Jumat, 11 Oktober 2019

Ketika Harus Memilih : Antara Maslahat Dan Mudarat


KAIDAH-KAIDAH MEMILIH ANTARA MASLAHAT DAN MUDARAT

Oleh Ustadz Dr Erwandi Tarmidzi MA

Kehidupan penuh dengan pilihan antara yang baik dan buruk, antara maslahat dan mafsadat. Dan sangat banyak sekali kaidah-kaidah syar’i yang membantu kita untuk menentukan pilihan.

Berikut ini kami ringkaskan kaidah-kaidah dalam memilih yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Makalah ini diringkas dari disertasi pada jurusan Ushul Fiqih Universitas Islam Muhammad Ibnu Saud, Riyadh KSA.

KAIDAH-KAIDAH MEMILIH ANTARA MASHLAHAT DAN MUDHARAT

Kaidah Pertama :

مَصْلَحَةُ أَدَاءِ الْوَاجِبِ أَعْظَمُ مِنْ مَفْسَدَةِ الْوُقُوْعِ فِي الشُّبْهَةِ

Maslahat melakukan hal yang wajib lebih besar dari pada mafsadat (kerusakan akibat) terjatuh dalam syubhat

Syubhat adalah suatu hal yang berada diantara yang haram dan yang mubah. Bila syubhat bertentangan dengan meninggalkan hal yang wajib dan kondisi menuntut kita harus menentukan pilihan antara meninggalkan hal yang wajib atau jatuh dalam syubhat. Dalam kondisi seperti ini, pilihan yang diambil adalah melakukan hal yang wajib sekalipun akan terjerumus dalam hal yang syubhat.

Namun apabila pertentangan itu antara syubhat dan haram maka pilihan yang diambil adalah melakukan syubhat agar tidak jatuh dalam hal yang haram, karena mafsadat (kerusakan) yang haram lebih berat.

Aplikasi Kaidah :

1. Seseorang yang diundang oleh kerabatnya untuk menghadiri walimah yang pembuat acara walimah memiliki harta syubhat. Dan yang diundang khawatir bila dia tidak datang akan menyebabkan terputusnya hubungan kerabat (silaturrahim) maka pilihannya adalah wajib dia menghadirinya. Karena mempererat silaturrahim hukumnya wajib, sedangkan untuk tidak hadir hanyalah karena ada syubhat.

2. Seseorang yang wafat dan memiliki utang ke pihak lain dan harta yang ditinggalkannya terdapat harta syubhat maka pilihannya hendaklah utangnya dibayarkan dari harta yang syubhat, karena maslahat membayar utang lebih besar daripada mafsadat (kerusakan) harta syubhat.

Kaidah Kedua :

مَا كَانَ مُحَرَّمًا لِسَدِّ الذَّرِيْعَةِ أُبِيْحَ لِلْمَصْلَحَةِ الرَّاجِحَةِ

Sesuatu yang diharamkan dengan tujuan sadduz zarî’ah menjadi boleh bila terdapat maslahat yang kuat

Seluruh perbuatan yang sering menghantarkan kepada perbuatan yang haram maka perbuatan tersebut diharamkan. Namun terkadang, perbuatan yang diharamkan tersebut memiliki maslahat yang kuat seperti hajat (kebutuhan) maka hukumnya dapat dibolehkan.

Dalam hal ini terdapat dua pilihan antara maslahat yang besar dan mudharat yang sering terjadi. Dalam kondisi seperti ini, maka pilihan jatuh kepada melakukan perbuatan tersebut karena maslahatnya lebih besar.

Dalam kasus seperti ini, seorang ahli fikih hendaknya memiliki kemampuan yang cukup untuk mencari tahu mana perbuatan yang diharamkan dengan sebab berpotensi menghantarkan kepada hal yang haram dan mana yang diharamkan dengan sebab zatnya. Untuk yang pertama, hukum haram tersebut bisa berubah menjadi boleh bila ada maslahat yang kuat. Sedangkan untuk yang kedua, yaitu yang diharamkan dengan sebab zatnya, maka hukum haram tersebut tidak bisa berubah dengan alasan adanya maslahat.

Aplikasi kaidah :

1. Memandang wanita yang bukan mahram hukumnya adalah haram. Akan tetapi hukum haram ini bisa berubah menjadi boleh bila ada maslahat yang besar seperti seseorang yang ingin meminang seorang wanita. Orang ini biperbolehkan memandang wanita yang akan dipinangnya.

2. Pada dasarnya setiap hal yang melalaikan hukumnya batil. Karena hal tersebut dapat menyita perhatian sehingga tidak melakukan hal berguna. Ini merupakan salah satu alasan yang menyebabkan suatu perbuatan diharamkan. Akan tetapi beberapa bentuk hal yang melalaikan itu terkadang berguna untuk menolak mudharat yang lebih besar. Ketika kondisi seperti ini, maka perbuatan ini dibolehkan bahkan dianjurkan.

Contoh : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan wanita dan anak-anak bernyanyi (tanpa musik) dalam acara walimah dan hari raya.

Catatan: tentunya nyanyian ini tidak dimaksudkan untuk sarana dakwah taqarrub kepada Allâh Azza wa Jalla. Karena perbuatan ini masih dalam ranah hal yang melalaikan, akan tetapi dibolehkan karena ada manfaat yang kuat.

Kaidah Ketiga :

مَا حُرِّمَ مُطْلَقًا لَمْ تُبِحْهُ الضَّرُوْرَةُ، وَمَا حُرِّمَ أَكْلُهُ وَشُرْبُهُ لَمْ يُبَحْ إِلاَّ لِضَرُوْرَةٍ، وَمَا حُرِّمَ مُبَاشَرَتُهُ ظَاهِرًا أَبِيْحَ لِلْحَاجَةِ

Sesuatu yang diharamkan secara mutlak maka tidak ada yang dapat membolehkannya sekalipun darurat. Sesuatu yang haram untuk dimakan atau diminum maka darurat dapat merubah hukumnya menjadi boleh. Sesuatu yang dilarang untuk dipakai langsung maka hajat dapat membolehkannya

Sesuatu yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla secara mutlak seperti hal-hal yang jelaskan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya :

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Katakanlah (wahai Muhammad), “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji (zina), baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allâh dengan sesuatu yang Allâh tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allâh apa yang tidak kamu ketahui.” [al-Arâf/7:33]

Empat yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam ayat ini tidak akan berubah hukumnya menjadi “boleh” dalam kondisi apapun karena mafsadatnya murni, yaitu; zina, zhalim, syirik dan mengada-ada atas nama Allâh Azza wa Jalla .

Kecuali dalam keadaan seseorang dipaksa untuk melakukannya dibawah ancaman maka dosanya dihapuskan. Sebagaimana dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ ﮈ

Barangsiapa kafir kepada Allâh sesudah dia beriman (dia akan mendapat kemurkaan Allâh), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. [an-Nahl/16:106]

Adapun sesuatu yang diharamkan dalam bentuk makanan atau merusak akal atau tubuh maka adakalanya bisa berubah hukumnya menjadi “boleh” dalam kondisi darurat, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor, atau binatang yang disembelih atas nama selain Allâh. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Rabbmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [al-An’âm/6:145]

Adapun sesuatu yang diharamkan untuk dipakai seperti emas dan sutera bagi laki-laki maka bila ada hajat yang sekalipun tidak sampai kondisi darurat tetap dibolehkan sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu anhu memakai sutera karena menderita penyakit kulit (gatal).

Aplikasi Kaidah Ini :

1. Seorang wanita tidak boleh berzina dengan alasan untuk mencari makan. Karena zina tidak dibolehkan kapanpun juga sekalipun dia mati kelaparan. Namun, dibolehkan dia memakan bangkai jika memang dalam kondisi kelaparan.

2. Dalam keadaan darurat yang diperkirakan akan membawa kepada kematian bila tidak mendapat obat yang dimakan atau diminum selain yang terbuat dari bahan baku yang haram, seperti babi dan turunannya atau khamar dan turunannya, maka diperbolehkan untuk mengkonsumsi obat tersebut.

Kaidah Keempat:

كُلُّ عِبَادَةٍ كَانَ ضَرَرُهَا أَعْظَمَ مِنْ نَفْعِهَا نُهِيَ عَنْهَا

Setiap ibadah yang mudharatnya lebih besar dari pada manfaatnya maka ibadah tersebut dilarang

Pada dasarnya, suatu ibadah itu disyariatkan untuk mendatangkan atau mewujudkan maslahat (kebaikan) dan menolak mudharat. Akan tetapi pada kondisi-kondisi tertentu ibadah tersebut dapat mendatangkan mudharat, bahkan mudharatnya lebih besar bila dibandingkan dengan manfaatnya. Ketika seperti ini, maka ibadah itu terlarang.

Aplikasi Kaidah:

1. Pada prinsipnya shalat adalah ibadah yang dicintai Allâh, akan tetapi pada waktu terbit dan tenggelamnya matahari shalat dilarang untuk didirikan. Karena mudharatnya lebih besar yaitu menyerupai ibadah para penyembah matahari. Begitu juga dengan shalat di kuburan dilarang karena mencegah terjadinya kesyirikan yang lebih besar mudharatnya dibandingkan shalat sunat.

2. Apabila sebuah kemungkaran tidak dapat dihilankgan kecuali dengan kemungkaran yang lebih besar atau berat daripada kemunkaran yang sedang terjadi, maka menghilangkan kemunkaran dengan cara ini terlarang. Contohnya: seseorang yang memerintahkan sebuah kebaikan sedangkan dia tidak memiliki ilmu tentang kebaikan tersebut, maka kemudharatan yang dia timbulkan lebih besar dari maslahat yang diinginkannya dengan mengingkari kemungkaran tersebut.

Kaidah Kelima :

فَرْقٌ بَيْنَ مَا يَفْعَلُهُ الإِنْسَانُ فِي نَفْسِهِ، وَيَأْمُرُ بِهِ، وَيُبِيْحُهُ، وَبَيْنَ مَا يَسْكُتُ عَنْ نَهْيِ غَيْرِهِ وَتَحْرِيْمِهِ عَلَيْهِ

Berbeda antara seseorang mengamalkan ilmunya dan mengajak orang lain untuk mengamalkannya dengan sesuatu hal yang diamalkan orang lain dan dia tidak melarang atau mengharamkannya. (Majmû Fatâwâ, 14/472)

Prinsip dasarnya bahwa yang baik adalah baik dan yang buruk adalah buruk. Dan hukum syariat tidak membolehkan seseorang melakukan hal yang buruk dan terlarang. Akan tetapi jika diketahui dengan pasti bahwa apabila ada seseorang yang jika dia dilarang melakukan suatu yang mungkar maka dia pasti akan meninggalkan perbuatan wajib yang lebih besar, maka sebaiknya dia jangan dilarang untuk melakukan kemungkaran tersebut.

Sebagaimana Umar bin Khattab Radhiyaallahu anhu mengangkat sebagian pegawainya dari orang yang tidak baik agamanya dengna pertimbangan bahwa pegawai ini lebih besar maslahatnya untuk pekerjaan tersebut dan kemudian dia memperbaiki agama orang tersebut dengan kekuatan dan keadilannya.

Maka kaidah ini sangat penting yaitu “berbeda antara seorang alim meninggalkan sebuah perbuatan dengan melarang orang-orang melakukan sebuah perbuatan apabila dalam pelarangan tersebut terdapat mudharat yang lebih besar dengan ia mengizinkan perbuatan tersebut”. Artinya seorang alim yang mendiamkan sebuah perbuatan yang tidak baik bukan berarti dia menyetujui atau mengizinkan perbuatan tersebut.

Dalam hal ini kondisinya akan berbeda sesuai dengan kemaslahatan yang ditimbang oleh seorang yang alim. Mungkin dalam suatu kesempatan dia wajib menyatakan bahwa perbuatan tersebut terlarang; baik dengan cara menjelaskan hukumnya atau sikap pribadinya atau harapan bahwa perbuatan tersebut ditinggalkan atau dengan menjelaskan dalilnya. Ini dapat kita lihat dalam sikap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap kemungkaran; terkadang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah, terkadang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam maafkan.

Karena kita hidup dimana kebanyakan kaum Muslimin begitu jauh dari ajaran agama mereka, mencampur adukkan antara kebaikan dan kemungkaran, maka sikap yang harus diambil oleh seseorang yang ingin menyelamatkan dirinya adalah :

a. Selalu berusaha berpegang teguh mengamalkan sunnah, baik yang zahir dan batin untuk diri, keluarga dan orang-orang terdekatnya.

b. Mengajak orang-orang untuk melakukan sunah semampunya. Apabila dia menemukan seseorang mengamalkan perbuatan yang bercampur antara baik dan buruk dan bila diingatkan untuk meniggalkan yang buruk hampir bisa dipastikan dia akan melakukan perbuatan yang lebih buruk lagi, maka hendaklah si pemberi peringatan berhati-hati dalam menimbang mana lebih besar mudharat dan maslahatnya.

Aplikasi Kaidah :

Orang yang masuk Islam melalui dakwah bid’ah lebih baik dari pada mereka berada dalam kekafiran, akan tetapi apabila mungkin untuk dipindahkan kepada jalan yang benar tentu lebih baik lagi.

Syaikul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmû Fatâwâ 3/286 menjelaskan bahwa seseorang yang berada di sebuah komunitas Muslim wajib melakukan shalat Jumat, ikut shalat berjamaah bersama mereka, loyal kepada mereka dan tidak memusuhi mereka sekalipun dia tidak menyetujui bidah atau perbuatan maksiat yang mereka lakukan. Dan sebaiknya dia diam jika tidak mampu menjelaskannya kepada mereka.

Sebagian hartawan menghiasai masjid dengan ornamen-ornamen mahal, sekalipun hal ini makrûh akan tetapi itu lebih baik dari pada hartawan tersebut mengalihkan dananya untuk perbuatan-perbuatan maksiat. (Ikhtiyârât, hlm. 137)

Kaidah Keenam:

مَفْسَدَةُ الْمُحَرَّمِ أَرْجَحُ مِنْ مَصْلَحَةِ الْمُسْتَحَبِّ

Mudharat perbuatan haram lebih besar daripada maslahat perbuatan mustahab (sunat) (Lihat Minhâj Sunnah 4/154

Sebuah amalan sunat apabila menyebabkan perbuatan haram maka perbuatan tersebut tidak lagi disunatkan akan tetapi berubah menjadi perbuatan haram.

Aplikasi Kaidah:

Membaca al-Qur’ân dengan suara keras disunatkan akan tetapi apabila menyebabkan gangguan terhadap orang lain maka perbuatan tersebut menjadi terlarang.

Menyentuh serta mencium hajar aswad disunatkan, akan tetapi apabila menimbulkan kemudharatan dengan saling dorong, saling menyikut orang lain, bercampur baur antara laki dan wanita, maka amalan tersebut menjadi terlarang.

[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus 11/Tahun XVII/1435H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57773 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]