Ust. H. Abdul Somad, Lc., MA. –semoga Allah selalu menjaga dan membimbing beliau— dalam bukunya yang berjudul “37 Masalah Populer” pada halaman yang ke-42, membawakan kisah tentang Bilal radhiallahu ‘anhu. Kisah ini beliau jadikan sebagai dalil atau argumentasi yang menyokong apa yang beliau sebut sebagai bid’ah mahmudah atau bidah hasanah.
Beliau mengatakan:
“Ada beberapa perbuatan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah ﷺ tidak pernah beliau ucapkan dan tidak pernah beliau ajarkan. Tapi dilakukan oleh sahabat, Rasulullah ﷺ membenarkannya.”
Kemudian beliau membawakan riwayat dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam shahihnya (no. 1149) dan juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya (no. 2458).
Disebutkan bahwasanya Rasulullah ﷺ bertanya kepada Bilal:
يا بلال حدثني بأرجى عمل عملته في الإسلام فإني سمعت دف نعليك في الجنة
“Wahai Bilal, kabarkan kepadaku amalan yang paling engkau harapkan dalam Islam ini. Karena aku mendengar suara terompahmu dihadapanku di surga.
قال: ما عملت عملا أرجى عندي أني لم أتطهر طهورا في ساعتي ليلا ونهارا إلا صليت بذلك الطهور
Bilal menjawab: “tidak ada amalan yang paling aku harapkan di sisiku melainkan jika aku berwudhu baik di waktu malam maupun di siang hari melainkan pasti aku melakukan shalat setelahnya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan Allah untukku dari shalat tersebut”
Setelah membawakan hadits ini, Ust. Abdul Somad memberikan kesimpulan:
“Apakah Rasulullah Saw pernah melaksanakan shalat sunnat setelah wudhu’? tentu tidakpernah, karena tidak ada hadits menyebut Rasulullah Saw pernah melakukan, mengucapkan atau mengajarkan shalat sunnat dua rakaat setelah wudhu’. Jika demikian maka shalat sunnat setelah wudhu’ itu bid’ah, karena Rasulullah Saw tidak pernah melakukannya. Ini menunjukkan bahwa shalat sunnat dua rakaat setelah wudhu’ itu bid’ah hasanah..
Jika ada yang mengatakan bahwa ini sunnah taqririyyah, memang benar. Tapi ia menjadisunnah taqririyyah setelah Rasulullah Saw membenarkannya. Sebelum Rasulullah ﷺmembenarkannya, ia tetaplah bid’ah, amal yang dibuat-buat oleh Bilal. Mengapa Bilal tidakmerasa berat melakukannya? Mengapa Bilal tidak mengkonsultasikannya kepada RasulullahSaw sebelum melakukanya? Andai Rasulullah Saw tidak bertanya kepada Bilal, tentulah Bilalmelakukannya seumur hidupnya tanpa mengetahui apa pendapat Rasulullah Saw tentang shalat dua rakaat setelah wudhu’ itu. Maka jelaslah bahwa shalat setelah wudhu’ itu bid’ah hasanah sebelum diakui Rasulullah Saw. Setelah mendapatkan pengakuan Rasulullah Saw, maka ia berubah menjadi Sunnah taqririyyah. Fahamilah dengan baik!” (37 Masalah Populer, hal: 42-43)
Tanggapan dan Kritikan:
Pertama : Jika kita memperhatikan dengan seksama, redaksi hadits ini sama sekali tidak mengandung indikasi sedikitpun bahwasanya Bilal membuat atau mengada-ada ibadah yang baru. Rasulullah ﷺ hanya sekedar bertanya kepada Bilal tentang amalan apa yang paling beliau harapkan, karena Rasulullah ﷺ mendengarkan suara terompah beliau di surga. Ini tidak menunjukan bahwasanya Bilal mengada-ada amalan baru.
Kedua : Shalat dua rakaat yang dilakukan oleh Bilal setelah berwudhu’ sudah memiliki dasar nash yang tegas dan jelas (bukan bid’ah yang dilakukan Bilal sebagaimana anggapan Ust. Abdul Somad). Di antara nash tersebut adalah:
Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya (no. 234), bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ يُقْبِلُ بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ عَلَيْهِمَا إِلَّا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ
“Tidaklah seseorang melakukan wudhu dengan wudhu yang baik, kemudian dia melakukan shalat 2 rakaat dengan sepenuh hati dan jiwa melainkan pasti dia akan mendapatkan surga”
Hadits ini dengan tegas sekali menyebutkan bahwa shalat 2 rakaat setelah berwudhu adalah perkara yang disunnahkan.
Di antara dalilnya juga adalah, hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari no 160 dan Imam Muslim no 22 tentang ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu, ketika beliau mengajarkan tata cara wudhu Rasulullah ﷺ. Di akhir hadits tersebut ‘Utsman membawakan sabda Rasulullah ﷺ:
من توضأ نحو وضوئي هذا ثم صلى ركعتين لا يحدث فيهما نفسه غفر الله له ما تقدم من ذنبه
“Barang siapa berwudhu seperti wudhu’ku ini kemudian ia bangkit melakukan shalat 2 rakaat dengan hati yang khusyu’ (hatinya tidak berbisik tentang perkara-perkara duniawi yang tidak layak dalam shalat -pent), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni”
Kedua hadits di atas dengan sangat tegas menyatakan bahwa shalat 2 rakaat setelah wudhu’ yang dilakukan oleh Bilal memiliki dasar yang kuat di dalam syari’at.
Kedua hadits tersebut sekaligus menyanggah anggapan Ust. Abdul Somad yang mengatakan:
“…tidak ada hadits menyebut Rasulullah pernah melakukan, mengucapkan atau mengajarkan shalat sunnah dua rakaat setelah wudhu…”
Alhasil, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Bilal sama sekali tidak mengada-ada ibadah yang baru.
Jika ada yang berkata: “boleh jadi (ada ihtimal atau kemungkinan) Bilal melakukan ibadah tersebut sebelum beliau mengetahui kedua hadist ini”
Kita pun bisa mengatakan:
“Boleh jadi (ada ihtimal atau kemungkinan) sebaliknya; Bilal melakukan ibadah tersebut setelahbeliau mengetahui kedua hadits ini”
Karena adanya ihtimal (kemungkinan) ini dan itu, maka sebagaimana yang dikatakan oleh Ust. Abdul Somad sendiri dalam bukunya di hal. 41:
ما دخله الاحتمال سقط به الاستدلال
“Jika dalil itu mengandung kemungkinan atau ketidakpastian maka tidak layak dijadikan sebagai dalil”
Maka berdasarkan kaidah yang dibawakan Ust. Abdul Somad sendiri, sungguh aneh rasanya beliau berdalil dengan kisah Bilal untuk sampai pada kesimpulan Bid’ah Hasanah yang diinginkannya, karena kisah Bilal—sekali lagi—mengandung ihtimal. Lantas dari mana bisa disimpulkan bahwasanya Bilal melakukan ibadah shalat setelah wudhu tanpa mengetahui pendapat Rasulullah ﷺ dalam masalah ini…? yang kemudian membawa Ust. Abdul Somad pada kesimpulan bahwa apa yang dilakukan Bilal adalah Bid’ah Hasanah…?? [Lihat al-Haqul Ablaj, hal. 128, Syaikh Dr. Abdul Aziz ar-Rays]
Bahkan ihtimal yang kedua jauh lebih memungkinkan dan lebih dekat pada kebenaran. Bahwasanya Bilal melakukan shalat sunnah wudhu tersebut atas dasar pengetahuan sebelumnya bahwa shalat tersebut memang telah disunnahkan oleh Rasulullah ﷺ. Karena dengan demikian, kita telah ber-husnuz-zhaan kepada salah seorang Sahabat yang mulia (Bilal).
Dengan mengambil ihtimal (kemungkinan) yang kedua, kita juga bisa mengkompromikan nash-nash umum yang keras melarang perbuatan mengada-ada dalam syariat dengan atsar perbuatan Sahabat yang mengesankan mereka beribadah atas dasar kreasi pribadi. Sebab jika tidak demikian, kita justru telah su’uz-zhaan atau berprasangka buruk terhadap Sahabat dengan mengatakannya telah berbuat bid’ah sebelum ada taqriir dari Nabi, padahal para Sahabat dikenal sangat perhatian dalam upaya mereka menyesuaikan setiap amalan mereka dengan petunjuk Rasulullah ﷺ. Mengatakan Bilal telah berbuat bid’ah dan mengada-ada (terkait shalat sunnah setelah wudhu) adalah bentuk sikap kurang adab terhadap seorang Sahabat yang mulia lagi berilmu.
Ketiga : Kalaupun kita menerima anggapan bahwa Bilal telah melakukan suatu ibadah shalat sebelum mengetahui dalil-dalil khusus tentang Shalat setelah wudhu, maka tetap saja Bilal tidak bisa dikatakan telah membuat-buat perkara baru dalam agama. Karena Bilal mengamalkan apa yang beliau pahami dari firman Allah dan sabda Rasulullah yang berisi anjuran melakukan atau memperbanyak shalat-shalat sunnah secara mutlak. Adapun shalat yang beliau lakukan setiap selesai berwudhu, karena memang seseorang jika ingin melakukan shalat maka dia harus berwudhu terlebih dahulu. Dan sebaik-baik amalan saat dalam keadaan suci—di antaranya—adalah shalat. Maka tidak heran jika Bilal segera shalat setelah suci dengan berwudhu.
Di antara dalil umum yang jadi pegangan Bilal dalam hal ini adalah, firman Allah:
واستعينوا بالصبر والصلاة
“Mohonlah pertolongan dengan kesabaran dan shalat.”
Ini adalah dalil umum yang menunjukan bahwasanya melakukan shalat sunnah secara mutlak—di waktu yang dibolehkan melakukan shalat Sunnah—sangatlah dianjurkan dan tentu saja sebelum melakukannya harus berwudhu.
Diriwayatkan dari hadits Rabi’ah bin Ka’ab al-Aslami, sebagaimana dalam Shahih Muslim (no. 489); bahwa suatu ketika Rabi’ah meminta kepada Rasulullah ﷺ agar di akhirat nanti bisa dekat dengan beliau di surga maka Rasul berkata kepada beliau:
فأعني على نفسك بكثرة السجود
“Wahai Rabi’ah, kalau begitu perbanyaklah sujud”
Imam an-Nawawi menjelaskan dalam Syarah Shahih Muslim (jilid 4 hal. 206):
“Yang dimaksud memperbanyak sujud di sini adalah sujud dalam shalat”
Ini adalah dalil umum yang memotivasi kita untuk banyak melakukan shalat Sunnah yang sifatnya mutlak (tidak terikat).
Lagi pula jika kita merujuk penjelasan ulama, shalat Sunnah setelah wudhu adalah jenis ibadah yang bersifat “ghairu maqshuudah bi-dzaatihaa”, dalam artian; dia bukanlah jenis shalat yang bersifat khusus semisal shalat fardhu. Dia mirip dengan shalat Tahiyyatul Masjid, yang penting shalat dulu ketika masuk masjid sebelum duduk, shalat apa saja, sudah terhitung Tahiyyatul Masjid. Demikian pula, jika ada orang melakukan shalat Sunnah Qabliyah Zhuhur langsung setelah ia berwudhu, maka ia sudah terhitung melakukan shalat Sunnah wudhu. Karena yang terpenting adalah; dia shalat setelah wudhu, shalat apa saja. Demikian pendapat Syaikh Nawawi al-Bantani (wafat: 1898-M) dalam kitabnya Nihaayatu az-Zain (hal. 104), beliau menuliskan:
ومنه صلاة سنة الوضوء عقب الفراغ منه وقبل طول الفصل والإعراض ، وتحصل بما تحصل به تحية المسجد ؛ فلو أتى بصلاة غيرها عقب الوضوء من فرض أو نفل ففيها ما تقدم في تحية المسجد من جهة حصول الثواب وسقوط الطلب
Ini juga yang menjadi pendapat ulama al-Lajnah ad-Da-imah (7/248-249). Termasuk juga pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin (Liqo’ al-Bab al-Maftuh: 25/20).
Berarti shalat Sunnah mutlak yang dilakukan setelah wudhu, termasuk dalam cakupan makna hadits Bilal di atas. Sehingga semua dalil-dalil yang berisi anjuran memperbanyak shalat secara mutlak, berlaku juga bagi orang yang shalat setelah wudhu. Dengan demikian, tak lagi bisa diterima alasan yang menyebut Bilal telah melakukan ibadah tanpa dalil, atau sebelum ia mengetahui dalilnya.
Keempat : Ibadah yang dilakukan oleh Bilal ini resmi menjadi sunnah setelah mendapatkan taqriir atau pengakuan dari Nabi. Kita menyebutnya sebagai sunnah taqririyyah, yaitu sunnah yang telah mendapat legitimasi dan pengakuan dari Nabi. Jadi ibadah tersebut menjadi bagian dari syari’at karena taqriir Nabi, bukan semata-mata karena dipelopori oleh Sahabat atau ulama tertentu.
Adapun di zaman ini, Sunnah Taqriiriyyah sudah tak ada lagi sepeninggal Rasulullah ﷺ. Sehingga tak ada alasan bagi kita untuk mengada-ada atau menambah-nambah perkara baru dalam hal ibadah.
Jika dikatakan; bukankah perbuatan Bilal tersebut sebelum mendapat taqrir dari Nabi adalah bid’ah..??, sebagaimana yang disimpulkan oleh Ust. Abdul Somad pada hal. 43.
Jawabannya; berdasarkan penjelasan sebelumnya, kita bisa menilai itu adalah anggapan yang sangat jauh dari kebenaran. Namun anggaplah kita sepakat dengan Ust. Abdul Somad bahwa tindakan Bilal adalah bid’ah sebelum mendapat taqriir Nabi. Maka kita katakan; bahwasanya para Sahabat punya kekhususan dalam masalah ini. Karena mereka hidup di zaman turunnya wahyu. Tidak bisa disamakan apa yang dilakukan oleh para sahabat semasa hidup Nabi dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang pada zaman ini.
Jika ada amalan Sahabat yang tidak diridhai secara syar’i di era turunnya wahyu dan pensyariatan, niscaya Allah akan menurunkan teguran melalui Nabi-Nya, dan menjelaskan jalan ibadah yang sesuai dengan keridhaan-Nya. Namun yang demikian ini tidak berlaku bagi mereka yang hidup tidak di zaman turunnya wahyu. Ibnu al-Qayyim mengatakan:
أن علم الرب تعالى بما يفعلون في زمن شرع الشرائع ونزول الوحي وإقراره لهم عليه دليل على عفوه عنه
“Ilmu Rabb ta’ala atas apa-apa yang diamalkan (oleh para Sahabat) di zaman pensyariatan, atau di era turunnya wahyu, lantas Allah men-taqriir-nya (atau mendiamkannya), adalah bukti bahwa Allah tidak mempermasalahkan amalan mereka tersebut.” [al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Mustakhrajah min I’lamil Muwaqqi’in: 292, Abdurrahman al-Jazairi, Taqdim: Syaikh Dr. Bakr Abu Zaid]
Adapun pada zaman ini, Rasul sudah tiada, wahyu sudah terputus dan agama sudah disempurnakan. Wahyu mana yang akan menjamin keabsahan setiap ide atau kreasi orang dalam ibadah..? Sementara itu amalan yang dilakukan oleh Bilal adalah amalan yang dilakukan pada waktu Rasul masih hidup, dan belum diturunkan ayat tentang kesempurnaan Islam:
اليوم أكملت لكم دينكم
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Kalian”
Sehingga tidak bisa disamakan kasus yang terjadi di zaman para sahabat dengan apa yang terjadi di zaman ini.
Ibadah yang diada-adakan pada zaman ini tidak ada jaminan legitimasi dari Allah dan Rasulullah ﷺ. Karena agama ini sudah disempurnakan, Rasulullah ﷺ sudah wafat dan wahyu telah terputus. Di sisi yang lain, Rasulullah ﷺ telah menutup peluang bagi orang-orang belakangan untuk berkreasi dalam ibadah, melalui sabdanya:
كل بدعة ضلالة
“Semua bid’ah itu sesat”
Para sahabat seperti Ibnu ‘Umar, menafsirkan sabda Rasulullah ini dengan ucapannya;
كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة
“Setiap kebidahan adalah kesesatan sekalipun manusia memandangnya hasanah (baik)”
Kelima : Jangankan di zaman ini, di era Nabi masih hidup saja, tidak semua ide Sahabat dalam hal ibadah di-taqriir oleh Nabi. Ada yang bahkan diingkari dengan keras.
Seperti kisah 3 orang yang ingin beribadah lebih—yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5063)–. Di antara mereka ada yang ingin membujang selamanya agar fokus beribadah, ada yang ingin berpuasa sepanjang tahun (dahr), dan ada yang hendak shalat malam tanpa tidur. Rasulullah ﷺ mengingkari ide mereka tersebut, sekalipun niat mereka baik.
Juga kisah al-Baraa’ bin ‘Aazib yang mengganti lafaz “wabi-nabiyyika…” menjadi “wabi-rasuulika…” dalam doa sebelum tidur yang diajarkan Nabi pada beliau. Tindakan al-Baraa’ ini langsung mendapat teguran dari Nabi (lihat Shahih al-Bukhari no. 6311).
Nah, jika Sahabat saja ada yang diingkari oleh Nabi ide atau tindakan mereka dalam hal ibadah, maka apalagi ide baru orang-orang zaman sekarang…??
Kesimpulannya : Perbuatan Bilal tersebut tidak bisa dijadikan dalil untuk menyokong adanya bid’ah mahmudah/hasanah dalam ranah ritual ibadah sehingga seseorang bisa bebas melakukan atau membuat ibadah-ibadah baru (seperti ritual perayaan Maulid).
[Http://Cerkiis.blogspot.com, Abu Ziyan Johan Saputra Halim. (Pimred alhujjah.com, pengasuh kanal dakwah Telegram: t.me/kristaliman)]
Disebutkan bahwasanya Rasulullah ﷺ bertanya kepada Bilal:
يا بلال حدثني بأرجى عمل عملته في الإسلام فإني سمعت دف نعليك في الجنة
“Wahai Bilal, kabarkan kepadaku amalan yang paling engkau harapkan dalam Islam ini. Karena aku mendengar suara terompahmu dihadapanku di surga.
قال: ما عملت عملا أرجى عندي أني لم أتطهر طهورا في ساعتي ليلا ونهارا إلا صليت بذلك الطهور
Bilal menjawab: “tidak ada amalan yang paling aku harapkan di sisiku melainkan jika aku berwudhu baik di waktu malam maupun di siang hari melainkan pasti aku melakukan shalat setelahnya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan Allah untukku dari shalat tersebut”
Setelah membawakan hadits ini, Ust. Abdul Somad memberikan kesimpulan:
“Apakah Rasulullah Saw pernah melaksanakan shalat sunnat setelah wudhu’? tentu tidakpernah, karena tidak ada hadits menyebut Rasulullah Saw pernah melakukan, mengucapkan atau mengajarkan shalat sunnat dua rakaat setelah wudhu’. Jika demikian maka shalat sunnat setelah wudhu’ itu bid’ah, karena Rasulullah Saw tidak pernah melakukannya. Ini menunjukkan bahwa shalat sunnat dua rakaat setelah wudhu’ itu bid’ah hasanah..
Jika ada yang mengatakan bahwa ini sunnah taqririyyah, memang benar. Tapi ia menjadisunnah taqririyyah setelah Rasulullah Saw membenarkannya. Sebelum Rasulullah ﷺmembenarkannya, ia tetaplah bid’ah, amal yang dibuat-buat oleh Bilal. Mengapa Bilal tidakmerasa berat melakukannya? Mengapa Bilal tidak mengkonsultasikannya kepada RasulullahSaw sebelum melakukanya? Andai Rasulullah Saw tidak bertanya kepada Bilal, tentulah Bilalmelakukannya seumur hidupnya tanpa mengetahui apa pendapat Rasulullah Saw tentang shalat dua rakaat setelah wudhu’ itu. Maka jelaslah bahwa shalat setelah wudhu’ itu bid’ah hasanah sebelum diakui Rasulullah Saw. Setelah mendapatkan pengakuan Rasulullah Saw, maka ia berubah menjadi Sunnah taqririyyah. Fahamilah dengan baik!” (37 Masalah Populer, hal: 42-43)
Tanggapan dan Kritikan:
Pertama : Jika kita memperhatikan dengan seksama, redaksi hadits ini sama sekali tidak mengandung indikasi sedikitpun bahwasanya Bilal membuat atau mengada-ada ibadah yang baru. Rasulullah ﷺ hanya sekedar bertanya kepada Bilal tentang amalan apa yang paling beliau harapkan, karena Rasulullah ﷺ mendengarkan suara terompah beliau di surga. Ini tidak menunjukan bahwasanya Bilal mengada-ada amalan baru.
Kedua : Shalat dua rakaat yang dilakukan oleh Bilal setelah berwudhu’ sudah memiliki dasar nash yang tegas dan jelas (bukan bid’ah yang dilakukan Bilal sebagaimana anggapan Ust. Abdul Somad). Di antara nash tersebut adalah:
Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya (no. 234), bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ يُقْبِلُ بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ عَلَيْهِمَا إِلَّا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ
“Tidaklah seseorang melakukan wudhu dengan wudhu yang baik, kemudian dia melakukan shalat 2 rakaat dengan sepenuh hati dan jiwa melainkan pasti dia akan mendapatkan surga”
Hadits ini dengan tegas sekali menyebutkan bahwa shalat 2 rakaat setelah berwudhu adalah perkara yang disunnahkan.
Di antara dalilnya juga adalah, hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari no 160 dan Imam Muslim no 22 tentang ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu, ketika beliau mengajarkan tata cara wudhu Rasulullah ﷺ. Di akhir hadits tersebut ‘Utsman membawakan sabda Rasulullah ﷺ:
من توضأ نحو وضوئي هذا ثم صلى ركعتين لا يحدث فيهما نفسه غفر الله له ما تقدم من ذنبه
“Barang siapa berwudhu seperti wudhu’ku ini kemudian ia bangkit melakukan shalat 2 rakaat dengan hati yang khusyu’ (hatinya tidak berbisik tentang perkara-perkara duniawi yang tidak layak dalam shalat -pent), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni”
Kedua hadits di atas dengan sangat tegas menyatakan bahwa shalat 2 rakaat setelah wudhu’ yang dilakukan oleh Bilal memiliki dasar yang kuat di dalam syari’at.
Kedua hadits tersebut sekaligus menyanggah anggapan Ust. Abdul Somad yang mengatakan:
“…tidak ada hadits menyebut Rasulullah pernah melakukan, mengucapkan atau mengajarkan shalat sunnah dua rakaat setelah wudhu…”
Alhasil, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Bilal sama sekali tidak mengada-ada ibadah yang baru.
Jika ada yang berkata: “boleh jadi (ada ihtimal atau kemungkinan) Bilal melakukan ibadah tersebut sebelum beliau mengetahui kedua hadist ini”
Kita pun bisa mengatakan:
“Boleh jadi (ada ihtimal atau kemungkinan) sebaliknya; Bilal melakukan ibadah tersebut setelahbeliau mengetahui kedua hadits ini”
Karena adanya ihtimal (kemungkinan) ini dan itu, maka sebagaimana yang dikatakan oleh Ust. Abdul Somad sendiri dalam bukunya di hal. 41:
ما دخله الاحتمال سقط به الاستدلال
“Jika dalil itu mengandung kemungkinan atau ketidakpastian maka tidak layak dijadikan sebagai dalil”
Maka berdasarkan kaidah yang dibawakan Ust. Abdul Somad sendiri, sungguh aneh rasanya beliau berdalil dengan kisah Bilal untuk sampai pada kesimpulan Bid’ah Hasanah yang diinginkannya, karena kisah Bilal—sekali lagi—mengandung ihtimal. Lantas dari mana bisa disimpulkan bahwasanya Bilal melakukan ibadah shalat setelah wudhu tanpa mengetahui pendapat Rasulullah ﷺ dalam masalah ini…? yang kemudian membawa Ust. Abdul Somad pada kesimpulan bahwa apa yang dilakukan Bilal adalah Bid’ah Hasanah…?? [Lihat al-Haqul Ablaj, hal. 128, Syaikh Dr. Abdul Aziz ar-Rays]
Bahkan ihtimal yang kedua jauh lebih memungkinkan dan lebih dekat pada kebenaran. Bahwasanya Bilal melakukan shalat sunnah wudhu tersebut atas dasar pengetahuan sebelumnya bahwa shalat tersebut memang telah disunnahkan oleh Rasulullah ﷺ. Karena dengan demikian, kita telah ber-husnuz-zhaan kepada salah seorang Sahabat yang mulia (Bilal).
Dengan mengambil ihtimal (kemungkinan) yang kedua, kita juga bisa mengkompromikan nash-nash umum yang keras melarang perbuatan mengada-ada dalam syariat dengan atsar perbuatan Sahabat yang mengesankan mereka beribadah atas dasar kreasi pribadi. Sebab jika tidak demikian, kita justru telah su’uz-zhaan atau berprasangka buruk terhadap Sahabat dengan mengatakannya telah berbuat bid’ah sebelum ada taqriir dari Nabi, padahal para Sahabat dikenal sangat perhatian dalam upaya mereka menyesuaikan setiap amalan mereka dengan petunjuk Rasulullah ﷺ. Mengatakan Bilal telah berbuat bid’ah dan mengada-ada (terkait shalat sunnah setelah wudhu) adalah bentuk sikap kurang adab terhadap seorang Sahabat yang mulia lagi berilmu.
Ketiga : Kalaupun kita menerima anggapan bahwa Bilal telah melakukan suatu ibadah shalat sebelum mengetahui dalil-dalil khusus tentang Shalat setelah wudhu, maka tetap saja Bilal tidak bisa dikatakan telah membuat-buat perkara baru dalam agama. Karena Bilal mengamalkan apa yang beliau pahami dari firman Allah dan sabda Rasulullah yang berisi anjuran melakukan atau memperbanyak shalat-shalat sunnah secara mutlak. Adapun shalat yang beliau lakukan setiap selesai berwudhu, karena memang seseorang jika ingin melakukan shalat maka dia harus berwudhu terlebih dahulu. Dan sebaik-baik amalan saat dalam keadaan suci—di antaranya—adalah shalat. Maka tidak heran jika Bilal segera shalat setelah suci dengan berwudhu.
Di antara dalil umum yang jadi pegangan Bilal dalam hal ini adalah, firman Allah:
واستعينوا بالصبر والصلاة
“Mohonlah pertolongan dengan kesabaran dan shalat.”
Ini adalah dalil umum yang menunjukan bahwasanya melakukan shalat sunnah secara mutlak—di waktu yang dibolehkan melakukan shalat Sunnah—sangatlah dianjurkan dan tentu saja sebelum melakukannya harus berwudhu.
Diriwayatkan dari hadits Rabi’ah bin Ka’ab al-Aslami, sebagaimana dalam Shahih Muslim (no. 489); bahwa suatu ketika Rabi’ah meminta kepada Rasulullah ﷺ agar di akhirat nanti bisa dekat dengan beliau di surga maka Rasul berkata kepada beliau:
فأعني على نفسك بكثرة السجود
“Wahai Rabi’ah, kalau begitu perbanyaklah sujud”
Imam an-Nawawi menjelaskan dalam Syarah Shahih Muslim (jilid 4 hal. 206):
“Yang dimaksud memperbanyak sujud di sini adalah sujud dalam shalat”
Ini adalah dalil umum yang memotivasi kita untuk banyak melakukan shalat Sunnah yang sifatnya mutlak (tidak terikat).
Lagi pula jika kita merujuk penjelasan ulama, shalat Sunnah setelah wudhu adalah jenis ibadah yang bersifat “ghairu maqshuudah bi-dzaatihaa”, dalam artian; dia bukanlah jenis shalat yang bersifat khusus semisal shalat fardhu. Dia mirip dengan shalat Tahiyyatul Masjid, yang penting shalat dulu ketika masuk masjid sebelum duduk, shalat apa saja, sudah terhitung Tahiyyatul Masjid. Demikian pula, jika ada orang melakukan shalat Sunnah Qabliyah Zhuhur langsung setelah ia berwudhu, maka ia sudah terhitung melakukan shalat Sunnah wudhu. Karena yang terpenting adalah; dia shalat setelah wudhu, shalat apa saja. Demikian pendapat Syaikh Nawawi al-Bantani (wafat: 1898-M) dalam kitabnya Nihaayatu az-Zain (hal. 104), beliau menuliskan:
ومنه صلاة سنة الوضوء عقب الفراغ منه وقبل طول الفصل والإعراض ، وتحصل بما تحصل به تحية المسجد ؛ فلو أتى بصلاة غيرها عقب الوضوء من فرض أو نفل ففيها ما تقدم في تحية المسجد من جهة حصول الثواب وسقوط الطلب
Ini juga yang menjadi pendapat ulama al-Lajnah ad-Da-imah (7/248-249). Termasuk juga pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin (Liqo’ al-Bab al-Maftuh: 25/20).
Berarti shalat Sunnah mutlak yang dilakukan setelah wudhu, termasuk dalam cakupan makna hadits Bilal di atas. Sehingga semua dalil-dalil yang berisi anjuran memperbanyak shalat secara mutlak, berlaku juga bagi orang yang shalat setelah wudhu. Dengan demikian, tak lagi bisa diterima alasan yang menyebut Bilal telah melakukan ibadah tanpa dalil, atau sebelum ia mengetahui dalilnya.
Keempat : Ibadah yang dilakukan oleh Bilal ini resmi menjadi sunnah setelah mendapatkan taqriir atau pengakuan dari Nabi. Kita menyebutnya sebagai sunnah taqririyyah, yaitu sunnah yang telah mendapat legitimasi dan pengakuan dari Nabi. Jadi ibadah tersebut menjadi bagian dari syari’at karena taqriir Nabi, bukan semata-mata karena dipelopori oleh Sahabat atau ulama tertentu.
Adapun di zaman ini, Sunnah Taqriiriyyah sudah tak ada lagi sepeninggal Rasulullah ﷺ. Sehingga tak ada alasan bagi kita untuk mengada-ada atau menambah-nambah perkara baru dalam hal ibadah.
Jika dikatakan; bukankah perbuatan Bilal tersebut sebelum mendapat taqrir dari Nabi adalah bid’ah..??, sebagaimana yang disimpulkan oleh Ust. Abdul Somad pada hal. 43.
Jawabannya; berdasarkan penjelasan sebelumnya, kita bisa menilai itu adalah anggapan yang sangat jauh dari kebenaran. Namun anggaplah kita sepakat dengan Ust. Abdul Somad bahwa tindakan Bilal adalah bid’ah sebelum mendapat taqriir Nabi. Maka kita katakan; bahwasanya para Sahabat punya kekhususan dalam masalah ini. Karena mereka hidup di zaman turunnya wahyu. Tidak bisa disamakan apa yang dilakukan oleh para sahabat semasa hidup Nabi dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang pada zaman ini.
Jika ada amalan Sahabat yang tidak diridhai secara syar’i di era turunnya wahyu dan pensyariatan, niscaya Allah akan menurunkan teguran melalui Nabi-Nya, dan menjelaskan jalan ibadah yang sesuai dengan keridhaan-Nya. Namun yang demikian ini tidak berlaku bagi mereka yang hidup tidak di zaman turunnya wahyu. Ibnu al-Qayyim mengatakan:
أن علم الرب تعالى بما يفعلون في زمن شرع الشرائع ونزول الوحي وإقراره لهم عليه دليل على عفوه عنه
“Ilmu Rabb ta’ala atas apa-apa yang diamalkan (oleh para Sahabat) di zaman pensyariatan, atau di era turunnya wahyu, lantas Allah men-taqriir-nya (atau mendiamkannya), adalah bukti bahwa Allah tidak mempermasalahkan amalan mereka tersebut.” [al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Mustakhrajah min I’lamil Muwaqqi’in: 292, Abdurrahman al-Jazairi, Taqdim: Syaikh Dr. Bakr Abu Zaid]
Adapun pada zaman ini, Rasul sudah tiada, wahyu sudah terputus dan agama sudah disempurnakan. Wahyu mana yang akan menjamin keabsahan setiap ide atau kreasi orang dalam ibadah..? Sementara itu amalan yang dilakukan oleh Bilal adalah amalan yang dilakukan pada waktu Rasul masih hidup, dan belum diturunkan ayat tentang kesempurnaan Islam:
اليوم أكملت لكم دينكم
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Kalian”
Sehingga tidak bisa disamakan kasus yang terjadi di zaman para sahabat dengan apa yang terjadi di zaman ini.
Ibadah yang diada-adakan pada zaman ini tidak ada jaminan legitimasi dari Allah dan Rasulullah ﷺ. Karena agama ini sudah disempurnakan, Rasulullah ﷺ sudah wafat dan wahyu telah terputus. Di sisi yang lain, Rasulullah ﷺ telah menutup peluang bagi orang-orang belakangan untuk berkreasi dalam ibadah, melalui sabdanya:
كل بدعة ضلالة
“Semua bid’ah itu sesat”
Para sahabat seperti Ibnu ‘Umar, menafsirkan sabda Rasulullah ini dengan ucapannya;
كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة
“Setiap kebidahan adalah kesesatan sekalipun manusia memandangnya hasanah (baik)”
Kelima : Jangankan di zaman ini, di era Nabi masih hidup saja, tidak semua ide Sahabat dalam hal ibadah di-taqriir oleh Nabi. Ada yang bahkan diingkari dengan keras.
Seperti kisah 3 orang yang ingin beribadah lebih—yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5063)–. Di antara mereka ada yang ingin membujang selamanya agar fokus beribadah, ada yang ingin berpuasa sepanjang tahun (dahr), dan ada yang hendak shalat malam tanpa tidur. Rasulullah ﷺ mengingkari ide mereka tersebut, sekalipun niat mereka baik.
Juga kisah al-Baraa’ bin ‘Aazib yang mengganti lafaz “wabi-nabiyyika…” menjadi “wabi-rasuulika…” dalam doa sebelum tidur yang diajarkan Nabi pada beliau. Tindakan al-Baraa’ ini langsung mendapat teguran dari Nabi (lihat Shahih al-Bukhari no. 6311).
Nah, jika Sahabat saja ada yang diingkari oleh Nabi ide atau tindakan mereka dalam hal ibadah, maka apalagi ide baru orang-orang zaman sekarang…??
Kesimpulannya : Perbuatan Bilal tersebut tidak bisa dijadikan dalil untuk menyokong adanya bid’ah mahmudah/hasanah dalam ranah ritual ibadah sehingga seseorang bisa bebas melakukan atau membuat ibadah-ibadah baru (seperti ritual perayaan Maulid).
[Http://Cerkiis.blogspot.com, Abu Ziyan Johan Saputra Halim. (Pimred alhujjah.com, pengasuh kanal dakwah Telegram: t.me/kristaliman)]