akan tetapi jika dikatakan bahwa itulah maknanya, maka perlu dipertimbangkan kembali [5], karena pengambilan para budak wanita telah ada sejak hadits tersebut diungkapkan. Bahkan, penaklukan negeri-negeri syirik dan penawanan telah banyak terjadi di awal Islam. Redaksi hadits memberikan isyarat akan terjadinya sesuatu menjelang Kiamat yang sebelumnya belum pernah terjadi.” [6]
Kedua: Para tuan menjual ibu anak-anak mereka. Hal itu banyak terjadi, sehingga kepemilikan wanita tersebut berputar yang pada akhirnya dibeli oleh anak-anaknya sendiri, sementara dia tidak menyadarinya.
Ketiga: Seorang budak wanita melahirkan anak merdeka bukan dari tuannya dengan jima’ syubhat, atau melahirkan seorang budak belian dengan nikah, atau hasil zina. Kemudian budak belian dalam dua gambaran tersebut dijual dengan akad yang sah, ia berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya hingga dibeli oleh putera dan puterinya sendiri. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat sebelumnya.
Keempat: Banyaknya perbuatan durhaka dari anak-anak. Sehingga, seorang anak memperlakukan ibunya seperti seorang tuan memperlakukan budak beliannya, dengan mencela, memukul dan memperkerjakannya. Maka dia disebut sebagai tuannya dengan makna yang tidak sebenarnya, atau yang dimaksud dengan kata rabb di sini adalah orang yang mengatur secara hakiki.
Kemudian Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Ini adalah pendapat yang lebih kuat menurutku, karena maknanya yang umum dan karena keadaan menunjukkan sesuatu yang dianggap langka -di sisi lain menunjukkan rusaknya keadaan- dan mengandung isyarat sesungguhnya hari Kiamat sudah dekat ketika segala urusan terjadi dengan terbalik, di mana seorang pengatur menjadi yang diatur, orang yang di bawah menjadi di atas, dan hal ini sesuai dengan sabda beliau tentang tanda yang lainnya bahwa seseorang yang berjalan tanpa alas kaki menjadi raja-raja di bumi.” [7]
Kelima: Pendapat kelima ini adalah pendapat al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, beliau berkata, “Sesungguhnya budak-budak wanita akan didapatkan di akhir zaman. Merekalah yang diisyaratkan dengan ungkapan hisymah (kerabat), di mana saat itu, budak wanita lebih diminati oleh majikannya daripada isteri-isterinya yang bukan budak. Karena itulah ungkapan tersebut disertakan dengan ungkapan:
وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ يَتَطَاوَلُونَ فِي الْبُنْيَانِ.
“Dan engkau menyaksikan orang yang tidak memakai sandal, telanjang, juga miskin berlomba-lomba membuat bangunan yang tinggi.” [8]
[http://Cerkiis.blogspot.com, Artikel: almanhaj. Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir.]
Footnote
[1]. Di dalam satu riwayat (dengan kata) rabbuha. Ibnul Atsir berkata, “Ar-Rabb dalam bahasa Arab secara mutlak maknanya adalah raja, tuan, pengatur, pembimbing, penegak, dan pemberi nikmat, tidak diungkapkan secara mutlak kecuali untuk makna yang dihubungkan kepada Allah. Adapun jika dimaksudkan kepada selain Allah, maka harus dihubungkan (kepadanya), seperti رَبُّ كَذَا (pemilik ini), an-Nihaayah (II/179).
[2]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Iimaan, bab Su-aalu Jibriil (I/114, al-Fat-h), Shahiih Muslim, kitab al-Iimaan, bab Bayaanul Iimaan wal Islaam wal Ihsaan (I/158, Syarh an-Nawawi).
[3]. Ma’aalimus Sunan ‘ala Mukhtashar Sunan Abi Dawud (VII/67), nash ini terdapat dalam Fat-hul Baari (I/122).
[4]. Syarh an-Nawawi li Shahiih Muslim (I/158).
[5]. Al-Hafizh Ibnu Katsir pun menganggap bahwa pendapat ini tidak tepat.
Lihat kitab an-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/177-178).
[6]. Fat-hul Baari (I/122).
[7]. Fat-hul Baari (I/122-123) dengan diringkas.
[8]. An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/177) tahqiq Dr. Thaha Zaini.
KITAB : HARI KIAMAT [1]
22. BANYAKNYA PEMBUNUHAN
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَكْثُرَ الْهَرْجُ، قَالُوا: وَمَا الْهَرْجُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الْقَتْلُ، الْقَتْلُ.
“Tidak akan datang hari Kiamat hingga banyak al-harj,” mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah al-harj itu?” Beliau menjawab, “Pembunuhan, pembunuhan.” [HR. Muslim][1]
Sementara dalam riwayat al-Bukhari dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallah anhu:
بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ أَيَّامُ الْهَرْجِ، يَزُولُ فِيهَا الْعِلْمُ، وَيَظْهَرُ فِيهَا الْجَهْلُ، قَالَ أَبُو مُوسَى: وَالْهَرْجُ: الْقَتْلُ، بِلِسَانِ الْحَبَشَةِ.
“Menjelang datangnya hari Kiamat akan ada hari-hari al-harj, saat itu ilmu hilang dan muncul kebodohan.” Abu Musa berkata, “Al-harj adalah pembunuhan menurut bahasa Habasyah.” [2]
Diriwayatkan dari Abu Musa Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ الْهَرْجَ. قَالُوا: وَمَا الْهَرْجُ؟ قَالَ الْقَتْلُ. قَالُوا أَكْثَرُ مِمَّا نَقْتُلُ، إِنَّا لَنَقْتُلُ الْعَامِ الْوَاحِدِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ أَلْفًا. قَالَ: إِنَّهُ لَيْسَ بِقَتْلِكُمُ الْمُشْـرِكِينَ، وَلَكِنْ قَتْلُ بَعْضِكُمْ بَعْضًا. قَالُوا: وَمَعَنَا عُقُولُنَا يَوْمَئِذٍ. قَالَ: إِنَّهُ لَتُنْزَعُ عُقُولُ أَهْلِ ذَلِكَ الزَّمَانِ، وَيُخَلَّفُ لَهُ هَبَاءٌ مِنَ النَّاسِ، يَحْسِبُ أَكْثَرُهُمْ أَنَّهُمْ عَلَى شَيْءٍ وَلَيْسُوا عَلَى شَيْءٍ.
“Sesungguhnya menjelang terjadinya Kiamat akan ada al-harj.” Para Sahabat bertanya, “Apakah al-harj itu?” Beliau menjawab, “Pembunuhan.” Mereka berkata, “Lebih banyak daripada pembunuhan yang kita lakukan, sesungguhnya kita membunuh lebih dari tujuh ribu dalam satu tahun.” Beliau berkata, “Hal itu bukanlah pembunuhan yang kalian lakukan terhadap kaum musyrikin, akan tetapi pembunuhan sebagian dari kalian dengan yang lainnya.” Mereka berkata, “Bukankah kami memiliki akal saat itu,” beliau menjawab, “Sesungguhnya akan dicabut akal-akal penduduk zaman itu dan digantikan dengan manusia-manusia yang tidak berarti. Kebanyakan dari mereka mengira bahwa mereka berada di atas kebenaran, padahal mereka tidak berada di atas kebenaran.” [3]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لاَ تَذْهَبُ الدُّنْيَا حَتَّـى يَأْتِيَ عَلَى النَّاسِ يَوْمٌ لاَ يَدْرِي الْقَاتِلُ فِيمَ قَتَلَ؟ وَلاَ الْمَقْتُولُ فِيمَ قُتِلَ فَقِيلَ: كَيْفَ يَكُونُ ذَلِكَ؟ قَالَ: الْهَرْجُ، الْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ.
‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah dunia lenyap hingga datang kepada manusia suatu hari di mana seorang pembunuh tidak tahu kenapa dia membunuh, demikian pula orang yang dibunuh tidak tahu kenapa dia dibunuh,’ beliau ditanya, ‘Bagaimana hal itu (bisa terjadi)?’ Beliau menjawab, ‘Banyaknya pembunuhan, orang yang membunuh dan terbunuh berada di dalam Neraka.’” [4]
Apa yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits ini sebagiannya telah terbukti. Telah terjadi peperangan antara kaum muslimin pada zaman Sahabat Radhiyallahu anhum setelah terbunuhnya ‘Utsman Radhiyallahu anhu. Kemudian peperangan menjadi sering terjadi di berbagai tempat sementara tidak terjadi di tempat lainnya, juga pada sebagian zaman sementara tidak terjadi pada yang lainnya, dan tanpa diketahui sebab-sebab terjadinya dari sebagian besar peperangan itu.
Bahkan apa yang terjadi pada kurun-kurun terakhir berupa peperangan yang sangat dahsyat di antara umat manusia, yang memakan korban ribuan jiwa, tersebarnya fitnah di tengah-tengah manusia dengan sebab banyaknya pembunuhan. Hingga seseorang membunuh yang lainnya sementara dia tidak tahu faktor apa yang mendorongnya untuk membunuh.
Demikian pula, tersebarnya senjata-senjata penghancur masal memiliki peran penting terjadinya banyak pembunuhan. Sehingga manusia menjadi barang yang tidak berharga, dia disembelih sebagaimana kambing disembelih. Semua itu disebabkan oleh kelemahan dan hilangnya akal. Maka ketika fitnah itu terjadi, seseorang membunuh sementara yang dibunuh tidak tahu kenapa dia dibunuh dan atas dasar apa ia dibunuh? Bahkan kita menyaksikan sebagian manusia membunuh orang lain hanya karena sebab-sebab yang sepele. Hal itu terjadi ketika kegalauan menimpa manusia, demikianlah sesuai dengan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam:
إِنَّهُ لَتُنْزَعُ عُقُولُ أَهْلِ ذَلِكَ الزَّمَانِ.
“Sesungguhnya akan dicabut akal-akal penduduk zaman itu”.
Hanya kepada Allah kita memohon keselamatan dan berlindung kepada-Nya dari segala fitnah yang nampak dan tersembunyi.
Telah dijelaskan (dalam sebuah riwayat) bahwa umat ini adalah umat yang dirahmati, ia tidak akan mendapatkan siksa di akhirat kelak. Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan siksanya di dunia berupa fitnah-fitnah, gempa, dan pembunuhan. Dijelaskan dalam hadits, dari Shadaqah bin al-Mutsanna, Rabah bin al-Harits meriwayatkan kepada kami, dari Abu Burdah, beliau berkata:
بَيْنَا أَنَا وَاقِفٌ فِي السُّوْقِ فِي إِمَارَةِ زِيَادٍ إِذْ ضَرَبْتُ بِإِحْدَى يَدَيَّ عَلَى الأُخْرَى تَعَجُّبًا، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ قَدْ كَانَتْ لِوَالِدِهِ صُحْبَةٌ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مِمَّا تَعْجَبُ يَا أَبَا بُرْدَةَ؟ قُلْتُ: أَعْجَبُ مِنْ قَوْمٍ دِيْنُهُمْ وَاحِدٌ، وَدَعْوَتُهُمْ وَاحِدَةٌ، وَحَجُّهُمْ وَاحِدٌ، وَغَزْوُهُمْ وَاحِدٌ، يَسْتَحِلُّ بَعْضُهُمْ قَتْلَ بَعْضٍ. قَالَ: فَلاَ تَعْجَبْ ! فَإِنِّي سَمِعْتُ وَالِدِيْ أَخْبَرَنِيْ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِنَّ أُمَّتِيْ أُمَّةٌ مَرْحُوْمَةٌ، لَيْسَ عَلَيْهَا فيِ اْلآخِرَةِ حِسَابٌ وَلاَ عَذَابٌ، إِنَّمَا عَذَابُهَا فيِ الْقَتْلِ وَالزَّلاَزِلِ وَالْفِتَنِ.
“Ketika aku sedang berdiri di sebuah pasar pada masa pemerintahan Ziyad, tiba-tiba aku memukul salah satu tanganku ke tangan yang lainnya karena merasa aneh. Lalu seorang laki-laki dari kalangan Anshar di mana bapaknya adalah seorang Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, berkata, ‘Apakah yang menjadikanmu merasa aneh wahai Abu Burdah?’ ‘Aku merasa aneh terhadap satu kaum di mana agama mereka adalah satu, dakwah mereka satu, haji mereka satu, dan peperangan mereka satu, akan tetapi sebagian mereka menganggap halal pembunuhan sebagian lainnya,’ jawabku. Dia berkata, ‘Jangan kau merasa aneh! Karena sesungguhnya aku mendengar bapakku mengabarkan kepadaku bahwasanya dia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya umatku adalah umat yang disayangi, tidak ada hisab juga siksa baginya di akhirat, siksa hanyalah berupa pembunuhan, gempa bumi dan berbagai macam fitnah.’” [5]
Sementara dalam riwayat dari Abu Musa Radhiyallahu anhu:
إِنَّ أُمَّتِي أُمَّةٌ مَرْحُومَةٌ، لَيْسَ عَلَيْهَا فِي اْلآخِرَةِ عَذَابٌ إِنَّمَا عَذَابُهُمْ فِي الدُّنْيَا: الْقَتْلُ وَالْبَلاَبِلُ وَالزَّلاَزِلُ.
“Sesungguhnya umatku adalah umat yang dirahmati, tidak ada siksa baginya di akhirat, siksa mereka hanya di dunia berupa pembunuhan, kegalauan dan gempa bumi.” [6]
[http://Cerkiis.blogspot.com, Artikel: almanhaj. Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir.]
Footnote
[1]. Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraatus Saa’ah (XVIII/13, Syarh an-Nawawi).
[2]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan, bab Zhuhuurul Fitan (XIII/14, al-Fat-h).
[3]. Musnad Imam Ahmad (IV/414, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanzul ‘Ummal), Sunan Ibni Majah, kitab al-Fitan, bab at-Tatsabbut fil Fitnah (II/1309, no. 3909), dan Syarhus Sunnah, bab Asyraatus Saa’ah (XV/28-29, no. 4234).
Hadits ini shahih, lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (II/193, no. 2043).
[4]. Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraathus Saa’ah (XVIII/35, Syarh an-Nawawi).
[5]. Mustadrak al-Hakim (IV/253-254), beliau berkata, “Sanadnya shahih, akan tetapi keduanya tidak meriwayatkannya,” dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
Hadits ini shahih, lihat kitab Silsilah al-Ahaadiits as-Shahiihah (II/684-686).
[6]. Musnad Ahmad (IV/410, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanzul ‘Ummal).
Hadits ini shahih, lihat Shahiih al-Jaami’sh Shaghiir (II/104, no. 1734), dan Silsilah al-Ahaadiits as-Shahiihah (II/684, no. 959).