Oleh Markaz al-Imam al-Albani
ANTARA TA’AWUN SYAR’I DAN HIZBI [1]
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk saling berta’awun (bekerja sama) di dalam kebajikan dan ketakwaan, dan melarang dari saling berta’awun di dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” [al-Ma’idah/5 : 2]
Pertama, Ta’awun yang syar’iy di dalam kebajikan dan ketakwaan merupakan kalimat yang mencakup seluruh kebajikan, yang akan membawa kebaikan bagi masyarakat muslim dan keselamatan dari keburukan serta sadarnya individu akan peran tanggung jawab yang diemban di atas bahunya. Karena ta’awun di dalam kehidupan umat merupakan manifestasi dari kepribadiannya dan merupakan pondasi di dalam membina perabadan umat.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam Tafsir Al-Qur’anil Azhim (II/7) menafsirkan ayat diatas [al-Ma’idah/5: 2]
“Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin agar saling berta’awun di dalam aktivitas kebaikan yang mana hal ini merupakan al-Birr (kebajikan) dan agar meninggalkan kemungkaran yang mana hal ini merupakan at-Taqwa. Allah melarang mereka dari saling bahu membahu di dalam kebatilan dan tolong menolong di dalam perbuatan dosa dan keharaman.”
Termasuk dalam pengertian ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya dari hadits Tamim ad-Dari Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa salam bersabda : “Agama itu nasehat”, beliau ditanya : “Bagi siapa wahai Rasulullah?”, Rasulullah menjawab : “Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan masyarakat umum.”
An-Nushhu (nasehat) ditinjau menurut bahasa, artinya adalah mengikhlaskan diri terhadap sesuatu tanpa disertai tipuan dan khianat. Hal ini merupakan kewajiban ulama dan para penuntut ilmu yang pertama kali sebelum lainnya. Karena mereka (para ulama) adalah pewaris para nabi, khalifah (pengganti) Rasul di dalam menerangkan kebenaran, berdakwah kepada Allah, bersabar atas segala rintangan dan mengemban segala kesukaran. Allah Ta’ala berfirman :
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” [Fushshilat/41: 33]
Kedua, Ta’awun yang syar’iy merupakan konsekuensi dari wala’ (loyalitas) kepada kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman :
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar” [at-Taubah/9 : 71]
Barangsiapa yang meninggalkan nasehat kepada saudaranya dan menelantarkannya, maka pada hakikatnya ia adalah seorang penipu dan bukan pembela mereka. Karena merupakan konsekuensi dari loyalitas adalah menasehati dan menolong mereka di dalam kebajikan dan ketakwaan.
Ketiga, Ta’awun diantara kaum muslimin merupakan kekuatan dan pelindung. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah menyerupakan ta’awun kaum muslimin, persatuan dan berpegang teguhnya mereka (pada agama Allah) dengan bangunan yang dibangun dengan batu bata yang tersusun rapi kuat sehingga menambah kekokohannya. Demikianlah kaum muslimin, semakin bertambah kokoh dengan saling tolong menolong di antara mereka. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam :
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan satu bangunan yang sebagiannya menguatkan bagian lainnya.”
Tidaklah umat Islam ini menjadi lemah dan musuh-musuhnya menguasai mereka, melainkan dikarenakan berpecah belah dan berselisihnya mereka, walaupun kuantitas dan jumlah mereka banyak. Allah Ta’ala berfirman :
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” [al-Anfal/8: 46]
Perkara ini adalah suatu hal yang telah dikenal oleh fitrah yang lurus dan diketahui oleh akal yang sehat, sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair yang bijaksana :
Tombak-tombak enggan menjadi hancur apabila mereka bergabung
Namun apabila berpisah maka akan hancur satu persatu
Semua ini, tidak akan bisa ditegakkan melainkan di atas kalimat tauhid, karena kalimat tauhid merupakan pondasinya persatuan umat
Keempat, Ta’awun dan ittihad (persatuan).[2]
Sebagaimana firman Allah Ta’ala
وَإِنَّ هَٰذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.” [al-Mu’minun/23 : 52]
Dan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala :
إِنَّ هَٰذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ
“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” [al-Anbiya/21 : 92]
Ta’awun dan persatuan selayaknya ditegakkan di atas kebajikan dan ketakwaan, jika tidak, akan menghantarkan pada kelemahan yang parah, berkuasanya para musuh Islam, terampasnya tanah air, terinjak-injaknya kehormatan dan terenggutnya tanah muqoddas (Palestina). Sebagai pembenar apa yang diberitakan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Salam :
يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا. فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ )بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِى قُلُوبِكُمُ الْوَهَنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهَنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
“Kalian nyaris diperebutkan oleh umat-umat selain kalian sebagaimana makanan di sebuah tempayan yang diperebutkan manusia.” Para sahabat bertanya : “apa jumlah kita pada saat itu sedikit wahai Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Bahkan jumlah kalian pada saat itu banyak, akan tetapi kalian bagaikan buih, dan Allah akan mengangkat rasa takut kepada kalian dari dada musuh-musuh kalian, dan Allah akan menancapkan al-Wahn ke dalam hati-hati kalian.” Para sahabat bertanya : “apakah al-Wahn itu wahai Rasulullah?”, Rasulullah menjawab : “cinta dunia dan takut mati.”
Hadits ini mengisyaratkan tentang kesudahan umat ini yang berada di dalam kelemahan walaupun banyak jumlahnya, namun mereka berserakan, berjalan tanpa arah dan bergerak tanpa tujuan, maka Allah timpakan atas mereka kehinaan yang akan menetap di bujur dan lintang (bumi ini). Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa salam :
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ
“Jika kalian telah sibuk dengan jual beli inah (sistem jual beli yang terdapat unsur riba, pent.), kalian terbuai dengan peternakan dan bercocok tanam, dan kalian tinggalkan jihad, maka akan Allah timpakan di atas kalian kehinaan yang tidak akan terangkat sampai kalian kembali ke agama kalian.” [Hadits Shahih Riwayat Abu Daud] [3]
Seorang muslim, haruslah memiliki solidaritas dengan saudaranya, turut merasakan kesusahannya, tolong menolong di dalam kebajikan dan ketakwaan, agar umat Islam dapat menjadi satu tubuh yang hidup, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan kaum mukminin di dalam cinta, kasih sayang dan kelembutan bagaikan tubuh yang satu, apabila salah satu anggota tubuh mengeluh maka akan memanggil seluruh anggota tubuh lainnya dengan terjaga dan demam.” [Muttafaq ‘alaihi]
Kelima, Tawaashi (saling berwasiat) di dalam kebenaran dan kesabaran merupakan sebab keselamatan dari kerugian. Saling berwasiat di dalam kebenaran dan kesabaran termasuk manifestasi nyata dari ta’awun syar’iy di dalam kebajikan dan ketakwaan. Dengan kedua hal ini, akan terpelihara agama ini, dan keduanya termasuk amar ma’ruf nahi munkar, merupakan sebab diperolehnya kebaikan bagi negeri dan penduduknya. Allah Ta’ala berfirman :
وَالْعَصْرِ﴿١﴾إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ﴿٢﴾إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” [al-Ashr/103 ; 1-3]
Kesempurnaan dan totalitas perkara ini adalah dengan saling berwasiat di dalam kasih sayang, kecintaan, loyalitas, kelembutan dan perhatian…
Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Salam tidak pernah berselisih kecuali mereka membaca surat Al-Ashr[4]
Keenam, Diantara bentuk manifestasi ta’awun syar’iy di dalam kebajikan dan ketakwaan adalah : menghilangkan kesusahan kaum muslimin, menutup aib mereka, mempermudah urusan mereka, menolong mereka dari orang yang berbuat aniaya, mengajari orang yang bodoh dari mereka, mengingatkan orang yang lalai diantara mereka, mengarahkan orang yang tersesat di kalangan mereka, menghibur atas duka cita mereka, membantu atas musibah yang yang menimpa mereka, menyokong jihad dan dakwah mereka, menyertai mereka di dalam sholat jum’at, sholat jama’ah dan ied (perayaan) mereka, mengunjungi orang yang sakit, memenuhi undangan, mengantarkan jenazah, mendo’akan orang yang bersin dan menolong mereka dalam segala hal yang baik.
Ketujuh, Allah sungguh telah mencela tafarruq (perpecahan), karena perpecahan menghilangkan ta’awun (kerja sama), pertautan (hati), kecintaan, dan menghantarkan kepada perselisihan, kesedihan dan kebencian. Alloh Ta’ala berfirman :
وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ ﴿٣١﴾ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” [ar-Rum/30 : 31-32]
Perpecahan merupakan syiar (semboyan) kaum musyrikin, bukan syiarnya kaum muwahidin (orang yang bertauhid) lagi mukmin. Oleh karena itu kaum salaf membenci tahazzub (berpartai-partai) dan tafarruq (bergolong-golongan). Bahkan mereka memerangi dan mengharamkannya.
Kedelapan, Kita telah merasakan dan melihat sendiri apa yang telah dilakukan oleh hizbiyah (fanatisme) yang membinasakan, berupa keburukan-keburukan dan bencana. Mereka memasukan rasa permusuhan dan kebencian di antara manusia, dikarenakan mereka berinteraksi dengan selain mereka dengan asas hizbi (kepartaian). Loyalitas mereka hanyalah untuk hizbi dan tanzhim (organisasi), tidak untuk Islam dan agama. Mereka lebih mendahulukan ukhuwah hizbiyah (persaudaraan kepartaian) ketimbang ukhuwah imaniyah (persaudaraan keimanan). Menurut mereka, ta’awun disyaratkan haruslah berafiliasi dulu dengan partai mereka [5]. Adapun muslim non partisan, sekalipun ia teman lama dan sahabat akrabnya, prinsip mereka terhadapnya adalah “ini termasuk kelompoknya dan ini termasuk musuhnya”.
Termasuk keburukan dan penyimpangan mereka lainnya adalah mereka lebih mengedepankan orang-orang bodoh, menjadikan gerakannya sebagai ‘gerakan bawah tanah’, melemparkan benih-benih keraguan di tengah-tengah kaum muslimin, mencampuradukkan antara yang haq dan yang bathil, menjadikan luapan semangat dan perasaan sebagai asas, menomorakhirkan ilmu dan membuat keragu-raguan terhadap para ulama…
Inilah intisari ringkas keadaan kelompok-kelompok dan partai-partai yang mengikat dengan belenggu hizbiyah, yang menyembunyikan ‘desahan nafas’nya dengan ikatan rahasia. Apabila seorang muslim dari luar barisan mereka maju, maka mereka akan menuduhnya sebagai : mutsabbithun (pengendor semangat), musyawwisyun (penyulut kebingungan) dan murjifun (penggoncang barisan) yang menghendaki porak-porandanya barisan Islam dan terbukanya rahasia kepada musuh-musuh Islam.
Apabila datang seorang pemberi nasehat yang jujur dari barisan mereka, niscaya mereka akan menuduhnya sebagai : orang yang menyeleweng dari manhaj, orang yang menghendaki perpecahan dan menelantarkan teman seperjuangan.
Imam Robbani, Syaikhul Islam kedua, Ibnu Qoyyim al-Jauziyah Rahimahulahu berkata di dalam Madarijus Salikin (III/200) :
“Apabila seorang mukmin yang telah dianugrahi oleh Allah berupa bashiroh (ilmu yang mendalam) di dalam agama, pengetahuan akan sunnah Rasul-Nya dan pemahaman akan kitab-Nya dan diperlihatkan hawa nafsu, bid’ah, kesesatan dan jauh dari shirothol mustaqim, jalannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dan para sahabatnya. Apabila ia menghendaki untuk menempuh jalan ini, maka hendaklah ia persiapkan dirinya untuk dicemooh orang bodoh dan ahlul bid’ah, dicela dan dihina serta ditahdzir mereka. Sebagaimana pendahulu mereka melakukannya kepada panutan dan imam kita Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam.
Adapun apabila ia menyeru kepada hal ini dan mencemooh apa-apa yang ada pada mereka, maka mereka akan murka dan membuat makar padanya, Maka dirinya menjadi orang yang :
Asing didalam agamanya dikarenakan rusaknya agama mereka
Asing didalam berpegangteguhnya ia kepada sunnah, dikarenakan berpegangnya mereka dengan kebid’ahan
Asing didalam aqidahnya dikarenakan rusaknya aqidah mereka
Asing didalam sholatnya dikarenakan rusaknya sholat mereka
Asing didalam manhajnya dikarenakan sesat dan rusaknya manhaj mereka
Asing didalam penisbatannya dikarenakan berbedanya penisbatan mereka dengannya
Asing didalam pergaulannya terhadap mereka dikarenakan ia mempergauli mereka di atas apa yang tidak disenangi hawa nafsu mereka
Kesimpulannya: ia adalah orang yang asing di dalam urusan dunia dan akhiratnya, yang masyarakat tidak ada yang mau menolong dan membantunya.
Karena dirinya adalah :
Seorang yang berilmu di tengah-tengah orang yang bodoh
Penganut sunnah di tengah-tengah pelaku bid’ah
Penyeru kepada Allah dan Rasul-Nya di tengah-tengah penyeru hawa nafsu dan bid’ah
Penyeru kepada yang ma’ruf dan pencegah dari yang mungkar di tengah-tengah kaum yang menganggap suatu hal yang ma’ruf sebagai kemungkaran dan suatu hal yang mungkar sebagai ma’ruf.”[6]
FATWA ULAMA TENTANG HARAMNYA HIZBIYAH [BERPARTAI-PARTAI]
Pertanyaan : Apa hukum berbilangnya jama’ah (hizbiyah) dan kelompok didalam Islam, dan apa hukum berafiliasi padanya?
1. Lajnah Da`imah lil Ifta’ (Komite Tetap Urusan Fatwa) yang diketuai oleh Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullahu yang beranggotakan : Syaikh Abdur Razaq Afifi Rahimahullahu, Syaikh Abdullah bin Ghudayyan dan Syaikh Abdullah bin Hasan bin Qu’ud menjawab tentang haramnya hal ini di dalam fatwa no 1674 (tanggal 7/10/1397) sebagai berikut :
“Tidak boleh memecah belah agama kaum muslimin dengan bergolong-golongan dan berpartai-partai… karena sesungguhnya perpecahan ini termasuk yang dilarang oleh Allah, dan Allah mencela pencetus dan pengikut-pengikutnya, serta Allah janjikan pelakunya dengan siksa yang pedih. Allah Ta’ala berfirman :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” [ali Imran/3 : 103]
Dan firman-Nya :
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” [ali Imran/3 : 105]
Serta firman-Nya :
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka.” [al-An’am/6 : 159]
Adapun para penguasa kaum muslimin, jika mereka yang mengurus dan mengelola aktivitas agama dan duniawi di tengah-tengah mereka. Maka yang demikian ini disyariatkan.”
2. Di dalam Majmu’ Fatawa Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullahu (Juz V/202-204), beliau menjawab dengan terperinci pertanyaan ini. Beliau Rahimahullahu berkata :
“Sesungguhnya Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjelaskan kepada kita jalan yang satu, yang wajib bagi kaum muslimin menempuh jalan tersebut, yaitu jalan Allah yang lurus dan manhaj agama yang benar. Allah Ta’ala berfirman :
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya.” [al-An’am/6 : 153]
Maka wajib bagi seluruh ulama kaum muslimin untuk menerangkan hakikat ini, berdiskusi dengan tiap jama’ah dan menasehati seluruhnya supaya mereka mau meniti jalan yang telah digariskan Allah kepada hamba-Nya dan yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam menyeru padanya. Barang siapa menyeleweng dari jalan ini dan terus menerus menentangnya, maka wajib bagi orang yang mengetahui hakikatnya untuk menyebarkan kesalahannya, mentahdzir umat darinya, sampai manusia menjauh dari manhajnya dan sampai tidak turut masuk bersama mereka orang-orang yang tidak mengetahui hakikat keadaan mereka sehingga mereka tersesat dan berpaling dari jalan yang lurus. Jalan yang mana Allah memerintahkan kita untuk mengikutinya. Tidak ragu lagi, bahwasanya kebanyakan kelompok-kelompok dan jama’ah-jama’ah di negeri-negeri Islam termasuk perkara yang disenangi oleh syaithan, ini yang pertama, dan yang kedua, perkara ini disenangi oleh musuh-musuh Islam dari kalangan manusia.”
3. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullahu memiliki fatwa yang serupa di dalam fatwa beliau (hal. 196 – cetakan Mesir), beliau Rahimahullahu berkata : “Tidak tersembunyi bagi setiap muslim yang mengetahui Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, dan yang dipegang oleh Salafuna ash-Sholih Radhiyallahu ‘anhum bahwasanya tahazzub (berpartai-partai) dan membentuk jama’ah-jama’ah yang beraneka ragam manhaj dan cara-caranya, bukanlah bagian dari Islam sedikitpun. Bahkan hal ini termasuk perkara yang dilarang oleh Rabb kita Azza wa Jalla di dalam banyak ayat di dalam al-Qur’an al-Karim.”
4. Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin Rahimahullahu memiliki fatwa yang serupa yang tersebar di dalam kitab Ash-Shohwah Islamiyyah Dlowabith wa Taujihaat (hal. 154), beliau Rahimahullahu berkata : “Tidak ada di dalam Kitabullah dan as-Sunnah yang memperbolehkan berbilangnya jama’ah dan kelompok. Sesungguhnya yang terdapat di dalam al-Kitab dan as-Sunnah adalah yang celaan terhadap hal ini. Allah Ta’ala berfirman :
كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” [al-Mu’minun/23: 53]
Tidak ragu lagi, bahwasanya kelompok-kelompok ini meniadakan apa yang diperintahkan Alloh, bahkan apa yang dianjurkan oleh-Nya di dalam firman-Nya Ta’ala :
إِنَّ هَٰذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ
“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku “ [al-Anbiya’/21: 92]
5. Syaikh DR. Sholih al-Fauzan (anggota Lembaga Ulama Senior) memiliki fatwa yang serupa, yaitu ucapan beliau : “Tafarruq (bergolong-golongan) bukanlah bagian dari agama, karena agama memerintahkan kita untuk bersatu, dan hendaknya kita menjadi jama’ah yang satu dan umat yang satu di atas aqidah tauhid dan penauladanan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Allah Ta’ala berfirman :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” [ali Imran/3 : 103]
(Sebagaimana termuat di dalam kitab Muhadzdzab Hukmil Intima’)
Ya Allah anugerahkanlah kepada jiwa kami ketakwaan dan sucikan jiwa kami karena Engkau adalah sebaik-baik yang mensucikannya. Engkau adalah Walinya dan Maulanya
Demikian akhir seruan kami, segala puji hanyalah milik Allah Rabb (Pemelihara) alam semesta.
[Cerkiis.blogspot.com, almanhaj. Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 24 Th.V Dzulqo’dah 1427H, Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad As-Salafy Surabaya. Jl. Sidotopo Kidul No. 51 Surabaya]
Footnote :
[1]. Dialihbahasakan oleh Abu Salma Al-Atsari dari Mansyuraat (selebaran) Markaz al-Imam al-Albani no 3, Robi’ul Awwal, 1422 H, yang berjudul Nubdzatu ‘Ilmiyyah fit Ta’aawun asy-Syar’iy wat Tahdzir minal Hizbiyyah,
[2]. Yang dimaksud persatuan dalam Islam adalah bersatu dalam menegakkan aqidah yang benar dan menghidupkan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara amar ma’ruf dan nahi mungkar bukan mendiamkan kesyirikan, bid’ah ataupun kebaikan. (ed).
[3]. Ini bukan dalil bagi orang-orang yang memulai dan mengutamakan dakwah dengan berjihad ala mereka atau dengan melakukan kudeta, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup sabdanya dengan ungkapan : “Sampai kalian kembali ke agama kalian”. Jadi, obatnya adalah menghidupkan sunnah dan ajaran agama Islam (,-pent)
[4]. “Dua orang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika bertemu tidaklah akan berpisah hingga salah seorang dari keduanya membaca surat Al-Ashr …” [Hadits Riwayat Thabrani dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 2648
[5]. Sehingga kita saksikan partai-partai yang mengaku berjuang untuk Islam mereka saling berebut anggota partai lain yang berhaluan Islam. Demikian juga orang-orang yang terlalu fanatic kepada organisasi dakwah tertentu, sehingga terkadang mereka tidak memperdulikan suatu kegiatan dakwah kecuali harus atas nama organisasinya atau bahkan mereka jadikan partai/organisasi tersebut sebagai standard untuk menentukan siapa lawan dan siapa kawan (,-ed)
[6]. Alangkah indahnya ucapan beliau rahimahullah ini ! Sungguh ini adalah kenyataan dakwah salafiyah di tengah-tengah ahlu bid’ah semisal harakiyin (aktivis harakah), (,-ed)