Oleh Al-Ustadz Fariq Bin Gasim Anuz
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang da’i yang mengajak kepada perbuatan ma’ruf dan melarang orang lain berbuat mungkar, di antaranya :
“…Yang dimaksud dengan niat terpuji yang diterima di sisi Allah dan mendapatkan ganjaranNya adalah hendaknya amalan tersebut ditujukan untuk mencari ridha Allah dan yang dimaksud dengan amal terpuji yang merupakan amal saleh adalah amal yang diperintahkan, dan apabila demikian adanya maka orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar wajib menerapkan pada dirinya sendiri dua syarat tadi, dan tidaklah disebut amal saleh apabila tidak berdasarkan ilmu dan pemahaman ….”
Kemudian beliau berkata pula :
“…maka orang yang menjalankan amar ma’ruf nahi munkar haruslah memiliki ilmu tentang hal yang ma’ruf dan yang mungkar dan dapat membedakan antara keduanya dan harus memiliki ilmu tentang keadaan orang yang diperintah dan yang dilarang.
Dan yang dimaksudkan dengan ilmu adalah apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dari apa-apa yang Allah utuskan kepadanya dan dia adalah As Sulthan sebagaimana Allah berfirman :
“Yaitu orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka.” [Ghafir : 35]
Barangsiapa yang berbicara tentang dien Islam ini bukan dengan apa yang telah Allah utuskan kepada RasulNya, maka ia berbicara tanpa ilmu, dan barangsiapa yang dikuasai oleh syetan maka syetan pasti menyesatkannya dan menuntunnya menuju adzab jahannam yang menyala- nyala. Dan barangsiapa yang tunduk kepada dienullah maka ia telah beribadah kepada Allah dengan keyakinan.” [1]
Syaikh Abdul Azis bin Baz rahimahullah (wafat th.1420 H) berkata ketika menceritakan tentang akhlak dan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang da’i :
“Haruslah da’wahmu itu ditegakkan atas hujjah yang nyata, yaitu berdasarkan ilmu, janganlah engkau jahil dengan apa yang engkau serukan kepada manusia, Allah berfirman:
“Katakanlah : “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kalian (kepada) Allah dengan hujjah yang nyata.” [Yusuf : 108]
Maka haruslah engkau memiliki ilmu, dan ini hukumnya wajib, maka hati-hatilah jangan sekali-kali engkau berda’wah dengan kebodohan, janganlah sekali-kali engkau berbicara dalam hal-hal yang tidak engkau ketahui, maka orang yang bodoh itu menghancurkan, bukannya membangun, merusak bukannya memperbaiki, maka bertaqwalah kepada Allah wahai hamba Allah, hati-hati, janganlah sekali-kali engkau mengatakan sesuatu dengan mengatasnamakan Allah tanpa ilmu, janganlah engkau berda’wah mengajak orang lain kepada sesuatu, kecuali dengan ilmu tentang hal tersebut, dan hujjah yang nyata itu artinya sesuai dengan firman Allah dan sabda RasulNya.
Maka seharusnya atas setiap penuntut ilmu dan juru da’wah agar memperhatikan tentang apa yang ia serukan dan memperhatikan dalilnya, apabila nampak bagi dia kebenaran dan mengetahuinya maka baru dia menda’wahkannya, menyeru untuk melakukan keta’atan dan melarang kemaksiatan yang dilarang oleh Allah dan RasulNya.” [2]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin hafidzahullah berkata ketika beliau menjelaskan tentang bekal-bekal juru da’wah, di antaranya adalah :
“Hendaklah seorang da’i memiliki bekal ilmu dalam berda’wah. Ilmu yang benar bersumber dari Al-Qur’an dan As Sunnah karena setiap ilmu harus digali dari keduanya. Adapun ilmu yang datang kepada kita harus diperiksa terlebih dahulu apakah sesuai dengan Al-Qur’an dan As Sunnah atau tidak. Apabila sesuai maka harus diterima, dan apabila bertentangan wajib ditolak siapa pun yang menyatakannya. Ibnu Abas radliyallahu’anhuma telah berkata,
“Hampir saja batu terjatuh dari langit menimpa kalian, aku mengatakan Rasulullah bersabda dan kalian mengatakan, “Abu Bakar dan Umar berkata”
Apabila ucapan Abu Bakr dan Umar sebagai seorang khalifah dan shahabat yang menyalahi sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam harus ditolak, maka bagaimana kiranya dengan pendapat seorang yang jauh di bawah mereka berdua dalam hal ilmu dan taqwa ? tentu lebih utama untuk ditolak ucapannya. Sungguh Allah Subhana wa Ta’ala telah berfirman :
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” [An-Nur : 63]
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Tahukah engkau apakah fitnah itu ? Fitnah itu adalah kesyirikan, barangkali apabila ia menolak sebagian sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam maka akan menimpa dia sesuatu, berupa kecondongan kepada kesesatan yang menyebabkan ia binasa.”
Sesungguhnya bekal yang pertama yang harus dimilki seorang da’i yang menyeru manusia kepada agama Allah, haruslah ia memiliki ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits yang shahih, adapun da’wah tanpa ilmu maka sesungguhnya ia adalah da’wah berdasarkan kebodohan dan da’wah berdasarkan kebodohan lebih banyak merugikan dari pada manfaatnya dikarenakan si da’i ini telah menobatkan dirinya sebagai orang yang sesat dan menyesatkan, kami memohon pelindungan kepada Allah dari yang demikian itu, dan orangnya disebut dengan jahil murakkab (bertumpuk-tumpuk), kebodohan yang bertumpuk-tumpuk ini lebih berbahaya dari pada kebodohan yang ringan, orang yang bodoh ringan (yaitu merasa dirinya bodoh, pent) dia tidak akan berbicara dan dengan belajar ia dapat menghilangkan kebodohannya, tetapi problem yang sangat besar itu pada diri orang bodoh bertumpuk-tumpuk karena dia tidak akan diam bahkan terus berbicara meskipun dengan kebodohan. Maka ia lebih banyak menjadi perusak dan penghancur dari pada menjadi pemberi cahaya.
Wahai saudara-saudara, sesungguhnya da’wah menyeru kepada agama Allah tanpa didasari ilmu menyalahi praktek Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan para pengikutnya. Dengarkanlah firman Allah Ta’ala ketika memerintahkan NabiNya, Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, dalam firmanNya :
“Katakanlah : “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah dengan hujjah (ilmu) yang nyata.” [Yusuf : 108]
Pada kalimat “Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) dengan hujjah (ilmu) yang nyata”, maka haruslah seorang da’i untuk menyeru kepada agama Allah berdasarkan ilmu bukan berdasarkan kebodohan.
Dan perhatikanlah, wahai da’i firman Allah Ta’ala, [dengan hujjah (ilmu)], yaitu dalam tiga perkara :
[1]. Dengan ilmu tentang apa yang ia sampaikan, hendaklah ia mengetahui hukum syari’at karena boleh jadi seseorang mengajak orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang disangkanya sebagai suatu kewajiban, padahal sesungguhnya dalam syari’at Allah perbuatan tersebut tidaklah wajib maka ia telah mengharuskan manusia untuk melakukan sesuatu yang tidak diharuskan oleh Allah, dan sebaliknya boleh jadi ia melarang orang lain melakukan suatu perbuatan yang disangkanya sebagai hal yang haram, padahal sesungguhnya dalam dien Allah bukanlah suatu yang haram, maka ia telah mengharamkan manusia apa-apa yang Allah halalkan untukmereka.
[2]. Dengan ilmu tentang keadan orang yang dida’wahi, oleh karena itu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengutus Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu ke negeri Yaman beliau berpesan kepadanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab,” agar Muadz mengetahui dan bersiap-siap untuk menghadapi mereka. Maka haruslah engkau mengetahui keadaan orang yang dida’wahi, sejauh mana kapasitas ilmunya ? Sejauh mana kemampuan bicaranya ?. Supaya engkau memposisikan diri secara matang untuk berdiskusi dengannya, karena seandainya engkau dalam kebenaran berdebat dengan orang yang jauh lebih pandai dalam berbicara, maka engkaulah yang akan terpojokkan. Maka, jadilah musibah besar terhadap kebenaran sehingga disangka sebagai kebatilan dan engkau adalah penyebabnya, dan janganlah engkau menyangka bahwa pendukung kebatilan itu mesti kalah dalam berbicara pada setiap keadaan.
Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya kalian berselisih dan mengadukan kepadaku, dan barangkali sebagian di antara kalian lebih pandai dalam berbicara membawakan alasan-alasannya dibandingkan dari yang lain, maka aku memutuskan yang menguntungkannya disebabkan yang aku dengar.”
Ini menunjukkan bahwa orang yang berselisih tadi, meskipun di pihak yang batil dikarenakan ia lebih pandai dalam berbicara mengemukakan alasannya, maka diputuskan sesuai dengan apa yang telah diutarakan oleh orang tersebut. Oleh karena itu, haruslah engkau mengetahui keadaan orang yang dida’wahi.
[3]. Dengan ilmu tentang cara berda’wah. Allah Subhana wa Ta’ala berfirman :
“Serulah (manusia) kepada jalan rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik” [An-Nahl : 125]
Sebagian manusia ketika ia melihat kemungkaran segera menyerangnya, tanpa berfikir dampak dari perbuatannya, bukan saja berkenaan dengan dia pribadi, tetapi dampaknya bagi dia dan teman- temannya sesama da’i. Oleh karena itu wajib atas setiap da’i sebelum bergerak melakukan sesuatu, memikirkan apa yang mungkin akan terjadi dan menimbangnya, boleh jadi pada saat itu ia dapat melampiaskan gejolak kecemburuannya dengan pengingkaran tersebut, tetapi dalam waktu yang dekat setelah pengingkaran tadi dapat memadamkan api kecemburuan dia dan orang lain. Oleh karena itu, saya menganjurkan saudara-saudaraku para da’i untuk menggunakan hikmah dan ketelitian, dan perkara ini meskipun terlambat sedikit tetapi membawa akibat yang terpuji dengan kehendak Allah.
Pentingnya seorang da’i berbekal dengan ilmu yang benar berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah disamping telah terdapat dalil-dalilnya dalam nash-nash syari’at juga akal yang sehat ikut membuktikan juga, karena bagaimana mungkin engkau berda’wah menyeru manusia kepada dien Allah sedangkan engkau tidak mengetahui jalan menujuNya, tidak mengetahui syari’atNya, bagaimana bisa ia dikatakan sebagai da’i ?!
Apabila sesorang belum memiliki ilmu, maka sepantasnya ia belajar terlebih dahulu kemudian baru berda’wah.
Boleh jadi ada seorang yang bertanya, “Apakah ucapanmu tadi bertentangan dengan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
“Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat” ?”
Maka saya menjawab, “Tidaklah bertentangan, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sampaikanlah dariku,” kalau begitu apa yang kami sampaikan itu harus berasal dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, inilah yang kami inginkan, ketika kami berkata bahwa seorang da’i membutuhkan ilmu bukan berarti kami mengharuskan ia memiliki ilmu yang sangat luas, tetapi kami menyatakan janganlah seorang menyampaikan sesuatu kecuali dengan apa yang ia ketahui saja, janganlah ia berbicara dengan sesuatu yang tidak ia ketahui.” [3]
[Cerkiis.blogspot.com, artikel: almanhaj. Disalin dari buku Fikih Nasehat, Penyusun Fariq Bin Gasim Anuz, Cetakan Pertama, Sya’ban 1420H/November 1999. Penerbit Pustaka Azzam Jakarta. PO BOX 7819 CC JKTM]
__________
Foote Note
[1]. Majmu’Fatawa, juz 28 hal. 39. Dinukil dari buku Dhowabit All-Amri bil ma’rufi wan nahyi ‘anil mungkari inda Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah
[2]. Wujubud ýda’wah ilallahi wa akhlakud du’at, hal.50
[3]. Zaad Ad-Daa’iyah ilallah, hal 6-10
Foote Note
[1]. Majmu’Fatawa, juz 28 hal. 39. Dinukil dari buku Dhowabit All-Amri bil ma’rufi wan nahyi ‘anil mungkari inda Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah
[2]. Wujubud ýda’wah ilallahi wa akhlakud du’at, hal.50
[3]. Zaad Ad-Daa’iyah ilallah, hal 6-10