Rabu, 09 Oktober 2019

Menjadi Hamba Allah 24 Jam


MENJADI HAMBA ALLÂH 24 JAM

Oleh Ustadz Abu Ihsan al-Atsari

Sungguh, Allâh Azza wa Jalla menciptakan manusia untuk suatu tujuan yang mulia, yaitu untuk beribadah kepada Allâh semata tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. [adz-Dzâriyât/51:56]

Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla menuntut dua perkara dari kita. Pertama, beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dengan cara yang sesuai syariat-Nya. Kedua, tidak menyerahkan ibadah itu kepada selain-Nya.

Artinya, seorang mukmin harus menjadi hamba Allâh Azza wa Jalla selama hayatnya. Statusnya sebagai hamba Allâh Azza wa Jalla ini tidak boleh lepas darinya walaupun sesaat. Itulah tujuan kita diciptakan. Itulah status dan gelar tertinggi yang diraih seorang insan, yaitu menjadi hamba Allâh Azza wa Jalla yang sejati. Allâh Azza wa Jalla telah menyematkan gelar ini kepada hamba-Nya yang paling mulia, yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Allâh Azza wa Jalla berfirman :

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ

Maha suci Allâh, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjidil Haram ke al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. [al-Isrâ’/17:1]

Umur yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada kita ini adalah sebuah karunia dan anugerah yang tiada ternilai. Satu hari Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberi kita 24 jam. Itulah waktu yang harus kita pergunakan sebaik-baiknya agar menjadi hamba Allâh yang sejati.

Oleh karena itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan sebuah wasiat yang sangat agung bagi kita, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ, وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ, وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ, وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ, وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

Pergunakanlah yang lima sebelum datang yang lima (yaitu) masa mudamu sebelum datang masa tua; masa sehatmu sebelum datang masa sakit; masa kayamu sebelum datang masa miskin; masa luangmu sebelum datang masa sibuk; masa hidupmu sebelum datang kematian.[1]

Sesungguhnya hidup adalah kumpulan hari-hari. Alangkah ruginya kita, bila terus dibuai angan-angan sehingga lupa memperbaiki diri. Mestinya, kita berpindah dari satu bentuk ibadah kepada bentuk ibadah lainnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ ﴿٧﴾ وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ

Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Rabbmulah hendaknya kamu berharap [al-Insyirah/94:7-8]

Ketika menjelaskan ayat ini, syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Apabila engkau telah selesai mengerjakan suatu tugas maka bersiap-siaplah mengerjakan tugas yang lainnya, janganlah menyia-nyiakan kesempatan. Oleh karena itu, kehidupan orang yang berakal adalah kehidupan yang penuh semangat. Setiap kali selesai mengerjakan satu tugas, ia bersiap mengerjakan tugas yang lain. Karena waktu akan terus berlalu, baik kita dalam keadaan terjaga maupun tidur, sibuk maupun lowong. Waktu terus berjalan, tidak ada seorangpun yang mampu menahannya. Sekiranya semua manusia bersatu padu untuk menahan matahari supaya waktu siang bertambah panjang niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya. Tidak ada seorangpun yang dapat menahan waktu. Karena itu, jadikanlah hidupmu hidup yang penuh semangat. Jika engkau selesai mengerjakan sebuah pekerjaan, lanjutkanlah dengan pekerjaan yang lainnya. Jika engkau selesai mengerjakan urusan dunia, hendaklah engkau melanjutkannya dengan mengerjakan urusan akhirat. Sebaliknya, jika engkau selesai mengerjakan urusan akhirat lanjutkanlah dengan urusan dunia. Apabila engkau telah selesai mengerjakan shalat Jum’at, bertebarlah di muka bumi dan carilah karunia Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Shalat Jum’at diapit oleh dua urusan dunia. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ﴿٩﴾فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, (padahal engkau dalam keadaan sibuk mengurus urusan dunia) maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allâh dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila shalat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allâh dan ingatlah kepada Allâh sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung. [Al-Jumu’ah/62:9-10]

Jika ada yang mengatakan, ‘Jika aku terus-menerus serius dan sungguh-sungguh setiap waktu, aku pasti letih dan bosan.” Jawabannya adalah istirahatmu untuk menyegarkan dirimu dan mengembalikan gairah kerja termasuk pekerjaan dan amalan. Maksudnya pekerjaan dan amalan itu tidak harus bergerak. Waktu istirahatmu untuk mengembalikan gairah kerja termasuk pekerjaan dan amalan. Yang paling penting adalah jadikanlah seluruh hidupmu dalam kesungguh-sungguhan dan amal. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ

dan hanya kepada Rabbmulah hendaknya kamu berharap [al-Insyirah/94:8]

Maksudnya, apabila engkau selesai mengerjakan tugas-tugas lalu diikuti dengan pekerjaan yang lainnya maka berharaplah kepada Allâh agar engkau mendapatkan pahala. Tetaplah memohon pertolongan kepada Allâh, sebelum dan sesudah beramal. Sebelum beramal mintalah pertolongan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Dan setelah beramal, berharaplah pahala dari Allâh Azza wa Jalla.[2]

Tabib penyakit hati, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Memanfaatkan waktu lebih berat daripada memperbaiki masa lalu dan masa depan. Memanfaatkan waktu berarti melakukan amal-amal paling utama, paling berguna bagi diri dan paling banyak membawa kebahagiaan. Dalam hal ini manusia terbagi menjadi beberapa tingkatan. Demi Allâh, itulah kesempatanmu mengumpulkan bekal untuk menyongsong akhirat, ke surga ataukah ke neraka….”[3]

Waktu terus berjalan, usia kita terus bertambah. Pertanyaannya adalah, sudahkah kita mengisi waktu itu sebaik-baiknya. Hari demi hari yang berlalu dan yang akan kita jalani ini, apakah sudah kita manfaatkan sebaik-baiknya seperti yang diwasiatkan oleh Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?

Sungguh merugi, orang yang tidak mengisi harinya untuk menjadi hamba Allâh yang sejati. Manusia seperti ini laksana mayat hidup yang berjalan, mati sebelum waktunya. Hidupnya tidak bermakna sama sekali !

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Merupakan hak Allâh atas hamba-Nya di setiap waktu yang berlalu dalam hidupnya untuk menunaikan kewajiban ubudiyah yang ia persembahkan kepada Allâh dan untuk mendekatkan dirinya kepada-Nya. Jika seorang hamba mengisi waktunya dengan ibadah yang wajib ia lakukan, maka ia akan maju menuju Allâh. Sebaliknya, jika ia isi dengan mengikuti hawa nafsu, bersantai ria atau menganggur, ia akan mundur. Seorang hamba kalau tidak melangkah maju, ia pasti bergerak mundur. Tidak ada yang berhenti di tengah jalan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ

(yaitu) bagi siapa di antaramu yang berkehendak akan maju atau mundur [ al-Mudattsir/74:37][4]

Beliau rahimahullah melanjutkan, “Jika tidak maju, ia pasti mundur. Seorang hamba senantiasa berjalan, tidak berhenti. Kalau tidak ke atas, pasti ke bawah; Kalau tidak maju, pasti mundur…..Itulah detik-detik kehidupan yang berlalu dengan cepat menuju surga atau neraka! Ada yang melaju cepat dan ada pula yang bergerak lamban. Ada yang terus maju dan ada pula yang mundur. Tidak ada seorangpun yang berhenti di tengah jalan! Hanya saja dalam perjalanan ini ada yang berbeda arah tujuan dan ada pula yang berbeda akselerasi kecepatannya!”[5]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَايِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا

Setiap hari semua orang melanjutkan perjalanan hidupnya, keluar mempertaruhkan dirinya! Ada yang membebaskan dirinya dan ada pula yang mencelakakanya ![6]

Dalam hadits lain disebutkan :

يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ النَّاسُ غَادِيَانِ

Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, semua orang tengah melanjutkan perjalanan hidupnya ….. “[7]

Setiap insan melanjutkan perjalanannya, ada yang menjual dirinya kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَىٰ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ

Sesungguhnya Allâh telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan jannah untuk mereka [at-Taubah/9:111]

Dan ada pula yang menjualnya kepada setan yang senantiasa mengintai.[8]
Ibnul Qayyim rahimahullah melanjutkan, “Barangsiapa tidak mengisi waktunya untuk Allâh dan dengan petunjuk Allâh maka baginya mati lebih baik daripada hidup ! Apabila seorang hamba sedang mengerjakan shalat, maka ia hanya memperoleh bagian shalat yang ia lakukan dengan khusyuk. Ia tidak memperoleh bagian apapun dari hidupnya kecuali yang dijalaninya dengan petunjuk Allâh dan ditujukannya semata-mata untuk Allâh.”[9]

Lalu, mampukah kita mengisi 24 jam yang Allâh berikan ini untuk beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla ? Jawabnya, kita mampu mengisinya dengan ibadah. Hal itu bila kita memaknai ibadah dengan maknanya yang luas. Yaitu segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allâh Azza wa Jalla berupa ucapan maupun perbuatan, lahir maupun batin.

Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah membuka pintu-pintu kebaikan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada kita amal-amal kebaikan yang bisa mendekatkan diri kita kepada-Nya. Bukankah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُ لَيْسَ شَيْءٌ يُقَرِّبُكُمْ إِلَى الجَنَّةِ إِلاَّ قَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ وَ لَيْسَ شَيْءٌ يُقَرِّبُكُمْ إِلَى النَّارِ إِلاَّ قَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ

Tidak satupun amal yang bisa mendekatkan kalian ke surga melainkan telah aku memerintahkannya kepada kalian. Dan tidak satupun amal yang bisa mendekatkan kalian ke neraka melainkan aku telah melarang kalian darinya.”[10]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan sunnah-sunnah yang dapat dikerjakan oleh seorang muslim sehari semalam. Simaklah penuturan Imam adz-Dzahabi rahimahullah berikut ini :
“Seandainya seseorang menamatkan al-Qur’ân dengan tartil dalam waktu satu pekan, dan ia secara rutin mengamalkannya tentu akan menjadi amalan yang utama. Sesungguhnya agama ini mudah. Demi Allâh, membaca sepertujuh al-Qur’ân dengan bacaan yang tartil dalam shalat tahajjud disertai dengan menjaga shalat-shalat nawafil lainnya, seperti shalat Dhuha dan Tahiyyatul masjid, disertai dengan dzikir-dzikir yang ma’tsûr dan shahih, doa sebelum tidur dan ketika bangun darinya, doa dan dzikir sesudah shalat-shalat fardhu, pada waktu sahur, disertai dengan menuntut ilmu yang bermanfaat dan menyibukkan diri dengannya secara ikhlas, disertai pula dengan amar ma’ruf nahi mungkar, memberikan bimbingan kepada orang jahil, memberi teguran kepada orang fasik dan semacamnya. Disertai pula dengan melaksanakan shalat-shalat fardhu berjama’ah dengan khusyu’ dan thuma’ninah, dengan ketundukan dan keimanan, serta melaksanakan kewajiban-kewajiban, meninggalkan dosa-dosa besar, memperbanyak doa dan istighfâr, memperbanyak sedekah, menyambung tali silaturrahim, bersikap tawadhu’ dan ikhlas dalam melaksanakan itu semua, sungguh merupakan suatu kesibukan yang sangat agung, dan merupakan maqam (kedudukan) golongan kanan dan wali-wali Allâh serta orang-orang yang bertakwa. Sungguh, semua itu adalah perkara yang dituntut.”[11]

Seandainya kita menerapkan sunnah-sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang disebutkan oleh imam adz-Dzahabi t di atas niscaya separuh hari kita terpakai untuk mengamalkannya, seperti kata beliau, itu merupakan sebuah kesibukan yang agung yang menghabiskan sebagian besar waktu kita. Dan hanya tersisa sedikit kesempatan saja untuk menganggur tanpa amal kebaikan.

Hanya saja, manusia sering ditimpa dua penyakit yang menghalanginya dari semua itu. Yaitu penyakit malas dan taswif (menunda-nunda amal). Oleh karena itulah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berlindung dari sifat malas ini. Salah satu doa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ وَسُوءِ الْكِبَرِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابٍ فِي النَّارِ وَعَذَابٍ فِي الْقَبْرِ

Ya Allâh, aku berlindung kepada-Mu dari kemalasan dan kejelekan di hari tua. Ya Allâh, aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka dan siksa kubur.[12]

AMALAN SEHARI SEMALAM
Beberapa bentuk amal yang dapat kita lakukan sehari semalam diantaranya :

1. Shalat fardhu lima kali sehari semalam. Ini merupakan rukun Islam yang kedua dan wajib dilakukan oleh setiap muslim yang baligh dan berakal. Kewajiban ini tidak gugur bagaimanapun keadaannya, kecuali wanita yang sedang haidh dan nifas.

Shalat wajib dikerjakan dengan berdiri, jika tidak bisa dengan berdiri, maka dilakukan sambil duduk, kalau tidak bisa duduk dikerjakan sambil berbaring, kalau tidak bisa juga maka dengan isyarat.

2. Shalat-shalat sunnat rawatib yang mengiringi shalat fardhu.
Abdullah bin Syaqîq Radhiyallahu anhu bercerita, “Aku bertanya kepada ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang shalat sunnat yang dikerjakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Aisyah Radhiyallahu anhuma menjawab, ‘Beliau shalat empat rakaat di rumahnya sebelum shalat Zhuhur, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar mengerjakan shalat berjama’ah, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang ke rumah dan shalat empat rakaat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Maghrib berjama’ah kemudian beliau pulang dan shalat dua rakaat. Kemudian beliau shalat Isya berjama’ah lalu pulang ke rumahku dan shalat dua rakaat. Beliau mengerjakan shalat malam sembilan raka’at termasuk shalat witir. Beliau mengerjakan shalat malam panjang sekali dengan berdiri dan kadang-kadang beliau kerjakan sambil duduk. Apabila beliau membaca surat dengan berdiri maka beliau ruku’ dan sujud juga berdiri. Namun bila beliau membaca surat sambil duduk maka beliau rukuk dan sujud juga sambil duduk. Apabila fajar sudah menyingsing maka beliau shalat dua raka’at (shalat sunnat fajar).”[13]

3. Shalat Duha, termasuk di dalamnya shalat Awwabiin yaitu shalat yang dilakukan di akhir waktu dhuha dan shalat Isyrâq yang dilakukan di awal waktu dhuha, yakni begitu matahari muncul.

Abu Dzar al-Ghifâri Radhiyallahu anhu meriwayatkan dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda :

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى

Pada setiap pagi, setiap sendi tubuh Bani Adam harus bersedekah. Setiap tasbih
bisa menjadi sedekah. Setiap tahmid bisa menjadi sedekah. Setiap tahlil bisa menjadi sedekah. Setiap takbir bisa menjadi sedekah. Setiap amar ma’ruf nahi munkar juga bisa menjadi sedekah. Semua itu dapat digantikan dengan dua rakaat yang dilakukan pada waktu Dhuha.[14]

4. Shalat malam. Banyak sekali hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan shalat malam, seperti hadits Abu Mâlik al-Asy’ari Radhiyallahu anhu berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ غُرْفَةً يُرَى ظَاهِرُهَا مِنْ بَاطِنِهَا وَبَاطِنُهَا مِنْ ظَاهِرِهَا أَعَدَّهَا اللَّهُ لِمَنْ أَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَلَانَ الْكَلَامَ وَتَابَعَ الصِّيَامَ وَصَلَّى بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ

Sesungguhnya di dalam surga tersedia kamar-kamar yang bagian dalamnya terlihat dari luar dan bagian luarnya terlihat dari dalam. Kamar-kamar itu Allâh sediakan untuk orang-orang yang suka memberi makan, melembutkan tutur bicara, memperbanyak puasa, menebarkan salam dan mengerjakan shalat malam di kala manusia tertidur pulas[15]

Shalat malam ini dikerjakan dua rakaat-dua rakaat, hingga terbit fajar.

5. Shalat sunnat sesudah bersuci.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa berwudhu’ seperti wudhu’ku ini, kemudian shalat dua raka’at dan tidak berkata-kata dalam hati (yakni dikerjakan dengan khusyu’) selama mengerjakannya niscaya Allâh akan mengampuni dosanya.[16]

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Bilâl Radhiyallahu anhu setelah shalat fajar, “Wahai Bilâl, ceritakanlah kepadaku amalanmu dalam Islam yang paling engkau harapkan. Karena sesungguhnya aku mendengar suara terompahmu di hadapanku dalam surga.” Bilal berkata, ”Tidaklah aku mengamalkan suatu amalan yang lebih aku harapkan melainkan setiap kali aku bersuci pada malam atau siang hari aku selalu mengerjakan shalat yang bisa aku lakukan.”[17]

6. Shalat sunnat dua rakaat sesudah Ashar selama cahaya matahari belum menguning.
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, “Dua rakaat yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan: Dua rakaat sebelum shalat Subuh dan dua rakaat sesudah shalat Ashar.”[18]

7. Shalat taubah.
Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ رَجُلٍٍ يُذْنِبُ ذَنْباً ثُمَّ يَقُوْمُ فَيَتَطَهَّرُ ثُمَّ يُصَلِّي ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللهُ، إِلاَّ غَفَرَ اللهُ لَهُ

Tidaklah seorang hamba melakukan perbuatan dosa kemudian dia berdiri, lalu berwudhu’ dan mengerjakan shalat, kemudian memohon ampun kepada Allâh kecuali Allâh akan mengampuninya.”[19]

8. Shalat witir sebelum pergi tidur.
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Kekasihku telah mewasiatkan kepadaku tiga perkara, aku tidak akan meninggalkannya sampai aku mati: Puasa tiga hari setiap bulan, shalat Dhuha dan mengerjakan shalat Witir sebelum pergi tidur.”[20]

9. Menjaga wudhu’.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ يُحَافِظُ عَلَى الوُضُوءِ إِلاَّ مُؤْمِنٌ

Tidak ada orang yang menjaga wudhu’ kecuali dia orang mukmin[21]

10. Dzikir-dzikir sesudah shalat fardhu.

11. Dzikir-dzikir mutlak,
Maksudnya adalah dzikir-dzikir yang boleh dibaca tanpa terikat tempat maupun waktu tertentu. Misalnya yang disebutkan dalam hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَكْثِرُوْا مِنْ شَهَادَةِ أَن لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ ، قَبْلَ أَنْ يُحَالَ بَيْنَكُمْ وَ بَيْنَهَا

Perbanyaklah membaca syahadat lâ ILÂHA ILLALLÂH sebelum sebelum kalian terhalang darinya[22].

Dan hadits :

لَأَنْ أَقُولَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ

Aku mengucapkan SUBHÂNALLÂH WAL HAMDULILLÂH WA LÂ ILÂHA ILLALLÂH WALLÂHU AKBAR, lebih aku sukai daripada terbitnya matahari[23]

Dan masih banyak lagi amal-amal lain yang dapat kita kerjakan sehari semalam.

Merutinkan amalan-amalan ini pasti akan mendatangkan keutamaan. Diantaranya, apabila kita jatuh sakit atau terhalang dari perbuatan tersebut karena bersafar misalnya, maka akan tetap ditulis pahala amal yang rutin kita kerjakan itu. Seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits.

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

Apabila seorang hamba jatuh sakit atau tengah bersafar, niscaya Allâh Azza wa Jalla tetap menuliskan pahala baginya sebagaimana yang biasa dilakukannya pada waktu sehat dan mukim (tidak bersafar)[24]

Disamping itu, apabila kita berniat sungguh-sungguh untuk mengamalkannya akan tetapi terhalang dengan sesuatu yang tidak bisa kita hindari, maka niat ini akan tetap menghasilkan pahala. Misalnya, seseorang yang berniat sungguh-sungguh akan bangun malam untuk mengerjakan shalat tahajjud, lalu ia terkalahkan oleh tidurnya, maka ia tetap terhitung pahala baginya. ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنِ امْرِئٍ تَكُونُ لَهُ صَلَاةٌ بِلَيْلٍ فَغَلَبَهُ عَلَيْهَا نَوْمٌ إِلَّا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَجْرَ صَلَاتِهِ وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً عَلَيْهِ

Tidaklah seseorang yang meniatkan shalat malam lalu terkalahkan oleh tidurnya (tertidur) melainkan Allâh akan menuliskan baginya pahala shalat malam dan tidurnya itu menjadi sedekah atasnya[25].

Abu Darda’ Radhiyallahu anhu mengatakan, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ أَتَى فِرَاشَهُ وَهُوَ يَنْوِي أَنْ يَقُومَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ حَتَّى أَصْبَحَ كُتِبَ لَهُ مَا نَوَى وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً عَلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Barangsiapa mendatangi pembaringannya dengan meniatkan bangun malam untuk mengerjakan shalat malam akan tetapi ia dikalahkan oleh kedua matanya (tertidur) hingga shubuh maka dituliskan baginya apa yang telah ia niatkan dan tidurnya menjadi sedekah baginya dari Rabbnya Azza wa jalla [26]

Oleh karena itu, tidur dan istirahat seorang mukmin juga bisa bernilai ibadah dan berpahala, apabila beristirahat dengan niat agar lebih bergairah dalam ibadah.

Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu dan Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu bermudzakarah tentang amal-amal shalih.

Mu’adz Radhiyallahu anhu berkata, “Hai Abdullah, bagaimanakah cara engkau membaca al-Qur’an?”
Abu Musa Radhiyallahu anhu menjawab, “Aku secara rutin membacanya setiap waktu.”[27]

Abu Musa bertanya, “Lalu bagaimana cara engkau membacanya hai Mu’adz?”
Mu’adz menjawab, “Aku membacanya di awal malam lalu aku bangun sesudah aku menuntaskan bagian waktuku untuk tidur. Aku membaca apa yang Allâh mudahkan bagiku. Aku mengharap pahala dari tidurku sebagaimana aku mengharap pahala dari saat aku terjaga.”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Mu’adz Radhiyallahu anhu bertanya kepada Abu Musa Radhiyallahu anhu, “Bagaimana cara engkau membaca al-Qur’ân?”

Abu Musa menjawab: “Aku membacanya di kala berdiri dan duduk, dan di atas kendaraanku, aku rutin membacanya setiap waktu.”

Mu’adz menimpali: “Adapun aku, aku bangun dan aku juga tidur. Aku mengharap pahala dari tidurku sebagaimana aku mengharap pahala dari saat aku terjaga.”[28]

al-Hafizh Ibnu Hajar t mengatakan, “Maknanya, ia memohon pahala pada saat-saat senggang seperti ia memohon pahala pada saat-saat lelah beramal. Karena waktu senggang apabila digunakan untuk membantu meningkatkan gairah beribadah juga akan menghasilkan pahala.”[29]

Demikian pula amal-amal duniawi lainnya seperti makan dan minum, bisa bernilai ibadah dan pahala apabila diniatkan untuk membantu meningkatkan gairah beribadah.

Intinya, kesempatan untuk menjadi hamba Allâh 24 jam sebenarnya terbuka lebar bagi setiap mukmin yang dapat memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, wallahu a’lam bish shawab.

Referensi:
1- Panduan Amal Sehari Semalam.
2- Meraih Kebahagiaan Tanpa Batas.
3- Tafsir Juz ‘Amma, Syaikh Ibnu Utsaimin.
4- Tafsir al-Qur’anil Azhim, Ibnu Katsir.
5- Fathul Bâri, Syarhu Shahîhil Bukhâri, Ibnu Hajar al-Asqalâni.

[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIV/1431H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih, diriwayatkan oleh al-Hâkim dalam Mustadraknya, IV/306; Abu Nu’aim, IV/148; al-Baghawi dalam Syarhussunnah, V/182; Ibnul Mubarak dalam kitab az-Zuhd, no.2; al-‘Ajalûni dalam Kasyful Khafâ, I/167; Ibnu Abi Syaibah, XII/223 dan dicantumkan dalam Shahihul Jâmi’, no.1077.
[2]. Tafsir Juz ‘Amma, surat al-Insyirah oleh Ibnu Utsaimin
[3]. al-Fawâ’id, hlm. 115
[4]. al-Fawâ’id, hlm. 187-188
[5]. Madârijus Sâlikîn, I/267
[6]. HR. Muslim
[7]. Hadits riwayat Abdurrazzaq, no. 20719; Abd bin Humeid, no. 1138; Ahmad, III/321; Ibnu Hibbân, no. 7497, dan telah dinyatakan shahih oleh Ibnu Hajar dalam al-Amâli, hlm. 214
[8]. Ibnu Taimiyah mengisyaratkan penjelasan ini dalam Majmû’ Fatâwâ, VII/51; Demikian pula Ibnul Qayyim dalam ad-Dawâ’us Syâfi, hlm. 123
[9]. ad-Dâ’u wad Dawâ’, hlm. 186.
[10]. HR. al-Hâkim, dan dishahihkan oleh al-Albâni dalam Silsilah ash-Shahihah, no. 2866.
[11]. Siyar A’lâmin Nubalâ’ , V/80.
[12]. HR. Muslim.
[13]. HR. Muslim dalam Kitab Shalâtul Musâfirîn, no. 137
[14]. HR. Muslim dalam Kitab Shalâtul Musâfirîn, no. 127.
[15]. HR. Ahmad V/343; Ibnu Hibbân, no.641; at-Tirmidzi, no. 2527; Dan dihasankan oleh al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi, II/311, Shahîhul Jâmi’, II/220, no. 2119.
[16]. HR. Bukhâri dan Muslim
[17]. HR. Bukhâri, no. 1149 dan Muslim, no. 2458
[18]. HR. Bukhâri, no. 295 dan Muslim, no. 538
[19]. HR. Tirmidzi dan Abu Dâwud. Dan dihasankan oleh al-Albâni dalam Shahîh Sunan Tirmidzi, no. 406.
[20]. HR. Bukhaari dalam Kitab al-Jum’ah, no. 8711 dan Muslim dalam Kitab Shalatul Musafirin, no. 127
[21]. HR. Ibnu Mâjah, no. 279 dari Abu Umâmah dan riwayat ath-Thabrani dalam Majmu al-Kabîr,II/144 dan VII/6270 dari Ubâdah bin Shamit Radhiyallahu anhu . Lihat Shahîhul Jâmi’, no. 953.
[22]. HR. Abu Ya’lâ, no. 6145; Ibnu ‘Adi, IV/77 dari Ibnu ‘Amr. Shahîhul Jâmi’ , no. 1212 dan Silsilatul Ahâdîtsis Shahîhah, no. 467.
[23]. HR. Muslim, no. 2695 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[24]. HR. Bukhâri, no. 2996
[25]. HR. an-Nasâ’i, no. 1784; Abu Dâwud, no. 1314; Mâlik dalam Muwaththa’, I/117; dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahih Sunan an-Nasaa’i, I/386 dan Irwâ’ul Ghalîl, II/205
[26]. HR. an-Nasâ’I, no. 687 dan dishahihkan dalam Irwâ’ul Ghalîl, no. 454 dan Shahihun Nasâ’I, I/386
[27]. Atafawwaquhu artinya aku rutin membacanya siang dan malam sedikit demi sedikit, waktu demi waktu. Diambil dari kata fawâqun nâqah yaitu memerah susu unta kemudian meninggalkannya sesaat hingga penuh kembali kemudian diperah kembali, demikian seterusnya. Lihat Fathul Bâri, VIII/62
[28]. Muttafaqun ‘alaihi. Bukhâri, no. 4341, 4342, 4344, 4345 dan Muslim, no. 1733
[29]. Fathul Bâri, VIII/62