Selasa, 26 Januari 2021

Tanggapan Dan Bantahan Atas Penolakan Khabar Ahad

TANGGAPAN DAN BANTAHAN ATAS PENOLAKAN KHABAR AHAD

Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Dalam hal ini sesungguhnya kita harus meneliti dan memeriksa kembali makna zhan dalam ayat-ayat itu menurut penafsiran para Shahabat, Tabi'in dan Tabi'ut Tabi'in.

Sesungguhnya zhan (dugaan) yang termaktub dalam ayat-ayat di atas adalah untuk menggambarkan keyakinan orang-orang kafir dan kaum musyrikin. Mereka itu hanya mengikuti dugaan saja dalam ber’aqidah, hingga keyakinan mereka tidaklah sampai kepada tingkat kepastian.

Zhan yang dimaksud dalam ayat-ayat itu adalah dusta, yaitu yang diyakini oleh orang-orang musyrik. Dan yang menguatkan pengertian ini ialah lanjutan firman Allah berikut ini: 

إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

“...Mereka itu hanyalah mengikuti dugaan saja, dan sesungguhnya mereka itu hanyalah berdusta.” [Al-An’aam: 116]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 

إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ ۖ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا

“... Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.” [An-Najm: 28]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menerangkan surat an-Najm ayat 28 berkata, “Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak mempunyai ilmu yang benar dan tidak pula ucapan mereka. Bahkan mereka telah berdusta, omongannya palsu, mengada-ada, dan telah berbuat kekufuran yang keji. Mereka itu hanyalah mengikuti zhan yang tidak punya kepastian sedikit pun, dan mereka tidak berada di atas kebenaran sama sekali. Sungguh telah diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبَ الْحَدِيْثِ.

‘Jauhilah oleh kalian zhan (sangka-sangka), karena zhan itu adalah seburuk-buruk omongan dusta.’

Maka jauhilah dirimu dari orang-orang yang menolak kebenaran, dan tinggalkanlah mereka.” [1]

Sebenarnya dasar berfikir mereka hingga membedakan antara ‘aqidah dan ahkam dalam penggunaan hadits ahad sebagai hujjah merupakan dasar pemikiran filsafat yang dimasukkan ke dalam Islam [2]. Tentu saja hal ini tidak pernah dilakukan oleh para Salafush Shalih dan empat Imam madzhab. Pada hakekatnya mereka tidak punya dalil baik dari Al-Qur-an maupun dari hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang masalah ini. Adapun ayat-ayat yang mereka jadikan dasar adalah berkenaan dengan orang-orang kafir dan musyrik.

Alangkah bodohnya orang yang mengambil ayat sepotong-sepotong kemudian dijadikan hujjah sebagai dasar pemikiran tanpa melihat ayat-ayat lain dan hadits-hadits maupun pendapat para Salafush Shalih. Mereka lakukan yang demikian karena sudah sedemikian jauhnya mereka dari pemahaman Al-Qur-an dan As-Sunnah sebagaimana yang dipahami oleh para Shahabat Ridwanullah ‘alaihim ajma'in, dan mereka sudah terlalu disibukkan dengan pendapat-pendapat tokoh filsafat dan sekte-sekte sesat.

Mereka juga menggunakan riwayat yang menunjukkan bahwa sejumlah Shahabat tidak menggunakan hadits ahad, misalnya saja Abu Bakar yang menolak hadits dari Mughirah mengenai warisan kepada nenek, beliau baru menetapkannya setelah hadits tersebut dikuatkan oleh Muhammad bin Maslamah. Demikian pula ‘Umar telah menolak hadits riwayat Abu Musa tentang isti'dzan (yaitu minta izin masuk rumah setelah salam tiga kali), dan baru menerapkannya setelah dikuatkan oleh Abu Sa'id. Juga Abu Bakar dan ‘Umar menolak riwayat yang disampaikan oleh ‘Utsman berkenaan dengan pemberian izin Rasulullah untuk menolak Hakam al-Asyja'iy mengenai mufawwadhah (hadits mengenai mahar yang tidak sempat dibayar). Bahkan ‘Ali tidak mau menerima hadits ahad sebelum mengangkat sumpah rawinya, terkecuali hadits yang diriwayatkan Abu Bakar. Begitu pula ‘Aisyah menolak khabar ahad Ibnu ‘Umar tentang disiksanya mayit karena ratapan tangisan keluarganya.[3] 

Jawaban Terhadap Riwayat-Riwayat di Atas
Tidak diragukan lagi bahwa para Shahabat telah melaksanakan hukum atas dasar hadits ahad. Hal ini dapat terlihat dengan jelas dalam berita-berita mutawatir dan dalil-dalil serta perbuatan yang dilaksanakan atas dasar hadits ahad. Sekiranya terdapat berita bahwa para Shahabat menangguhkan beberapa khabar ahad, hal ini tidaklah merupakan dalil bahwa mereka tidak beramal atas dasar khabar ahad, akan tetapi mereka melakukan yang demikian semata-mata karena hati-hati atau didorong oleh keinginan untuk berbuat baik atas dasar landasan yang kokoh. Contoh penolakan Abu Bakar terhadap khabar yang diterima dari Mughirah mengenai warisan kepada nenek, bukan karena beritanya bersifat ahad, tetapi beliau menangguhkannya menanti adanya orang yang menguatkan khabar tersebut atau (dimungkinkan) adanya tambahan keterangan. Hal ini dilakukan beliau dengan alasan bahwa menurut pendapatnya, syari’at Islam menetapkan hak waris bagi nenek seperenam bagian. Karena pendapat itu tidak ada nashnya dalam Al-Qur-an, maka haruslah diusahakan dan ditetapkan dengan segala kehati-hatian. Tetapi setelah Muhammad bin Maslamah menguatkan bahwa ia pun menerimanya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Abu Bakar tidak ragu-ragu lagi menerima hadits tersebut dan mengamalkannya. Demikian pula halnya penolakan ‘Umar terhadap khabar Abu Musa.

Pada intinya, kejadian-kejadian tersebut di atas merupakan pelajaran yang gamblang bagi para Shahabat dan generasi berikutnya yang menemukan sesuatu hal yang baru dalam Islam, apa lagi menyangkut hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang harus dilakukan dengan hati-hati. Karena itulah ‘Umar berkata, “Saya bukan meragukanmu, tapi hal ini menyangkut hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.”

Kehati-hatian seperti ini bisa diajukan dalam setiap kejadian yang berkaitan dengan penerimaan hadits, tapi tujuannya bukan menolak penggunaan hadits ahad se-bagai hujjah. Karena kalau kehati-hatian ini tidak dilakukan, maka tidak akan terjalin mata rantai antara Shahabat yang terdahulu dengan yang kemudian mengenai pengamatan dan pengamalan khabar ahad. Mata rantai antara Shahabat kepada Shahabat yang lainnya tidak keluar kedudukannya sebagai khabar ahad, walaupun diriwayatkan oleh dua atau tiga rawi.

Sehubungan dengan ini al-Amidi berkata sebagai berikut: “Riwayat yang ditolak atau yang ditangguhkan semata-mata karena tampak kontradiksi (bertentangan) atau tidak terpenuhi persyaratan periwayatan, bukan alasan untuk menolak penggunaan hadits ahad, bahkan di kalangan para Shahabat telah sepakat untuk mengamalkan khabar ahad. Oleh karena itu, terdapat kesepakatan bahwa Al-Qur-an dan As-Sunnah adalah hujjah, walaupun dibolehkan meninggalkan dan menangguhkan (ketika itu) karena adanya faktor luar yang dapat mempengaruhinya.” [4]

[Cerkiis.blogspot.com, artikel: almanhaj. Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]

Footnote
[1]. Tafsir r Ibnu Katsir (IV/269).
[2]. Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil ‘Aqaa-id wal Ahkam (hal. 54)
[3]. Al-Ihkam lil Amidy, dinukil dari as-Sunnah wa Makaanatuha fit Tasyri’ al-Islamy (hal. 192)
[4]. As-Sunnah wa Makaanatuha fit Tasyri’ al-Islamy (hal. 193-194)