Rabu, 23 November 2016

Pembahasan Hadits Mu'adz Tentang Sumber Hukum Dalam Islam


Dalam beberapa buku dan penjelasan sebagian kalangan sering disebutkan sebuah hadits yang menjelaskan tartib sumber hukum dalam Islam, yaitu : Al-Qur’an, As-Sunnah/Al-Hadits, dan ijtihad. Tahukah anda bahwa hadits tersebut adalah dla’if alias tidak dapat dijadikan hujjah ? Berikut penjelasannya dan semoga bermanfaat !!


Lafadh hadits yang dimaksud :

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما أراد أن يبعث معاذا إلى اليمن قال كيف تقضي إذا عرض لك قضاء قال أقضي بكتاب الله قال فإن لم تجد في كتاب الله قال فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فإن لم تجد في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا في كتاب الله قال أجتهد رأيي ولا آلو.....

Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika mengutus Mu’adz ke Yaman bersabda : “Bagaimana engkau akan menghukum apabila datang kepadamu satu perkara ?”. Ia (Mu’adz) menjawab : “Saya akan menghukum dengan Kitabullah”. Sabda beliau : “Bagaimana bila tidak terdapat di Kitabullah ?”. Ia menjawab : “Saya akan menghukum dengan Sunnah Rasulullah”. Beliau bersabda : “Bagaimana jika tidak terdapat dalam Sunnah Rasulullah ?”. Ia menjawab : “Saya berijtihad dengan pikiran saya dan tidak akan mundur…”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya nomor 3592 dan 3593 dengan sanad-sanad sebagai berikut :

Sanad yang Pertama :

حدثنا حفص بن عمر عن شعبة عن أبي عون عن الحارث بن عمرو بن أخي المغيرة بن شعبة عن أناس من أهل حمص من أصحاب معاذ بن جبل

Hafsh bin ‘Umar (حفص بن عمر)
Syu’bah (شعبة)
Abi ‘Aun (أبي عون)
Harits bin ‘Amr, anak saudara Mughirah bin Syu’bah (الحارث بن عمرو بن أخي المغيرة بن شعبة)
Shahabat Mu’adz dari kalangan penduduk kota Himsh (أناس من أهل حمص من أصحاب معاذ بن جبل).
Mu’adz bin Jabal (معاذ بن جبل).

Sanad yang Kedua :

حدثنا مسدد ثنا يحيى عن شعبة حدثني أبو عون عن الحرث بن عمرو عن ناس من أصحاب معاذ عن معاذ بن جبل

Musaddad (مسدد)
Yahya (يحيى)
Syu’bah (شعبة)
Abu ‘Aun (أبو عون)
Al-Harits bin ‘Amr (الحرث بن عمرو)
Beberapa orang shahabat Mu’adz (ناس من أصحاب معاذ)
Mu’adz bin Jabal (معاذ بن جبل).

Selain itu, hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunan-nya nomor 1327 dan 1328 dengan lafadh :

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم بعث معاذا إلى اليمن فقال كيف تقضي فقال أقضي بما في كتاب الله قال فإن لم يكن في كتاب الله قال فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فإن لم يكن في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أجتهد رأيي.......

Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz ke Yaman. Maka beliau bersabda : “Bagaimana engkau menghukum (sesuatu) ?”. Mu’adz menjawab : “Saya akan menghukum dengan apa-apa yang terdapat dalam Kitabullah”. Beliau bersabda : “Apabila tidak terdapat dalam Kitabullah ?”. Mu’adz menjawab : “Maka (saya akan menghukum) dengan Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”. Beliau bersabda kembali : “Apabila tidak terdapat dalam Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ?”. Mu’adz menjawab : “Saya akan berijtihad dengan pikiran saya….”.

Sanad yang Pertama :

حدثنا هناد حدثنا وكيع عن شعبة عن أبي عون الثقفي عن الحرث بن عمرو عن رجال من أصحاب معاذ

Hanaad (هناد)
Waki’ (وكيع)
Syu’bah (شعبة)
Abi ‘Aun Ats-Tsaqafi (أبي عون الثقفي)
Al-Harits bin ‘Amr (الحرث بن عمرو)
Beberapa orang shahabat Mu’adz (رجال من أصحاب معاذ)
Mu’adz bin Jabal (معاذ بن جبل).

Sanad yang Kedua :

حدثنا محمد بن بشار حدثنا محمد بن جعفر وعبد الرحمن بن مهدي قالا حدثنا شعبة عن أبي عون عن الحرث بن عمرو بن أخ للمغيرة بن شعبة عن أناس من أهل حمص عن معاذ عن النبي صلى الله عليه وسلم

Muhammad bin Basysyar (محمد بن بشار)
Muhammad bin Ja’far (محمد بن جعفر) dan ‘Abdurrahman bin Mahdi (عبد الرحمن بن مهدي)
Syu’bah (شعبة)
Abi ‘Aun (أبي عون)
Al-Harits bin ‘Amr, anak saudara Mughirah bin Syu’bah (الحرث بن عمرو بن أخ للمغيرة بن شعبة)
Beberapa orang penduduk kota Himsh (أناس من أهل حمص)
Mu’adz bin Jabal (معاذ بن جبل).

Dari keempat sanad yang disebutkan terdapat nama Al-Harits bin ‘Amr yang oleh Imam Bukhari dikatakan tidak sah haditsnya. Bahkan At-Tirmidzi mengatakan bahwa sanad hadits ini adalah tidak muttashil (bersambung sanadnya) dengan perkataannya :

هذا حديث لا نعرفه إلا من هذا الوجه وليس إسناده عندي بمتصل وأبو عون الثقفي اسمه محمد بن عبيد الله

“Hadits ini tidak kami ketahui kecuali dari jalan ini. Dan menurut pandangan kami, sanadnya tidaklah muttashil (bersambung). Abu ‘Aun yang dimaksud dalam hadits bernama Muhammad bin ‘Ubaidillah” (lihat perkataan ini pada Sunan At-Tirmidzi nomor 1328).

Kelemahan berikutnya adalah adanya perawi-perawi majhul dari kalangan shahabat Mu’adz dari penduduk kota Himsh.

Kesimpulan : Hadits ini dla’if/sangat dla’if lagi tidak bisa dipakai sebagai hujjah.

Pelajaran ringkas :
Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan satu kesatuan. Tidak mungkin memahami Al-Qur’an secara mutlak tanpa As-Sunnah. Kita tidak dapat meninggalkan As-Sunnah hanya karena telah mendapatkan sedikit penjelasan dalam satu ayat Al-Qur’an. Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an adalah menguatkan, menjelaskan (tabyin), merinci (tafshil), mengkhususkan (takhshish), atau membatasi (taqyid) suatu kandungan syari’at yang terdapat dalam Al-Qur’an.

Dua contoh mudah yang bisa diberikan :

Allah berfirman :
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ
”Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan” [QS. An-Nisaa’ : 11].

Ayat di atas memberikan pengertian bahwa seseorang berharta yang mempunyai anak jika ia meninggal maka hartanya tersebut akan terwariskan kepada anaknya. Ayat ini sifatnya umum. Namun As-Sunnah datang dengan memberikan pengkhususan (takhshish) terhadap beberapa golongan manusia yang tidak berhak menerima warisan. Misalnya, para nabi tidak boleh mewariskan apa-apa untuk anak-anaknya dan apa yang mereka tinggalkan adalah shadaqah sebagaimana terdapat dalam hadits :

لا نورث ما تركناه صدقة

”Kami (para Nabi) tidak mewariskan. Apa yang kami tinggalkan menjadi shadaqah” [HR. Muslim no. 1757].

Orang muslim dan kafir tidaklah saling mewarisi, berdasarkan hadits :

لا يرث المؤمن الكافر ولا يرث الكافر المؤمن

”Orang kafir tidak berhak menerima waris dari seorang muslim, juga (sebaliknya) seorang muslim tidak (berhak menerima warisan) dari orang kafir” [HR. Al-Bukhari no. 4032 dan Muslim no. 1614].

Orang yang membunuh karena menginginkan harta warisan juga tidak mendapatkan warisan berdasarkan hadits :

القاتل لا يرث

”Seorang pembunuh tidaklah mewarisi” [HR. At-Tirmidzi no. 2109; shahih].

Allah berfirman :

وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

”Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk” [QS. Al-Baqarah : 43].

Lafadh ”shalat” dalam ayat tersebut adalah umum. Al-Qur’an tidak menjelaskan bagaimana cara atau kaifiyat shalat. Maka dalam hal ini, As-Sunnah menjelaskan (tabyin) tentang cara atau kaifiyah shalat melalui hadits :

صلوا كما رأيتموني أصلي

”Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat” [HR. Bukhari no. 605].

Adapun untuk masalah-masalah kontemporer yang mungkin tidak disebutkan perinciannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka ijtihad baru dipergunakan.


[Cerkiis.blogspot.com, Ditulis kembali oleh : Abu Al-Jauzaa’, Rabi’ul-Awwal 1428 dan diedit kembali Jumadits-Tsaniyyah 1429]

Rujukan :
Majalah Al-Muslimun Nomor 190 Rabi’uts-Tsani 1406/Januari 1986 M, halaman 9-10.
Manzilatus-Sunnah fil-Islam oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah.
Sunan Abu Dawud
Sunan At-Tirmidzi

TANYA JAWAB

TANYA :
Ustadz menulis :
"Adapun untuk masalah-masalah kontemporer yang mungkin tidak disebutkan perinciannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka ijtihad baru dipergunakan."

Di atas ustadz menjelaskan bahwa hadits Muadz dho'if. Lalu, apa dasar/dalil Al-Qur'an/hadits diperbolehkannya ijtihad?

JAWAB :
Banyak akh,.... saya sebut sedikit di antaranya :

Firman Allah ta'ala tentang nusyuz :

وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا

Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang HAKAM dari keluarga perempuan. Jika kedua orang HAKAM itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" [QS. An-Nisaa' 34-35].

Posisi hakam/hakim adalah untuk berijtihad dalam penyelesaian urusan persengketaan suami istri itu.

Juga hadits :

إذا اجتهد الحاكم فأخطأ فله أجر وإن أصاب فله أجران

"APabila seorang hakim berijtihad dan kemudian salah, maka ia mendapat satu pahala. Namun jika benar, maka mendapat dua pahala".Juga kasus ijtihad para shahabat di Bani Quraidhah yang terkenal itu - dimana Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam mentaqrirnya.


TANYA :
Menurut saya jawaban ustadz adalah ttg ijtihad dalam memahami nash-nash Al-Qur'an dan hadits. Kalau benar dapat 2, kalau salah dapat 1 pahala.

Adapun yg ustadz bahas di artikel adalah ijtihad ttg hal-hal yg tdk ada di Al-Quran dan hadits. Dan ijtihad spt ini tidak ada dasar/dalilnya.

Apa itu tidak berarti ijtihad spt ini bid'ah? Tapi kok ustadz menulis:
"Adapun untuk masalah-masalah kontemporer yang mungkin tidak disebutkan perinciannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka ijtihad baru dipergunakan."

Kalau saya menyimpulkan begini bgmn menurut ustadz :

Sumber hukum tetap Al-Quran, hadits dan ijtihad. Tapi dalilnya jangan menggunakan hadits Sahabat Mu'adz bin Jabal tapi dalilnya dari ayat Al-Quran dan hadits yang ustadz tampilkan.

JAWAB :
Bukankah yang sedang ditanyakan :

"Lalu, apa dasar/dalil Al-Qur'an/hadits diperbolehkannya ijtihad?."

Mohon maaf jika kurang berkenan. Pada artikel di atas sebenarnya sedang dibahasa tentang tartib hukum. Oleh karena itu, pembahasan di sini lebih mengarah ke sana. Adapun mengenai ijtihad dalam memahami satu nash, maka ini sisi yang lain yang tidak dibahas dalam artikel ini.

Saya tidak sedang berposisi menyimpulkan bahwa ijtihad bid'ah berdasarkan hadits di atas. Terlalu jauh jika antum menyimpulkan hal tersebut. Apa yang dikritik dalam artikel ini adalah sanad dan matan hadits. Mengenai sanad, maka telah dijelaskan kelemahannya. Adapun mengenai matan, maka kritik yang dialamatkan adalah penempatan tartib As-Sunnah di bawah Al-Qur'an. Yang benar, Al-Qur'an dan As-Sunnah harus digunakan bersama-sama.

Mengenai ijtihad - yang sebenarnya tidak terlalu fokus menjadi pembahasan ini - bila dilihat dari tartibnya, ini sudah benar. Yaitu bila satu perkara tidak terdapat dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka ijtihad baru digunakan. Begitulah kira-kira penjelasan dari Syaikh Al-Albani dalam Manzilatus-Sunnah.

'Ala kulli haal,... kalau menilik apa yang ditanyakan, maka dalil-dalil di atas merupakan dasar ijtihad sebagaimana terdapat dalam sebagian kitab ushul-fiqh.

Namun bila yang antum maksud adalah fokus dalil terhadap tartib hukum ijtihad (jika perincian permasalahannya tidak terdapat dalam nash), yang kemudian bisa dikaitkan dengan kaidah : Laa ijtihaad ma'an-naash,.... coba antum perhatikan QS. An-Nisaa' : 34-35 di atas. Di situ posisi haakim yang ingin mendamaikan antara suami istri melakukan ijtihad pada permasalahan-permasalahan yang perinciannya tidak di atur dalam nash. Bagaimana merumuskan jalan keluar yang terbaik saat konflik suami istri itu terjadi. Dan seterusnya dan seterusnya.....

Wallaahu a'lam.