Sabtu, 23 Januari 2016

Haramnya Musik dan Ijmaa’

Haramnya Musik dan Ijmaa’

Haramnya Musik dan Ijmaa’
Permasalahan hukum musik adalah permasalahan yang telah dibahas para ulama kita semenjak dulu hingga sekarang. Dalam blog ini telah dibahas apa hukum musik dan nyanyian. Adapun sekarang, apakah benar bahwasannya larangan musik merupakan ijma’ di kalangan ulama ? Sebagian besar rekan-rekan tentu akrab dengan pernyataan ijma’ tentang pengharamannya. Adapun selain itu – taruhlah kita memakai termin yang seringkali dipakai di grassroot : ‘non salafiy’ (= yang sependapat dengan Dr. Yuusuf Al-Qaraadlawiy dan yang semisal dengannya) – berpendapat tidak terjadi ijma’.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

وأما الالات فسيأتى الكلام على اختلاف العلماء فيها عند الكلام على حديث المعازف في كتاب الأشربة وقد حكى قوم الإجماع على تحريمها وحكى بعضهم عكسه وسنذكر بيان شبهة الفريقين إن شاء الله تعالى ولا يلزم من إباحة الضرب بالدف في العرس ونحوه إباحة غيره من الالات كالعود ونحوه

“Adapun alat musik, maka akan datang perkataan tentang ikhtilaaf para ulama padanya terhadap bahasan hadits ma’aazif dalam kitab Al-Asyribah (dalam Shahih Al-Bukhaariy – Abul-Jauzaa’). Sekelompok ulama mengatakan adanya ijmaa’ pengharamannya. Namun sebagian yang lain mengatakan sebaliknya. Dan akan kami sebutkan penjelasan syubhat dua kelompok tersebut, insya Allahu ta’ala. Dan tidaklah melazimkan kebolehan memukul duff sewaktu pernikahan dan yang semisalnya dengan kebolehan memukul selain duff dari macam alat-alat musik seperti ‘uud (semacam kecapi) dan yang semisalnya” [Fathul-Baariy, 3/371].

Mafhum yang diambil dari perkataan Ibnu Hajar rahimahullah di atas adalah bahwa Ibnu Hajar mengakui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama selain klaim ijma’ dalam permasalahan hukum musik dan nyanyian. Wallaahu a’lam.

Di antara ulama yang menetapkan adanya ijma’ antara lain :
Abu Bakr Al-Aajurriy (w. 360 H),
Abuth-Thayyib Ath-Thabariy Asy-Syaafi’iy (450 H),
Ibnu ‘Abdil-Barr (w. 463 H),
Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy (w. 540 H),
Ibnush-Shalaah (w. 643 H),
Abul-‘Abbaas Al-Qurthubiy (w. 656 H),
Ibnu Taimiyyah (w. 728 H),
Taajuddiin As-Subkiy (w. 756 H),
Ibnu Rajab (w. 795 H),
Ibnu Hajar Al-Haitamiy (w. 974 H),
dan yang lainnya dari kalangan ulama kontemporer. [1]
  
Adapun Asy-Syaukaaniy – dan ia orang yang paling menonjol dalam hal ini – menyebutkan pendapat yang ‘menyelisihi’ ijma’ tersebut dalam bukunya Nailul-Authaar :

وذهب أهل المدينة ومن وافقهم من علماء الظاهر وجماعة من الصوفية إلى الترخيص في السماع ولو مع العود واليراع وقد حكى الأستاذ أبو منصور البغدادي الشافعي في مؤلفه في السماع أن عبد اللّه بن جعفر كان لا يرى بالغناء بأسًا ويصوغ الألحان لجواريه ويسمعها منهن على أوتاره وكان ذلك في زمن أمير المؤمنين علي رضي اللّه عنه‏.‏ وحكى الأستاذ المذكور مثل ذلك أيضًا عن القاضي شريح وسعيد بن المسيب وعطاء بن أبي رباح والزهري والشعبي‏.‏
وقال إمام الحرمين في النهاية وابن أبي الدم نقل الأثبات من المؤرخين أن عبد اللّه بن الزبير كان له جوار عوادات وأن ابن عمر دخل عليه وإلى جنبه عود فقال ما هذا يا صاحب رسول اللّه فناوله إياه فتأمله ابن عمر فقال هذا ميزان ، قال ابن الزبير‏:‏ يوزن به العقول‏.
وروى الحافظ أبو محمد ابن حزم في رسالته في السماع سنده إلى ابن سيرين قال‏:‏ إن رجلا قدم المدينة بجوار فنزل على عبد اللّه بن عمر وفيهن جارية تضرب فجاء رجل فساومه فلم يهو منهن شيئًا قال انطلق إلى رجل هو أمثل لك بيعًا من هذا قال من هو قال عبد اللّه بن جعفر فعرضهن عليه فأمر جارية منهن فقال لها خذي العود فأخذته فغنت فبايعه ثم جاء إلى ابن عمر إلى آخر القصة‏.‏
وروى صاحب العقد العلامة الأديب أبو عمر الأندلسي أن عبد اللّه بن عمر دخل على أبي جعفر فوجد عنده جارية في حجرها عود ثم قال لابن عمر هل ترى بذلك بأسًا قال لا بأس بهذا وحكى الماوردي عن معاوية وعمرو بن العاص أنهما سمعا العود عند ابن جعفر‏.‏

“Penduduk Madinah dan orang yang sependapat dengan mereka dari kalangan ulama Dhaahiriyyah dan kelompok Shuufiyyah berpendapat diberikanannya keringanan dalam masalah nyanyian (simaa’) meskipun diiringi ‘uud dan yaraa’ (seruling). Dan Al-Ustaadz Abu Manshuur Al-Baghdaadiy Asy-Syaafi’iy dalam bukunya tentang masalah simaa’ meriwayatkan bahwa ‘Abdullah bin Ja’far berpendapat tidak mengapa tentang nyanyian dan membolehkan budak-budak perempuannya untuk memainkan musik sedangkan ia sendiri mendengarkan mereka dengan alat musik yang dimainkannya. Itu terjadi pada jaman Amiirul-Mukminiin ‘Aliy (bin Abi Thaalib). Abu Manshuur juga meriwayatkan hal yang serupa dengan itu dari Al-Qaadliy Syuraih, Sa’iid bin Al-Musayyib, ‘Athaa’ bin Abi Rabaah, Az-Zuhriy, dan Asy-Sya’biy. Telah berkata Al-Imaam Al-Haramain dalam An-Nihaayah dan Ibnu Abid-Damm yang menukil adanya penetapan dari kalangan muarrikhiin bahwasannya ‘Abdullah bin Az-Zubair mempunyai budak yang memainkan ‘uud. Dan bahwasannya Ibnu ‘Umar masuk menemuinya dimana di sisinya terdapat ‘uud, lalu Ibnu ‘Umar berkata : “Apa ini wahai shahabat Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam - ?”. Lalu Ibnuz-Zubair mengambikan untuknya. Lalu Ibnu ‘Umar merenungkannya dan berkata : “Ini adalah miizaan (timbangan) orang Syaam”. Ibnuz-Zubair berkata : “Yang akan menyeimbangkan akal”.

Dan diriwayatkan oleh Al-Haafidh Abu Muhammad bin Hazm dalam risalahnya tentang masalah nyanyian dengan sanad sampai pada Ibnu Siiriin, ia berkata : ‘Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang datang ke Madiinah bersama budak-budak perempuannya, lalu ia menemui ‘Abdullah bin ‘Umar. Di antara budak-budak itu ada yang bisa memukul (alat musik). Datanglah seorang laki-laki, lalu si pemilik budak menawarkan budak-budak perempuan itu kepadanya (untuk dibeli), namun ternyata laki-laki tersebut tidak merasa cocok dengan mereka. Namun ia berkata : ‘Pergilah engkau ke seseorang yang ia  sama sepertimu dalam penjualan daripada ini’. Ia berkata : ‘Siapakah ia ?’. Orang itu menjawab : ‘Abdullah bin Ja’far. Lalu laki-laki pemilik budak tadi pergi menawarkannya kepada ‘Abdullah bin Ja’far. Lalau ‘Abdullah memerintahkan salah seorang budak tersebut, dan berkata : ‘Ambillah ‘uud’. Budak perempuan itu pun mengambilnya lalu bernyanyi. Maka ‘Abdullah bin Ja’far membelinya, kemudian mendatangi Ibnu ‘Umar…. hingga akhir kisah. [2]

Dan diriwayatkan pula oleh penulis kitab Al-‘Aqd Al-‘Allamah Al-Adiib Abu ‘Umar Al-Andalusiy : Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar pernah masuk menemui ‘Abdullah bin Ja’far. Lalu ia mendapatinya bersama seorang budak wanita di kamarnya dengan ‘uud. ‘Abdullah bin Ja’far berkata kepada Ibnu ‘Umar : “Apakah engkau memandang hal itu tidak apa-apa ?”. Ia menjawab : “Tidak mengapa”. Al-Maawardiy meriwayatkan dari Mu’aawiyyah dan ‘Amru bin Al-‘Aash bahwasannya mereka berdua mendengarkan ‘uud di sisi Ibnu Ja’far….” [selengkapnya dalam Nailul-Authaar, 9/100-101, Maktabah Ad-Da’wah Al-Islaamiyyah].
  
Kemudian Asy-Syaukaaniy menyebutkan daftar siapa-siapa saja yang membolehkan musik dan nyanyian dengan menukil perkataan Ibnun-Nahwiy :

قال ابن النحوي في « العمدة » : وقد روى الغناء وسماعه عن جماعة من الصحابة والتابعين , فمن الصحابة عمر - كما رواه ابن عبد البر وغير- وعثمان - كما نقله الماوردى وصاحب البيان والرافعى - وعبد الرحمن بن عوف كما رواه ابن أبى شيبة - وأبو عبيدة بن الجراح - كما أخرجه البيهقى- وسعد بن أبى وقاص - كما أخرجه ابن قتيبة - وأبو مسعود الأنصاري - كما أخرجه البيهقى - وبلال وعبد الله بن الأرقم وأسامة بن زيد - كما أخرجه البيهقى أيضا - وحمزة كما في الصحيح - وابن عمر - كما أخرجه ابن طاهر - والبراء بن مالك - كما أخرجه أبو نعيم - وعبد الله بن جعفر - كما رواه ابن عبد البر - وعبد الله بن الزبير - كما نقل أبو طالب المكى - وحسان - كما رواه أبو الفرج الأصبهانى - وعبد الله بن عمرو - كما رواه الزبير بين بكار - وقرظة بن كعب - كما رواه ابن قتيبة - وخوات بن جبير ورباح المعترف كما أخرجه صاحب الأغاني - والمغيرة بن شعبة - كما حكاه أبو طالب المكى- وعمرو بن العاص - كما حكاه الماوردى - وعائشة والربيع - كما في صحيح البخاري وغيره .
وأما التابعون فسعيد بن المسيب , وسالم بن عبد الله بن عمر , وابن حسان , وخارجة بن زيد , وشريح القاضى , وسعيد بن جبير , وعامر الشعبي , وعبد الله ابن أبى عتيق , وعطاء بن أبى رباح , ومحمد بن شهاب الزهري , وعمر بن عبد العزيز , وسعد بن إبراهيم الزهري .
وأما تابعوهم , فخلق لا يحصون , منهم : الأئمة الأربعة , وابن عيينة , وجمهور الشافعية

“Telah berkata Ibnun-Nahwiy dalam Al-‘Umdah : Dan telah diriwayatkan tentang kebolehan nyanyian dan mendengarkannya dari sekelompok shahabat dan tabi’iin. Dari kalangan shahabat : ‘Umar – sebagaimana diriwayatkan Ibnu ‘Abdil-Barr dan yang lainnya -, ‘Utsmaan - sebagaimana dinukil Al-Maawardiy dan penulis kitab Al-Bayaan dan Ar-Raafi’iy - , ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarraah – sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy - , Sa’d bin Abi Waqqaash – sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibah - , Abu Mas’uud Al-Anshaariy – sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy - , Bilaal, ‘Abdullah bin Arqam, Usaamah bin Zaid – sebagaimana diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqiy - , Hamzah – sebagaimana dalam kitab Ash-Shahiih - , Ibnu ‘Umar – sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Thaahir - , Al-Barraa’ bin Maalik – sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu’aim - , ‘Abdullah bin Ja’far – sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr - , ‘Abdullah bin Az-Zubair – sebagaimana dinukil oleh Abu Thaalib Al-Makkiy - , Hassaan – sebagaimana diriwayatkan oleh Abul-Farj Al-Ashbahaaniy - , ‘Abdullah bin ‘Amru – sebagaimana diriwayatkan oleh Az-Zubair bin Bakkaar - , Qaradhah bin Ka’b – sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibah, Khawaat bin Jubair, Rabbaah bin Al-Mu’tarif – sebagaimana diriwayatkan oleh penulis kitab Al-Aghaaniy - , Al-Mughiirah bin Syu’bah – sebagaimana dihikayatkan oleh Abu Thaalib Al-Makkiy, ‘Amru bin Al-‘Aash – sebagaimana dihikayatkan oleh Al-Maawardiy - , ‘Aaisyah, Ar-Rabii’ – sebagaimana terdapat dalam Shahih Al-Bukhaariy dan yang lainnya.
 
Dari kalangan taabi’iin :
Sa’iid bin Al-Musayyib,
Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar,
Ibnu Hassaan,
Khaarijah bin Zaid,
Syuraih Al-Qaadliy,
Sa’iid bin Jubair,
‘Aamir Asy-Sya’biy,
‘Abdullah bin Abi ‘Atiiq,
‘Athaa’ bin Abi Rabbaah,
Muhammad bin Syihaab Az-Zuhriy,
‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz, dan Sa’d bin Ibraahiim Az-Zuhriy.
 
Adapun dari kalangan yang mengikut mereka tidak terhitung jumlahnya, diantaranya : imam yang empat, Ibnu ‘Uyainah, dan jumhur Syaafi’iyyah” [lihat : Nailul-Authaar, 8/101-102].
  
Bahkan ia (Asy-Syaukaaniy) menulis buku khusus yang berjudul : Ibthaalu Da’waa Al-Ijmaa’ ‘alaa Tahriimi Muthlaqis-Simaa’.

Adz-Dzahabiy berkata :

قال ابن معين: كنا نأتي يوسف بن الماجشون يحدثنا، وجواريه في بيت آخر يضربن بالمعزفة.
قلت: أهل المدينة يترخصون في الغناء، هم معروفون بالتسمح فيه.

“Ibnu Ma’iin berkata : ‘Kami pernah mendatangi Yuusuf bin Al-Maajisyuun lalu ia meriwayatkan hadits kepada kami. Budak-budak perempuannya di rumahnya yang lain saat itu sedang memukul alat musik’. Aku (Adz-Dzahabiy) berkata : ‘Penduduk Madiinah memberikan rukhshah/kelonggaran dalam hal nyanyian. Dan mereka memang dikenal sebagai orang-orang yang longgar dalam masalah ini” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 8/372. Lihat pula : Tahdziibut-Tahdziib 11/430].

Al-Khaliiliy berkata : “Ia (Ibnul-Maajisyuun) dan saudara-saudara laki-lakinya memberikan rukhshah dalam masalah simaa’” [Tahdziibut-Tahdziib, 11/430].

Yuusuf bin Al-Maajisyun, lengkapnya adalah Yuusuf bin Ya’quub bin Abi Salamah Al-Maajisyuun, Abu Salamah Al-Madaniy; seorang yang tsiqah (w. 185 H), dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [lihat biografinya dalam Tahdziibul-Kamaal 32/479-482 no. 7166 dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 8/371-373 no. 110].

Ibnu Ma’iin saat mengomentari Ibnul-Maajisyuun berkata : “Tsiqah”. Di riwayat lain : “Shaalih”.  Di riwayat lain : “Tidak mengapa dengannya”.

Nampaknya, Ibnu Ma’iin tidak menggugurkan ‘adalah Ibnul-Maajisyuun dalam periwayatan hadits karena membolehkan mendengarkan nyanyian dan alat musik, wallaahu a’lam.

Tentang penukilan Asy-Syaukaaniy dari Ibnun-Nahwiy rahimahumallah tentang daftar para shahabat dan ulama setelahnya yang membolehkan nyanyian dan musik, tidak diragukan lagi beberapa di antaranya tidaklah akurat.

Misalnya penisbatan kepada ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhu. Ini jelas keliru, sebab telah tetap adanya riwayat darinya yang berseberangan dengan itu :

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ زُهَيْرٍ التُّسْتَرِيُّ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ بْنِ ثَعْلَبَةَ، ثنا أَبُو يَحْيَى الْحِمَّانِيُّ، ثنا عَبْدُ الأَعْلَى بْنُ أَبِي الْمُسَاوِرِ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ، عَنْ عُثْمَانِ، قَالَ : فَوَاللَّهِ مَا تَغَنَّيْتُ وَلا تَمَنَّيْتُ وَلا مَسِسْتُ فَرْجِي بِيَمِينِي مُنْذُ أَسْلَمْتُ أَوْ مُنْذُ بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Zuahir At-Tustariy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid bin Tsa’labah : Telah menceritakan kepada kami Abu Yahyaa Al-Himmaaniy : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-A’laa bin Abil-Musaawir, dari Asy-Sya’biy, dari Zaid bin Al-Arqam, dari ‘Utsmaan, ia berkata : “…Demi Allah, aku tidak pernah menyanyi, berangan-angan, dan menyentuh farjiku dengan tangan kananku sejak aku masuk Islam atau sejak aku berbaiat kepada Rasulullah shallallaaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 5/192-193; hasan].

Juga penisbatan kepada Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.

Ibnul-Jauzi meriwayatkan sebagai berikut :

ومر ابن عمر رضي الله عنه بقوم محرمين وفيهم رجل يتغنى قال ألا لا سمع الله لكم

”Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhu pernah melewati satu kaum yang sedang melakukan ihram dimana bersama mereka ada seorang laki-laki yang sedang bernyanyi. Maka Ibnu ’Umar berkata kepada mereka : ”Ketahuilah, semoga Allah tidak mendengar doa kalian” [Talbis Ibliis oleh Ibnul-Jauzi hal. 209 – Daarul-Fikr 1421].
  
Ini selaras dengan riwayat :

حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَمَخْلَدُ بْنُ يَزِيدَ، أَخْبَرَنَا سَعِيدٌ، الْمَعْنَى، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى، عَنْ نَافِعٍ مَوْلَى ابْنِ عُمَرَ، " سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَوَضَعَ إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ، وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيقِ، وَهُوَ يَقُولُ: يَا نَافِعُ، أَتَسْمَعُ؟ فَأَقُولُ: نَعَمْ، قَالَ: فَيَمْضِي، حَتَّى قُلْتُ: لاَ، قَالَ: فَوَضَعَ يَدَيْهِ، وَأَعَادَ الرَّاحِلَةَ إِلَى الطَّرِيقِ، وَقَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَمِعَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا "

Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Muslim : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin ‘Abdil-‘Aziiz dan Makhlad bin Yaziid; Telah mengkhabarkan kepada kami Sa’’id dengan makna, dari Sulaimaan bin Muusaa, dari Naafi’ maulaa Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Ibnu ’Umar pernah mendengar suara seruling yang ditiup oleh seorang penggembala. Maka ia meletakkan kedua jarinya di kedua telinganya (untuk menyumbat/menutupinya) sambil membelokkan untanya dari jalan (menghindari suara tersebut). Ibnu ’Umar berkata : ”Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengarnya ?”. Maka aku berkata : ”Ya”. Maka ia terus berlalu hingga aku berkata : ”Aku tidak mendengarnya lagi”. Maka Ibnu ’Umar pun meletakkan tangannya (dari kedua telinganya) dan kembali ke jalan tersebut sambil berkata : ”Aku melihat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ketika mendengar suara seruling melakukannya demikian” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/38. Diriwayatkan pula 2/8, Abu Abu Dawud no. 4924 dan 4926; Al-Ajurri dalam Tahriimun-Nard wasy-Syatranj wal-Malaahi no. 64; dan yang lainnya. Shahih].

  
Juga Penisbatan Kepada Imam Empat.
 
Ibnul-Jauzi berkata :

أخبرنا هبة الله بن أحمد الحريري عن أبي الطيب الطبري قال كان أبو حنيفة يكره الغناء مع إباحته شرب النبيذ ويجعل سماع الغناء من الذنوب قال وكذلك مذهب سائر أهل الكوفة إبراهيم والشعبي وحماد وسفيان الثوري وغيرهم لا أختلاف بينهم في ذلك قال ولا يعرف بين أهل البصرة خلاف في كراهة ذلك والمنع منه

“Telah mengkhabarkan kepada kami Hibatullah bin Ahmad Al-Hariry, dari Abuth-Thayyib Ath-Thabary ia berkata : “Adalah Abu Haniifah membenci nyanyian dan memperbolehkan perasan buah. Dan beliau menjadikan perbuatan mendengarkan nyanyian termasuk di antara dosa-dosa…” [Talbis Ibliis oleh Ibnul-Jauzi hal. 205 – Daarul-Fikr 1421].

حدثني أبي، قال: حدثنا إسحاق بن الطباع، قال: سألت مالك بن أنس عما يترخص فيه بعض أهل المدينة من الغناء، فقال: إنما يفعله عندنا الفساق.

“Telah menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ath-Thabbaa’, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Maalik bin Anas tentang nyanyian yang diperbolehkan penduduk Madiinah, maka ia menjawab : “Hal itu bagi kami hanyalah dilakukan oleh orang-orang fasiq” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Al-‘Ilal, no. 1499; shahih].

وَأَخْبَرَنِي زَكَرِيَّا بْنُ يَحْيَى النَّاقِدُ، حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ الْحَرُورِيِّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، قَالَ: سَمِعْتُ يُونُسَ بْنَ عَبْدِ الأَعْلَى، قَالَ: سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ، قَالَ: " تَرَكْتُ بِالْعِرَاقِ شَيْئًا يُسَمُّونَهُ التَّغْبِيرَ، وَضَعَتْهُ الزَّنَادِقَةُ يَشْغِلُونَ بِهِ عَنِ الْقُرْآنِ "

Dan telah mengkhabarkan kepadaku Zakariyyaa bin Yahyaa An-Naaqid : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Al-Haruuriy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ya’quub, ia berkata : Aku mendengar Yuunus bin ‘Abdil-A’laa, ia berkata : Aku mendengar Asy-Syaafi’iy berkata : “Aku meninggalkan ‘Iraaq sesuatu karena munculnya sesuatu di sana yang mereka namakan dengan At-Taghbiir yang telah dibuat oleh kaum Zanadiqah. Mereka memalingkan manusia dengannya dari Al-Qur’an” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam Al-Amru bil-Ma’ruuf wan-Nahyu ‘anil-Munkar, hal. 151; shahih].

أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبِي عَنِ الْغِنَاءِ، فَقَالَ: " الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ

Telah mengkhabarkan kepadaku ’Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang nyanyian, lalu ia menjawab : ”Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan di dalam hati” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam Al-Amru bil-Ma’ruuf wan-Nahyi ’anil-Munkar hal. 142; shahih].
  
Juga penisbatan kepada Ibnul-Musayyib rahimahullah.

أخبرنا عبد الرزاق عن معمر عن يحيى بن سعيد عن سعيد بن المسيب قال إني لأبغض الغناء وأحب الرجز

Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrazzaaq, dari Ma’mar, dari Yahyaa bin Sa’iid, dari Sa’iid bin Al-Musayyib, ia berkata : “Sesungguhnya aku membenci nyanyian, dan lebih menyukai rajaz” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 19743; shahih. Disebutkan pula oleh Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 3411].
  
Juga penisbatan kepada Asy-Sya’biy rahimahullah.

حَدَّثَنَا يَحْيَى، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دُكَيْنٍ، عَنْ فِرَاسِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، قَالَ: " إِنَّ الْغِنَاءَ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ الْمَاءُ الزَّرْعَ، وَإِنَّ الذِّكْرَ يُنْبِتُ الإِيمَانَ فِي الْقَلْبِ، كَمَا يُنْبِتُ الْمَاءُ الزَّرْعَ"

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Dukain, dari Firaas bin ‘Abdillah, dari Asy-Sya’biy : “Sesungguhnya nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan tanaman. Dan sesungguhnya dzikir itu menumbuhkan iman dalam hati sebagaimana air menumbuhkan tanaman” [Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah no. 691; hasan].

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدَةُ، وَوَكِيعٌ، عَنْ إسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ، عَنِ الشَّعْبِيِّ: أَنَّهُ كَرِهَ أَجْرَ الْمُغَنِّيَةِ "، زَادَ فِيهِ عَبْدَةُ: وَقَالَ: " مَا أُحِبُّ أَنْ آكُلَهُ "

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdah dan Wakii’, dari Ismaa’iil bin Abi Khaalid, dari Asy-Sya’biy : Bahwasannya ia membenci upah penyanyi. ‘Abdah menambahkan : Dan Asy-Sya’biy berkata : “Aku tidak mau memakannya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 22476 – Jawaami’ul-Kalim; shahih].

Dan yang lainnya.

Oleh karena itu, ada kemungkinan penisbatan kepada sebagian ulama/salaf yang membolehkan itu tidak benar karena tidak shahih sanadnya atau penukilannya; atau seandainya benar, tidak ada dilalah yang menunjukkan tentang kebolehannya. [3]

Saya juga tidak berani mengatakan bahwa semua yang dikatakan Asy-Syaukaaniy itu tidak valid, karena memang ada sebagiannya yang valid. Namun setidaknya, apa yang saya pahami sampai detik ini, bahwa penisbatan ijma’ dari para imam di atas perlu diteliti kembali.

Itu saja yang dapat saya tuliskan secara ringkas dari pokok artikel ini.
  
Sebagai catatan penting :
Tulisan ini sama sekali tidak bertujuan membela pendapat yang membolehkan nyanyian dan musik, menyokongnya, memberikan angin segar, atau yang semisalnya. Sekali lagi, tulisan ini hanyalah sebagai pembuka diskusi, mungkin, untuk meneliti kebenaran ijma’ tersebut. Adapun pengharaman atas dua hal itu adalah sangat kuat karena didasarkan oleh nash-nash yang shahih dan jelas dilalah-nya. Dan khilaf dalam masalah ini termasuk khilaf yang lemah. Wallaahu a’lam.

[Cerkiis.blogspot.com, Penulis: Ustadz Abul Jauzaa'  – 1432]

[1]      Silakan baca beberapa perkataan para ulama kita tentang penetapan ijma’ di : Kata Sepakat Ulama dalam Haramnya Musik http://ceritakehidupanislami.blogspot.com/2016/01/kata-sepakat-ulama-dalam-haramnya-musik.html

[2]      Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah mengatakan bahwa kisah ini terdapat dalam Al-Muhallaa dengan sanad shahih [lihat Tahriim Aalaatith-Tharb, hal. 101-102; Muassasah Ar-Rayyaan, Cet. 3/1426 H]. Namun beliau mengkritik penyebutan ‘uud, sebab dalam sanad kisah tersebut, Ayyuub mengatakan duff (rebana), sedangkan Hisyaam mengatakan ‘uud. Di sini, Syaikh merajihkan penyebutan duff.

Saya (Abul-Jauzaa’) berkata : Akan tetapi, baik penyebutan duff ataupun ‘uud, maka dua-duanya merupakan jenis alat musik yang ditabuh di luar waktu-waktu yang diperbolehkan (sebagaimana tercantum nash-nya dalam hadits), dan ‘Abdullah bin Ja’far pun mendengarkannya/menyimaknya.

[4]      Silakan baca :