Rabu, 23 November 2016

Para Shahabat Adalah Hujjah


عن أبي نجيح العرباض بن سارية رضي الله عنه قال وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم موعظة وجلت منها القلوب وذرفت منها العيون فقلنا يا رسول الله كأنها موعظة مودع فأوصنا قال أوصيكم بتقوى الله عز وجل والسمع والطاعة وإن تأمر عليكم عبد فإنه من يعش منكم فسيرى اختلافا كثيرا فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي عضوا عليها بالنواجذ وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعة ضلالة

Dari Abi Nujaih ‘Irbadl bin Sariyyah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberi pelajaran kepada kami sehingga hati kami takut kepadanya dan mata mencucurkan air mata. Kami berkata : “Wahai Rasulullah, sepertinya pelajaran ini adalah pelajaran orang yang akan berpisah ? Oleh karena itu, berilah kami nasihat”. 

Beliau bersabda : “Aku wasiatkan hendaklah kalian bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat kendati kalian diperintah oleh seorang budak, karena orang-orang yang hidup (sepeninggalku) dari kalian akan melihat pertentangan yang banyak. Maka, hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Gigit (pegang erat) sunnah tersebut dengan gigi geraham. Tinggalkanlah hal-hal yang baru, karena setiap bid’ah adalah sesat” 

[Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4607; At-Tirmidzi no. 2676; Ahmad 4/126-127; Ad-Darimi 1/44; Ibnu Majah no. 43,44; Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 27; Ath-Thahawi dalam Syarh Musykilil-Atsar 2/69; Al-Baghawi no. 102; Al-Aajurriy dalam Asy-Syari’ah hal. 46; Al-Baihaqi 6/541; Al-Lalika’i dalam Syarh Ushulil-I’tiqad no. 81; Al-Marwadzi dalam As-Sunnah no. 69-72; Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 5/220, 10/115; dan Al-Hakim 1/95-97. Hadits tersebut berkualitas shahih].

Banyak pelajaran yang dapat diambil terkait dengan hadits di atas. Akan tetapi, di sini saya hanya akan sedikit menyinggung permasalahan terkait dengan judul tema yang diangkat.

Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Karena orang-orang yang hidup (sepeninggalku) dari kalian akan melihat pertentangan yang banyak. Maka, hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Gigit (pegang erat) sunnah tersebut dengan gigi geraham” ; adalah penjelasan dari beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang apa yang akan terjadi pada umat, yaitu banyaknya perselisihan dalam prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya, perkataan, perbuatan, dan keyakinan. Hal ini sesuai dengan riwayat dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang perpecahan umat beliau menjadi tujuh kelompok dimana semua kelompok tersebut tersebut masuk neraka kecuali satu; yaitu kelompok yang berpegang teguh dengan sunnah beliau dan sunnah para shahabat. Dalam hadits tersebut juga terdapat perintah ketika terjadi perselisihan agar berpegang teguh pada sunnah beliau dan sunnah al-khulafaur-rasyidin sepeninggal beliau. 

As-Sunnah adalah jalan yang dilalui, termasuk di dalamnya berpegang teguh kepada keyakinan-keyakinan, perkataan-perkataan, dan perbuatan-perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para al-khulafaur-rasyidin. Itulah sunnah yang paripurna. Oleh karena itu, generasi salaf dulu tidak menamakan sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Al-Hasan, Al-Auza’i, dan Al-Fudlail bin ‘Iyadl [Jami’ul-Ulum wal-Hikam, hal. 341-342; Daarul-Hadits; 1424].

Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan :

وفي أمره صلى الله عليه وسلم باتباع سنته وسنة الخلفاء الراشدين بعد أمره بالسمع والطاعة لولاة الأمور عموما دليل على أن سنة الخلفاء الراشدين متبعة كاتباع السنة بخلاف غيرهم من ولاة الأمور

“Perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah para al-khulafaur-rasyidin setelah mendengar dan taat kepada pemimpin merupakan bukti bahwa sunnah al-khulafaur-rasyidin harus diikuti sebagaimana halnya mengikuti sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Ini tidak berlaku bagi sunnah para pemimpin selain al-khulafaur-rasyidin” [idem; hal. 342].

Dari penjelasan Ibnu Rajab tersebut jelaslah bagi kita bahwasannya sunnah al-khulafaur-rasyidin mempunyai kedudukan khusus yang berbeda dengan kedudukan selainnya. Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman menjelaskan (dalam ceramah beliau di Unibraw Malang tanggal 7 Desember 2004) bahwa sunnah al-khulafaur-rasyidin dan sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah satu. Karena itulah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : [فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي]; lalu setelah itu beliau berkata : [عضوا عليها بالنواجذ] dengan lafadh yang satu (tunggal/mufrad). Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak berkata : [عضوا عليهما بالنواجذ]. Pada hakikatnya, semua ini merupakan agama Allah. Karena, sebagaimana Allah memilih Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai utusan-Nya dari kalangan manusia, maka Allah juga memilih untuk nabi-Nya shahabat-shahabat yang pilihan. Abdullah bin Mas’ud pernah menegaskan tentang hal ini :

إن الله نظر في قلوب العباد فوجد قلب محمد صلى الله عليه وسلم خير قلوب العباد فاصطفاه لنفسه فابتعثه برسالته ثم نظر في قلوب العباد بعد قلب محمد فوجد قلوب أصحابه خير قلوب العباد فجعلهم وزراء نبيه يقاتلون على دينه فما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رأوا سيئا فهو عند الله سيء

“Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hamba-Nya dan Allah mendapati hati Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah sebaik-baik hati manusia. Maka Allah pilih Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai utusan-Nya. Allah memberikan kepadanya risalah, kemudian Allah melihat dari seluruh hati hamba-hamba-Nya setelah Nabi-Nya, maka didapati bahwa hati para shahabat merupakan hati yang paling baik sesudahnya. Maka Allah jadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya yang mereka berperang atas agama-Nya. Apa yang dipandang kaum muslimin (yaitu para shahabat Rasul) itu baik, maka itu baik pula di sisi Allah. Dan apa yang mereka (para shahabat Rasul) pandang jelek, maka di sisi Allah itu jelek” [HR. Ahmad no. 3600 dan dinyatakan shahih oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir. Lihat Majma’uz-Zawaid no. 832 dimana Al-Haitsami berkata : Rijalnya adalah tsiqat].

Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata : 
“Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menggabungkan sunnah (jalan, ajaran) para khalifah beliau dengan sunnahnya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengikuti sunnah para khalifah, sebagaimana beliau memerintahkan untuk mengikuti sunnahnya. Dalam memerintahkan hal itu, beliau bersungguh-sunguh, sampai-sampai memerintahkan agar menggigitnya dengan gigi geraham. Dan ini berkaitan dengan yang para khalifah fatwakan dan mereka sunnahkan (tetapkan) bagi umat, walaupun tidak datang keterangan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Namun hal itu dianggap sebagai sunnah beliau. Demikian juga dengan yang difatwakan oleh keseluruhan mereka atau mayoritas mereka, atau sebagian mereka. Karena beliau mensyaratkan hal itu dengan menjadi ketetapan Al-Khulafaur-Rasyidun. Dan telah diketahui, bahwa mereka tidaklah mensunnahkan ketika mereka menjadi khalifah pada waktu yang sama, dengan demikian diketahui bahwa apa yang disunnahkan tiap-tiap seorang dari mereka pada waktunya, maka itu termasuk sunnah Al-Khulafaur-Rasyidin” [I’lamul-Muwaqqi’in 2/388; Darul-Hadits; 1422].

Apa yang menjadi ketetapan/sunnah dari Al-Khulafaur-Rasyidin memerlukan perincian sebagaimana diterangkan oleh para ulama dalam kajian ilmu Ushulul-Fiqh. Jikalau salah satu atau lebih dari Al-Khulafaur-Rasyidin tersebut berkata atau berbuat tanpa ada pertentangan dari yang lain, maka inilah sunnah Al-Khulafaur-Rasyidin yang diterima. Bahkan inilah yang disebut ijma’. Kesepakatan Al-Khulafaur-Rasyidin adalah ma’shuum. Hal ini didasari oleh hadits Ka’b bin ‘Ashim Al-Asy’ary radliyallaahu ‘anhubahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إن الله تعالى قد أجار أمتي من أن تجتمع على ضلالة

“Sesungguhnya Allah telah melindungi umatku dari bersepakat di atas kesesatan” [Shahih bi syawahidihi sebagaimana penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Dhilalul-Jannah no. 80-85].

Adapun jika terdapat perselisihan pendapat, maka hal itu dirinci :

1. Jikalau yang berselisih pendapat itu salah satu atau lebih pembesar shahabat (Al-Khulafaur-Rasyidin, Ibnu ‘Abbas, atau Ibnu Mas’ud) di satu pihak dengan selain mereka di pihak lain; maka pendapat yang diunggulkan adalah pendapat para pembesar shahabat dengan syarat tidak bertentangan (kontradiktif) dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah. 
2. Jikalau yang berselisih pendapat itu antar pembesar shahabat, maka dalam hal ini tidak ada kecondongan. Pendapat yang dipilih adalah yang paling dekat dengan dalil (Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah). 
Mungkin dari sini timbul pertanyaan : 
“Apakah Sunnah Al-Khulafaur-Rasyidin tersebut bukan merupakan bid’ah yang diada-adakan dalam agama ?”. 

Maka kita jawab : 
Bukan !! Perhatikan hadits ‘Irbadl bin Sariyyah radliyallaahu ‘anhu di atas. Penyebutan [وإياكم ومحدثات الأمور] “Tinggalkanlah hal-hal yang baru” ; diucapkan setelah kalimat [فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي عضوا عليها بالنواجذ] “Maka, hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Gigit (pegang erat) sunnah tersebut dengan gigi geraham”. Ini menunjukkan sunnah Al-Khulafaur-Rasyidin dan para shahabat lainnya yang telah diterima bukanlah sesuatu hal yang muhdats (sehingga disebut bid’ah). Apalagi jika hal itu adalah ijma', maka kedudukannya semakin kuat sebagaimana tertandas dalam hadits Ka’b bin ‘Ashim Al-Asy’ary di atas.

Contoh dalam kasus ini dapat saya cuplikkan dari penjelasan Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam Jami’ul-Ulum wal-Hikam; yaitu tentang beberapa keputusan ‘Umar bin Khaththab radliyallaahu ‘anhu di masa pemerintahannya yang kemudian disepakati oleh para shahabat lainnya di masa itu. 

Misalnya keputusan ‘Umar bin Khaththab tentang masalah warisan seperti al-aul, dan dalam masalah suami dan ibu bapak, serta istri dan bapak-ibu bahwa ibu mendapat sepertiga dari sisa warisan. 

Contoh lain adalah keputusan ‘Umar bin Khaththab tentang orang yang melakukan hubungan suami-istri hendaknya orang tersebut tetap melanjutkan ibadah hajinya namun ia wajib menggantinya di tahun lain dan menyembelih unta. 

Contoh lain adalah keputusan ‘Umar bin Khaththab tentang istri orang hilang dan kesamaan pendapatnya dengan khalifah lain dari keempat khalifah. 

Contoh lain adalah kesepakatan Umar bin Khaththab dengan para shahabat tentang talak tiga dan keharaman mut’ah bagi para wanita. 

Contoh lain adalah perbuatan ‘Umar bin Khaththab membentuk dewan, menentukan pajak terhadap lahan yang dikuasai kaum muslimin dengan senjata, pemberian jaminan kepada orang kafir dzimmi dengan syarat-syarat yang disyaratkan kepada mereka, dan lain-lain.

Kebenaran kesepakatan ‘Umar bin Khaththab dengan para shahabat yang tidak ada penentangan di dalamnya semasa kekhalifahannya diperkuat oleh sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :

رأيتني في المنام أنزع على قليب فجاء أبو بكر فنزع ذنوبا أو ذنوبين وفي نزعه ضعف والله يغفر له ثم جاء عمر بن الخطاب فاستحالت غربا فلم أر أحدا يفري فريه حتى روى الناس وضربوا بعطن وفي رواية فلم أر عبقريا من الناس ينزع نزع ابن الخطاب وفي رواية أخرى حتى تولى الحوض يتفجر

“Di mimpiku aku melihat diriku menarik air dari sumur kemudian Abu Bakar datang lalu menarik air beberapa timba atau dua timba, namun tarikannya lemah. Lalu Allah mengampuninya. Kemudian anak Khaththab (Umar) datang, lalu timba-timba tersebut menjadi besar. Aku tidak melihat orang yang bekerja secermat ‘Umar hingga manusia minum dengan puas dan unta mereka minum dengan puas serta berhenti di mata air”. Di riwayat lain : “Aku tidak melihat orang cerdas dari manusia yang menarik seperti tarikan anak Khaththab”. Di riwayat lain : “Hingga ia pergi sedang kolam tetap memancarkan air” [Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 2/368, Al-Bukhari no. 3664, dan Muslim no. 2392. Hadits tersebut dishahihkan oleh Ibnu Hibban no. 6898].

Itu merupakan pertanda bagi ‘Umar bin Khaththab tidaklah wafat hingga ia meletakkan segala hal pada tempatnya dan segala sesuatu menjadi tegak. Ini disebabkan karena masa kekhalifahannya lama, konsentrasi dan perhatiannya terhadap segala peristiwa. Ini berbeda dengan masa kekhalifahan Abu Bakar yang singkat. Beliau sibuk dengan penaklukan dan pengiriman pasukan untuk perang yang menyebabkan tidak bisa konsentrasi terhadap segala peristiwa. Bisa jadi, peristiwa terjadi di jaman Abu Bakar, namun tidak dilaporkan kepadanya dan baru dilaporkan pada masa kekhalifahan ‘Umar bin Khaththab. Hingga pada akhirnya ‘Umar bin Khaththab pada masa kekhalifahannya mampu membawa manusia kepada kebenaran.

Sedangkan hal-hal yang tidak disepakati ‘Umar bin Khaththab dengan para shahabat dan ‘Umar mempunyai pendapat pribadi di dalamnya, maka orang lain boleh berbeda pendapat dengannya, seperti dalam masalah kakek dengan saudara-saudara laki-laki dalam masalah warisan dan masalah talak tiga sekaligus; maka pendapat ‘Umar bin Khaththab dalam masalah tersebut bukan merupakan hujjah bagi orang lain dari para shahabat. Wallaahu a’lam [selesai nukilan dari Jami’ul-Ulum wal-Hikam hal. 344-355].

Contoh di atas memberi gambaran kepada kita bahwa apa yang disepakati oleh para shahabat merupakan hujjah dan apa yang mereka perselisihkan harus ditinjau mana yang lebih dekat dengan kebenaran.

Lantas,…. apakah seorang shahabat atau salah satu dari Al-Khulafaur-Rasyidin bisa dikatakan berbuat salah jika mereka berijtihad bertentang dengan sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ? 

Maka kita jawab : Ya, bisa ! Para shahabat bahkan bisa berbuat kesalahan atas ijtihad mereka. Contohnya adalah sebagai berikut :

أن عثمان رضي الله عنه صلى بمنى أربعا , فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه : صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم ركعتين , و مع أبي بكر ركعتين , و مع عمر ركعتين , و مع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها , ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين

Bahwasannya ‘Utsman radliyallaahu ‘anhu shalat di Mina empat raka’at, maka berkatalah Abdullah bin Mas’ud dalam rangka mengingkari perbuatannya : “Aku shalat (ketika safar) bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dua raka’at, bersama Abu Bakar dua raka’at, dan bersama ‘Umar dua raka’at, dan bersama ‘Utsman di awal pemerintahannya, beliau melakukannya dengan sempurna (empat raka’at – tidak diqashar). Setelah itu berbagai jalan (manhaj) telah memecah belah kamu semua. Dan aku ingin sekiranya empat raka’at itu tetap menjadi dua raka’at (sebagaimana dilakukan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam)…….. [HR. Abu Dawud 1/307. Lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 224].

Dalam hadits di atas telah diceritakan bahwa ‘Utsman bin ‘Affan melakukan shalat tamam empat raka’at ketika di Mina yang berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para pendahulunya (Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan ‘Umar). Maka perbuatan ‘Utsman tersebut diingkari oleh Abdullah bin Mas’ud. Dalam hal ini, yang benar adalah bahwa shalat di Mina (ketika mabit dalam ibadah haji) dilakukan secara qashar. Bukan tamam.

Contoh lain adalah tentang masalah nikah mut’ah. Ibnu ‘Abbas dan sebagian kecil shahabat lain (Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Salamah bin Umayyah bin Khalaf, dan Ma’bad bin Umayyah bin Khalaf radliyallaahu ‘anhum) membolehkan nikah mut’ah. Tentu hal ini bertentangan dengan pendapat jumhur shahabat dan juga apa yang telah shahih dari hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka, apa yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma tersebut tidaklah teranggap, walau beliau di kalangan shahabat merupakan pembesar/ulama.

أن عليا رضى الله تعالى عنه قال لابن عباس إن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن المتعة وعن لحوم الحمر الأهلية زمن خيبر

Bahwasannya ‘Ali berkata kepada Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu : “Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah melarang nikah mut’ah dan melarang makan daging himar jinak (yang dipakai alat angkut) di masa perang Khaibar” [HR. Bukhari no. 4825].

Bahkan ada riwayat yang menyatakan kerasnya penyelisihan sebagian shahabat terhadap pendapat Ibnu ‘Abbas tersebut sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Syihab, dia menyatakan : “Telah memberitahukan kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair :

أن عبد الله بن الزبير قام بمكة فقال إن ناسا أعمى الله قلوبهم كما أعمى أبصارهم يفتون بالمتعة يعرض برجل فناداه فقال إنك لجلف جاف فلعمري لقد كانت المتعة تفعل على عهد إمام المتقين يريد رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال له بن الزبير فجرب بنفسك فوالله لئن فعلتها لأرجمنك

Bahwa Abdullah bin Az-Zubair pernah menjadi khathib di Makkah, waktu itu beliau mengatakan : “Sesungguhnya sebagian orang telah dibutakan Allah mata hatinya sebagaimana Allah telah membutakan matanya, yaitu mereka berfatwa tentang bolehnya nikah mut’ah”. Beliau menyindir seseorang, maka orang tersebut memanggil Abdullah bin Az-Zubair dan berkata : “Sesungguhnya engkau adalah orang yang kaku dan keras. Demi umurku, sesungguhnya mut’ah telah dilakukan di jaman pimpinan orang-orang yang bertaqwa (yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam)”. Maka berkatalah Abdullah bin Az-Zubair kepada orang tersebut : “Silakan kamu mencoba sendiri (yaitu nikah mut’ah). Demi Allah, kalau seandainya kamu melakukannya, maka aku akan merajammu dengan batu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1406].

Imam An-Nawawi menerangkan bahwa yang berdebat dengan Abdullah bin Az-Zubair waktu itu adalah Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma.

Inti yang ingin saya katakan adalah bahwa : Perselisihan di kalangan shahabat tetap harus dikembalikan kepada nash, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah. Dalam kasus Ibnu ‘Abbas, tidak boleh kita bermut’ah hanya karena mengikuti ijtihad beliau. Mungkin hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam belum sampai padanya dengan jelas sehingga para shahabat dengan keras mengingkarinya. Tetap kita katakan bahwa pendapat Ibnu ‘Abbas itu salah.

Itulah sedikit yang bisa saya sampaikan. Ringkas memang, tapi harapan saya dapat memberikan sedikit gambaran tentang realitas kehujjahan shahabat dan berbagai khilaf yang mungkin timbul di antara mereka sehingga kita bisa arif untuk menyikapinya.

[Cerkiis.blogspot.com, Sumber: Penulis Ustadz Abul Jauzaa']