Senin, 28 Desember 2015

Tambah Umur


Tambah Umur
 
Al-Imaam Al-Bukhaariy rahimahullah berkata :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي يَعْقُوبَ الْكِرْمَانِيُّ، حَدَّثَنَا حَسَّانُ، حَدَّثَنَا يُونُسُ، قَالَ مُحَمَّدٌ هُوَ الزُّهْرِيُّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ "

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi Ya’quub Al-Kirmaaniy[1] : Telah menceritakan kepada kami Hassaan[2] : Telah menceritakan kepada kami Yuunus[3] : Telah berkata Muhammad – ia adalah Az-Zuhriy[4] - , dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang suka diluaskan rizkinya dan ditangguhkan kematiannya, hendaklah ia menyambung silaturahim” [Shahiih Al-Bukhaariy no. 2067].

"Sanad ini Hasan, namun Shahih dengan keseluruhan jalannya."

Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan 2/181-182 no. 439 dengan sanad hasan, dengan lafadh :

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَجَلِهِ، فَلْيَتَّقِ اللَّهَ، وَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa yang suka diluaskan rizkinya dan ditangguhkan ajalnya, hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan menyambung silaturahim”.

حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ بْنُ عَبْدِ الْوَارِثِ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِهْزَمٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ، حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا: " إِنَّهُ مَنْ أُعْطِيَ حَظَّهُ مِنَ الرِّفْقِ، فَقَدْ أُعْطِيَ حَظَّهُ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَصِلَةُ الرَّحِمِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَحُسْنُ الْجِوَارِ يَعْمُرَانِ الدِّيَارَ، وَيَزِيدَانِ فِي الْأَعْمَارِ "

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdush-Shamad bin ‘Abdil-Waarits[5] : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mihzam[6], dari ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim[7] : Telah menceritakan kepada kami Al-Qaasim[8], dari ‘Aaisyah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadanya : “Barangsiapa yang diberikan bagian dari kelemah-lembutan, sungguh ia telah diberikan bagian kebaikan dari dunia dan akhirat. Menyambung silaturahim, akhlaq yang baik, dan bertetangga yang baik akan memakmurkan negeri-negeri dan menambah umur-umur” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 6/159].
"Sanadnya Shahih."

Sebagian orang mendapatkan kesulitan memahami hadits di atas dengan keberadaan dalil yang menafikkan pertambahan umur manusia sebagaimana dibawakan di bawah :

Allah ta’ala berfirman :

وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلا فِي كِتَابٍ

“Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfudh)” [QS. Faathir : 11].

Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :

وقوله: { وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلا فِي كِتَابٍ } أي: ما يعطى بعض النطف من العمر الطويل يعلمه، وهو عنده في الكتاب الأول، { وَلا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ } الضمير عائد على الجنس، لا على العين؛ لأن العين الطويل للعمر في الكتاب وفي علم الله لا ينقص من عمره، وإنما عاد الضمير على الجنس.
قال ابن جرير: وهذا كقولهم: "عندي ثوب ونصفه" أي: ونصف آخر.

“Dan firman-Nya : ‘Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfudh)’; yaitu : apa yang telah diberikan kepada sebagian nuthfah berupa umur panjang, Allah mengetahuinya dan hal itu di sisi-Nya terdapat dalam catatan yang pertama. Tentang firman-Nya : ‘dan tidak pula dikurangi umurnya’; kata ganti/dlamiir dalam ayat tersebut kembali kepada jenisnya (yaitu umur secara umum), bukan kembali pada umur orang tertentu. Hal itu dikarenakan panjangnya umur dalam Kitaab dan dalam ilmu Allah tidaklah berkurang dari umurnya. Kata ganti itu hanyalah kembali pada jenisnya. Ibnu Jariir berkata : ‘Ini seperti perkataan mereka : Aku punya baju dan setengahnya. Yaitu, setengah bau yang lain” [Tafsiir Ibni Katsiir, 6/538].

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ رُسْتُمَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ " فِي قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ: وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلا فِي كِتَابٍ ، قَالَ: فِي أَوَّلِ الصَّحِيفَةِ مَكْتُوبٌ عُمْرُهُ، ثُمَّ يُكْتَبُ بَعْدَ ذَلِكَ ذَهَبَ يَوْمٌ، ذَهَبَ يَوْمَانِ حَتَّى يَأْتِيَ عَلَى أَجَلِهِ "

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Rustum[9] : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Umar[10] : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdush-Shamad[11] : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah[12], dari ‘Athaa’ bin As-Saaib[13], dari Sa’iid bin Jubair[14] radliyallaahu ‘anhu tentang firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfudh)’; ia berkata : “Dalam lembaran awal tertulis (panjang) umurnya. Kemudian ditulis setelah itu hilang sehari, hilang dua hari, hingga datang kematiannya” [Diriwayatkan oleh Abusy-Syaikh dalam Al-‘Adhamah 3/918-919 no. 452].
Sanadnya shahih. Hammaad bin Salamah mendengar riwayat ‘Athaa’ sebelum berubah hapalannya [Al-Mukhtalithiin hal. 82-84 no. 73 – beserta catatan kaki muhaqqiq-nya].

Muslim berhujjah dengan riwayat ‘Abdush-Shamad dari Hammaad dalam Shahiih-nya.

Allah ta’ala juga berfirman :

وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلا

“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya” [QS. Aali ‘Imraan : 145].

Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :

وقوله: { وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلا } أي: لا يموت أحد إلا بقدر الله، وحتى يستوفي المدةَ التي ضربها الله له؛ ولهذا قال: {كِتَابًا مُؤَجَّلا } كقوله { وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلا فِي كِتَابٍ } [فاطر:11] وكقوله { هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ طِينٍ ثُمَّ قَضَى أَجَلا وَأَجَلٌ مُسَمًّى عِنْدَهُ } [الأنعام:2].
وهذه الآية فيها تشجيع للجُبَناء وترغيب لهم في القتال، فإن الإقدام والإحجام لا يَنْقُص من العمر ولا يزيد فيه كما قال ابن أبي حاتم:
حدثنا العباس بن يزيد العبدي قال: سمعت أبا معاوية، عن الأعمش، عن حبيب بن صُهبان، قال: قال رجل من المسلمين -وهو حُجْرُ بن عَدِيّ-: ما يمنعكم أن تعبُروا إلى هؤلاء العدو، هذه النطفة؟ -يعني دِجْلَة-{ وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلا } ثم أقحم فرسه دجلة فلما أقحم أقحم الناس فلما رآهم العدوّ قالوا: ديوان، فهربوا

“Dan firman-Nya : ‘Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah’; yaitu : seseorang tidak akan mati kecuali dengan ketentuan/takdir Allah, dan hingga ia memenuhi waktu yang telah Allah tentukan baginya. Oleh karena itu Allah berfirman : ‘sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya’, seperti firman-Nya : ‘Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfudh)’ (QS. Faathir : 11). Dan juga seperti firman-Nya : ‘Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ditentukan (untuk berbangkit) yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya)’ (QS. Al-An’aam : 2).

Ayat ini terdapat dorongan semangat (keberanian) bagi para penakut dan pemberian motivasi bagi mereka untuk berperang, karena maju atau mundurnya dari berperang tidaklah mengurangi atau menambah umur, sebagaimana dikatakan Ibnu Abi Haatim : Telah menceritakan kepada kami Al-‘Abbaas bin Yaziid Al-‘Abdiy[15], ia berkata : Aku mendengar Abu Mu’aawiyyah[16], dari Al-A’masy[17], dari Habiib bin Shuhbaan[18], ia berkata : Ada seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin – ia adalah Hujr bin ‘Adiy - : “Apa yang menghalangimu menyeberangi sungai Tigris ini menuju musuh-musuh itu ?. ‘Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya”. Setelah itu, ia memacu kudanya menyeberangi sungai Tigris, dan kemudian orang-orang pun mengikutinya. Ketika mereka melihat musuh, mereka berkata : “Diiwaan (lembar catatan)”. Mereka (musuh) pun lari ke belakang. [19] [Tafsir Ibni Katsiir, 2/129-130].

Allah ta’ala berfirman :

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلا يَعْلَمُهَا وَلا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأرْضِ وَلا رَطْبٍ وَلا يَابِسٍ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudh)” [QS. Al-An’aam : 59].

قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

“Katakanlah : "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal" [QS. At-Taubah : 51].

حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَرْحٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي أَبُو هَانِئٍ الْخَوْلَانِيُّ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ............"

Telah menceritakan kepadaku Abuth-Thaahir Ahmad bin ‘Amru bin ‘Abdillah bin Sarh[20] : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb[21] : Telah mengkhabarkan kepadaku Abu Haani’ Al-Khaulaaniy[22], dari Abu ‘Abdirrahmaan Al-Hubuliy[23], dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah telah menulis seluruh takdir makhluk limapuluh ribu tahun sebelum menciptakan langit-langit dan bumi.......” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2653].

Oleh karena itu, sebagian ulama menafsirkan pertambahan (ziyaadah) umur dalam hadits di awal adalah pertambahan keberkahannya, sehingga usianya penuh dengan amal-amal yang besar.

Namun sebagian ulama lain tetap menafsirkan pertambahan umur itu adalah pertambahan hakiki, dengan penjelasan sebagai berikut :
Sesungguhnya takdir itu ada dua macam. Pertama, taqdir mutlak, yaitu takdir yang tertulis dalam Lauh Mahfudh. Takdir inilah yang dimaksud dalam nash-nash di atas. Kedua, takdir mu’allaq atau muqayyad, yaitu takdir yang tertulis dalam lembaran malaikat yang masih mungkin untuk dihapuskan atau ditetapkan.

Syaikhul-Islaam rahimahullah berkata :

والأجل أجلان: مطلق يعلمه الله، وأجل مقيد، وبهذا يتبين معنى قوله : من سره أن يبسط له في رزقه، وينسأ له في أثره فليصل رحمه. فإن الله أمر الملك أن يكتب له أجلا، وقال: إن وصل رحمه زدته كذا وكذا، والملك لا يعلم أيزداد أم لا، لكن الله يعلم ما يستقر عليه الأمر، فإذا جاء الأجل لا يتقدم ولا يتأخر

“Ajal itu ada dua macam, yaitu ajal mutlak yang hanya diketahui oleh Allah, dan ajal muqayyad. Dengan demikian menjadi jelas makna sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘barangsiapa yang suka diluaskan rizkinya dan ditangguhkan kematiannya, hendaklah ia menyambung silaturahim’. Sesungguhnya Allah memerintahkan malaikat untuk menuliskan baginya ajal[24], dan berfirman : ‘Apabila ia menyambung silaturahim akan bertambah sekian dan sekian’. Dan malaikat sendiri tidak mengetahui apakah bertambah ataukah tidak.  Akan tetapi Allah mengetahui apa-apa yang telah Ia tetapkan pada orang tersebut. Apabila datang ajal padanya, maka tidak dapat dimajukan ataupun dimundurkan” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 8/517].

Di kesempatan lain ketika menjelaskan tentang rizki, Syaikhul-Islaam rahimahullah berkata :

الرزق نوعان: أحدهما: ما علمه الله أن يرزقه، فبهذا لا يتغير، والثاني: ما كتبه، وأعلم به الملائكة فهذا يزيد وينقص بحسب الأسباب

“Rizki ada dua macam. Pertama, rizki yang hanya diketahui oleh Allah, ini tidak berubah. Kedua, rizki yang Allah tulis dan Ia beritahukan kepada malaikat. Rizki jenis ini dapat bertambah dan dapat berkurang tergantung sebabnya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 8/540].

الأسباب التي يحصل بها الرزق هي من جملة ما قدره الله وكتبه؛ فإن كان قد تقدم بأن يرزق العبد بسعيه واكتسابه ألهمه السعي والاكتساب، وذلك الذي قدره له بالاكتساب لا يحصل بدون الاكتساب، وما قدره له بغير اكتساب- كموت مورثه- يأتيه بغير اكتساب

“Sebab-sebab yang menghasilkan rizki sendiri termasuk apa-apa yang telah Allah tentukan dan tulis. Seandainya sejak semula Allah menentukan memberikan rizki kepada seorang hamba dengan usaha dan kerja yang dilakukannya, maka Allah akan mengilhamkan kepadanya untuk berusaha dan bekerja. Dan rizki itulah yang Allah tentukan baginya melalui perantaraan usaha dan bekerja; dan ia tidak bisa mendapatkannya tanpa melalui bekerja. Dan rizki yang telah Allah tentukan baginya tanpa melalui bekerja – misalnya dengan kematian ahli warisnya - , maka rizki itu datang kepadanya tanpa bekerja” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 8/540-541].

Dengan penjelasan Syaikhul-Islaam rahimahullah menjadi jelaslah perkaranya. Yaitu, umur memang bisa bertambah dengan sebab-sebab yang dijelaskan oleh nash (misalnya : menyambung silaturahim, doa, dan yang lainnya). Yaitu bertambah dengan menghapus ketentuan/takdir yang ada dalam catatan malaikat. Namun pertambahan berikut sebab yang dilakukan oleh hamba itu sendiri merupakan bagian dari takdir mutlak yang telah Allah tulis dalam Lauh Mahfudh limapuluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.

Wallaahu a’lam, Semoga yang singkat ini ada manfaatnya.

[Cerkiis.blogspot.com, abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor. Di antaranya mengambil faedah dari kitab Qathii’atur-rahim oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Ibraahim Al-Hamd, yang dipublikasikan oleh islamhouse.com].

[1]      Muhammad bin Abi Ya’quub Ishaaq bin Manshuur, Abu ‘Abdillah Al-Kirmaaniy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 244 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 825 no. 5761].

[2]      Hassaaan bin Ibraahiim bin ‘Abdillah Al-Kirmaaniy, Abu Hisyaam Al-‘Anaziy; seorang yang shaduuq, namun banyak keliru. Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun 86 H, dan wafat tahun 186 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, dan Abu Daawud [Taqriibut-Tahdziib, hal. 232 no. 1204].

[3]      Yuunus bin Yaziid bin Abin-Najjaad Al-Ailiy, Abu Yaziid Al-Qurasyiy; seorang yang tsiqah, kecuali dalam riwayat Az-Zuhriy terdapat sedikit wahm (keraguan). Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 159 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1100 no. 7976].

[4]      Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Syihaab bin ‘Abdillah Al-Qurasyiy Az-Zuhriy, Abu Bakr Al-Madaniy; seorang yang tsiqah, faqiih, hafiidh, lagi mutqin. Termasuk thabaqah ke-4, wafat tahun 125 H, atau dikatakan sebelumnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 896 no. 6336].

[5]      ‘Abdush-Shamad bin ‘Abdil-Waarits bin Sa’iid At-Tamiimiy Al-‘Anbariy At-Tanuuriy, Abu Sahl Al-Bashriy; seorang yang shaduuq, dan tsabt dalam hadits Syu’bah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 207 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 610 no. 4108].

[6]      Muhammad bin Mihzam, Abu ‘Amru Al-Bashriy Al-‘Abdiy; seorang yang tsiqah sebagaimana dikatakan Ibnu Ma’iin. Abu Daawud berkata : “”Tidak mengapa dengannya”. Termasuk thabaqah ke-7 [Mishbaahul-Ariib, 3/236 no. 25850].

[7]      ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiiq Al-Qurasyiy At-Taimiy, Abu Muhammad Al-Madaniy Al-Faqiih; seorang yang tsiqah lagi jaliil. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 126 H atau setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 595 no. 4007].

[8]      Al-Qaasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiiq Al-Qurasyiy At-Taimiy, Abu Muhammad/’Abdirrahmaan Al-Madaniy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 106 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 595 no. 4007].

[9]      ‘Aliy bin Rustum Al-Mithyaar – atau Al-Mikyaar – Ath-Thahraaniy, Abul-Hasan Al-Ashbahaaniy; seorang yang tsabat lagi mutaqin sebagaimana dikatakan Abusy-Syaikh. Termasuk thabaqah ke-13 [Mishbaahul-Ariib, 2/377 no. 18460].

[10]     ‘Abdullah bin ‘Umar bin Muhammad bin Abaan bin Shaalih bin ‘Umair Al-Qurasyiy Al-Umawiy Al-Ju’fiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq, padanya ada paham tasyayyu’. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 239 H. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 529 no. 3517].

[11]     ‘Abdush-Shamad bin ‘Abdil-Waarits bin Sa’iid At-Tamiimiy Al-‘Anbariy At-Tanuuriy, Abu Sahl Al-Bashriy; seorang yang shaduuq, dan tsabt dalam hadits Syu’bah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 207 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 610 no. 4108].

[12]     Hammaad bin Salamah bin Diinaar Al-Bashriy, Abu Salamah bin Abi Sakhrah maulaa Rabii’ah bin Maalik bin Handhalah bin Bani Tamiim; seorang yang tsiqah, lagi ‘aabid, orang yang paling tsabt dalam periwayatan hadits Tsaabit (Al-Bunaaniy). Berubah hapalannya di akhir usianya. Termasuk thabaqah ke-8, wafat tahun 167 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara muallaq, Muslim, Abu Daawud, Ar-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 268-269 no. 1507].

[13]     ‘Athaa’ bin As-Saaib bin Maalik/Zaid/Yaziid, Abu Muhammad/Saaib/Zaid/Yaziid Ats-Tsaqafiy Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq, namun mengalami ikhtilath (di akhir usianya). Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 136 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 678 no. 4625].

[14]     Sa’iid bin Jubair bin Hisyaam Al-Asadiy Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yangtsiqah, tsabat, lagi faqiih. Termasuk thabaqah ke-3, wafat tahun 95 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 374-375 no. 2291].

[15]     ‘Abbaas bin Yaziid bin Abi Habiib Al-Bahraaniy, Abul-Fadhl Al-Bashriy Al-‘Abdiy – mempunyai laqab : ‘Abbaasawaih; seorang yang shaduuq, namun sering keliru (yukhthi’). Termasuk thabaqah ke-10, dan dipakai oleh Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 489 no. 3211].

Berikut perkataan para imam tentangnya :
Abu Haatim berkata : “Shaduuq”. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat dan berkata : “Kadang keliru”. Abu Sa’d As-Sam’aaniy berkata : “Tsiqah ma’muun”. Abu Nu’aim berkata : “Termasuk dari kalangan huffaadh”. Ibnu Abi Haatim berkata : “Tempatnya kejujuran di sisi kami”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Diperbincangkan”. Di lain tempat ia berkata : “Tsiqah ma’muun”. Maslamah bin Al-Qaasim berkata : “Dla’iiful-hadiits”.

Melihat perkataan para ulama di atas, maka hadits ‘Abbaas bin Yaziid tidaklah turun dari kedudukan hasan. Oleh karena itu Adz-Dzahabiy berkata : “Shaduuq” [Al-Kaasyif, 1/537 no. 2614].

[16]     Muhammad bin Khaazim At-Tamiimiy As-Sa’diy, Abu Mu’aawiyyah Adl-Dlariir Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, dan orang yang paling hapal dalam hadits Al-A’masy, namun sering mengalami keraguan dalam hadits selainnya. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 113 H, dan wafat tahun 194/195 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 840 no. 5878].

[17]     Sulaimaan bin Mihraan Al-Asadiy Al-Kaahiliy – terkenal dengan nama Al-A’masy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi‘aalim terhadap qira’aat. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 147/148 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 414 no. 2630].

[18]     Habiib bin Shuhbaan Al-Asadiy Al-Kaahiliy, Abu Maalik Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-2, dan dipakai Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad [Taqriibut-Tahdziib, hal. 220 no. 1107].

[19]     Tafsiir Ibni Abi Haatim no. 4269 – dhahir sanadnya adalah hasan, hanya saja Al-A’masy membawakan dengan ‘an’anah sedangkan ia seorang mudallis sehingga menurunkan kedudukan riwayat ini.

[20]     Ahmad bin ‘Amru bin ‘Abdillah bin ‘Amru bin As-Sarh Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abuth-Thaahir Al-Mishriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 250 H. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 96 no. 85].

[21]     Telah lewat keterangan tentangnya.

[22]     Humaid bin Haani’, Abu Haani’ Al-Khaulaaniy Al-Mishriy; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : ‘Tidak mengapa dengannya’. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 142 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 276 no. 1571].

Bahkan ia lebih dekat dengan penyifatan : tsiqah. Abul-Qaasim bin Basykuwaal berkata : “Tsiqah”. Ibnu Hibbaan dan Ibnu Syaahiin menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Abu Zur’ah berkata : “Shaalih”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Ibnu ‘Abdil-Barr berkata : “Ia di sisi ulama, shaalihul-hadiits, tidak mengapa dengannya”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Tidak mengapa dengannya, tsiqah”.

Oleh karena itu Adz-Dzahabiy berkata : “Tsiqah” [Al-Kaasyif, 1/355 no. 1260].

[23]     ‘Abdullah bin Yaziid Al-Mu’aafiriy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Hubuliy Al-Mishriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 100 H di Afrika. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 558 no. 3736].

[24]     Sebagaimana terdapat dalam riwayat :

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ الرَّبِيعِ، حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ، عَنْ الْأَعْمَشِ، عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ، حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ، قَالَ: " إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ، وَيُقَالُ لَهُ: اكْتُبْ عَمَلَهُ وَرِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ، ثُمَّ يُنْفَخُ فِيهِ الرُّوحُ فَإِنَّ الرَّجُلَ مِنْكُمْ لَيَعْمَلُ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجَنَّةِ إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ كِتَابُهُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ، وَيَعْمَلُ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّارِ إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ "

Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Ar-Rabii’ : Telah menceritakan kepada kami Abul-Ahwash, dari Al-A’masy, dari Zaid bin Wahb : Telah berkata ‘Abdullah : Telah menceritakan kepada kami Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan beliau adalah ash-shaadiqul-mashduuq, bersabda : “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah semisal itu (yaitu : selama empat puluh hari), kemudian menjadi segumpal daging semisal itu (yaitu : selama empat puluh hari). Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara. Dikatakan kepadanya : Tulislah amalnya, rizkinya, ajalnya, celaka atau bahagianya. Kemudian ditiupkan padanya ruh. Sesungguhnya di antara kalian ada melakukan satu amalan hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta. Akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka. Sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan satu amalan hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta. Akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, lalu dia melakukan perbuatan ahli surga” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3207].

Keterangan perawi :

a.     Al-Hasan bin Ar-Rabii’ bin Sulaimaan Al-Bajaliy Al-Qasriy, Abu ‘Aliy Al-Kuufiy Al-Buuraaniy Al-Hashaar; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 220 H/221 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 238 no. 1251].

b.    Abul-Ahwash, ia adalah : Sallaam bin Saliim Al-Hanafiy, Abul-Ahwash Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi mutqin, shaahibul-hadiits. Termasuk thabaqah ke-7, dan wafat tahun 179 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 425 no. 2718].

c.     Al-A’masy, telah lewat keterangan tentangnya.

d.    Zaid bin Wahb Al-Juhhaniy, Abu Sulaimaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi jaliil. Termasuk thabaqah ke-2, dan wafat setelah tahun 80 H atau dikatakan tahun 96 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 356 no. 2172]

أَخْبَرَنَا ابْنُ قُتَيْبَةَ، حَدَّثَنَا حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنَا يُونُسُ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ هُنَيْدَةَ حَدَّثَهُ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَخْلُقَ نَسَمَةً، قَالَ مَلَكُ الأَرْحَامِ مُعْرِضًا: يَا رَبِّ، أَذَكَرٌ أَمْ أُنْثَى؟ فَيَقْضِي اللَّهُ أَمْرَهُ، ثُمَّ يَقُولُ: يَا رَبِّ، أَشَقِيٌّ أَمْ سَعِيدٌ؟ فَيَقْضِي اللَّهُ أَمْرَهُ، ثُمَّ يَكْتُبُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ مَا هُوَ لاقٍ حَتَّى النَّكْبَةَ يُنْكَبُهَا "

Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Harmalah bin Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepada kami Yuunus, dari Ibnu Syihaab : Bahwasannya ‘Abdurrahmaan bin Hunaidah telah menceritakan kepadanya, bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila Allah hendak menciptakan jiwa, malaikat arhaam berkata : ‘Wahai Rabb, apakah ia laki-laki ataukah perempuan ?’. Maka Allah menetapkan keputusan-Nya. Malaikat itu berkata kembali : ‘Wahai Rabb, apakah ia celakan ataukah bahagia ?’. Maka Allah pun menetapkan keputusan-Nya. Kemudian malaikat tersebut menulis di antara kedua mata jiwa tersebut apa saja yang akan ditemuinya hingga musibah yang akan menimpanya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan 14/54 no. 6178; semua perawinya tsiqah kecuali Harmalah bin Yahyaa, seorang yang shaduuq. Hanya saja ia adalah salah seorang perawi yang paling mengetahui hadits Ibnu Wahab, sebagaimana dikatakan Ibnu Ma’iin dan Al-‘Uqailiy, sehingga sanad riwayat ini shahih].

Diriwayatkan pula secara mauquf dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu dengan Sanad yang Shahih.
Keterangan perawi :

a.     Muhammad bin Al-Hasan bin Qutaibah bin Zabaan Al-‘Asqalaaniy Al-Lakhamiy; seorang yang tsiqah sebagaimana dikatakan oleh Ad-Daaruquthniy [Mishbaahul-Ariib, 3/103 no. 23094].

b.    Harmalah bin Yahyaa bin ‘Abdillah bin Harmalah bin ‘Imraan bin Quraad At-Tajiibiy, Abul-Hafsh Al-Mishriy; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-11, lahir tahun 160 H, dan wafat tahun 243 H/244 H. Dipakai oleh Muslim, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 229 no. 1185].

c.     ‘Abdullah bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyiy Al-Fihriy, Abu Muhammad Al-Mishriy Al-Faqiih; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 125 H, dan wafat tahun 194 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 556 no. 3718].

d.    Ibnu Syihaab, telah lewat keterangan tentangnya.

e.    ‘Abdurrahmaan bin Hunaidah, atau dikatakan : Ibnu Abi Hunaidah, Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy Al-Madaniy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-4, dam dipakai oleh Abu Daawud dalam Al-Qadar [Taqriibut-Tahdziib, hal. 603 no. 4061].

Diriwayatkan pula secara mauquf dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu dengan Sanad yang Shahih.
Mengomentari hadits-hadits di atas, Ibnu Rajab rahimahullah berkata :

وبكل حال ، فهذه الكتابةُ التي تُكتب للجنين في بطن أمِّه غيرُ كتابة المقادير السابقة لخلق الخلائقِ المذكورة في قوله تعالى : مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا

“Dan kesimpulannya, penulisan malaikat bagi janin dalam perut ibunya bukanlah penulisan takdir-takdir bagi penciptaan makhluk-makhluk terdahulu yang disebutkan dalam firman-Nya ta’ala : ‘Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudh) sebelum Kami menciptakannya’ (QS. Al-Hadiid : 22)” [Jami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hal. 147, tahqiq : Al-Fakhl].