BAROMETER MENYIBAK KEBENARAN DI TENGAH RAGAM PEMIKIRAN
Oleh Ustadz Abu Minhal Lc
Keadaan kaum Muslimin hingga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan pada masa-masa permulaan periode khilâfah, mereka berada di atas manhaj yang satu, dan jalan yang sama dalam aspek keyakinan dan hukum. Karenanya, terjalin wifâq ‘ilmi (kesamaan sumber ilmu) dan ittifâq ‘amali (kesatuan amal ) di tengah mereka sehingga mengkondisikan mereka generasi yang pertama yang paling pantas masuk konteks firman Allâh Azza wa Jalla berikut:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia [Ali ‘Imrân/3:110].
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ayat ini cakupannya umum berlaku pada seluruh umat Islam, sesuai dengan masanya masing-masing. Dan sebaik-baik masa umat Islam adalah generasi yang hidup bersamaan dengan masa diutusnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (para Sahabat Nabi) , kemudian generasi selanjutnya dan kemudian generasi selanjutnya”[1].
Landasan ajaran agama yang mereka jadikan pijakan mereka ialah Kitâbullâh dan Sunnah. Mereka menjadikan Kitâbullâh dan Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemutus urusan-urusan mereka. Dengan itu pula, mereka berhujjah. Mereka tidak berpaling dari nash-nash wahyu dan tidak pula melawannya. Mereka tidak mengebiri hukum-hukum dari wahyu dan tidak pula merubah-rubahnya. Tidak ada satu pendapat pun terkait agama dari seseorang – meskipun memiliki derajat sosial di mata manusia- yang mereka terima kecuali bila bersesuaian dengan Kitâbullâh dan Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak bertentangan dengan keduanya.
Demikianlah karakteristik kehidupan para Sahabat dan generasi Tabi’in yang memperoleh tarbiyah seperti para Sahabat Radhiyallahu anhum. Hingga akhirnya tiba masa-masa akhir generasi Sahabat dimana muncul pemikiran dan ideologi ganjil yang mulai menodai kehidupan nyata umat Islam, seperti pemikiran keliru tentang sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla dan takdir-Nya, dalam bentuk menafikan atau menetapkannya dan hanyut tanpa arah yang lurus dalam nash-nash janji dan ancaman, tikaman terhadap kredibilitas para Sahabat atau bersikap berlebihan terhadap mereka dan lain sebagainya yang dahulu tidak pernah ada di tengah umat Islam.
Tidak berapa lama, pemikiran-pemikiran ini menjelma firqah-firqah (golongan-golongan) yang masing-masing memiliki maqâlah (ideologi) dan aqidah yang menyalahi jamâ’atul Muslimin, seperti golongan Khawarij, Syiah, Mu’tazilah dan Murji`ah. Dan selanjutnya, golongan-golongan besar ini mulai pecah dan terbagi-bagi dalam sekte-sekte turunan dengan keyakinan dan aqidah yang berbeda satu dengan yang lain. Dan masing-masing golongan yang baru itu memvonis sesat atau kafir golongan lainnya.
Banyaknya golongan dan sekte ini dengan segala perbedaan dan kontradiksi, namun semuanya disatukan satu landasan, yaitu bertumpu pada ra`yu (nalar, akal) dalam merespon nash wahyu dan lebih mendahulukan dorongan hawa nafsu dalam menentang aturan syar’i. Anehnya, tiada satu golongan dari golongan-golongan menyimpang tersebut kecuali mengklaim dirinya berada di atas al-haq (kebenaran), telah mewujudkan tujuan luhur syariat dan mengaku juga sebagai firqâh nâjiyah dan thâifah manshûrah yang mendapatkan janji baik dalam hadits :
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةٌ
Dan umatku akan berpecah-belah menjadi 73 golongan, semuanya berada di dalam Neraka kecuali satu. [HR. At-Tirmidzi no.2643]. dan hadits
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذِلِكَ
Akan senantiasa ada satu golongan dari umatku yang tegak lurus di atas al-haq. Tiadanya dukungan dari orang lain tidak berpengaruh buruk kepada mereka, hingga datang ketetapan Allah, sedang mereka berada dalam kondisi tersebut. [HR.Muslim no.1920].
Lebih aneh lagi, masing-masing golongan yang saling bertentangan dan bertikai lagi saling melaknati yang lain ini, mengaku berlandaskan nash-nash Kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh, meskipun sebagian firqah tersebut juga sudah memalsukan hadits dan membuat-buatnya demi mendukung keyakinan dan pandangannya, dalam semua yang dinyatakan dan diklaim oleh mereka. Dan juga menjadikan Kitabullah dan Sunnah sebagai hujjah untuk membantah golongan lain.
Golongan wa’îdiyyah (Khawarij dan Mu’tazilah yang memvonis pelaku dosa besar akan masuk Neraka selama-lamanya)) mempergunakan hujjah (dalil) hadits berikut, “Demi Allâh ia tidak beriman, demi Allâh ia tidak beriman dan demi Allâh ia tidak beriman”. Ada yang bertanya, “Siapakah dia wahai Rasûlullâh?”. Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya”. [HR. Al-Bukhâri no.6016].
Di kutub lainnya, kaum Murji`ah, golongan yang beranggapan bahwa iman hanyalah membenarkan dengan hati saja, tanpa diikuti dengan amal perbuatan, berpegangan dengan hadits:
مَا مِنْ عَبْدٍ قَاَل لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ ثُمَّ مَاتَ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ
Tidak ada seorang hamba yang berkata lâ ilâha illallâh kemudian ia meninggal kecuali ia akan masuk Surga. [HR. Al-Bukhâri no.5827][2].
Terkait penetapan takdir, kalangan Qadariyah (yang menafikan takdir) berdalil dengan hadits,
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَــــأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصَّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Setiap anak yang dilahirkan di atas fitrah. Maka dua orang tuanyalah yang akan membuatnya Yahudi, Nasrani atau Majusi. [HR. al-Bukhâri dan Muslim].
Di kutub lain, golongan Jabriyyah yang menetapkan takdir secara ekstrem sehingga menyebut manusia tidak punya kehendak sama sekali, berdalil dengan hadits:
كُلُّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ
Masing-masing akan dimudahkan menuju nasibnya. [HR. al-Bukhâri no.4949].
Kaum musyabbihah yang beranggapan Allâh Azza wa Jalla menyerupai makhluk, berdalil dengan hadits,
خَلَقَ اللهُ آدَمَ عَلَى صُوْرَتِهِ
Allah menciptakan Adam dalam wujud rupa-Nya. [HR. al-Bukhâri no.6227].
Sementara itu, di sisi yang berbeda, kaum mu’aththilah yang menafikan seluruh atau sebagian sifat Allâh Azza wa Jalla berhujjah dengan firman Allâh Azza wa Jalla :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. [asy-Syûrâ/42:11]).
Dalam kasus lainnya, kaum Syiah mengkafirkan para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dalih hadits, “Pada hari Kiamat akan datang kepadaku satu kelompok dari Sahabatku. Mereka diusir menjauh dari Telaga(ku). Maka aku berkata, Wahai Rabbku itu adalah para Sahabatku, maka Allâh Azza wa Jalla berfirman, ‘Sesungguhnya engkau tidak tahu apa yang mereka perbuat sepeninggalmu. Sungguh mereka telah murtad meninggalkan agama’ “. [HR. al-Bukhâri no.6585].
Orang yang menatap realita di atas mungkin saja akan berdiri kebingungan lagi terheran-heran sambil berucap, “Mereka masing-masing mengaku keselamatan hanya ada pada kelompok mereka saja, tidak pada golongan lain. Dan masing-masing pun punya dalil dari Kitabullah dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara realitanya mereka saling berbeda pendapat, bertolak-belakang, dan bertikai, tidak pernah bersatu”.
Kondisi golongan-golongan itu terlukis pada lantunan syair berikut:
النـَّاسُ شَتـــــــــــــــــَّى وَآَراَءُ مُفَـــــــرَّقَةٌ كُلٌّ يَرَى الْحَقَّ فِيْمَا قَالَ وَاعْتَقَـــدَ
Manusia itu bermacam-macam dan (mengelurkan) pemikiran-pemikiran yang berbeda-beda. Masing-masing memandang dirinya di atas kebenaran dalam pernyataan dan keyakinannya
Maka, di sini hal pertama yang mesti ditegaskan, bahwa al-Qur`ân adalah kitab yang haq dan Sunnah Rasul pun haq, sehingga tidak mungkin keduanya menegaskan satu keyakinan tertentu dan pendapat yang kontradiktif terhadap keyakinan tersebut secara sekaligus. Sebab, pada prinsipnya, tidak ada saling pertentangan antara nash-nash al-Qur`ân dan Sunnah yang shahih. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Kalau kiranya al-Qur`ân itu bukan dari sisi Allâh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [an-Nisâ`/4:82].
Ada ungkapan menarik dari Imam Ibnu Katsîr rahimahullah yang mengatakan, “Alhamdulillâh, seorang mubtadi’ mana saja tidak memiliki sandaran apapun yang shahih dari ayat-ayat al-Qur`ân, sebab al-Qur`ân datang untuk memperjelas al-haq dari kebatilan, menerangkan perbedaan antara hidayah dan kesesatan, tidak ada sedikit pun kontradiksi maupun perbedaan antar ayat, sebab al-Qur`ân bersumber dari Allâh Azza wa Jalla , turun dari Dzat Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”[3].
Kedua, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengabarkan bahwa firqah nâjiyah itu hanya berjumlah satu saja. Sementara jumlah-jumlah golongan yang ada mencapai hitungan yang banyak sekali dan masing-masing mengaku golongan yang selamat dan benar.
Lalu, bagaimanakah bisa dibedakan antara golongan yang lurus dan kelompok batil yang sekedar mengklaim pengakuan kosong belaka?.
Maka rincian jawabannya ialah bahwa risalah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah risalah penutup dan dakwah yang beliau serukan adalah dakwah terakhir, maka tidak mungkin terjadi kondisi campur-baur antara yang haq dengan yang batil tanpa bisa dipisah-pisahkan sehingga seseorang tidak tahu sama sekali dan tanpa ada seseorang yang sanggup menemukan kebenaran tersebut. Ini tidak mungkin!.
Untuk itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan umat kehilangan pelita petunjuk dan pegangan. Beliau telah menjelaskan karakteristik golongan selamat dengan sifat dan ciri yang jelas. Satu karakter yang tidak ada seorang pun yang menyampaikannya selain Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sifat dan karakter itu terdapat pada penghujung hadits iftirâqul ummah (perpecahan umat). Sahabat – generasi yang paling antusias terhadap kebaikan- sudah menanyakannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menerangkan tentang firqah nâjiyah (golongan selamat). Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkannya dengan satu jawaban tanpa mengikat eksistensinya dengan negara, tempat, kota maupun masa. Beliau hanya menyebutkan karakternya yang spesifik, yaitu, dalam sabdanya:
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ
“(Mereka adalah orang-orang) yang berada di atas ajaranku dan para Sahabatku hari ini”.
Inilah barometer untuk menilai kebenaran ucapan, amalan dan keyakinan-keyakinan dan semua golongan dan madzhab: ‘orang-orang yang berada di atas ajaranku dan para Sahabatku hari ini’. Seseorang – siapapun dia – , golongan manapun, sekte apa saja tidak cukup sekedar mengklaim dirinya selamat sampai mendudukkan dirinya, ucapan-ucapannya, amal-perbuatan dan keyakinan-keyakinannya di atas timbangan adil ini. Begitu pula, tidak cukup dengan membawakan dalil dari al-Qur`ân dan Hadits sebelum berkaca pada pemahaman Sahabat terhadap dua sumber ajaran Islam tersebut.
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ adalah ukuran kebenaran dan sekaligus merupakan manhaj dan jalan yang mengantar kepada pemahaman Kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh n dengan pemahaman yang lurus, yang sesuai dengan maksud yang dikehendaki Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan itu, pendalilan dengan Kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi tepat.
Adapun bila standar kebenaran diserahkan kepada siapa saja yang bersuara di tengah masyarakat, maka tidak terbentuk satu barometer yang dapat dijadikan sebagai pedoman baku. Kita pun kesulitan untuk mengenali siapa yang berada di atas al-haq dan siapa yang hanya bermodal kebatilan, juga kesulitan untuk mengetahui siapa yang berkata benar dan siapa yang melontarkan omongan tanpa dasar.
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ juga yang akan membedakan antara Ahli Sunnah wal Jama’ah dari seluruh kelompok dan golongan lain. Nama-nama golongan-golongan di luar Ahli Sunnah wal Jamaa’ah, biasanya dikenal dengan keyakinan mereka yang baru seperti Qadariyah (pengingkar qadar/takdir), dan Jabriyah (dari kata jabr, terpaksa. Mereka berasumsi manusia itu terpaksa dalam beraktifitas layaknya sehelai bulu yang terbang mengikuti hembusan angin), atau dikenal dengan perbuatan buruknya semisal Khawârij (yang melakukan khurûj/pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah) dan Rafidhah (rafadha bermakna menolak. Mereka menolak khilafah Abu Bakr Radhiyallahu anhu dan ‘Umar Radhiyallahu anhu), atau namanya dikaitkan dengan pimpinan, dan pencetus seperti golongan Karrâmiyah[4] dan Bayâniyah. [5]
Sedangkan Ahli Sunnah wal Jamâ’ah, mereka dikenal dengan predikat demikian karena konsistensi dan komitmen mereka dengan Kitâbullâh dan Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak kepada personal, tempat, atau penisbatan kepada yang lainnya. Allâh Azza wa Jalla mencurahkan hidayah kepada mereka, Ahli Sunnah wal Jamâ’ah, saat banyak pihak menyimpang dari al-haq.
Segala puji bagi Allâh Azza wa Jalla yang telah memberikan hidayah kepada kita untuk meniti jalan Ahli Sunnah wal Jamâ’ah dan menjauhi hal-hal yang baru dalam agama yang tidak pernah dikenal oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat beliau yang mulia.
ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allâh mempunyai karunia yang besar. [al-Jumu’ah/62:4].
Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan kekuatan istiqamah pada hati kita untuk memegangi manhaj Ahli Sunnah wal Jama’ah hingga ajal datang menjemput kita semua. Amin. Wallâhu a’lam.
Diadaptasi dari :
– Manhaj al-Istidlâli ‘ala Masâili al-I’tiqâd ‘inda Ahli as-Sunnah wal Jamâ’ah, ‘Utsmân bin ‘Ali Hasan, Maktabar ar-Rusyd, Cet II Thn.1413H.
– Al-Ghuluw fî ad-dîn ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz asy-Syibl.
[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Footnote
[1]. Tafsîru al-Qur`ânil ‘Azhîm 2/93. Lihat riwayat al-Bukhâri no.3650 dan Muslim no.2535.
[2]. Golongan-golongan yang menyimpang akan memanfaatkan dan mencatut dalil-dalil tersebut untuk mendukung kesesatan mereka dan dapat diterima oleh khalayak.
[3]. Tafsîru al-Qur`ânil ‘Azhîm 1/145.
[4]. Para pengikut Muhammad bin Karrâm as-Sijistâni yang menyatakan iman itu cukup dengan mengucapkan kalimat tauhid dengan lisan saja, dan orang itu keimanannya sudah sempurna dan di akhirat ia berada di Surga Na’im.
[5]. Penisbatan kepada nama Bayân bin Sam’ân yang didaulat menjadi nabi oleh para pengikutnya dengan menyelengkan Surat Ali Imrân/3:138.
Landasan ajaran agama yang mereka jadikan pijakan mereka ialah Kitâbullâh dan Sunnah. Mereka menjadikan Kitâbullâh dan Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemutus urusan-urusan mereka. Dengan itu pula, mereka berhujjah. Mereka tidak berpaling dari nash-nash wahyu dan tidak pula melawannya. Mereka tidak mengebiri hukum-hukum dari wahyu dan tidak pula merubah-rubahnya. Tidak ada satu pendapat pun terkait agama dari seseorang – meskipun memiliki derajat sosial di mata manusia- yang mereka terima kecuali bila bersesuaian dengan Kitâbullâh dan Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak bertentangan dengan keduanya.
Demikianlah karakteristik kehidupan para Sahabat dan generasi Tabi’in yang memperoleh tarbiyah seperti para Sahabat Radhiyallahu anhum. Hingga akhirnya tiba masa-masa akhir generasi Sahabat dimana muncul pemikiran dan ideologi ganjil yang mulai menodai kehidupan nyata umat Islam, seperti pemikiran keliru tentang sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla dan takdir-Nya, dalam bentuk menafikan atau menetapkannya dan hanyut tanpa arah yang lurus dalam nash-nash janji dan ancaman, tikaman terhadap kredibilitas para Sahabat atau bersikap berlebihan terhadap mereka dan lain sebagainya yang dahulu tidak pernah ada di tengah umat Islam.
Tidak berapa lama, pemikiran-pemikiran ini menjelma firqah-firqah (golongan-golongan) yang masing-masing memiliki maqâlah (ideologi) dan aqidah yang menyalahi jamâ’atul Muslimin, seperti golongan Khawarij, Syiah, Mu’tazilah dan Murji`ah. Dan selanjutnya, golongan-golongan besar ini mulai pecah dan terbagi-bagi dalam sekte-sekte turunan dengan keyakinan dan aqidah yang berbeda satu dengan yang lain. Dan masing-masing golongan yang baru itu memvonis sesat atau kafir golongan lainnya.
Banyaknya golongan dan sekte ini dengan segala perbedaan dan kontradiksi, namun semuanya disatukan satu landasan, yaitu bertumpu pada ra`yu (nalar, akal) dalam merespon nash wahyu dan lebih mendahulukan dorongan hawa nafsu dalam menentang aturan syar’i. Anehnya, tiada satu golongan dari golongan-golongan menyimpang tersebut kecuali mengklaim dirinya berada di atas al-haq (kebenaran), telah mewujudkan tujuan luhur syariat dan mengaku juga sebagai firqâh nâjiyah dan thâifah manshûrah yang mendapatkan janji baik dalam hadits :
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةٌ
Dan umatku akan berpecah-belah menjadi 73 golongan, semuanya berada di dalam Neraka kecuali satu. [HR. At-Tirmidzi no.2643]. dan hadits
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذِلِكَ
Akan senantiasa ada satu golongan dari umatku yang tegak lurus di atas al-haq. Tiadanya dukungan dari orang lain tidak berpengaruh buruk kepada mereka, hingga datang ketetapan Allah, sedang mereka berada dalam kondisi tersebut. [HR.Muslim no.1920].
Lebih aneh lagi, masing-masing golongan yang saling bertentangan dan bertikai lagi saling melaknati yang lain ini, mengaku berlandaskan nash-nash Kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh, meskipun sebagian firqah tersebut juga sudah memalsukan hadits dan membuat-buatnya demi mendukung keyakinan dan pandangannya, dalam semua yang dinyatakan dan diklaim oleh mereka. Dan juga menjadikan Kitabullah dan Sunnah sebagai hujjah untuk membantah golongan lain.
Golongan wa’îdiyyah (Khawarij dan Mu’tazilah yang memvonis pelaku dosa besar akan masuk Neraka selama-lamanya)) mempergunakan hujjah (dalil) hadits berikut, “Demi Allâh ia tidak beriman, demi Allâh ia tidak beriman dan demi Allâh ia tidak beriman”. Ada yang bertanya, “Siapakah dia wahai Rasûlullâh?”. Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya”. [HR. Al-Bukhâri no.6016].
Di kutub lainnya, kaum Murji`ah, golongan yang beranggapan bahwa iman hanyalah membenarkan dengan hati saja, tanpa diikuti dengan amal perbuatan, berpegangan dengan hadits:
مَا مِنْ عَبْدٍ قَاَل لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ ثُمَّ مَاتَ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ
Tidak ada seorang hamba yang berkata lâ ilâha illallâh kemudian ia meninggal kecuali ia akan masuk Surga. [HR. Al-Bukhâri no.5827][2].
Terkait penetapan takdir, kalangan Qadariyah (yang menafikan takdir) berdalil dengan hadits,
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَــــأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصَّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Setiap anak yang dilahirkan di atas fitrah. Maka dua orang tuanyalah yang akan membuatnya Yahudi, Nasrani atau Majusi. [HR. al-Bukhâri dan Muslim].
Di kutub lain, golongan Jabriyyah yang menetapkan takdir secara ekstrem sehingga menyebut manusia tidak punya kehendak sama sekali, berdalil dengan hadits:
كُلُّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ
Masing-masing akan dimudahkan menuju nasibnya. [HR. al-Bukhâri no.4949].
Kaum musyabbihah yang beranggapan Allâh Azza wa Jalla menyerupai makhluk, berdalil dengan hadits,
خَلَقَ اللهُ آدَمَ عَلَى صُوْرَتِهِ
Allah menciptakan Adam dalam wujud rupa-Nya. [HR. al-Bukhâri no.6227].
Sementara itu, di sisi yang berbeda, kaum mu’aththilah yang menafikan seluruh atau sebagian sifat Allâh Azza wa Jalla berhujjah dengan firman Allâh Azza wa Jalla :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. [asy-Syûrâ/42:11]).
Dalam kasus lainnya, kaum Syiah mengkafirkan para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dalih hadits, “Pada hari Kiamat akan datang kepadaku satu kelompok dari Sahabatku. Mereka diusir menjauh dari Telaga(ku). Maka aku berkata, Wahai Rabbku itu adalah para Sahabatku, maka Allâh Azza wa Jalla berfirman, ‘Sesungguhnya engkau tidak tahu apa yang mereka perbuat sepeninggalmu. Sungguh mereka telah murtad meninggalkan agama’ “. [HR. al-Bukhâri no.6585].
Orang yang menatap realita di atas mungkin saja akan berdiri kebingungan lagi terheran-heran sambil berucap, “Mereka masing-masing mengaku keselamatan hanya ada pada kelompok mereka saja, tidak pada golongan lain. Dan masing-masing pun punya dalil dari Kitabullah dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara realitanya mereka saling berbeda pendapat, bertolak-belakang, dan bertikai, tidak pernah bersatu”.
Kondisi golongan-golongan itu terlukis pada lantunan syair berikut:
النـَّاسُ شَتـــــــــــــــــَّى وَآَراَءُ مُفَـــــــرَّقَةٌ كُلٌّ يَرَى الْحَقَّ فِيْمَا قَالَ وَاعْتَقَـــدَ
Manusia itu bermacam-macam dan (mengelurkan) pemikiran-pemikiran yang berbeda-beda. Masing-masing memandang dirinya di atas kebenaran dalam pernyataan dan keyakinannya
Maka, di sini hal pertama yang mesti ditegaskan, bahwa al-Qur`ân adalah kitab yang haq dan Sunnah Rasul pun haq, sehingga tidak mungkin keduanya menegaskan satu keyakinan tertentu dan pendapat yang kontradiktif terhadap keyakinan tersebut secara sekaligus. Sebab, pada prinsipnya, tidak ada saling pertentangan antara nash-nash al-Qur`ân dan Sunnah yang shahih. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Kalau kiranya al-Qur`ân itu bukan dari sisi Allâh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [an-Nisâ`/4:82].
Ada ungkapan menarik dari Imam Ibnu Katsîr rahimahullah yang mengatakan, “Alhamdulillâh, seorang mubtadi’ mana saja tidak memiliki sandaran apapun yang shahih dari ayat-ayat al-Qur`ân, sebab al-Qur`ân datang untuk memperjelas al-haq dari kebatilan, menerangkan perbedaan antara hidayah dan kesesatan, tidak ada sedikit pun kontradiksi maupun perbedaan antar ayat, sebab al-Qur`ân bersumber dari Allâh Azza wa Jalla , turun dari Dzat Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”[3].
Kedua, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengabarkan bahwa firqah nâjiyah itu hanya berjumlah satu saja. Sementara jumlah-jumlah golongan yang ada mencapai hitungan yang banyak sekali dan masing-masing mengaku golongan yang selamat dan benar.
Lalu, bagaimanakah bisa dibedakan antara golongan yang lurus dan kelompok batil yang sekedar mengklaim pengakuan kosong belaka?.
Maka rincian jawabannya ialah bahwa risalah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah risalah penutup dan dakwah yang beliau serukan adalah dakwah terakhir, maka tidak mungkin terjadi kondisi campur-baur antara yang haq dengan yang batil tanpa bisa dipisah-pisahkan sehingga seseorang tidak tahu sama sekali dan tanpa ada seseorang yang sanggup menemukan kebenaran tersebut. Ini tidak mungkin!.
Untuk itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan umat kehilangan pelita petunjuk dan pegangan. Beliau telah menjelaskan karakteristik golongan selamat dengan sifat dan ciri yang jelas. Satu karakter yang tidak ada seorang pun yang menyampaikannya selain Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sifat dan karakter itu terdapat pada penghujung hadits iftirâqul ummah (perpecahan umat). Sahabat – generasi yang paling antusias terhadap kebaikan- sudah menanyakannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menerangkan tentang firqah nâjiyah (golongan selamat). Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkannya dengan satu jawaban tanpa mengikat eksistensinya dengan negara, tempat, kota maupun masa. Beliau hanya menyebutkan karakternya yang spesifik, yaitu, dalam sabdanya:
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ
“(Mereka adalah orang-orang) yang berada di atas ajaranku dan para Sahabatku hari ini”.
Inilah barometer untuk menilai kebenaran ucapan, amalan dan keyakinan-keyakinan dan semua golongan dan madzhab: ‘orang-orang yang berada di atas ajaranku dan para Sahabatku hari ini’. Seseorang – siapapun dia – , golongan manapun, sekte apa saja tidak cukup sekedar mengklaim dirinya selamat sampai mendudukkan dirinya, ucapan-ucapannya, amal-perbuatan dan keyakinan-keyakinannya di atas timbangan adil ini. Begitu pula, tidak cukup dengan membawakan dalil dari al-Qur`ân dan Hadits sebelum berkaca pada pemahaman Sahabat terhadap dua sumber ajaran Islam tersebut.
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ adalah ukuran kebenaran dan sekaligus merupakan manhaj dan jalan yang mengantar kepada pemahaman Kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh n dengan pemahaman yang lurus, yang sesuai dengan maksud yang dikehendaki Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan itu, pendalilan dengan Kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi tepat.
Adapun bila standar kebenaran diserahkan kepada siapa saja yang bersuara di tengah masyarakat, maka tidak terbentuk satu barometer yang dapat dijadikan sebagai pedoman baku. Kita pun kesulitan untuk mengenali siapa yang berada di atas al-haq dan siapa yang hanya bermodal kebatilan, juga kesulitan untuk mengetahui siapa yang berkata benar dan siapa yang melontarkan omongan tanpa dasar.
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ juga yang akan membedakan antara Ahli Sunnah wal Jama’ah dari seluruh kelompok dan golongan lain. Nama-nama golongan-golongan di luar Ahli Sunnah wal Jamaa’ah, biasanya dikenal dengan keyakinan mereka yang baru seperti Qadariyah (pengingkar qadar/takdir), dan Jabriyah (dari kata jabr, terpaksa. Mereka berasumsi manusia itu terpaksa dalam beraktifitas layaknya sehelai bulu yang terbang mengikuti hembusan angin), atau dikenal dengan perbuatan buruknya semisal Khawârij (yang melakukan khurûj/pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah) dan Rafidhah (rafadha bermakna menolak. Mereka menolak khilafah Abu Bakr Radhiyallahu anhu dan ‘Umar Radhiyallahu anhu), atau namanya dikaitkan dengan pimpinan, dan pencetus seperti golongan Karrâmiyah[4] dan Bayâniyah. [5]
Sedangkan Ahli Sunnah wal Jamâ’ah, mereka dikenal dengan predikat demikian karena konsistensi dan komitmen mereka dengan Kitâbullâh dan Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak kepada personal, tempat, atau penisbatan kepada yang lainnya. Allâh Azza wa Jalla mencurahkan hidayah kepada mereka, Ahli Sunnah wal Jamâ’ah, saat banyak pihak menyimpang dari al-haq.
Segala puji bagi Allâh Azza wa Jalla yang telah memberikan hidayah kepada kita untuk meniti jalan Ahli Sunnah wal Jamâ’ah dan menjauhi hal-hal yang baru dalam agama yang tidak pernah dikenal oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat beliau yang mulia.
ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allâh mempunyai karunia yang besar. [al-Jumu’ah/62:4].
Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan kekuatan istiqamah pada hati kita untuk memegangi manhaj Ahli Sunnah wal Jama’ah hingga ajal datang menjemput kita semua. Amin. Wallâhu a’lam.
Diadaptasi dari :
– Manhaj al-Istidlâli ‘ala Masâili al-I’tiqâd ‘inda Ahli as-Sunnah wal Jamâ’ah, ‘Utsmân bin ‘Ali Hasan, Maktabar ar-Rusyd, Cet II Thn.1413H.
– Al-Ghuluw fî ad-dîn ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz asy-Syibl.
[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Footnote
[1]. Tafsîru al-Qur`ânil ‘Azhîm 2/93. Lihat riwayat al-Bukhâri no.3650 dan Muslim no.2535.
[2]. Golongan-golongan yang menyimpang akan memanfaatkan dan mencatut dalil-dalil tersebut untuk mendukung kesesatan mereka dan dapat diterima oleh khalayak.
[3]. Tafsîru al-Qur`ânil ‘Azhîm 1/145.
[4]. Para pengikut Muhammad bin Karrâm as-Sijistâni yang menyatakan iman itu cukup dengan mengucapkan kalimat tauhid dengan lisan saja, dan orang itu keimanannya sudah sempurna dan di akhirat ia berada di Surga Na’im.
[5]. Penisbatan kepada nama Bayân bin Sam’ân yang didaulat menjadi nabi oleh para pengikutnya dengan menyelengkan Surat Ali Imrân/3:138.