DALIL-DALIL TENTANG WAJIBNYA BERHUJJAH DENGAN HADITS AHAD DALAM BIDANG ‘AQIDAH
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
A. Dalil Pertama
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” [At-Taubah: 122]
Di dalam ayat ini Allah menganjurkan kaum mukminin agar mereka memperdalam agama tafaqquh fiddin kepada apa yang dibawa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak diragukan lagi bahwa yang dipelajari oleh mereka bukan hanya yang berkaitan dengan furu' dan ahkam saja, bahkan seorang guru dan murid sudah semestinya memulai pelajaran dari hal-hal yang lebih penting dari yang penting, dan satu hal yang tidak bisa disangkal dan sudah merupakan aksioma bahwa ‘aqidah lebih penting dari ahkam. Oleh karena itu, Allah Ta’ala menganjurkan satu tha-ifah untuk memperdalam ‘aqidah dan ahkam, agar kelak mereka dapat memperingatkan kaumnya sekembali me-reka dari memperdalam pengetahuan agama, baik ‘aqidah maupun ahkam.
Istilah tha-ifah menurut bahasa digunakan untuk satu orang atau lebih. Seandainya hadits ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam hal ‘aqidah, tentu Allah tidak menganjurkan kepada mereka untuk menyampaikan da'wah. Allah memberikan alasan dengan da'wah itu agar mereka berhati-hati.
Ayat di atas merupakan nash bahwa khabar ahad dapat dijadikan hujjah di dalam mendakwahkan masalah ‘aqidah dan ahkam. [1]
B. Dalil Kedua
Allah Sub berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” [Al-Israa': 36]
Kata walaa taqfu, artinya jangan kamu ikut dan jangan pula kamu mengamalkannya. Yang sudah dimaklumi bahwa kaum muslimin sejak masa Shahabat, mereka mengikuti khabar ahad dan mengamalkannya. Dengan khabar ahad itu mereka tetapkan masalah-masalah ghaib dan hakekat i'tiqadiyah, misalnya tentang awal diciptakannya makhluk dan tentang tanda-tanda hari Kiamat, bahkan mereka juga menetapkan sifat-sifat Allah dengan khabar ahad. Seandainya khabar ahad tidak memberikan faedah ilmu dan tidak dapat untuk menentukan masalah ‘aqidah, maka kalau demikian para Shahabat, Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in, dan para imam semuanya mengikuti sesuatu yang mereka tidak mempunyai ilmu padanya? Perkataan atau pendapat seperti ini tidak mungkin akan diucapkan oleh seorang yang mengaku dirinya sebagai muslim. [2]
C. Dalil Ketiga
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” [Al-Hujurat: 6]
Ayat ini menunjukkan jika ada seorang yang adil membawa kabar, maka terima dan jadikanlah hujjah tanpa perlu diselidiki lagi.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ayat ini menunjukkan dengan pasti tentang harusnya diterima khabar ahad, dan tidak perlu lagi diselidiki. Seandainya khabar itu tidak memberikan faedah ilmu, niscaya akan diperintahkan untuk diselidiki hingga didapat faedah ilmu. Hal ini menunjukkan diterimanya khabar ahad ialah apa yang dilakukan oleh para Salafush Shalih dan para imam, bahwa mereka akan senantiasa berkata, “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam begini, beliau telah melakukan ini, memerintahkan, dan melarang begini dan begitu”. Dan juga kebanyakan dari Shahabat di dalam meriwayatkan hadits seorang dari mereka berkata, “Telah bersabda Rasulullah”, meski ia pun mendengar dari Shahabat yang lain. Ini merupakan persaksian dari orang yang meriwayatkan, dan merupakan satu kepastian tentang apa-apa yang mereka nisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik ucapan maupun perbuatan. Seandainya khabar ahad tidak memberikan faedah ilmu, niscaya ia menjadi saksi atas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa ilmu.” [3]
D. Dalil Keempat
Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya menunjukkan tentang wajibnya menerima hadits ahad sebagai hujjah. Sunnah Nabi Shallallahu 'laihi wa sallam ini telah dilaksanakan oleh para Shahabat pada masa hidup beliau ataupun sesudah wafatnya. Dan ini menunjukkan satu dalil yang qath’i tentang tidak adanya perbedaan antara hadits ahad dalam bidang ‘aqidah maupun bidang ahkam.
Dalil-dalil amalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal ini sebagai berikut:
1. Dari Malik bin Huwairits Radhiyallahu anhu, ia bercerita, “Kami mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika kami tinggal di sisi beliau sekitar dua puluh hari, dan Rasulullah adalah seorang yang penuh kasih sayang dan mengerti perasaan orang. Maka ketika kami telah rindu kepada keluarga kami, beliau bertanya tentang siapa yang kami tinggalkan di rumah? Kami pun memberitahukan kapada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اِرْجِعُوْا إِلَى أَهْلِيْكُمْ فَأَقِيْمُوْا فِيْهِمْ وَعَلِّمُوْاهُمْ وَمُرُوْهُمْ وَصَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي.
“Pulanglah kalian kepada keluarga kalian masing-masing, dan tinggallah kalian di tengah keluarga kalian, dan ajarilah mereka untuk mengamalkannya, dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” [4]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh masing-masing mereka untuk mengajarkan keluarganya, dan pengajaran itu mencakup ‘aqidah dan ahkam, bahkan ‘aqidah adalah masalah yang pokok dalam ajaran agama. Sekiranya khabar ahad tidak dapat dipakai sebagai hujjah, maka perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak ada artinya sama sekali. Jadi khabar ahad wajib dipakai dalam penyampaian ajaran Islam di segala bidang.
2. Dari Anas bin Malik: “Bahwasanya penduduk Yaman datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian mereka berkata, ‘Ya Rasulullah, utuslah bersama kami seorang yang akan mengajari kami As-Sunnah dan Islam.’” Kata Anas, “Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memegang tangan Abu Ubaidah, seraya berkata:
هَذَا أَمِيْنُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ.
“Ini adalah orang yang terpercaya bagi ummat ini.” [5]
Di dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mempercayakan penyampaian ajaran Islam kepada seorang Shahabat. Sekiranya khabar ahad tidak bisa dijadikan hujjah niscaya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengutus Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah. Lagi pula ada beberapa hadits shahih yang mengisahkan beberapa Shahabat yang diutus oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ke beberapa negeri untuk mengajarkan Islam yang mencakup ‘aqidah dan ahkam, seperti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus ‘Ali bin Abi Thalib, Mu'adz bin Jabal, Abu Musa al-Asy’ariy, dan lain-lainnya.
3. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma: “Ketika orang-orang sedang shalat Shubuh di Quba, tiba-tiba datang seorang yang berkata, 'Sesungguhnya tadi malam telah turun ayat Al-Qur-an kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau diperintahkan untuk menghadap Kiblat (ke Makkah) dalam shalat, maka hendaklah kalian sekarang menghadap Kiblat', ketika itu mereka shalat menghadap ke Syam. Maka (setelah mendengar perintah itu) mereka pun berputar menghadap ke Ka'bah.” [6]
Ini juga nash yang tegas, bahkan para Shahabat menerima khabar ahad untuk menghapus perintah menghadap ke Baitul Maqdis, dan kemudian mereka menghadap Ka'bah.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkari mereka, bahkan mereka bersyukur atas kejadian yang demikian itu.”
Ahli Quba' adalah golongan Anshar yang selalu paling dulu mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka shalat menghadap ke Syam, karena memang diperintahkan demikian oleh Allah. Mereka tidak akan meninggalkan ketetapan Allah kecuali berdasarkan hujjah yang kokoh, sekalipun belum bertemu dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai pemindahan arah Kiblat itu. Mereka pindah arah Kiblat atas dasar khabar ahad, karena pembawa kabar tersebut menurut pandangan mereka termasuk orang-orang adil dan terpercaya.
Mereka meninggalkan kiblat dari menghadap ke Baitul Maqdis beralih menghadap ke Ka'bah sesuai dengan khabar ahad. Mereka tidak akan melakukannya dengan sembarangan melainkan dengan kabar yang dapat menjadikan hujjah secara mantap tentang masalah tersebut, yang berasal dari orang terpercaya. Karena tidak mungkin mereka berpindah arah Kiblat melainkan mereka yakin bahwa khabar ahad dapat dijadikan hujjah.
4. Sa’id bin Jubair meriwayatkan sebagai berikut: “Saya pernah berkata kepada Ibnu ‘Abbas bahwa al-Bikali menganggap Musa yang disebut sebagai Shahabat Khidir itu bukan Musa Bani Israil. Ibnu ‘Abbas menjawab, 'Telah berdusta musuh Allah itu.' Juga telah mengabarkan kepadaku Ubay bin Ka'ab, ia berkata, 'Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berkhutbah di hadapan kami, kemudian beliau mengungkapkan riwayat tentang Musa dan Khidir. Riwayat ini jelas menunjukkan bahwa Musa Bani Israil itulah yang merupakan Shahabat Khidir.”
Kata Imam asy-Syafi’i, “Ibnu ‘Abbas yang dikenal sebagai orang faqih dan taat serta berhati-hati dalam melaksanakan agama, memastikan khabar ahad Ubay bin Ka’ab itu benar-benar berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan dengan dalil itu Ibnu ‘Abbas berani mendustakan Nauf al-Bikali tatkala ia mengisahkan kabar Ubay bin Ka'ab yang ia terima dari Rasulullah, bahwa Musa Bani Israil itu Shahabat Khidir.”
Perkataan Imam asy-Syafi'i ini menunjukkan bahwa beliau tidak membedakan antara ‘aqidah dan ahkam di dalam menggunakan hadits ahad sebagai hujjah. [7]
E. Keterangan Para Ulama Tentang Masalah Hadits Ahad
Para ulama Ahli Sunnah wal Jama'ah selalu mengingatkan ummat Islam agar mereka yakin bahwa hadits atau khabar ahad merupakan hujjah dalam soal ‘aqidah dan ahkam. Berikut keterangan para ulama tentang masalah hadits ahad. Penulis akan memulai dari keterangan Imam asy-Syafi'i, karena beliaulah yang pertama kali membahas tentang hadits ahad dengan panjang lebar dalam kitabnya ar-Risalah dengan judul Dalil-Dalil Tentang Penggunaan Hadits Ahad sebagai Hujjah mulai dari halaman 401 sampai 453, setelah itu dilanjutkan lagi sampai halaman 460, dan kitab ini ditahqiq oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir rahimahullah.
Dalil-dalil yang dibawakan Imam asy-Syafi'i adalah dalil-dalil mutlak yang mencakup tentang ‘aqidah dan ahkam. Bahasan itu beliau tutup dengan perkataan: “Dalam menetapkan khabar ahad sebagai hujjah dicukupkan dengan hadits-hadits yang disebutkan di atas, sekalipun masih banyak yang lainnya. Demikianlah membentang jalan yang tiada putus-putusnya sejak zaman ulama Salaf (para Shahabat, Tabi’in, dan Tabi'ut Tabi'in) yang kemudian dilanjutkan oleh generasi sesudah mereka sehingga sampailah pada apa yang kita saksikan sekarang ini. Dan begitu pula diceritakan kepada kita oleh ulama sebelum kita, yang mereka menerimanya dari ulama dari berbagai negeri.” Selanjutnya beliau berkata, “Patut pula ditambahkan bahwa tidak kudapati seorang pun dari fuqaha kaum muslimin yang ikhtilaf dalam menetapkan khabar ahad sebagai hujjah.”
Dengan perkataan lain, semua ulama Islam dari dahulu sampai sekarang mengakui predikat khabar ahad sebagai hujjah yang mencakup berbagai kebutuhan. Sebagaimana Imam asy-Syafi’i telah menampakkan penjelasan dengan dalil-dalil yang gamblang dan tegas dari Al-Qur-an, As-Sunnah, perilaku Shahabat, Tabi'in, Ta-bi'ut Tabi'in, dan para ulama tentang keharusan menerima khabar ahad serta menggunakannya sebagai hujjah.
Syaikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan: “Sekelompok dari ahli ilmu Kalam (yakni kaum Mu'tazilah) beranggapan bahwa masalah ‘aqidah haruslah dengan dalil qath’i dan tidak diterima dalil dalam masalah ini kecuali dalil qath’i. Bahkan mereka menganggap wajib yang demikian ini dalam pembahasan ‘aqidah guna meyakini segala masalah dalam bidang ini.”
Pernyataan dan keyakinan ahli kalam seperti ini jelaslah salah dan menyimpang dari Al-Qur-an dan As-Sunnah serta ijma’ Salafush Shalih dan para Imam Muj-tahidin. Karena pada kenyataannya para ahli ilmu kalam tersebut adalah orang yang tidak konsekuen dengan ketetapan mereka sendiri. Di mana dalam pembahasan ‘aqidah mereka berdalil dengan teori-teori filsafat yang rancu, yang nilainya itu jauh lebih rendah di bawah kedudukan dalil zhanni yang mereka tolak.”
Cara berfikir ahlu bid’ah dari kalangan ahli ilmu Kalam adalah terbalik, mereka terima perkataan para filosof tanpa mempermasalahkan qath’i dan zhanni, tapi bila datang Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang sudah sah, mereka menolaknya dan hanya mau menerima yang qath’i saja. Cara berfikir seperti ini adalah sangat terbalik menurut pandangan syari’at Islam.
Selanjutnya beliau rahimahullah berkata, “...Dan kabar ahad yang diriwayatkan oleh seorang Shahabat atau dua orang (yakni khabar ahad) apabila sudah dapat diterima dan dibenarkan, maka kabar itu memberi faedah ilmu menurut jumhur ulama, dan sebagian orang ada yang menamakan (khabar ahad) itu adalah kabar mustatidh. Dan sahnya ilmu di sini ialah hasil ijma' ulama, sedangkan ummat ini tidak akan ijma’ dalam kesalahan. Karena itu hasil dari hampir seluruh isi Shahih al-Bukhari - Muslim disepakati keshahihannya oleh Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, Hanabilah dan Asyaa’irah. Dan hanya kelompok ahli ilmu Kalam yang menyalahi dalam masalah ini sebagaimana yang sudah diuraikan tadi.” [8]
Al-‘Allamah Ibnu ‘Abdil ‘Izzi al-Hanafi rahimahullah menyatakan: “Hadits ahad walaupun mempunyai kemungkinan benar dan salah, akan tetapi untuk diterimanya suatu kabar tentulah melalui proses penyeleksian yang teliti yang hanya dapat dilakukan oleh para ahli yang telah meluangkan waktunya untuk meneliti hadits dan membahas biografi para rawi tentang kehidupan mereka serta perkataan mereka (dengan sangat hati-hati sekali), dan mereka tidak mungkin berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam walau satu kalimat, dengan diancam bunuh sekalipun. Penelitian yang dilakukan tersebut tidak dilakukan oleh seorang saja, bahkan banyak dilakukan oleh banyak ahli dalam bidang ini, sehingga sedikit sekali kesalahan yang dilakukan oleh para peneliti...” [9]
Para ulama Ahlus Sunnah bila mendapatkan nash yang shahih, maka mereka tidak akan berpaling dan tidak akan meninggalkan nash itu karena bertentangan dengan akal atau karena ada pendapat si fulan atau yang lainnya. Begitulah semestinya kita bersikap terhadap nash yang sampai kepada kita, karena nash tersebut telah diteliti dengan cermat oleh para pakar hadits sejak dahulu sampai hari ini. Menurut jumhur ulama khabar ahad wajib diterima dan sangat berfaedah untuk memperkuat ‘aqidah kita.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah telah membahas masalah ini dengan luas sekali dalam kitabnya Mukhtashar ash-Shawaa-iq al-Mursalah, dan di samping itu ia juga membahas tentang wajibnya mengikuti As-Sunnah dalam kitabnya I'laamul Muwaqqi'in 'an Rabbil 'Alamin. Perkataan Ibnul Qayyim sudah dijelaskan di muka dan pada dalil ketiga tentang wajibnya berhujjah dengan hadits ahad.
Sebenarnya masih banyak pendapat para ulama terdahulu tentang keharusan menggunakan hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah ‘aqidah, seperti Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Ihkaam fil Ushuulil Ahkaam oleh al-Amidi, dan kitab-kitab lainnya. Tetapi pendapat-pendapat para ulama di atas telah cukup mewakili, dan banyak kita dengar pula pendapat ulama mu’ashir (zaman sekarang) yang banyak menghabiskan waktunya untuk mentakhrij hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau dikenal sebagai muhaddits (ahli Hadits) abad ini, itulah ia Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata, “Pendapat yang mengatakan tidak boleh berpegang dengan hadits ahad dalam masalah ‘aqidah adalah suatu pendapat atau perbuatan yang diada-adakan (atas nama agama). Singkatnya, dalil-dalil Al-Qur-an, As-Sunnah, amalan para Shahabat, dan pendapat para ulama menunjukkan dengan pasti bahwa kita wajib menggunakan hadits ahad sebagai hujjah dalam permasalahan syari'at, baik dalam bentuk ‘aqidah maupun ahkam. Dan orang yang memilah-milah antara ‘aqidah dan ahkam di dalam berhujjah dengan hadits ahad adalah suatu perbuatan bid'ah yang tidak dikenal oleh para ulama Salaf.
Dalam kitabnya yang lain, beliau berkata, “Secara praktek sangat sulit membedakan antara ‘aqidah dan ahkam, karena ‘aqidah harus diiringi dengan amal, dan amal harus disertai keyakinan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mengutus para Shahabat, seperti Mush’ab ke Madinah, Mu'adz ke Yaman, dan yang lainnya, beliau memerin-tahkan agar mereka menyampaikan masalah ‘aqidah dan amal. Amal tidak terbatas pada anggota tubuh saja, bahkan amal hati termasuk pokok bagi amal anggota tubuh, karena amal anggota tubuh selalu mengikuti amal hati. Setiap masalah harus disertai iman dalam hati, membenarkannya dan mencintainya, yang demikian adalah amal, bahkan merupakan pokok amal.”
[Cerkiis.blogspot.com, artikel: almanhaj. Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]
Footnote
[1]. Lihat al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil ‘Aqaaid wal Ahkam (hal. 55-56).
[2]. Ibid, hal 56.
[3]. Ibid, hal 57.
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 7246).
[5]. HR. Muslim no. 2419 (54)) dan al-Bukhari meriwayatkan secara ringkas (no. 3745).
[6]. HR. Al-Bukhari (no. 403) dan Muslim (no. 526 (13))
[7]. Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil ‘Aqaa-id wal Ahkam (hal. 58-60).
[8]. Lihat Mukhtashar ash-Shawaa-iq al-Mursalah (hal. 531, dst) tahqiq Sayyid bin Ibrahim, cet. Daar Zamzam, th. 1414 H.
[9]. Syarah ‘Aqidah Thahawiyah (hal. 355-356) tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany