AL-QUR’AN MUHKAM DAN MUTASYABIH
Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Dilihat dari sisi pandang, muhkam dan mutasyabih, Al-Qur’an terbagi dalam tiga bentuk.
Pertama : MUHKAM
Umumnnya merupakan ciri Al-Qur’an secara keseluruhan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
الر ۚ كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
“Alif Laam Raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu” [Huud/11 : 1]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
الر ۚ تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ الْحَكِيمِ
“Alif Laam Raa. Inilah ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung hikmah” [Yunus/10 : 1]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَدَيْنَا لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ
“Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu dalam induk Al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah” [Az-Zukhruf/43 : 4]
Artinya adalah indah dalam bentuk dan susunan kata serta maknanya. Al-Qur’an berada di puncak nilai kefasihan dan sastra ; berita-beritanya secara keseluruhan adalah benar dan bermanfaat, tidak ada dusta, kontradiksi dan main-main yang tidak ada manfaatnya, hukum-hukumnya secara keseluruhan adalah adil, tidak ada kedzaliman, kontradiksi atau kesalahan.
Kedua : MUTASYABIH
Umumnya juga merupakan ciri Al-Qur’an secara keseluruhan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’ an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendakiNya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya” [Az-Zumar /39: 23]
Artinya sebagian isi Al-Qur’an memiliki keserupaan dengan sebagian yang lain dalam hal keindahan, kesempurnaan dan tujuan-tujuan yang mulia, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak didalamnya” [An-Nisa/4 : 82]
Ketiga : MUHKAM yang khusus pada sebagian ayat-ayat Al-Qur’an dan MUTASYABIH juga khusus pada sebagian yang lain, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا
“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami” [Ali-Imran/3 : 7]
Arti muhkam disini adalah, bahwa makna ayat jelas dan terang ; tidak tersamar sama sekali, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal” [Al-Hujuraat/49 : 13]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa” [Al-Baqarah/2 : 21]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” [Al-Baqarah/2 : 275]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik” [Al-Maidah/5 : 3]
Sedangkan arti Mutasyabih di sini adalah makna ayat yang tersamar sehingga orang menjadi ragu dalam memahami sesuatu yang tidak sesuai bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, KitabNya atau RasulNya, sedangkan orang yang mendalam ilmunya tidak demikian.
Contoh yang berkaitan dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang yang ragu memahami ayat.
ۘ بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ
“(Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka” [Al-Maidah/5 : 64]
Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki dua tangan yang serupa dengan kedua tangan makhluk.
Contoh yang berkaitan dengan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang yang ragu memahami bahwa Al-Qur’an bersifat kontradiktif dimana sebagiannya mendustakan sebagian yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ ۚ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا
“Apa saja ni’mat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi” [An-Nisa/4 : 79]
Pada tempat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala befirman.
وَإِنْ تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَٰذِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ ۖ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَٰذِهِ مِنْ عِنْدِكَ ۚ قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ
“Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan : “Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencan mereka mengatakan : “Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)”. Katakanlah : Semuanya (datang) dari sisi Allah” [An-Nisaa/4 : 78]
Contoh yang berkaitan dengan Rasulullah, Seorang yang ragu memahami firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
فَإِنْ كُنْتَ فِي شَكٍّ مِمَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ فَاسْأَلِ الَّذِينَ يَقْرَءُونَ الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكَ ۚ لَقَدْ جَاءَكَ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
“Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu” [Yunus/ : 94]
Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ragu terhadap apa yang diturunkan kepada beliau.
SIKAP ORANG-ORANG YANG DALAM ILMUNYA, DAN SIKAP ORANG-ORANG YANG CONDONG KEPADA KESESATAN PADA AYAT-AYAT MUTASYABIH
Sikap orang-orang yang dalam ilmunya dan sikap orang-orang yang condong kepada kesesatan pada ayat-ayat Mutasyabih dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal” [Ali-Imran/3 : 7]
Orang-orang yang condong kepada kesesatan menjadikan ayat-ayat mutasyabih sebagai sarana untuk menghujat Al-Qur’an, menebarkan fitnah dikalangan manusia dan mentakwilkannya dengan yang tidak dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga menjadi sesat dan menyesatkan.
Sedangkan orang-orang yang dalam ilmunya meyakini, bahwa apa saja yang terdapat pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah benar, tidak ada kontradiksi dan perbedaan karena datangnya dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
لَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak didalamnya” [An-Nisaa/4 : 82]
Ayat-ayat yang Mutasyabih dikembalikan menjadi Muhkam sehingga keseluruhan Al-Qur’an menjadi Muhkam.
Pada contoh pertama mereka katakan : Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki dua tangan hakiki yang sesuai dengan kemuliaan dan keagunganNya, tidak menyerupai tangan makhluk, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki Dzat yang tidak menyerupai dzat para makhluk, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [Asy-Syuura/42 : 11]
Pada contoh kedua mereka katakan : Bahwasanya nikmat dan bencana semuanya terjadi sesuai dengan ketentuan dan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi kenikmatan sebabnya adalah karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para hambaNya, sedangkan bencana penyebabnya adalah perbuatan hamba sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah mema’afkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)’ [Asy-Syuura/42 : 30]
Penyandaran bencana kepada hamba adalah penyandaran sesuatu kepada penyebabnya, bukan penyandaran kepada penentunya. Sedangkan penyandaran nikmat dan bencana kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah penyandaran sesuatu kepada penentunya. Dengan demikian hilanglah keraguan akan adanya perbedaan antara kedua ayat.
Pada contoh yang ketiga mereka katakan : Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah ragu terhadap apa yang diturunkan kepada beliau, bahkan beliau adalah orang yang paling tahu tentang wahyu dibandingkan manusia lainnya dan paling kuat keyakinannya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat yang sama.
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي شَكٍّ مِنْ دِينِي فَلَا أَعْبُدُ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Katakanlah : ‘Hai manusia, jika kamu masih dalam keragu-raguan tentang agamaku, maka (ketahuilah) aku tidak menyembah yang kamu sembah selain Allah” [Yunus/10 : 104]
Artinya jika kalian merasa ragu terhadap wahyu itu, maka ketahuilah bahwa aku sangat yakin, oleh karena itu aku tidak beribadah kepada apa yang kalian ibadahi selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan aku kafir kepadanya dan aku beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tidak mesti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
فَإِنْ كُنْتَ فِي شَكٍّ مِمَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ
“Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu” [Yunus/10 : 94]
Berarti Rasulullah ragu-ragu atau terjerumus dalam keragu-raguan. Lihat firman Allah Subahanahu wa Ta’ala
قُلْ إِنْ كَانَ لِلرَّحْمَٰنِ وَلَدٌ فَأَنَا أَوَّلُ الْعَابِدِينَ
“Katakanlah, jika benar Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak, maka akulah (Muhammad) orang yang mula-mula memuliakan (anak itu)” [Az-Zukhruf/43 : 81]
Apakah dengan demikian Allah Subhanahu wa Ta’ala boleh atau sudah punya anak ? Sama sekali tidak !, hal ini tidak pernah terjadi dan tidak boleh bagi hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَٰنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا ﴿٩٢﴾ إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَٰنِ عَبْدًا
“Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorangpun dilangit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba” [Maryam/19 : 92-93]
Dan tidak mesti dipahami dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu” [Al-Baqarah/2 : 147]
Bahwa keragu-raguan akan kebenaran terjadi pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena larangan dari sesuatu terkadang juga ditujukan kepada orang yang belum pernah melakukannya. Lihat firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلَا يَصُدُّنَّكَ عَنْ آيَاتِ اللَّهِ بَعْدَ إِذْ أُنْزِلَتْ إِلَيْكَ ۖ وَادْعُ إِلَىٰ رَبِّكَ ۖ وَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalang-halangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” [Al-Qashash/28 : 87]
Jelas sekali, bahwa mereka tidak akan mungkin menghalangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tujuan dari pengarahan larangan kepada orang yang tidak melakukannya adalah : Sebagai tandingan bagi orang yang melakukannya dan peringatan dari manhaj mereka. Dengan ini hilanglah kesalah pahaman dan persangkaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan yang tidak layak baginya.
[Disalin dari kitab Ushuulun Fie At-Tafsir edisi Indonesia Belajar Mudah Ilmu Tafsir oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka As-Sunnah, Penerjemah Farid Qurusy]