Usai mengetahui hasil tes pemeriksaan dokter, lelaki itu menemui istrinya yang tengah berbaring lemah di sebuah ruangan rumah sakit. Ia pandang wajah istrinya yang terlihat menguning, sembari melontarkan pertanyaan:
“Apakah engkau mengetahui keputusan dokter (terkait penyakitmu –ed)?”
“Apakah engkau tahu bahwa engkau terkena penyakit Aids?” Tanya suaminya.
Tak ada jawaban. Wanita itu membalikkan arah badannya dan menutup dirinya dengan selimut untuk melanjutkan istirahatnya.
Sementara si suami pelan-pelan meletakkan sebuah lembaran di bawah bantalnya. Kertas itu adalah tulisan tangannya dan berisikan keputusannya sendiri.
“Ada sebuah kertas di bawah bantal.” Katanya sambil berlalu meninggalkan ruangan itu.
Beberapa selang, istrinya mengambil kertas dan membacanya: “Engkau kutalak. Surat resmi akan datang dua hari lagi.”
Pecah juga air matanya. Tapi apa dikata. Tak ada yang bisa ia lakukan kecuali kembali berselimut.
Ketika si suami tiba di pintu rumah sakit, dokter yang bertugas mengobati istrinya memanggilnya:
“Tuan.”
Si suami menoleh dan berkata:
“Engkau akan mengajakku bicara terkait istriku? Aku beritahu anda bahwa dia itu bukan lagi istriku. Aku telah menceraikannya. Nanti yang akan mengurus dia adalah keluarganya.”
“Bukan tentang itu yang kami maksudkan, tuan. Anda juga perlu memeriksa darah anda.“
***
Usai suami memeriksa darahnya, dokter berkata:
“Maaf tuan, anda juga terkena penyakit yang sama dengan istri anda.”
“Apakah wanita itu menularkan penyakitnya kepadaku?” Tanyanya heran.
“Tidak begitu. Hasil yang ada menunjukkan bahwa andalah yang terlebih dahulu terjangkiti penyakit yang sama. Virus yang ada lebih dahulu berinang di anda dibanding pada istri anda. Karena itu, sepertinya andalah yang menularkan penyakit kepada istri anda. Pengamatan kami, gejala-gejala akan nampak pada anda beberapa bulan ke depan.”
Usai merobek lembaran keputusan dokter, lelaki itu segera pergi dengan mobilnya.
Di malam yang dingin, di rumah sakit itu, telah hadir orang tua dan saudara/i istrinya. Wanita itu, dengan suara pelan berkata sambil memandang keluarganya:
“Ya Allah, Engkau sejatinya mengetahui bahwa aku tidak pernah memaksiati-Mu dan tak pula melakukan apa yang Engkau haramkan.” Matanya berkaca dan kembali mengalirkan bulir-bulir bening.
Tak lama berselang, ia mengucapkan syahadat “asy-hadu allaa ilaha illallah wa asy-hadu anna muhammadan abduhu warasuluh.” Dan malaikat maut pun melaksanakan titah Rabbnya.
Ayahnya segera keluar menangis sambil mengulang-ulang hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang wanita kalian, maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi, dihasankan al-Albani)
__
Diterjemahkan dan diadaptasi dari kisah yang diposting fanspage al-‘Alam (العالم).
Wahai ayah, bukan meremehkan harta, kedudukan, jabatan dan nama baik, yang menjadi kriteria utama untuk lelaki yang akan meminang puteri kita tak lain adalah agama dan akhlaknya. Pula bukan lelaki yang gemar bermaksiat kepada Rabbnya. Lelaki bertakwa begitu takut kepada Allah dan tidak akan meninggalkan istrinya begitu saja tanpa alasan yang dibenarkan syar’i.
Sungguh, lelaki semata kaya, semata bertahta, semata bernama itu bukanlah aib, bukanlah cela. Yang aib dan cela adalah ketika raihan dunianya itu kosong ilmu agama, kosong akhlak, dan kosong ketakwaan.
____
♻ Penyusun: Yani Fahriansyah