Allah ta’ala berfirman :
يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka)” [QS. An-Nahl : 50].
تَعْرُجُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun” [QS. Al-Ma’aarij : 4].
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun” [QS. Al-Ma’aarij : 4].
Ayat ini merupakan salah satu dalil yang bahwa Allah ta’ala berada di atas makhluk-Nya secara hakiki. Dijelaskan lagi di ayat lain :
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu” [QS. Al-Mulk : 16].
Al-Baihaqiy rahimahullah berkata tentang ayat ini :
وَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَعْنَاهُ: مَنْ فَوْقِ السَّمَاءِ عَلَى الْعَرْشِ، كَمَا قَالَ: فَسِيحُوا فِي الأَرْضِ أَيْ: فَوْقَ الأَرْضِ،
“Dan kami telah menyebutkan bahwa maknanya : Allah yang berada di atas langit di atas ‘Arsy, sebagaimana firman-Nya : ‘Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di muka bumi (fil-ardli)’ (QS. At-Taubah : 2), yaitu : fauqal-ardli (di atas permukaan bumi)...” [Al-Asmaa’ wash-Shifaat oleh Al-Baihaqiy, 2/334, tahqiq : ‘Abdullah Al-Haasyidiy; Maktabah As-Suwaadiy].
وَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَعْنَاهُ: مَنْ فَوْقِ السَّمَاءِ عَلَى الْعَرْشِ، كَمَا قَالَ: فَسِيحُوا فِي الأَرْضِ أَيْ: فَوْقَ الأَرْضِ،
“Dan kami telah menyebutkan bahwa maknanya : Allah yang berada di atas langit di atas ‘Arsy, sebagaimana firman-Nya : ‘Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di muka bumi (fil-ardli)’ (QS. At-Taubah : 2), yaitu : fauqal-ardli (di atas permukaan bumi)...” [Al-Asmaa’ wash-Shifaat oleh Al-Baihaqiy, 2/334, tahqiq : ‘Abdullah Al-Haasyidiy; Maktabah As-Suwaadiy].
Berikut ini akan saya bawakan beberapa atsar dari para shahabat dan ulama setelahnya yang menjelaskan ketinggian Allah di atas makhluk-Nya, dan Ia di atas langit-langit-Nya lagi beristiwaa’ di atas ‘Arsy-Nya.
1. Zainab bintu Jahsy radliyallaahu ‘anhaa,
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْفَضْلِ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ فِي زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا قَالَ: فَكَانَتْ تَفْخَرُ عَلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَقُولُ: زَوَّجَكُنَّ أَهْلُكُنَّ، وَزَوَّجَنِي اللَّهُ مِنْ فَوْقِ سَبْعِ سَمَاوَاتٍ ".قَالَ أَبُو عِيسَى: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abd bin Humaid : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Fadhl : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid, dari Tsaabit, dari Anas, ia berkata :
“Ayat ini turun berkenaan dengan Zainab bintu Jahsy : ‘Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), maka Kami nikahkan engkau dengannya’ (Al-Ahzab: 37)”. Anas berkata : “Adalah Zainab membanggakan dirinya atas istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : ‘Yang menikahkan kamu (dengan Nabi) adalah keluarga-keluargamu, sedangkan yang menikahkan aku adalah Allah yang berada di atas tujuh langit” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3213, dan ia berkata : “Hadits hasan shahih”].
2. ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu,
حَدَّثَنَا بَحْرُ بْنُ نَصْرِ بْنِ سَابِقٍ الْخَوْلانِيُّ، قَالَ: ثنا أَسَدٌ، قَالَ: ثنا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ عَاصِمِ ابْنِ بَهْدَلَةَ، عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: " مَا بَيْنَ سَمَاءِ الدُّنْيَا وَالَّتِي تَلِيهَا مَسِيرَةَ خَمْسِ مِائَةِ عَامٍ، وَبَيْنَ كُلِّ سَمَاءٍ مَسِيرَةَ خَمْسِ مِائَةِ عَامٍ، وَبَيْنَ السَّمَاءِ السَّابِعَةِ وَبَيْنَ الْكُرْسِيِّ خَمْسِ مِائَةِ عَامٍ، وَالْعَرْشُ فَوْقَ السَّمَاءِ، وَاللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَوْقَ الْعَرْشِ، وَهُوَ يَعْلَمُ مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ "
Telah menceritakan kepada kami Bahr bin Nashr bin Saabiq Al-Khaulaaniy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Asad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari ‘Aashim bin Bahdalah, dari Zirr bin Hubaisy, dari Ibnu Mas’uud, ia berkata :
“Jarak antara langit dunia dan langit di atasnya sejauh perjalanan selama 500 tahun. Jarak antara setiap langit dengan langit lainnya sejauh perjalanan selama 500 tahun. Jarak antara langit ketujuh dan kursi sejauh perjalanan selama 500 tahun. Dan ‘Arsy di atas langit, dan Allah tabaaraka wa ta’ala berada di atas ‘Arsy. Ia mengetahui apa yang kalian lakukan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid, hal. 242-243, tahqiq : Dr. ‘Abdul-‘Aziiz Asy-Syahwaan; Daarur-Rusyd, Cet. 1/1408 H].
Sanadnya hasan.
3. Adl-Dlahhaak bin Muzaahim rahimahullah (w. 105/106 H),
حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي زِيَادٍ، قَالَ: ثني نضر بْنُ مَيْمُونٍ الْمَضْرُوبُ، قَالَ: ثنا بُكَيْرُ بْنُ مَعْرُوفٍ، عَنْ مُقَاتِلِ بْنِ حَيَّانَ، عَنِ الضَّحَّاكِ، فِي قَوْلِهِ: مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلاثَةٍ إِلَى قَوْلِهِ:هُوَ مَعَهُمْ. قَالَ: هُوَ فَوْقَ الْعَرْشِ، وَعِلْمُهُ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِي
Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Abi Ziyaad, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Nadlr bin Maimuun Al-Madlruub, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Bukair bin Ma’ruuf, dari Muqaatil bin Hayyaan, dari Adl-Dlahhaak bin Muzaahim tentang firman-Nya :
‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang’ hingga firman-Nya : ‘melainkan Dia berada bersama mereka’ (QS. Al-Mujaadilah : 7).
Ia (Adl-Dlahhaak) berkata : “Ia (Allah) berada di atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya bersama mereka, di mana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 23/237, tahqiq : Ahmad Muhammad Syaakir; Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 1/1420 H].
Catatan : Penyebutan Nadlr bin Maimuun Al-Madlruub ini keliru. Yang benar adalah : Nuuh bin Maimuun Al-Madlruub sebagaimana riwayat ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 592, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat no. 909, dan Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah no. 388. Selain itu, ia lah perawi yang meriwayatkan dari Bukair bin Ma’ruuf.
Nuuh bin Maimuun seorang yang tsiqah.
Sanadnya hasan.
4. Sulaimaan At-Taimiy rahimahullah (w. 143 H),
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ عُبَيْدٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ أَبِي خَيْثَمَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ مَعْرُوفٍ، قَالَ: ثَنَا ضَمْرَةُ، عَنْ صَدَقَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ التَّيْمِيَّ، يَقُولُ: لَوْ سُئِلْتُ: أَيْنَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى؟ قُلْتُ: فِي السَّمَاءِ، فَإِنْ قَالَ: فَأَيْنَ عَرْشُهُ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاءَ؟ قُلْتُ: عَلَى الْمَاءِ، فَإِنْ قَالَ لِي: أَيْنَ كَانَ عَرْشُهُ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ الْمَاءَ ؟ قُلْتُ: لا أَدْرِي
Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin ‘Ubaid, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Al-Husain, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Abi Khaitsamah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Haaruun bin Ma’ruuf, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Dlamrah, dari Shadaqah, ia berkata : Aku mendengar At-Taimiy berkata :
“Seandainya aku ditanya : ‘dimanakah Allah ?’, akan aku jawab : ‘Di langit’. Jika ia kembali bertanya : ‘Lalu, dimanakah ‘Arsy-Nya sebelum ia menciptakan langit ?’. Aku akan menjawab : ‘Di atas air’. Dan jika ia bertanya lagi kepadaku : ‘Dimanakah ‘Arsy-Nya dahulu sebelum Allah menciptakan air ?’. Aku akan menjawab : ‘Aku tidak tahu” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad, hal. 401, tahqiq : Ahmad bin Mas’uud Al-Hamdaan; Cet. 2/1411 H].
5. Maalik bin Anas rahimahullah (w. 179 H),
حدثني أبي رحمه الله حدثنا سريج بن النعمان حدثنا عبدالله بن نافع قال كان مالك بن أنس يقول الايمان قول وعمل ويقول كلم الله موسى وقال مالك الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء
Telah menceritakan kepadaku ayahku rahimahullah : Telah menceritakan kepada kami Suraij bin An-Nu’maan : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Naafi’, ia berkata : “Maalik bin Anas pernah berkata :
‘Iman itu adalah perkataan dan perbuatan, Allah berbicara kepada Muusaa, Allah berada di atas langit dan ilmu-Nya ada di setiap tempat – tidak ada sesuatupun yang luput dari-Nya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah, hal. 280 no. 532, tahqiq : Dr. Muhammad bin Sa’iid Al-Qahthaaniy; Daaru ‘Aalamil-Kutub, Cet. 4/1416 H. Diriwayatkan juga oleh Abu Daawud dalam Masaail-nya hal. 263, Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah, 2/67-68 no. 695-696, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad hal. 401 no. 673, Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 7/138, dan Ibnu Qudaamah dalam Itsbaatu Shifaatil-‘Ulluw hal. 166 no. 76].
Sanadnya shahih.
6. ‘Abdullah bin Al-Mubaarak rahimahullah (w. 181 H),
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَّاحِ الْبَزَّازُ، ثنا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ شَقِيقٍ، عَنِ ابْنِ الْمُبَارَكِ، قَالَ: قِيلَ لَهُ: كَيْفَ نَعْرِفُ رَبَّنَا؟ قَالَ: " بِأَنَّهُ فَوْقَ السَّمَاءِ السَّابِعَةِ عَلَى الْعَرْشِ، بَائِنٌ مِنْ خَلْقِهِ "
Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Ash-Shabbaah Al-Bazzaaz : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Hasan bin Syaqiiq, dari Ibnul-Mubaarak.
Syaqiiq berkata : Dikatakan kepadanya : “Bagaimana kita mengetahui Rabb kita ?”.
Ia (Ibnul-Mubaarak) berkata : “Bahwasannya Allah berada di atas langit yang ketujuh, di atas ‘Arsy, terpisah dari makhluk-Nya” [Diriwayatkan oleh Abu Sa’iid Ad-Daarimiy dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah, hal. 39-40 no. 67, tahqiq : Badr Al-Badr; Ad-Daarus-Salafiyyah, Cet. 1/1405 H. Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhaariy dalam Khalqu Af’aalil-‘Ibaad 2/15 no. 13-14 dan ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 22 & 216 dan Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat no. 903].
Sanadnya hasan.
7. Muhammad bin Mush’ab Al-‘Aabid rahimahullah (w. 228 H),
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَخْلَدٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ أَبُو الْحَسَنِ بْنُ الْعَطَّارِ، قَالَ: سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بنَ مُصْعَبٍ الْعَابِدَ، يَقُولُ: " مَنْ زَعَمَ أَنَّكَ لا تَتَكَلَّمُ وَلا تُرَى فِي الآخِرَةِ، فَهُوَ كَافِرٌ بِوَجْهِكَ، وَلا يَعْرِفُكَ، أَشْهَدُ أَنَّكَ فَوْقَ الْعَرْشِ، فَوْقَ سَبْعِ سَمَوَاتٍ، لَيْسَ كَمَا يَقُولُ أَعْدَاؤُكَ الزَّنَادِقَةُ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Makhlad : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muhammad bin ‘Umar bin Al-Hakam Abul-Hasan bin Al-‘Aththaar, ia berkata : Aku mendengar Muhammad bin Mush’ab Al-‘Aabid berkata :
“Barangsiapa yang menyangka bahwasannya Engkau tidak berbicara dan tidak dapat dilihat di akhirat, maka ia kafir terhadap wajah-Mu dan tidak mengetahui-Mu. Aku bersaksi bahwasannya Engkau berada di atas ‘Arsy, di atas tujuh langit. Tidak seperti yang dikatakan musuh-musuh-Mu, yaitu Zanaadiqah” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy dalam Ash-Shifaat, hal. 72-73 no. 64, tahqiq : Dr. ‘Aliy bin Muhammad bin Naashir Al-Faqiihiy – dicetak bersama kitab An-Nuzuul lid-Daaruquthniy; Cet. 1/1403 H. Diriwayatkan juga oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 167, An-Najjaad dalam Ar-Radd ‘alaa Man Yaquulu Al-Qur’aan Makhluuq no. 110, dan Al-Khathiib dalam At-Taariikh 4/452].
Sanadnya shahih.
8. Qutaibah bin Sa’iid rahimahullah (w. 240 H),
سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ إِسْحَاقَ الثَّقَفِيَّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا رَجَاءٍ قُتَيْبَةَ بْنَ سَعِيدٍ، قَالَ: " هَذَا قَوْلُ الأَئِمَّةِ الْمَأْخُوذِ فِي الإِسْلامِ وَالسُّنَّةِ: الرِّضَا بِقَضَاءِ اللَّهِ، .........وَيَعْرِفَ اللَّهَ فِي السَّمَاءِ السَّابِعَةِ عَلَى عَرْشِهِ كَمَا قَالَ: الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَى
Aku mendengar Muhammad bin Ishaaq Ats-Tsaqafiy, ia berkata : Aku mendengar Abu Rajaa’ Qutaibah bin Sa’iid berkata :
“Ini adalah perkataan para imam yang diambil dalam Islam dan Sunnah : ‘Ridlaa terhadap ketetapan Allah…… dan mengetahui Allah berada di langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya, sebagaimana firman Allah : ‘Ar-Rahmaan di atas ‘Arsy beristiwa’. Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah’ (QS. Thaha : 5)…..” [Diriwayatkan oleh Abu Ahmad Al-Haakim dalam Syi’aar Ashhaabil-Hadiits, hal. 30-34 no. 17, tahqiq : As-Sayyid Shubhiy As-Saamiraa’iy; Daarul-Khulafaa’, Cet. Thn. 1404 H].
Sanadnya shahih.
9. Ahmad bin Hanbal rahimahullah (w. 241 H),
وهو على العرش فوق السماء السابعة. فإن احتج مبتدع أو مخالف بقوله تعالى {وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيد} وبقوله عز وجل : {وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَمَا كُنْتُمْ} أو بقوله تعالى : {مَا يكُونُ مِنْ نَجْوى ثلاثة إلا هُوَ رَابِعُهُمْ} ونحو هذا من متشابه القران
“Ia (Allah) berada di atas ‘Arsy, di atas langit ketujuh. Sesungguhnya ahli bid’ah atau orang yang menyimpang dari kebenaran berhujjah dengan firman-Nya : ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya’ (QS. Qaaf : 16), atau dengan firman-Nya : ‘Dan Ia (Allah) bersama kalian di mana saja kalian berada’ (QS. Al-Hadiid : 4), atau dengan firman-Nya : ‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya’ (QS. Al-Mujaadilah : 7), dan yang lainnya dari ayat-ayat Al-Qur’an yang mutasyaabih” [As-Sunnah oleh Ahmad bin Hanbal melalui kitab Al-Masaail war-Rasaail Al-Marwiyyatu ‘anil-Imaam Ahmad fil-‘Aqiidah oleh ‘Abdullah Al-Ahmadiy, 1/318-319; Daaruth-Thayyibah, Cet. 1/1412 H].
Catatan : Penjelasan Al-Imaam Ahmad itu menggugurkan klaim kelompok Asyaa’irah yang mengklaim bahwa lafadh Allaahu ‘alal-‘Arsy atau yang semisalnya itu sifatnya mutasyaabih. Justru mafhum yang terambil dari perkataan beliau, lafadh itu adalah muhkam (jelas); dan yang samar (mutasyaabih) adalah lafadh nash-nash yang menyatakan bahwa Allah ta’ala bersama hamba-Nya.[1]
As-Sijziy rahimahullah menukil :
ونص أحمد بن حنبل رحمة الله عليه على أن الله تعالى بذاته فوق العرش، وعلمه بكل مكان
“Dan Ahmad – semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya – mengatakan bahwa Allah ta’ala di atas ‘Arsy dengan Dzat-Nya, sedangkan ilmu-Nya ada di setiap tempat” [Risaalah As-Sijziy ilaa Ahli Zubaid, hal. 125, tahqiq : Muhammad ba-Kariim; Daarur-Raayah, Cet. 1/1414 H].
10. Al-Muzaanniy rahimahullah (w. 264 H).
ونص أحمد بن حنبل رحمة الله عليه على أن الله تعالى بذاته فوق العرش، وعلمه بكل مكان
“Dan Ahmad – semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya – mengatakan bahwa Allah ta’ala di atas ‘Arsy dengan Dzat-Nya, sedangkan ilmu-Nya ada di setiap tempat” [Risaalah As-Sijziy ilaa Ahli Zubaid, hal. 125, tahqiq : Muhammad ba-Kariim; Daarur-Raayah, Cet. 1/1414 H].
10. Al-Muzaanniy rahimahullah (w. 264 H).
[عال] على عرشه، وهو دان بعلمه من خلقه، أحاط علمه بالأمور، ....
“Tinggi di atas ‘Arsy-Nya, Ia (Allah) dekat pada hamba-Nya dengan ilmu-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu....” [Syarhus-Sunnah lil-Muzanniy, hal. 79 no. 1, tahqiq : Jamaal ‘Azzuun].
عال على عرشه، بائن من خلقه، موجود وليس بمعدوم ولا بمفقود
“Tinggi di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dengan makhluk-Nya. Allah itu ada, bukannya tidak ada dan hilang” [idem, hal. 82]
11. Abu ‘Iisaa At-Tirmidziy rahimahullah (w. 279 H),
وعلمُ الله وقدرته وسلطانه في كل مكان، وهو على العرش كما وصف في كتابه
“Dan ilmu Allah, kemampuan, dan kekuasaan-Nya ada di setiap tempat. Adapun Allah ada di atas ‘Arsy sebagaimana yang Ia sifatkan dalam kitab-Nya” [Al-Jaami’ lit-Tirmidziy 5/403-404 melalui perantaraan kitab ‘Aqiidah Ahlis-Sunnah wal-Jamaa’ah lil-Imaam At-Tirmidziy oleh Abu Mu’aadz Thaariq bin ‘Iwadlillah, hal. 95; Daarul-Wathan, Cet. 1/1421 H].
12. Abu Zur’ah (w. 264 H) dan Abu Haatim Ar-Raaziy (w. 277 H) rahimahumallah,
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُظَفَّرِ الْمُقْرِئُ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَبَشٍ الْمُقْرِئُ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي حَاتِمٍ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبِي وَأَبَا زُرْعَةَ عَنْ مَذَاهِبِ أَهْلِ السُّنَّةِ فِي أُصُولِ الدِّينِ، وَمَا أَدْرَكَا عَلَيْهِ الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ، وَمَا يَعْتَقِدَانِ مِنْ ذَلِكَ، فَقَالا: أَدْرَكْنَا الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ حِجَازًا وَعِرَاقًا وَشَامًا وَيَمَنًا فَكَانَ مِنْ مَذْهَبِهِمُ: " الإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، يَزِيدُ وَيَنْقُصُ، ......وَأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى عَرْشِهِ بَائِنٌ مِنْ خَلْقِهِ كَمَا وَصَفَ نَفْسَهُ فِي كِتَابِهِ، وَعَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ K بِلا كَيْفٍ، أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا، لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ.
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Al-Mudhaffar Al-Muqriy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Muhammad bin Habsy Al-Muqriy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad ‘Abdurrahmaan bin Abi Haatim, ia berkata :
”Aku pernah bertanya kepada ayahku dan Abu Zur’ah tentang madzhab Ahlus-Sunnah dalam ushuuluddiin (pokok-pokok agama) dan apa yang mereka temui dari para ulama di seluruh pelosok negeri dan yang mereka berdua yakini tentang hal itu, maka mereka berdua berkata :
”Kami telah bertemu dengan para ulama di seluruh pelosok negeri, baik di Hijaz, ’Iraq, Mesir, Syaam, dan Yaman, maka yang termasuk madzhab mereka adalah : ”Iman adalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah maupun berkurang........ dan bahwasannya Allah ’azza wa jalla berada di atas ’Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya sebagaimana yang Ia sifatkan diri-Nya dalam Kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya shallallaahu ’alaihi wa sallam, tanpa menanyakan ’bagaimana’, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Allah berfirman : ’Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad, 1/176, tahqiq : Ahmad bin Sa’d Hamdaan; Cet. 2/1411 H].
Shahih.
13. ‘Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimiy rahimahullah (w. 280 H),
فَاللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَوْقَ عَرْشِهِ، فَوْقَ سَمَوَاتِهِ، بَائِنٌ مِنْ خَلْقِهِ، فَمَنْ لَمْ يَعْرِفْهُ بِذَلِكَ لَمْ يَعْرِفْ إِلَهَهُ الَّذِي يَعْبُدُ
“Allah tabaraka wa ta’ala berada di atas ‘Arsy-Nya, di atas langit-langit-Nya, terpisah dari makhluk-Nya. Barangsiapa yang tidak mengetahui hal itu, maka itu berarti ia tidak mengetahui tuhan yang ia sembah/ibadahi” [Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah oleh ‘Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimiy, hal. 39 no. 66].
14. Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah rahimahullah (w. 297 H),
فهو فوق السماوات وفوق العرش بذاته متخلصا من خلقه بائنا منهم، علمه في خلقه لا يخرجون من علمه
“Allah berada di atas langit-langit dan di atas ‘Arsy dengan Dzat-Nya, terlepas dari makhluk-Nya lagi terpisah darinya. Adapun ilmu-Nya pada makhluk-Nya, mereka (makhluk-Nya) tidak terlepas dari ilmu-Nya” [Al-‘Arsy oleh Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah, hal. 291-292, tahqiq : Dr. Muhammad bin Khaliifah At-Tamiimiy; Maktabah Ar-Rusyd, Cet. 1/1418 H]
15. Ibnu Khuzaimah rahimahullah (w. 311 H),
سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ صَالِحِ بْنِ هَانِئٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ أَبَا بَكْرٍ مُحَمَّدَ بْنَ إِسْحَاقَ بْنِ خُزَيْمَةَ، يَقُولُ: مَنْ لَمْ يُقِرَّ بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى عَلَى عَرْشِهِ قَدِ اسْتَوَى فَوْقَ سَبْعِ سَمَاوَاتِهِ، فَهُوَ كَافِرٌ بِرَبِّهِ يُسْتَتَابُ، فَإِنْ تَابَ، وَإِلا ضُرِبَتْ عُنُقُهُ
Aku mendengar Muhammad bin Shaalih bin Haani’ berkata : Aku mendengar Abu Bakr Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah berkata :
“Barangsiapa yang tidak mengatakan bahwasannya Allah ta’ala beristiwa’ di atas ‘Arsy, di atas tujuh lagit, maka ia telah kafir terhadap Rabbnya. Ia diminta untuk bertaubat. Jika mau bertaubat, maka diterima, jika tidak, dipenggal lehernya” [Diriwayatkan oleh Abu ‘Abdillah Al-Haakim dalam Ma’rifatu ‘Uluumil-Hadiits hal. 84; Daarul-Afaaq].
Sanadnya shahih.
16. Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah (w. 324 H),
وأجمعوا . . أنه فوق سماواته على عرشه دون أرضه ، وقد دل على ذلك بقوله : {أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض}، وقال : {إليه يصعد الكلم الطيب والعمل الصالح يرفعه}. وقال : {الرحمن على العرش استوى}، وليس استواءه على العرش استيلاء كما قال أهل القدر، لأنه عز وجل لم يزل مستوليا على كل شيء
“Dan mereka (para ulama Ahlus-Sunnah) bersepakat..... bahwasannya Allah berada di atas langit-langit-Nya, di atas ‘Arsy-Nya, bukan di bumi-Nya. Dan hal itu ditunjukkan melalui firman-Nya :
‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16). Dan Allah berfirman : ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya’ (QS. Faathir : 10). Allah berfirman : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwaa’ di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Dan bukanlah yang dimaksud istiwaa’-nya Allah di atas ‘Arsy itu adalah istilaa’ (menguasai) sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Qadariyyah. Karena Allah ‘azza wa jalla senantiasa berkuasa atas segala sesuatu” [Risaalatun ilaa Ahlits-Tsaghr oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy, hal. 231-234, tahqiq : ‘Abdullah bin Syaakir Al-Junaidiy; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 2/1422 H].
17. Abu Bakr Muhammad bin Al-Husain Al-Aajurriy rahimahullah (w. 360 H),
أن الله عز وجل على عرشه فوق سبع سمواته، وعلمه محيط بكل شيء، لا يخفى عليه شيء في الأرض ولا في السماء
“Bahwasannya Allah ‘azza wa jalla berada di atas ‘Arsy-Nya, di atas tujuh langit-langit-Nya. Dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, tidak ada sesuatu pun dibumi dan di langit yang tersembunyi darinya” [Asy-Syarii’ah oleh Abu Bakr Al-Aajurriy, 2/70, tahqiq : Al-Waliid bin Muhammad; Muassasah Qurthubah, Cet. 1/1417 H]
18. Ibnu Abi Zaid Al-Qairuwaaniy rahimahullah (w. 386 H),
وأنه تعالى فوق عرشه المجيدِ بذاته ، وأنه في كل مكان بعلمه
“Allah ta’ala berada di atas ‘Arsy-Nya yang mulia dengan Dzat-Nya, dan bahwasannya Ia berada di setiap tempat dengan ilmu-Nya” [Risaalah Ibni Abi Zaid Al-Qairuwaaniy yang termuat dalam kitab ‘Aqaaidu Aimmatis-Salaf oleh Fawwaaz Ahmad Zamarliy, hal. 163; Daarul-Kitaab Al-‘Arabiy, Cet. 1/1415 H].
وأنه فوق سماواته على عرشه دون أرضه، وأنه في كل مكان بعلمه
“Dan Allah berada di atas langit-langit-Nya, di atas ‘Arsy-Nya, bukan di bumi-Nya. Dan bahwasannya ia ada di setiap tempat dengan ilmu-Nya” [Al-Jaami’ hal. 141 melalui perantaraan Masaailul-‘Aqiidah Allatii Qarrarahaa Aimmatul-Maalikiyyah oleh Abu ‘Abdillah Al-Hammaadiy, hal. 199; Ad-Daarul-Atsariyyah, Cet. 1/1429 H].
19. Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ishaaq bin Mandah rahimahullah (w. 395 H),
بيان اخر يدل على أن الله تعالى فوق عرشه بائنا عن خلقه
“Penjelasan lain yang menunjukkan bahwa Allah ta’ala di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya” [At-Tauhiid oleh Ibnu Mandah, hal. 666, tahqiq : Muhammad Al-Wuhaibiy & Muusaa bin ‘Abdil-‘Aziiz Al-Ghushn; Daarul-Hadyin-Nabiy, Cet. 1/1428 H].
ذكر الايات المتلوة والأخبار المأثورة بنقل الرواة المقبولة التي تدل على أن الله تعالى فوق سمواته وعرشه وخلقه قاهرا سميعا عليما
“Penyebutan ayat-ayat dan khabar-khabar ma’tsuur dengan penukilan dari para perawi yang diterima, yang menunjukkan bahwa Allah ta’ala berada di atas langit-langit-Nya, ‘Arsy-Nya, dan makhluk-Nya; berkuasa, Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui” [At-Tauhiid oleh Ibnu Mandah, hal. 761]
20. Ibnu Abi Zamaniin rahimahullah (w. 399 H),
وَهَذَا الْحَدِيثُ بَيَّنَ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى عَرْشِهِ فِي السَّمَاءِ دُونَ الأَرْضِ، وَهُوَ أَيْضًا بَيِّنٌ فِي كِتَابِ اللَّهِ، وَفِي غَيْرِ مَا حَدِيثٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ
“Hadits ini menjelaskan bahwa Allah ‘azza wa jalla di atas ‘Arsy-Nya di langit, bukan di bumi. Dan hadits itu juga dijelaskan dalam Kitabullah dan hadits lain dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Ushuulus-Sunnah oleh Ibnu Abi Zamaniin, hal. 113, tahqiq : ‘Abdullah Al-Bukhaariy; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 1/1415 H].
21. Abul-Qaasim Hibatullah bin Al-Hasan Al-Laalikaa’iy rahimahullah (w. 418 H),
سِيَاقُ مَا رُوِيَ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى وَأَنَّ اللَّه عَلَى عرشه فِي السماء وقال عَزَّ وَجَلَّ: إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ. وقال: أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ. وقال تعالى: وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُمْ حَفَظَةً. فدلت هذه الآية أَنَّهُ تعالى فِي السماء، وعلمه محيط بكل مكان مِن أرضه وسمائه
“Pembicaraan tentang apa-apa yang diriwayatkan dalam firman-Nya ta’ala :
‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Dan bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya di langit. Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya’ (QS. Faathir : 10). Dan firman-Nya ta’ala : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16). Dan firman-Nya ta’ala : ‘Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga’ (QS. Al-An’aam : 61). Ayat-ayat ini menunjukkan bahwasannya Allah ta’ala berada di langit dan ilmu-Nya meliputi seluruh tempat di bumi-Nya dan langit-Nya” [Syarh Ushuulil-I’tiqaad oleh Al-Laalikaa’iy, hal. 387-388].
22. Abun-Nashr As-Sijziy Al-Hanafiy rahimahullah (w. 444 H),
واعتقاد أهل الحق أن الله سبحانه فوق العرش بذاته من غير مماسة
“Dan orang-orang yang menetapi kebenaran berkeyakinan bahwasannya Allah subhaanahu wa ta’ala di atas ‘Arsy dengan Dzaat-Nya tanpa bersentuhan” [Risaalah As-Sijziy ilaa Ahli Zubaid, hal. 126-127].
23. Abu ‘Amru Ad-Daaniy rahimahullah (w. 444 H),
ومن قولهم : أنه سبحانه فوق سماواته، مستو على عرشه، ومستول على جميع خلقه، وبائن منهم بذاته، غير بائن بعلمه
“Dan termasuk di antara perkataan mereka : Bahwasannya Allah subhaanahu wa ta’ala di atas langit-langit-Nya, beristiwaa’ di atas ‘Arsy-Nya, berkuasa atas segala makhluknya. Ia terpisah dari mereka dengan Dzaat-Nya, namun tidak terpisah dengan ilmu-Nya” [Ar-Risaalah Al-Waafiyah hal. 52 melalui perantaraan Masaailul-‘Aqiidah Allatii Qarrarahaa Aimmatul-Maalikiyyah, hal. 194].
24. Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuuniy rahimahullah (w. 449 H),
ويعتقد أصحاب الحديث ويشهدون أن الله سبحانه وتعالى فوق سبع سمواته على عرشه مستوٍ، كما نطق به كتابه في قوله عز وجل في سورة يونس: إِنَّ رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ)...
“Para ahli hadits berkeyakinan dan bersaksi bahwasannya Allah subhaanahu wa ta’ala berada di atas tujuh langit, di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Kitab-Nya dalam surat Yuunus : ‘Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy untuk mengatur segala urusan’ (QS. Yuunus : 3)…” [‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabil-Hadiits, hal. 44, tahqiq : Abul-Yamiin Al-Manshuuriy; Daarul-Minhaaj, Cet. 1/1423 H].
25. Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah (w. 463 H),
وفيه دليل على أن الله - عز وجل - في السماء على العرش من فوق سبع سموات، كما قالت الجماعة، وهو من حججهم على المعتزلة والجهمية، في قولهم إن الله - عز وجل - في كل مكان، وليس على العرش، والدليل على صحة ما قالوه أهل الحق في ذلك قول الله - عز وجل - {الرحمن على العرش استوى}...وقوله {إليه يصعد الكلم الطيب}... وقال جل ذكره {سبح اسم ربك الأعلى} وهذا من العلو...
“Padanya terdapat dalil bahwasannya Allah ‘azza wa jallaa berada di langit di atas ‘Arsy, dari atas tujuh langit sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Dan hadits tersebut (yaitu hadits nuzuul – Abul-Jauzaa’) merupakan hujjah mereka terhadap Mu’tazilah dan Jahmiyyah atas perkataan mereka : ‘Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla ada di setiap tempat, dan tidak berada di atas ‘Arsy’. Dalil atas kebenaran apa yang dikatakan oleh ahlul-haq (orang-orang yang menetapi kebenaran) terhadap permasalahan tersebut adalah firman Allah ‘azza wa jalla : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5), dan firman-Nya : ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya’ (QS. Faathir : 10), dan firman-Nya : ‘Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi’ (QS. Al-A’laa : 1). Dan ini termasuk sifat Al-‘Ulluw....” [At-Tamhiid, 7/129-131 dengan peringkasan – melalui perantaraan kitab ‘Aqiidatu Al-Imaam Ibni ‘Abdil-Barr fit-Tauhiid wal-Iimaan, oleh Sulaimaan bin Shaalih Al-Ghushn, hal. 318; Daarul-‘Aashimah, Cet. 1/1416 H].
26. Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy rahimahullah (w. 620 H).
فإن الله تعالى وصف نفسه بالعلو في السماء ووصفه بذلك محمد خاتم الأنبياء، وأجمع على ذلك جميع العلماء من الصحابة الأتقياء والأئمة من الفقهاء، وتواترت الأخبار بذلك على وجه حصل به اليقين
“Sesungguhnya Allah ta’ala telah mensifatkan diri-Nya dengan al-‘ulluw (ketinggian) di atas langit, dan juga telah mensifatkan-Nya dengan hal itu Muhammad penutup para Nabi. Seluruh ulama dari kalangan shahabat yang bertaqwa dan para imam kalangan fiqahaa’ telah bersepakat tentang hal itu (ketinggian Allah di atas langit). Dan telah mutawatir hadits-hadits yang berkenaan dengannya yang menghasikan keyakinan...” [Itsbaatu Shifatil-‘Ulluw oleh Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy, hal. 63, tahqiq : Dr. Ahmad bin ‘Athiyyah Al-Ghaamidiy; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 1/1409 H].
27. Abu ‘Abdillah Al-Qurthubiy rahimahullah (w. 671 H),
أن الله على عرشه كما أخبر في كتابه، وعلى لسان نبيه، بلا كيف، بائن من جميع خلقه هذا جملة مذهب السلف الصالح فيما نقل عنهم الثقات
“Bahwasannya ‘Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang Ia khabarkan dalam kitab-Nya dan melalui lisan Nabi-Nya, dan terpisah dari seluruh makhluk-Nya. Ini merupakan perkataan madzhab as-salafush-shaalih yang dinukil oleh para perawi tsiqaat dari mereka” [Al-Asnaa fii Syarh Al-Asmaail-Husnaa, 2/132 – melalui perantaraan muqaddimah muhaqqiq kitab Khalqu Af’alil-‘Ibaad lil-Bukhaariy, 1/171; Daarul-Athlas, Cet. 1/1425 H].
"Ketinggian Allah di atas langit-langit-Nya adalah sesuatu yang sangat jelas dan sangat mudah dipahami oleh generasi salaf."
Bahkan budak wanita yang tidak terpelajar pun paham, ketika ia ditanya : ‘Dimanakah Allah ?’, maka ia menjawab : ‘Di atas langit’.
حدثنا أبو جعفر محمد بن الصباح، وأبو بكر بن أبي شيبة (وتقاربا في لفظ الحديث) قالا: حدثنا إسماعيل بن إبراهيم عن حجاج الصواف، عن يحيى بن أبي كثير، عن هلال بن أبي ميمونة، عن عطاء بن يسار، عن معاوية بن الحكم السلمي؛ قال: ...... وكانت لي جارية ترعى غنما لي قبل أحد والجوانية. فاطلعت ذات يوم فإذا الذيب [الذئب؟؟] قد ذهب بشاة من غنمها. وأنا رجل من بني آدم. آسف كما يأسفون. لكني صككتها صكة. فأتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فعظم ذلك علي. قلت: يا رسول الله! أفلا أعتقها؟ قال "ائتني بها" فأتيته بها. فقال لها "أين الله؟" قالت: في السماء. قال "من أنا؟" قالت: أنت رسول الله. قال "أعتقها. فإنها مؤمنة".
Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin Ash-Shabbaah dan Abu Bakr bin Abi Syaibah (yang keduanya berdekatan dalam lafadh hadits tersebut), mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim, dari Hajjaaj Ash-Shawaaf, dari Yahyaa bin Abi Katsiir, dari Hilaal bin Abi Maimuunah, dari ‘Athaa’ bin Yasaar, dari Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy, ia berkata :
“…..Aku mempunyai seorang budak wanita yang menggembalakan kambingku ke arah gunung Uhud dan Jawwaaniyyah. Pada suatu hari aku memantaunya, tiba-tiba ada seekor serigala yang membawa lari seekor kambing yang digembalakan budakku itu. Aku sebagaimana manusia biasa pun marah sebagaimana orang lain lain marah (melihat itu). Namun aku telah menamparnya, lalu aku mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun menganggap besar apa yang telah aku lakukan. Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah, apakah aku harus memerdekakannya ?’. Beliau menjawab : ‘Bawalah budak wanita itu kepadaku’. Aku pun membawanya kepada beliau. Lalu beliau bertanya kepada budak wanita itu : ‘Dimanakah Allah ?’. Ia menjawab : ‘Di langit’. Beliau bertanya lagi : ‘Siapakah aku ?’. Ia menjawab : ‘Engkau adalah utusan Allah (Rasulullah)’. Beliau pun bersabda : ‘Bebaskanlah, sesungguhnya ia seorang wanita beriman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 537 – lihat bahasannya di sini].
حدثنا أبو جعفر محمد بن الصباح، وأبو بكر بن أبي شيبة (وتقاربا في لفظ الحديث) قالا: حدثنا إسماعيل بن إبراهيم عن حجاج الصواف، عن يحيى بن أبي كثير، عن هلال بن أبي ميمونة، عن عطاء بن يسار، عن معاوية بن الحكم السلمي؛ قال: ...... وكانت لي جارية ترعى غنما لي قبل أحد والجوانية. فاطلعت ذات يوم فإذا الذيب [الذئب؟؟] قد ذهب بشاة من غنمها. وأنا رجل من بني آدم. آسف كما يأسفون. لكني صككتها صكة. فأتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فعظم ذلك علي. قلت: يا رسول الله! أفلا أعتقها؟ قال "ائتني بها" فأتيته بها. فقال لها "أين الله؟" قالت: في السماء. قال "من أنا؟" قالت: أنت رسول الله. قال "أعتقها. فإنها مؤمنة".
Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin Ash-Shabbaah dan Abu Bakr bin Abi Syaibah (yang keduanya berdekatan dalam lafadh hadits tersebut), mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim, dari Hajjaaj Ash-Shawaaf, dari Yahyaa bin Abi Katsiir, dari Hilaal bin Abi Maimuunah, dari ‘Athaa’ bin Yasaar, dari Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy, ia berkata :
“…..Aku mempunyai seorang budak wanita yang menggembalakan kambingku ke arah gunung Uhud dan Jawwaaniyyah. Pada suatu hari aku memantaunya, tiba-tiba ada seekor serigala yang membawa lari seekor kambing yang digembalakan budakku itu. Aku sebagaimana manusia biasa pun marah sebagaimana orang lain lain marah (melihat itu). Namun aku telah menamparnya, lalu aku mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun menganggap besar apa yang telah aku lakukan. Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah, apakah aku harus memerdekakannya ?’. Beliau menjawab : ‘Bawalah budak wanita itu kepadaku’. Aku pun membawanya kepada beliau. Lalu beliau bertanya kepada budak wanita itu : ‘Dimanakah Allah ?’. Ia menjawab : ‘Di langit’. Beliau bertanya lagi : ‘Siapakah aku ?’. Ia menjawab : ‘Engkau adalah utusan Allah (Rasulullah)’. Beliau pun bersabda : ‘Bebaskanlah, sesungguhnya ia seorang wanita beriman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 537 – lihat bahasannya di sini].
Begitu juga dengan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu yang berisyarat ke langit ketika berbicara tentang Allah ta’ala,
حدثنا وكيع عن إسماعيل عن قيس قال : لما قدم عمر الشام استقبله الناس وهو على البعير فقالوا : يا أمير المؤمنين لو ركبت برذونا يلقاك عظماء الناس ووجوههم ، فقال عمر : لا أراكم ههنا ، إنما الامر من هنا - وأشار بيده إلى السماء
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Ismaa’iil, dari Qais, ia berkata : Ketika ‘Umar baru datang dari Syaam, orang-orang menghadap kepadanya dimana ia waktu itu masih di atas onta tunggangannya. Mereka berkata :
“Wahai Amiirul-Mukminiin, jika saja engkau mengendarai kuda tunggangan yang tegak, niscaya para pembesar dan tokoh-tokoh masyarakat akan menemuimu”. Maka ‘Umar menjawab : “Tidakkah kalian lihat, bahwasannya perintah itu datang dari sana ? – Dan ia (‘Umar) berisyarat dengan tangannya ke langit” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 13/40; shahih].
حدثنا وكيع عن إسماعيل عن قيس قال : لما قدم عمر الشام استقبله الناس وهو على البعير فقالوا : يا أمير المؤمنين لو ركبت برذونا يلقاك عظماء الناس ووجوههم ، فقال عمر : لا أراكم ههنا ، إنما الامر من هنا - وأشار بيده إلى السماء
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Ismaa’iil, dari Qais, ia berkata : Ketika ‘Umar baru datang dari Syaam, orang-orang menghadap kepadanya dimana ia waktu itu masih di atas onta tunggangannya. Mereka berkata :
“Wahai Amiirul-Mukminiin, jika saja engkau mengendarai kuda tunggangan yang tegak, niscaya para pembesar dan tokoh-tokoh masyarakat akan menemuimu”. Maka ‘Umar menjawab : “Tidakkah kalian lihat, bahwasannya perintah itu datang dari sana ? – Dan ia (‘Umar) berisyarat dengan tangannya ke langit” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 13/40; shahih].
Namun, datanglah kemudian generasi yang tersibukkan dengan ilmu filsafat/kalam. Mereka menolak pemahaman generasi salaf tentang keberadaan Allah di atas langit. Mereka pun membuat aneka macam teori yang membingungkan. Jika kita mengatakan Allah berada di atas langit ketujuh dan di atas ‘Arsy-Nya, maka – kata mereka - itu sama saja Allah membutuhkan tempat. Lalu dengan lancangnya mereka kemudian berfatwa untuk ‘melarang’ pelaziman perkataan : ‘Dimanakah Allah (ainallah) ?’. Ini adalah sebodoh-bodoh pemahaman.
Abu Muhammad ‘Abdul-Ghaniy Al-Maqdisiy rahimahullah (w. 600 H) berkata :
ومن أجهل جهلا، وأسخف عقلا، وأضل سبيلا ممن يقول إنه لا يجوز أن يقول : أين الله، بعد ما تصريح صاحب الشريعة بقوله [إين الله] ؟!.
“Dan termasuk kebodohan yang paling bodoh, akal yang paling lemah, dan jalan yang paling sesat adalah orang yang mengatakan tidak diperbolehkannya untuk berkata : ‘Dimanakah Allah ?’, setelah adanya kejelasan dari shaahibusy-syarii’ah (yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) dengan sabdanya : ‘Dimanakah Allah ?” [Al-Iqtishaad fil-I’tiqaad oleh ‘Abdul-Ghaniy Al-Maqdisiy, hal. 89, tahqiq : Dr. Ahmad bin ‘Athiyyah Al-Ghaamidiy; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 1/1414 H].
ومن أجهل جهلا، وأسخف عقلا، وأضل سبيلا ممن يقول إنه لا يجوز أن يقول : أين الله، بعد ما تصريح صاحب الشريعة بقوله [إين الله] ؟!.
“Dan termasuk kebodohan yang paling bodoh, akal yang paling lemah, dan jalan yang paling sesat adalah orang yang mengatakan tidak diperbolehkannya untuk berkata : ‘Dimanakah Allah ?’, setelah adanya kejelasan dari shaahibusy-syarii’ah (yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) dengan sabdanya : ‘Dimanakah Allah ?” [Al-Iqtishaad fil-I’tiqaad oleh ‘Abdul-Ghaniy Al-Maqdisiy, hal. 89, tahqiq : Dr. Ahmad bin ‘Athiyyah Al-Ghaamidiy; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 1/1414 H].
"Seandainya mereka (ahli kalam) ditanya : ‘Dimanakah Allah ?’, mereka akan menjawab : ‘Allah itu tidak di langit, tidak di bumi, tidak di atas, tidak di bawah, tidak di dalam alam, tidak di luar alam."
"Lantas dimanakah sebenarnya Allah itu menurut mereka ?."
Dan mereka (ahli kalam) mengatakan bahwa jika kita menetapkan bahwa Allah ta’ala ada di atas, di atas langit, dan di atas ‘Arsy-Nya; maka itu sama saja menyamakan Allah ta’ala dengan makhluk. Akhirnya, Ahlus-Sunnah mereka gelari dengan gelaran-gelaran buruk seperti mujassim atau musyabbih.
Adz-Dzahabiy rahimahullah (w. 748 H) berkata :
مقالة السلف وأئمة السنة بل والصحابة والله ورسوله والمؤمنون، أن الله عز وجل في السماء، وأن الله على العرش، وأن الله فوق سماواته، وأنه ينزل إلى السماء الدنيا، وحجتهم على ذلك النصوص والآثار.
ومقالة الجهمية: أن الله تبارك وتعالى في جميع الأمكنة، تعالى الله عن قولهم، بل هو معنا أينما كنا بعلمه.
ومقال متأخري المتكلمين: أن الله تعالى ليس في السماء، ولا على العرش، ولا على السموات، ولا في الأرض، ولا داخل العالم، ولا خارج العالم، ولا هو بائن عن خلقه ولا متصل بهم! وقالوا: جميع هذه الأشياء صفات الأجسام والله تعالى منزه عن الجسم!
قال لهم أهل السنة والأثر: نحن لا نخوض في ذلك، ونقول ما ذكرناه اتباعا للنصوص، وإن زعمتم... ولا نقول بقولكم، فإن هذه السلوب نعوت المعدوم، تعالى الله جل جلاله عن العدم، بل هو موجود متميز عن خلقه، موصوف بما وصف به نفسه، من أنه فوق العرش بلا كيف.
“Perkataan salaf dan para imam sunnah, bahkan para shahabat, Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman :
Bahwasannya Allah ‘azza wa jalla di langit. Dan bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy, di atas langit-langit-Nya. Ia turun ke langit dunia. Hujjah mereka atas hal itu adalah nash-nash dan atsar-atsar.
Adapun perkataan Jahmiyyah : Allah tabaaraka wa ta’ala ada di seluruh tempat. Maha Tinggi Allah dari perkataan mereka itu. Namun, Allah bersama kita di mana saja kita berada dengan ilmu-Nya.
Dan perkataan ahli kalam kontemporer : Allah ta’ala tidak di langit, tidak di atas ‘Arsy, tidak di atas langit-langit-(Nya), tidak di bumi, tidak berada di dalam alam, tidak di luar alam, tidak terpisah dari makhluk-Nya, dan tidak pula melekat dengannya !. Mereka (ahli kalam) berkata : ‘Semua hal ini merupakan sifat jism (tubuh), dan Allah ta’ala suci dari sifat jism (tubuh)’.[2]
Orang-orang yang berpegang pada sunnah dan atsar (Ahlus-Sunnah wal-Atsar) berkata kepada mereka : ‘Kami tidak akan berlarut-larut dalam hal itu. Kami mengatakan apa yang telah kami sebutkan tentangnya, yaitu mengikuti nash-nash. Dan seandainya kalian menyangkakan sesuatu, .... maka kami tidak akan berkata dengan perkataan kalian, karena pernyataan-pernyataan tersebut adalah sifat-sifat bagi sesuatu yang tidak ada (ma’duum). Maha Tinggi Allah jalla jalaaluhu dari ketiadaan. Bahkan Ia ada (maujuud) lagi terpisah dari makhluk-Nya. Allah disifati dengan apa-apa yang Ia sifatkan dengannya bagi diri-Nya, bahwasannya Ia di atas ‘Arsy tanpa perlu ditanyakan ‘bagaimana’” [Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar oleh Adz-Dzahabiy, hal. 107, tashhiih : ‘Abdurrahmaan bin Muhammad ‘Utsmaan; Al-Maktabah As-Salafiyyah, Cet. 2/1388 H].
Adapun tentang tuduhan tasybiih, Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan :
والمقصود هنا أن أهل السنة متفقون على أن الله ليس كمثله شيء, لا في ذاته ولا في صفاته ولا في أفعاله, ولكن لفظ التشبيه في كلام الناس لفظ مجمل, فإن أراد بنفي التشبيه ما نفاه القرآن, ودل عليه العقل فهذا حق, فإن خصائص الرب تعالى لا يماثله شيء من المخلوقات في شيء من صفاته....., وإن أراد بالتشبيه أنه لا يثبت لله شيء من الصفات, فلا يقال له علم, ولا قدرة ولا حياة, لأن العبد موصوف بهذه الصفات فيلزم أن لا يقال له: حي, عليم, قدير لأن العبد يسمى بهذه الأسماء, وكذلك في كلامه وسمعه وبصره ورؤيته وغير ذلك......
“Dan yang dimaksud di sini, Ahlus-Sunnah sepakat bahwa tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah. Tidak dalam Dzaat-Nya, sifat-Nya, ataupun perbuatan-perbuatan-Nya. Akan tetapi lafadh tasybiih dalam perkataan manusia adalah lafadh yang mujmal. Apabila yang diinginkan dengan penafikan tasybiih adalah apa-apa yang dinafikkan Al-Qur’an dan ditunjukkan oleh akal (sehat), maka ini benar. Hal ini dikarenakan kekhususan-kekhususan Rabb ta’ala tidaklah disamai sesuatupun dari makhluk-makhluk,.... Dan apabila yang diinginkan dengan tasybiih tersebut bahwa tidak ada satu pun sifat yang boleh ditetapkan untuk Allah, sehingga tidak boleh dikatakan pada-Nya ilmu, qudrah, dan hidup, karena hamba juga disifati dengan sifat-sifat ini; maka ia mengkonsekuenskan tidak boleh dikatakan pada-Nya : Yang Maha Hidup, Yang Maha Mengetahui, dan Maha Berkuasa, karena hamba juga dinamai dengan nama-nama ini. Begitu juga halnya dengan firman-Nya, pendengaran-Nya, pengelihatan-Nya, ru’yah-Nya, dan yang lainnya.....” [Minhajus-Sunnah, melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabiy oleh Al-Albaaniy, hal. 68; Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet. 2/1412 H].
Tasybih menurut pemahaman Ahlus-Sunnah tidaklah seperti yang mereka sangka.
وقَالَ إِسْحَاق بْنُ إِبْرَاهِيمَ: إِنَّمَا يَكُونُ التَّشْبِيهُ إِذَا قَالَ: يَدٌ كَيَدٍ أَوْ مِثْلُ يَدٍ أَوْ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ، فَإِذَا قَالَ: سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَهَذَا التَّشْبِيهُ، وَأَمَّا إِذَا قَالَ: كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: " يَدٌ وَسَمْعٌ وَبَصَرٌ " وَلَا يَقُولُ كَيْفَ، وَلَا يَقُولُ مِثْلُ سَمْعٍ وَلَا كَسَمْعٍ، فَهَذَا لَا يَكُونُ تَشْبِيهًا، وَهُوَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابهِ: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Dan Ishaaq bin Rahawaih berkata : “Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ‘Tangan (Allah) seperti tangan (makhluk), pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk)”. Jika ia berkata : ‘Pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk)’, maka inilah yang dinamakan tasybih (penyerupaan). Adapun jika seseorang mengatakan seperti firman Allah : ’Tangan, pendengaran, penglihatan’ , kemudian ia tidak mengatakan : ’bagaimana’ dan tidak pula mengatakan ’seperti’ pendengaran makhluk; maka itu tidak termasuk tasybih. Dan itu sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS. Asy-Syuuraa : 11)” [Sunan At-Tirmidziy, 2/43, tahqiq : Basyaar ‘Awwaad Ma’ruuf; Daarul-Gharb Al-Islaamiy, Cet. 1/1996 M].
Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuuniy rahimahullah berkata :
ولا يحرفون الكلام عن مواضعه، بحمل اليدين على النعمتين، أو القوتين؛ تحريف المعتزلة والجهمية – أهلكهم الله-، ولا يكيفونهما بكيف، أو يشبهونهما بأيدي المخلوقين، تشبيه المشبهة –خذلهم الله-
“Dan tidak mentahrif (merubah) perkataan dari tempatnya, (seperti misal) dengan membawa makna ‘dua tangan’ pada makna ‘dua nikmat’ atau ‘dua kekuatan’ sebagaimana tahrif kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyyah – semoga Allah membinasakan mereka - . Tidak pula men-takyif-nya dengan (pertanyaan) ‘bagaimana’, atau men-tasybih-nya dengan tangan kedua makhluk seperti tasybih-nya kelompok Musyabbihah – semoga Allah tidak memberi pertolongan kepada mereka – “ [Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabil-Hadiits, hal. 37].
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata :
ليس يلزم من إثبات صفاته شيء من إثبات التشبيه والتجسيم، فإن التشبيه إنما يقال: يدٌ كيدنا ... وأما إذا قيل: يد لا تشبه الأيدي، كما أنّ ذاته لا تشبه الذوات، وسمعه لا يشبه الأسماع، وبصره لا يشبه الأبصار ولا فرق بين الجمع، فإن ذلك تنزيه
“Tidaklah penetapan sifat-sifat-Nya mengkonsekuensikan adanya penetapan tasybiih dan tajsiim, karena tasybiih itu hanyalah jika dikatakan : ‘tangan seperti tanganku’...... Adapun jika dikatakan : ‘tangan namun tidak menyerupai tanganku’, sebagaimana Dzaat-Nya tidak menyerupai dzat-dzat makhluk, pendengaran-Nya tidak menyerupai pendengaran-pendengaran makhluk, dan penglihatan tidak menyerupai penglihatan-penglihatan makhluk, maka itulah yang disebut tanziih” [Al-Arba’iin min Shifaati Rabbil-‘Aalamiin oleh Adz-Dzahabiy, hal. 104, tahqiq : ‘Abdul-Qaadir ‘Athaa’; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 1/1413 H].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
ومُحالٌ أن يكون مَن قال عن اللهِ ما هو في كتابه منصوصٌ مُشبهًا إذا لم يُكيّف شيئا، وأقرّ أنه ليس كمثله شيء
“Dan tidaklah mungkin terjadi pada orang yang berbicara tentang Allah sesuatu yang ternashkan dalam kitab-Nya disebut sebagai musyabbih, ketika ia tidak men-takyif-nya sedikitpun dan mengatakan tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya” [Al-Istidzkaar oleh Ibnu ‘Abdil-Barr, 8/150, tahqiq : Dr. ‘Abdul-Mu’thiy Al-Qal’ajiy; Daar Qutaibah, Cet. 1/1414 H].
"Kembali ke bahasan, penetapan bahwa Allah dengan Dzat-Nya mempunyai sifat ketinggian di atas semua makhluk-Nya itu tidaklah mengkonsekuensikan tasybiih hanya karena ada sebagian kesamaan bahwa sifat tinggi juga dimiliki oleh makhluk-Nya. Hanya saja, ketinggian Allah adalah ketinggian yang sempurna yang tidak ada sesuatu pun yang menyamainya, Wallaahu a’lam."
[Cerkiis.blogspot.com, abul-jauzaa’ – senayan, jakarta – 1432 H].
[1] Karena yang bersama hamba-Nya itu adalah ilmu-Nya.
[2] Jika Anda perhatikan, apa yang dikatakan Adz-Dzahabiy tentang ahli kalam ini merupakan realitas perkataan Asyaa’irah. Lebih-lebih, ketika mereka membantah Ahlus-Sunnah yang mereka sebut dengan Wahabiy !.
[2] Jika Anda perhatikan, apa yang dikatakan Adz-Dzahabiy tentang ahli kalam ini merupakan realitas perkataan Asyaa’irah. Lebih-lebih, ketika mereka membantah Ahlus-Sunnah yang mereka sebut dengan Wahabiy !.
TANYA JAWAB :
Pertanyaan :
Adapun riwayat yang dikemukan oleh Suraij ibn an-Nu’man dari Abdullah ibn Nafi’ dari al-Imam Malik, bahwa ia -al-Imam Malik- berkata: “Allah berada di langit, dan ilmu-Nya di semua tempat”, adalah riwayat yang sama sekali tidak benar (Ghair Tsabit). Abdullah ibn Nafi’ dinilai oleh para ahli hadits sebagai seorang yang dla’if. Al-Imam Ahmad ibn Hanbal berkata: “’Abdullah ibn Nafi’ ash-Sha’igh bukan seorang ahli hadits, ia adalah seorang yang dla’if”. Al-Imam Ibn Adi berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’ banyak meriwayatkan ghara-ib (riwayat-riwayat asing) dari al-Imam Malik”. Ibn Farhun berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’- adalah seorang yang tidak membaca dan tidak menulis” (Lihat biografi Abdullah ibn Nafi’ dan Suraij ibn an-Nu’man dalam kitab-kitab adl-Dlu’afa’, seperti Kitab ald-Dlu’afa karya an-Nasa-i dan lainnya).
Dengan demikian pernyataan yang dinisbatkan kepada al-Imam Malik di atas adalah riwayat yang sama sekali tidak benar. Dan kata-kata tersebut yang sering kali dikutip oleh kaum Musyabbihah dan dinisbatkan kepada al-Imam Malik tidak lain hanyalah kedustaan belaka.
Adapun riwayat yang dikemukan oleh Suraij ibn an-Nu’man dari Abdullah ibn Nafi’ dari al-Imam Malik, bahwa ia -al-Imam Malik- berkata: “Allah berada di langit, dan ilmu-Nya di semua tempat”, adalah riwayat yang sama sekali tidak benar (Ghair Tsabit). Abdullah ibn Nafi’ dinilai oleh para ahli hadits sebagai seorang yang dla’if. Al-Imam Ahmad ibn Hanbal berkata: “’Abdullah ibn Nafi’ ash-Sha’igh bukan seorang ahli hadits, ia adalah seorang yang dla’if”. Al-Imam Ibn Adi berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’ banyak meriwayatkan ghara-ib (riwayat-riwayat asing) dari al-Imam Malik”. Ibn Farhun berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’- adalah seorang yang tidak membaca dan tidak menulis” (Lihat biografi Abdullah ibn Nafi’ dan Suraij ibn an-Nu’man dalam kitab-kitab adl-Dlu’afa’, seperti Kitab ald-Dlu’afa karya an-Nasa-i dan lainnya).
Dengan demikian pernyataan yang dinisbatkan kepada al-Imam Malik di atas adalah riwayat yang sama sekali tidak benar. Dan kata-kata tersebut yang sering kali dikutip oleh kaum Musyabbihah dan dinisbatkan kepada al-Imam Malik tidak lain hanyalah kedustaan belaka.
Jawaban :
Sumber copi paste Anda itu tidak valid dan curang dalam mengutip komentar ulama.
Sumber copi paste Anda itu tidak valid dan curang dalam mengutip komentar ulama.
‘Abdullah bin Naafi’ bin Abi Naafi’ Ash-Shaaigh Al-Makhzuumiy, Abu Muhammad Al-Madaniy; seorang yang tsiqah, shahiihul-kitaab, namun pada hapalannya terdapat kelemahan (layyin). Wafat tahun 206 H [idem, hal. 552, no. 3683].
Ibnu Ma’iin berkata : “Tsiqah”.
Abu Zur’ah berkata :“Tidak mengapa dengannya”.
An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya”.
Di lain tempat ia berkata : “Tsiqah”.
Ibnu Hibbaan berkata : “Shahiihul-kitaab, namun jika ia meriwayatkan dari hapalannya, kadang keliru”.
Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”.
Al-Khaliiliy berkata : “Tsiqah, Asy-Syaafi’iy memujinya”.
Ibnu Qaani’ berkata : “Madaniy, shalih”.
Al-Haakim berkata : "Tsiqah".
Abu Zur’ah berkata :“Tidak mengapa dengannya”.
An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya”.
Di lain tempat ia berkata : “Tsiqah”.
Ibnu Hibbaan berkata : “Shahiihul-kitaab, namun jika ia meriwayatkan dari hapalannya, kadang keliru”.
Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”.
Al-Khaliiliy berkata : “Tsiqah, Asy-Syaafi’iy memujinya”.
Ibnu Qaani’ berkata : “Madaniy, shalih”.
Al-Haakim berkata : "Tsiqah".
Memang benar, ada beberapa huffaadh mengkritik hapalan Ibnu Naafi' seperti Abu Haatim, Al-Bukhaariy, Ad-Daaruquthniy, dan Abu Zur'ah dalam riwayatnya yang lain.
Akan tetapi, bersamaan dengan itu, ia dikenal shaahibu Maalik dalam periwayatan dan lebih diutamakan dibanding yang lainnya.
Ibnu Sa’d rahimahullah berkata :
كان قد لزم مالك بن أنس لزوما شديدا لا يقدم عليه أحد
“Ia melazimi Maalik bin Anas dengan amat sangat, tidak ada seorang pun yang mendahuluinya”.
Ibnu ‘Adiy rahimahullah berkata :
روى عن مالك غرائب ، و هو فى رواياته مستقيم الحديث
“Ia meriwayatkan beberapa riwayat ghariib dari Maalik. Dan ia dalam riwayatnya (Maalik) mustaqiimul-hadiits”.
Ibnu Ma’iin rahimahullah berkata :
وعبد الله بن نافع ثبت فيه
“Dan ‘Abdullah bin Naafi’ tsabt dalam riwayat Maalik”.
Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
كان عبد الله بن نافع أعلم الناس برأى مالك و حديثه ، كان يحفظ حديث مالك كله ثم دخله بآخرة شك
“’Abdullah bin Naafi’ adalah orang yang paling mengetahui tentang pendapat dan hadits Maalik. Ia menghapal semua hadits Maalik, namun timbul keraguan di akhir hayatnya”.
Abu Daawud rahimahullah berkata :
وكان عبد الله عالما بمالك ، و كان صاحب فقه
“’Abdullah adalah seorang ‘aalim tentang Maalik, seorang ahli fiqh”.
Ahmad bin Shaalih Al-Mishriy rahimahullah berkata :
كان أعلم الناس بمالك، و حديثه
“Ia adalah orang yang paling mengetahui tentang Maalik dan haditsnya”.
[lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 6/52].
Dan khusus Al-Imaam Ahmad (yang perkataannya di atas sering dijadikan alasan untuk melemahkan atsar ini), maka beliau menyepakati apa yang dikatakan Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahullah dengan periwayatan dari ‘Abdullah bin Naafi’ ini.
حدثنا أبو الفضل جعفر بن محمد الصندلى قال : حدثنا الفضل بن زياد قال : سمعت أبا عبد الله أحمد بن حنبل يقول : قال مالك بن أنس : الله عز وجل في السماء وعلمه في كل مكان ، لا يخلو منه مكان ، فقلت : من أخبرك عن مالك بهذا ؟ قال : سمعته من شريح بن النعمان ، عن عبد الله بن نافع
Telah menceritakan kepada kami Abul-Fadhl Ja’far bin Muhammad Ash-Shandaliy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl bin Ziyaad, ia berkata : Aku mendengar Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal berkata : Telah berkata Maalik bin Anas : “Allah ‘azza wa jalla berada di langit dan ilmu-Nya ada di setiap tempat. Tidak ada sesuatupun yang luput dari-Nya”. Lalu aku (Al-Fadhl bin Ziyaad) berkata : “Siapakah yang mengkhabarkan kepadamu dari Maalik perkataan ini ?”. Ahmad berkata : “Aku mendengarnya dari Syuraih bin An-Nu’maan, dari ‘Abdullah bin Naafi’” [Diriwayatkan oleh Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah, no. 696].
Perkataan Ahmad bahwa 'Abdullah bin Naafi' itu mengalami keraguan di akhir hayatnya, maka itu tidaklah menggugurkan semua periwayatan 'Abdullah bin Naafi'. Tentu saja ini dengan melihat penjamakan semua ulama tentangnya. Riwayatnya dihukumi wahm jika memang ada bukti kongkrit ia wahm dalam periwayatan. Jika tidak, maka Shahih.
Catatan terhadap komentar Anda (atau sumber copas Anda tentang 'Abdullah bin Naafi') :
》Perkataan Anda :
"Dia -Abdullah ibn Nafi’ banyak meriwayatkan ghara-ib (riwayat-riwayat asing) dari al-Imam Malik."
"Dia -Abdullah ibn Nafi’ banyak meriwayatkan ghara-ib (riwayat-riwayat asing) dari al-Imam Malik."
Jawab :
maka ini memotong secara tidak fair perkataan Ibnu 'Adiy. Sebab, kelanjutan perkataan beliau adalah : wahuwa fii riwayatihi mustaqiimul-hadiits (dan ia dalam riwayat Maalik, mustaqiimul-hadiits). Artinya, Ibnu 'Adiy menghukumi riwayatnya dari Maalik adalah lurus atau shahih.
maka ini memotong secara tidak fair perkataan Ibnu 'Adiy. Sebab, kelanjutan perkataan beliau adalah : wahuwa fii riwayatihi mustaqiimul-hadiits (dan ia dalam riwayat Maalik, mustaqiimul-hadiits). Artinya, Ibnu 'Adiy menghukumi riwayatnya dari Maalik adalah lurus atau shahih.
》Perkataan Anda :
Al-Imam Ahmad ibn Hanbal berkata :
“’Abdullah ibn Nafi’ ash-Sha’igh bukan seorang ahli hadits, ia adalah seorang yang dla’if”.
Al-Imam Ahmad ibn Hanbal berkata :
“’Abdullah ibn Nafi’ ash-Sha’igh bukan seorang ahli hadits, ia adalah seorang yang dla’if”.
Jawab :
Ini juga merupakan manipulasi dari perkataan Ahmad. Memang benar Ahmad berkata :
Ini juga merupakan manipulasi dari perkataan Ahmad. Memang benar Ahmad berkata :
ولم يكن صاحب حديث
"Ia bukanlah seorang shaahibul-hadiits".
Namun Ahmad tidak mengatakan : "ia adalah seorang yang dla'iif". Lain kali, kalau menukil perkataan ulama yang benar ya.... Seandainya Anda memang menemukannya dari kutub rijaal, silakan dicantumkan sumbernya, sebab saya sudah memeriksa di kitab Mausu'ah Aqwaal Al-Imaam Ahmad, perkataan beliau seperti yang Anda nukil itu tidak ada.
》Perkataan Anda :
" Ibn Farhun berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’- adalah seorang yang tidak membaca dan tidak menulis” (Lihat biografi Abdullah ibn Nafi’ dan Suraij ibn an-Nu’man dalam kitab-kitab adl-Dlu’afa’, seperti Kitab ald-Dlu’afa karya an-Nasa-i dan lainnya)".
" Ibn Farhun berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’- adalah seorang yang tidak membaca dan tidak menulis” (Lihat biografi Abdullah ibn Nafi’ dan Suraij ibn an-Nu’man dalam kitab-kitab adl-Dlu’afa’, seperti Kitab ald-Dlu’afa karya an-Nasa-i dan lainnya)".
Jawab :
Perkataan Ibnu Farhuun itu bukan jarh yang menjatuhkan mas. Jadi, Anda salah alamat mencantumkannya di sini. [Dan memangnya, sejak kapan seorang rawi yang tidak bisa membaca dan menulis itu dapat dilemahkan ?]. Selain itu, tidak ada dalam kitab Adl-Dlu'afaa'-nya An-Nasaa'iy yang mencantumkan 'Abdullah bin Naafi', sebab An-Nasaa'iy mentautsiqnya.
Perkataan Ibnu Farhuun itu bukan jarh yang menjatuhkan mas. Jadi, Anda salah alamat mencantumkannya di sini. [Dan memangnya, sejak kapan seorang rawi yang tidak bisa membaca dan menulis itu dapat dilemahkan ?]. Selain itu, tidak ada dalam kitab Adl-Dlu'afaa'-nya An-Nasaa'iy yang mencantumkan 'Abdullah bin Naafi', sebab An-Nasaa'iy mentautsiqnya.
Kesimpulan :
"Anda atau sumber copasan Anda menghukumi 'Abdullah bin Naafi' tidak dengan membuka kitab biografi.
Oleh karena itu, riwayat 'Abdullah bin Naafi' ini adalah shahih. Seandainya tidak bisa dihukumi Shahih, maka ia tidak jatuh dari derajat Hasan."
- - - - -
Pertanyaan :
bagaimana pak kok belum di jawab,...
apakah bapak menetapkan tempat dan arah bagi Alla?
bagaimana pak kok belum di jawab,...
apakah bapak menetapkan tempat dan arah bagi Alla?
Jawaban :
Maaf, pertanyaan Anda lambat saya jawab karena sudah seringnya pertanyaan itu muncul. Sampai 'bosan' menjawabnya.
Maaf, pertanyaan Anda lambat saya jawab karena sudah seringnya pertanyaan itu muncul. Sampai 'bosan' menjawabnya.
Lafadh makaan (tempat) dan jihah (arah) tidaklah terdapat dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Oleh karena itu kita tidak menetapkannya bagi Allah, karena 'aqidah al-asmaa' wash-shifaat tidaklah ditetapkan kecuali melalui dengan dalil.
Namun jika penolakan ini adalah dimaksudkan untuk menolak keberadaan Allah di atas langit secara hakiki (seperti yang dilakukan oleh Asyaa'irah), maka ini keliru.
Atau dengan kata lain, seandainya penafikan ini maksudnya adalah untuk menafikan Allah berada di atas langit-Nya, di atas 'Arsy-Nya secara hakiki, maka kita pun menetapkannya.
Adapun tafshil mengenai tempat yang itu disandarkan kepada Allah, jika yang dimaksud adalah yang melingkupi sesuatu; maka kita menafikkannya, karena tidak ada sesuatu pun dari makhluk-Nya yang dapat melingkupi-Nya. Allah Maha Besar. Namun jika yang dimaksudkan dengan 'tempat' ini adalah amrun 'adamiyyun yang berada di luar alam, maka ini benar.
Anyway, semua hal itu Anda sebutkan tersebut, begitu juga dengan perkataan ikhwan yang lain, adalah hasil pemikiran ilmu kalaam yang tidak mau menetapkan apa yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan serta tidak mau berhenti apa yang Allah dan Rasul-Nya berhenti darinya.
wallaahul-musta'aan.
- - - - -
Pertanyaan :
Ust. Mohon di jelaskan mengenai para perawi terkait perkataan Imam Syafi'i yang ini:
Ust. Mohon di jelaskan mengenai para perawi terkait perkataan Imam Syafi'i yang ini:
1. Manipulasi Salafi terhadap kalam imam Syafi’i dalam hal Aqidah :
" روى شيخ الإسلام أبو الحسن الهكاري ، والحافظ أبو محمد المقدسي بإسنادهم إلى أبي ثور وأبي شعيب كلاهما عن الإمام محمد بن إدريس الشافعي ناصر الحديث رحمه الله قال: القول في السنة التي أنا عليها ورأيت أصحابنا عليها أهل الحديث الذين رأيتهم وأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الاقرار بالشهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله ، وأن الله تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وأن الله ينزل إلى السماء الدنيا كيف شاء "
“ Syaikhul Islam Abu Hasan Al-Hakary meriwayatkan dan Al-Hafidz Abu Muhammad Al-Muqoddasi dengan isnad mereka kepada Abu Tsaur dan Abu Syu’aib, keduanya dari imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I, Nashirul hadits Rh, beliau berkata “ Pendapat di dalam sunnah yang aku pegang dan juga para sahabatku dari Ahli hadits yang telah aku saksikan dan aku ambil dari mereka seperti Sufyan, Malik dan selain keduanya adalah pengakuan dengan syahadah bahwa tiada Tuhan selain Allah Swt, Muhammad adalah utusan Allah dan sesungguhnya Allah Swt di atas Arsy-Nya di dalam langit-Nya yang mendekat kepada makhluk-Nya kapan saja DIA kehendaki, dan sesungguhnya Allah turun ke langit dunia kapan saja DIA kehendaki “. (Mukhtashor Al-‘uluw halaman : 176)
Jawaban Dari Sisi Sanad :
1. Al-Hafidz Adz-Dzahaby di dalam kitabnya MIZAN AL-I’TIDAL juz : 3 halaman : 112 berkata :
أبي الحسن الهكاري : أحد الكذابين الوضاعين
“ Abu Al-Hasan Al-Hakkari adalah salah satu orang yang suka berdusta dan sering memalsukan ucapan “
2. Abul Al-Qosim bin Asakir juga berkata :
قال أبو القاسم بن عساكر : لم يكن موثوقاً به
“ Dia (Abu Al-Hasan) orang yang tidak dapat dipercaya “
3. Ibnu Najjar berkata :
وقال ابن النجار : متهم بوضع الحديث وتركيب الأسانيد
“ Dia dicurigai memalsukan hadits dan menyusun-nysun sanad “
4. Al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam kitab LISAN AL-MIZAN juz : 4 halaman : 159 berkata :
وكان الغالب على حديثه الغرائب والمنكرات ، وفي حديثه أشياء موضوعة
“ Kebanyakan hadits yg diriwayatkannya adalah ghorib dan mungkar dan juga terdapat hadits-hadits palsunya “.
5. Ibrahim bin Muhammad Ibn Sibth bin Al-Ajami di di dalam kitabnya Al-Kasyfu Al-Hatsits juz ; 1 halaman : 184 :
وهو كذاب وضاع
“Dia adalah seorag yang suaka berdusta dan suka memalsukan hadits “.
Dari sisi tarikh / sejarah :
Mereka (wahhaby salafy) mengaku atsar tersebut diriwayatkan oleh Abu Syu’aib dari imam Syafi’i. Benarkah ??
Mereka (wahhaby salafy) mengaku atsar tersebut diriwayatkan oleh Abu Syu’aib dari imam Syafi’i. Benarkah ??
Ini sebuah kedustaan yang nyata karena di dalam kitab-kitab tarikh / sejarah bahwasanya Abu Syu’aib ini dilahirkan dua tahun setelah wafatnya imam Syafi’i, sebagaimana disebutkan dalam kitab Tarikh Al-Baghdadi juz : 9 halaman : 436.
Semoga Ustadz, berkenan menjelaskannya..amin, Jazakallah
Jawaban :
Saya sebenrnya tidak mengerti pengertian 'manipulasi' yang dimaksudkan. Manipulasi itu maknanya : sebuah proses rekayasa dengan melakukan penambahan, pensembunyian, penghilangan atau pengkaburan terhadap bagian atau keseluruhan sebuah realitas, kenyataan, fakta-fakta ataupun sejarah yang dilakukan berdasarkan sistem perancangan sebuah tata sistem nilai, manipulasi adalah bagian penting dari tindakan penanamkan gagasan, sikap, sistem berpikir, perilaku dan kepercayaan tertentu.
Saya sebenrnya tidak mengerti pengertian 'manipulasi' yang dimaksudkan. Manipulasi itu maknanya : sebuah proses rekayasa dengan melakukan penambahan, pensembunyian, penghilangan atau pengkaburan terhadap bagian atau keseluruhan sebuah realitas, kenyataan, fakta-fakta ataupun sejarah yang dilakukan berdasarkan sistem perancangan sebuah tata sistem nilai, manipulasi adalah bagian penting dari tindakan penanamkan gagasan, sikap, sistem berpikir, perilaku dan kepercayaan tertentu.
Kalau yang dimaksudkan 'salafiy' itu adalah Syaikh Al-Albaaniy dalam kitab Mukhtashar Al-'Ulluw, dimanakah letak proses rekayasa ?. Kalau yang bersangkutan membaca kitab asli Mukhtashar Al-'Ulluw, niscaya tidak ada proses rekayasa dalam riwayat tersebut. Syaikh Al-Albaaniy hanya membawakan riwayat saja, tanpa memberikan komentar shahih atau dla'if. Apakah sekedar membawakan riwayat bisa disebut sebagai proses manipulasi ?.
Tentang Syaikhul-Islaam Al-Hakkaariy, memang benar para ulama mengkritisi riwayatnya. Ia seorang yang sangat lemah dalam hadits.
Begitu juga dengan masalah Abu Syu'aib. Yang mengatakan bahwa Al-Hakkariy membawakan rangkaian sanadnya dari Abu Tsaur dan Abu Syu'aib, keduanya dari Asy-Syaafi'iy; maka yang menyatakan itu adalah Adz-Dzahabiy. Dan kenyataannya memang benar sanad yang ada adalah demikian. Jika misal yang bersangkutan menghukumi bahwa terdapat inqitha' antara Abu Syu'aib dan Asy-Syaafi'iy, lantas apa hubungannya dengan manipulasi ?. Apalagi sampai mengatakan dusta ?.
[jika yang bersangkutan - dengan kekerdilan akalnya - menghukumi setiap orang yang membawakan riwayat yang dihukumi lemah sebagai pelaku manipulasi, maka ia pun harus menghukumi sama pada para imam hadits dalam kitab-kitab mereka yang membawakan hadits-hadits lemah atau bahkan maudlu'. begitu pula ia harus menghukumi para kiyai-kiyainya yang sering membawakan hadits lemah sebagai tukang manipulasi].
Dan saya sepakat bahwa riwayat tersebut lemah dalam sanadnya.
Jika pengkritik menghukumi riwayat yang dibawakan oleh pihak yang dikritik sebagai riwayat lemah, sangat lemah, atau maudlu', maka tidaklah selalu berkonsekuensi orang yang dikritiknya melakukan manipulasi. Saran saya, belajarlah ilmu riwayat dan ilmu bahasa Indonesia sehingga bisa menyusun sanggahan yang bermutu lagi bermanfaat. Bukan sekedar sanggahan yang membabi buta.
Tanya Jawab Bisa Baca Juga Di Sini : (Disini)