Minggu, 16 Juli 2017

Sebuah Kisah . . .

Sebuah Kisah . . .

Saya ingin bercerita, secara blak-blakan.

Saya sudah menikah dua kali. Dan semuanya gagal.

Pertama, dengan seorang ikhwa shalih <bagi masyarakat>, nyunnah dalam penampilan, tepat setelah saya hijrah ke manhaj salaf. Akibat kekhawatiran akan tinggal di tanah rantau tanpa mahram.

Qadarullah, ternyata tidak sesederhana itu untuk sakinah. Cobaan yang kami peroleh terlalu berat. Sangat berat, apalagi ukurannya masih pengantin baru waktu itu. Ujiannya apa? Coba ingat film KCB, mirip itulah.

Hasilnya, hampir saja putus kuliah.

Tak lama kemudian jadi futur, down, stress. Saya enyahkan jilbab longgar nan lebar, balik ke jilbab biasa. Saya benci orang-orang nyunnah.

Ditambah 'diambilnya' sahabat sekaligus penasihat. Tidak tanggung-tanggung, sekaligus 3 orang dalam dua tahun. Mereka pergi untuk selamanya.

Saya makin kacau.

Saya mulai menekuni perihal terkait liberalisme, filsafat, dan sastra berupa roman.

Intinya, saya benci orang nyunnah. 

Bahkan mempertanyakan makna sholat.

Ternyata remah-remah iman masih tersisa. Bolak-balik Jakarta-Makassar, rasanya gelisah jika tanpa mahram. Ketika ada kerabat mendekat, dimulai perkenalan oleh seorang yang alim, akhirnya menikah lagi, dengan kriteria: tidak nyunnah! yang penting sholat.

Alhasil, ujian itu datang lagi. 10 kali lipat lebih parah. Sampai-sampai harus berlari menyelamatkan diri. Hanya berbekal baju dan jilbab di badan, hp, dan sendal butut, melarikan diri, menjual mahar yang tersisa <sisanya diambil olehnya>, lalu membeli tiket ke Makassar.

Bayangkan, seharian di bandara dengan baju lusuh, sendal butut, muka kucel, perut keroncongan, dan di rahim sedang meringkuk janin 3 bulan!

Pikir saya saat itu, jika tidak menyelamatkan diri, nyawa anakku terancam.

Ada yang pernah dilempari kursi saat hamil oleh suami sendiri? Ada. itu saya.

Ada yang pernah dihina sebagai perempuan murahan saat ingin mempertahankan hijab syar'inya? Ada. Saya juga.

Alasannya sederhana, saya berhenti menafkahinya. Ya saya berhenti menafkahi laki" yang gegulingan di rumah menikmati hasil kerja saya yang pergi gelap pulang gelap. Saya dipaksa bekerja lagi hingga malam. Demi menghidupi dia. Saat mengutarakan keinginan untuk berhenti dan memintanya bertanggungjawab, saya dilempar dan dijambak jilbabnya. Dihina sebagai perempuan yang tidak taat suami.

Pernah ada cewek bohai berjeans ketat lewat, si mantan berkata, "coba liat itu. Itu baru bagus. pakaian yang kamu kenakan itu ribet!"

Akhirnya pasca musibah tersebut, diputuskan untuk pisah. Tepatnya dia usir saya dari kontrakan yang saya sewa dengan uang hasil keringat sendiri. Tebak perabotan dan kendaraan diambil siapa? ya diambil mantan. Padahal saya yang beli.

Dan sekarang alhamdulillaah saya sudah tenang dengan bayi saya. Bayi perempuan mungil yang belum pernah menyicip sedikit pun nafkah dari bapaknya yang menghilang ditelan bumi.

Jadi sekali lagi, semengesalkan apapun suami kalian, hargailah...! 

Selama ia masih mengemban tanggungannya.

"Bahkan jika dia katakan hendak menikah lagi, tak usah berulah, iyakan saja, ia akan mempertimbangkan sendiri, *yang ini agaknya susah bagi ibu-ibu".

#Semoga jadi pelajaran. "Bahwa.... dalam rumah tangga itu, yang tampak adalah sifat asli masing", tak peduli sesalihah atau sesalih apapun pelakunya.

[Http://cerkiis.blogspot.com, diangkat dari kisah nyata (Fitriani Ummu Sofia), sumber: disini]