Sesungguhnya menjaga dan menyelamatkan agama lebih mulia dan lebih utama daripada hanya sekedar menyelamatkan dunia. Untuk itulah, Allah ’azza wa jalla memerintahkan kaum muslimin yang tertindas, terfitnah agamanya, tidak kuasa menegakkan syi’ar-syi’ar Islam agar melakukan hijrah atau meninggalkan kampung yang rusak menuju kampung yang bisa menyelamatkan agamanya. Allah berfirman :
يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ أَرْضِي وَاسِعَةٌ فَإِيَّايَ فَاعْبُدُونِ
”Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja.” [QS. Al-Ankabuut : 56].
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
”Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali” [QS. An-Nisaa’ : 97].
Al-Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah berkata : ”Ayat yang mulia ini turun mencakup untuk setiap orang yang tinggal di tengah-tengah orang-orang musyrik sedangkan ia mampu hijrah dan dia tidak mampu untuk menegakkan agama, maka sesungguhnya dia mendhalimi dirinya dan melakukan keharaman dengan ijma’ ulama dan berdasarkan ketegasan ayat ini”.[1]
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata :
”Ini adalah ancaman yang sangat keras, yang menunjukkan wajib, sebab menegakkan kewajiban agama hukumnya wajib bagi yang mampu, sedangkan tidak mungkin hal itu terpenuhi kecuali dengan hijrah, maka hijrahnya jadi ikut wajib”.[2]
Dan tidak ragu lagi bahwa keumuman ayat ini juga mencakup lebih dari sekedar hijrah dari negeri kafir, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Al-Qurthubi dalam Tafsirnya 5/346, katanya : ”Dalam ayat ini terdapat dalil tentang hijrah dari kampung yang banyak maksiat di dalamnya. Sa’id bin Jubair berkata : ”Apabila banyak kemaksiatan di suatu kampung, maka keluarlah dari kampung itu, beliau seraya membaca ayat di atas”.[3]
Namun, anehnya masih banyak kalangan yang belum memahami masalah hijrah ini atau ada yang mengerti tapi karena cinta dunia maka diapun melalaikannya. Tak cukup hanya itu, tatkala ada seorang ulama Sunnah yang berfatwa sesuai dalil, maka mereka dengan kejahilan dan kecintaan dunianya menudingnya sebagai antek Yahudi, setan, gila, dan gelar-gelar memalukan lainnya ! Oleh karena itu, kami merasa penting untuk membahas masalah ini untuk menghilangkan kabut yang menghalangi terangnya matahari. Wallaahu a’lam.
● TEKS HADITS
عَنْ مُعَاوِيَةَ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : لا تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ حَتَّى تَنْقَطِعَ التَّوْبَةُ وَلاَ تَنْقَطِعُ التَّوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
Dari Mu’awiyyah, dia berkata : Saya mendengar Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Hijrah tidak terputus sehingga taubat terputus, dan taubat tidak terputus sehingga matahari terbit dari barat”.
Shahih. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 4/99, Abu Dawud 2479, Ath-Thabarani 19/387/907, Al-Baihaqi 9/17, Ad-Darimi 2513, Nasa’i 8711, Abu Ya’la 737. Dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghalil 1208.
● HIJRAH TERUS BERLANGSUNG HINGGA HARI KIAMAT [4]
Sebagian orang mengira bahwa hadits-hadits di atas telah dihapus secara mutlak dengan hadits :
لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ، وَلَكِنْ جِهَادٌُ وَنِيَّةٌُ، وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا
”Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah, tetapi (yang ada adalah) jihad dan niat. Maka apabila kalian diperintahkan jihad, maka berangkatlah” [HR. Bukhari 3077 dan Muslim 1353].
Sungguh, ini adalah kejahilan yang nyata terhadap Al-Qur’an, hadits, dan ucapan para imam.[5] Berikut ini beberapa untaian ilmu ulama yang menjelaskan bahwa hijrah tetap ada hingga hari kiamat dan tidak ada kontradiksi antara hadits pembahasan dengan hadits ini serta fatwa-fatwa mereka untuk hijrah di saat keadaan menuntutnya :
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : ”Kedua hadits ini benar. Hadits pertama maksudnya adalah hijrah yang ada pada jaman Nabi, yaitu hijrah ke Madinah baik dari Makkah atau negeri-negeri Arab lainnya. Hijrah ini disyari’atkan tatkala Makkah dan lainnya masih sebagai negeri kafir dan keimanan ada di Madinah, sehingga bagi orang yang mampu dia wajib hijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam. Tatkala kota Makkah telah ditaklukkan dan menjadi negeri Islam dan orang-orang Arab masuk Islam, maka Nabi bersabda : Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah.
Adapun penilaian bahwa negara ini negara Islam atau kafir atau fasiq, ini tergantung kepada penduduknya. Kalau memang penduduk negara tersebut adalah orang-orang beriman, maka itu adalah negara Islam. Tapi jika penduduknya adalah orang-orang kafir maka itu adalah negara kafir pada saat itu. Dan jika suatu saat penduduknya berganti, maka nama negaranya juga berganti”.[6]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata setelah membawakan hadits-hadits tentang hijrah setelah Fathu Makkah : ”Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa hijrah telah terputus setelah Fathu Makkah, karena manusia telah masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, Islam telah nampak menang, pondasi-pondasinya kuat, maka tidak perlu hijrah. Kecuali bila muncul suatu keadaan yang menuntut hijrah karena jajahan orang-orang kafir dan tidak mampu menampakkan agama di tengah-tengah mereka, maka ketika itu hijrah menuju negeri Islam hukumnya wajib. Hal ini tidak ada perselisihan di kalangan ulama”. [7]
Imam Nawawi rahimahullah berkata :
”Makna tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah, yakni tidak ada hijrah dari Makkah karena Makkah telah menjadi negara Islam”.[8]
Beliau juga berkata : ”Apabila seorang muslim merasa lemah di negara kafir, dia tidak mampu menampakkan agama Allah, maka haram baginya tinggal di tempat tersebut dan wajib baginya hijrah ke negeri Islam.... Apabila dia tidak mampu hijrah, maka dia diberi udzur sampai dia mampu”.[9]
Imam Ibnul-’Araby Al-Maliki rahimahullah berkata : ”Keluar dari negara kafir ke negara Islam. Dahulu wajib di jaman Nabi, dan hijrah ini akan terus berlangsung sampai hari kiamat”.[10]
Al-’Aini rahimahullah berkata : ”Adapun hijrah dari tempat yang seseorang tidak bisa menampakkan agama di dalamnya, maka hal itu merupakan kewajiban dengan kesepakatan ulama” [’Umdatul-Qaari’ 14/80].
Syaikh Abdul-Lathif bin ’Abdirrahman rahimahullah berkata : ”Karena dosa ini, yakni tidak hijrah termasuk dosa besar yang pelakunya terancam dengan ancaman yang keras berdasarkan Al-Qur’an dan kesepakatan ahli ilmu kecuali bagi orang yang bisa menampakkan agamanya...” [Ad-Durarus-Saniyyah hlm. 146].
Syaikh ’Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata : ”Keterangan ahli ilmu dalam masalah ini banyak sekali. Mereka semua bersepakat tentang wajibnya hijrah apabila seseorang tidak mampu menampakkan agamanya; dan sunnah hukumnya apabila seseorang mampu menampakkan agamanya. Setelah ini, tidak boleh bagi seseorang untuk keluar dari ucapan mereka..” [Majmu’atul-Kamilah 7/69].
Para ulama besar Islam dalam kurun waktu yang berbeda dan dalam keadaan yang mirip, mereka mengeluarkan fatwa untuk hijrah, seperti Al-’Allamah Muhammad Al-’Abdusi (849 H) terhadap penduduk Granada – salah satu kota di Andalusia (Spanyol) – ketika jatuh ke tangan orang-orang kafir sebagaimana dalam kitab Al-Hadiqah Al-Mustaqillah An-Nadhiirah.
Demikian juga Al-’Allamah Ahmad bin Yahya Al-Wansyari (914 H) mengeluarkan fatwa tentang wajibnya hijrah dari Andalusia bagi mereka yang tertimpa fitnah dalam agama dan jiwanya sehingga beliau menulis buku khusus berjudul : ”Asna Al-Matajir Fii Bayaani Ahkaami Man Ghalaba ’alaa Wathanihi An-Nashaaraa wa lam Yuhaajir ww Maa Yatarattabu ’alaihi Minal-’Uquubbaat waz-Zawaajir”.
Demikian juga Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah (748 H) tatkala ditanya tentang penduduk Mardin, sebuah kota di Syam yang dijajah musuh Islam saat itu, apakah mereka wajib hijrah ? Beliau menjawab : ”Penduduk di sana yang tidak mampu menegakkan agamanya, maka wajib berhijrah. Bila masih mampu, maka hukumnya sunnah, tidak wajib”.[11]
Masih banyak lagi sebenarnya ucapan ulama tentang permasalahan ini, namun semoga apa yang kami nukil di atas telah mencukupi. Wallaahu a’lam.
● MAKNA HIJRAH
Hijrah secara bahasa artinya meninggalkan, berpisah, atau menjauhi [12], seperti firman Allah tentang Nabi Ibrahim :
إِنِّي مُهَاجِرٌ إِلَى رَبِّي
”Sesungguhnya aku akan berpindah ke Rabb-ku” [QS. Al-Ankabut : 26].
Adapun maksudnya di sini adalah berpindah dari negeri kafir menuju negeri Islam, seperti kalau ada seorang muslim tinggal di Amerika dan dia tidak mampu menampakkan agamanya di sana, lalu dia pindah ke negeri Islam. Maka ini disebut hijrah.
Negara kafir yaitu negara yang nampak syi’ar-syi’ar kekufuran dan tidak nampak di sana syi’ar-syi’ar Islam seperti adzan, shalat jama’ah, shalat Jum’at, ’Ied, dan sebagainya secara merata. Adapun negara Islam adalah negara yang nampak di sana syi’ar-syi’ar Islam secara merata.[13]
Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
”Hijrah bermakna meninggalkan, dan dalam syara’ adalah meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah. Hijrah dalam Islam itu ada dua :
Pertama : Berpindah dari kampung yang tidak aman menuju kampung yang aman, seperti dalam hijrah ke Habasyah atau awal hijrah dari Makkah ke Madinah.
Kedua : Berpindah dari negeri kafir menuju negeri Iman. Hal ini setelah Nabi menetap di Madinah dan kaum muslimin yang mampu telah berhijrah ke sana. Waktu itu, hijrah hanya khusus ke Madinah sampai kota Makkah ditaklukkan maka kekhususan itu tidak berarti lagi, sehingga hijrah menjadi umum dari setiap negeri kafir bagi yang mampu”.[14]
● MACAM-MACAM HIJRAH
Saudaraku, ketahuilah bahwa hijrah ada tiga macam :
Hijrah tempat.
Inilah yang dimaksud dalam hadits pembahasan ini. Hukum hijrah ini adalah wajib bagi setiap muslim yang tidak bisa menegakkan syi’ar-syi’ar Islam di negeri kafir.
Hijrah 'amal (perbuatan)
Yakni meninggalkan dosa dan kemaksiatan. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ
”Dan Al-Muhaajir adalah orang yang meninggalkan larangan Allah” [HR. Bukhari 6484 dan Muslim 41].
Hijrah 'amil (orang yang berbuat)
Yakni meninggalkan ahli bid’ah dan kemaksiatan bila hajr membuatnya jera dari bid’ah dan kemaksiatannya. Adapun bila dalam hajr tidak ada maslahatnya, maka tidak perlu dihajr. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍِ أَنْ يَحْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍِ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا اللَّذِيْ يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ
”Tidak halal bagi seorang mukmin untuk meng-hajr saudaranya lebih dari tiga hari, keduanya saling bertemu dan masing-masing berpaling, dan yang lebih baik dari keduanya adalah yang memulai salam” [HR. Bukhari 6077 dan Muslim 2560].[15]
● TINGGAL DI NEGERI KAFIR
Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
أَنَا بَرِيءٌُ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍِ يُقِيْمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِيْنَ
”Saya berlepas diri dari seorang muslim yang tinggal di tengah-tengah musyrikin” [HR. Abu Dawud 2645, Tirmidzi 1604, Ath-Thabarani dalam Mu’jamul-Kabiir 2264, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghaliil 1207].
Ibnu ’Arabi As-Shufi pernah berkata :
”Wajib bagimu untuk hijrah dan jangan tinggal di tengah-tengah orang kafir, karena hal itu akan menghinakan agama Islam dan meninggikan kalimat kekufuran di atas kalimat Allah. Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan perang kecuali untuk meninggikan kalimat Allah dan merendahkan kalimat kekufuran. Ketahuilah bahwa orang yang tinggal di tengah-tengah orang-orang kafir padahal dia mampu untuk keluar dari mereka, tidak ada baginya bagian dalam Islam, karena Nabi telah berlepas darinya”.[16]
Syaikh Ibnu ’Utsaimin rahimahullah berkata :
”Tinggal di negeri kafir sangat berbahaya sekali bagi agama seorang muslim, akhlaq, dan adabnya. Kami telah menyaksikan dan juga selain kami, betapa banyak kalangan yang tinggal bersama mereka kemudian pulang menjadi orang-orang fasiq. Bahkan ada yang murtad dari agama Islam. Kita berlindung kepada Allah. Sehingga mereka menolak agama Allah dan mencela agama Islam serta orang-orang yang berpegang kepada agama Islam. Oleh karena itu, harus hati-hati dan dibuat persyaratan agar tidak terjatuh dalam kubang kehancuran tersebut. Jadi, tinggal di negeri kafir harus terpenuhi dua syarat utama :
Pertama : Terjaga agamanya orang tersebut, dimana dia memiliki ilmu dan iman sehingga dia bisa tegar di atas agamanya dan dapat menangkis segala kerancuan dan penyimpangan, serta menampakkan permusuhan terhadap orang-orang kafir, karena loyalitas kepada mereka bertentangan dengan keimanan.
Kedua : Dia mampu menampakkan agamanya dengan menjalankan syi’ar-syi’ar Islam tanpa ada larangan seperti melaksanakan shalat Jum’at, jama’ah, zakat, puasa, haji, dan syi’ar-syi’ar yang lainnya. Bila dia tidak mampu untuk menegakkannya, maka tidak boleh baginya untuk tinggal di sana dan dia wajib hijrah”.[17]
● MACAM-MACAM ORANG YANG TINGGAL DI NEGERI KAFIR
Seorang muslim yang tinggal di negeri kafir bermacam-macam keadaannya :
- Dia mampu hijrah dan tidak mampu menampakkan agamanya.
Golongan ini wajib untk hijrah sebagaimana dalil-dalil di atas. Apalagi kita harus ingat bahwa banyak sekali bahaya dan dampak negatif tinggal di negeri kafir, di antaranya :
a. Seorang muslim akan mendapat kerancuan dalam ’aqidah dan agamanya.
b. Banyak faktor yang membuatnya menyimpang dan tersesat.
c. Akan ikut-ikutan dengan gaya hidup barat.
d. Akhlaqnya akan menjadi rusak dan dia akan terjatuh dalam lubang kenistaan.
- Orang yang tidak mampu hijrah dan tidak mampu untuk menampakkan agamanya, seperti lanjut usia, sakit berkepanjangan, orang yang yang disandera, dipaksa, atau orang-orang lemah seperti wanita dan anak-anak.
Golongan ini tidak wajib hijrah dan boleh tetap tinggal di negeri kafir.
إِلا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ سَبِيلا * فَأُولَئِكَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا
”Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita atau pun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” [QS. An-Nisaa’ : 98-99].
- Mampu untuk hijrah dan dia mampu menampakkan agamanya.
Golongan ini disunnahkan untuk hijrah (tidak wajib) untuk memperkuat kekuatan kaum muslimin dan memperbanyak jumlah mereka. Apalagi hal itu banyak maslahat yang akan didapat seperti menyaksikan jenazah, menjenguk orang sakit, menebarkan salam, dan sebagainya.
وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الأرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
”Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. An-Nisaa’ : 100].
- Mampu berdakwah dan menampakkan agamanya, serta membawa kemaslahatan yang banyak bagi kaum muslimin.
Golongan ini disunnahkan untuk tetap tinggal di negeri kafir tersebut.
Dan tidak ragu lagi bahwa kaum muslimin apabila telah menaklukkan suatu negeri kafir atau telah sepakat dengan para penduduknya untuk diperlakukan hukum Islam pada mereka, maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk hijrah darinya karena dia telah menjadi negara Islam.[18]
● FATWA AL-ALBANI TENTANG PALESTINA
Di antara faktor pendorong kami untuk mengulas masalah ini adalah banyaknya suara sumbang akhir-akhir ini yang mengangkat masalah ini dengan tujuan untuk memojokkan imam ahli hadits besar abad ini, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
Perhatikan bersamaku ucapan sebagian mereka :
”Sebagian pakar menganggap fatwa Al-Albani ini membuktikan bahwa logika yang dipakai Al-Albani adalah logika Yahudi, bukan logika Islam. Karena fatwa ini sangat menguntungkan orang-orang yang berambisi menguasai Palestina. Mereka menilai fatwa Al-Albani ini menyalahi sunnah, dan sampai pada tingkatan pikun. Bahkan Dr. ’Ali Al-Fuqayyir, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Yordania menilai bahwa fatwa ini keluar dari setan”.[19]
Sebagian lagi mengatakan :
”Barangkali saja Syaikh Al-Albani saat berfatwa tentang Palestina sedang tidak membawa buku ’aqidah salaf !” [20].
Dan kata-kata sejenisnya yang bernada melecehkan !!
Oleh karena itu, kami merasa terpanggil untuk menjelaskan duduk permasalahan fatwa beliau sebenarnya dalam beberapa point berikut [21] :
1. Hijrah dan jihad terus berlanjut hingga hari kiamat.
2. Fatwa tersebut tidak diperuntukkan kepada negeri atau bangsa tertentu.
3. Nabi Muhammad sebagai Nabi yang mulia, beliau hijrah dari kota yang mulia, yaitu Makkah.
4. Hijrah hukumnya wajib ketika seorang muslim tidak mendapatkan ketetapan dalam tempat tinggalnya yang penuh dengan ujian agama, dia tidak mampu untuk menampakkan hukum-hukum syar’i yang dibebankan Allah kepadanya, bahkan dia khawatir terhadap cobaan yang menimpa dirinya sehingga menjadikannya murtad dari agama. Inilah inti fatwa Syaikh Al-Albani yang seringkali disembunyikan !!
5. Apabila seorang muslim menjumpai tempat terdekat dari tempat tinggalnya untuk menjaga dirinya, agamanya, dan keluarganya, maka hendaknya dia hijrah ke tempat tersebut tanpa harus ke luar dari negerinya, karena hal itu lebih mudah baginya untuk kembali ke kampung halamannya bila fitnah telah selesai.
6. Hijrah sebagaimana disyari’atkan dari negara ke negara lainnya, demikian pula juga dari kota ke kota lainnya, atau dari desa ke desa lainnya yang masih di dalam negeri.
Hal ini juga banyak dilalaikan oleh para pendengki tersebut, sehingga mereka berkoar di atas mimbar dan menulis di koran-koran bahwa Syaikh Al-Albani memerintahkan penduduk Palestina untuk keluar darinya ! Demikianlah, tanpa perincian dan penjelasan !!
7. Tujuan hijrah adalah untuk mempersiapkan kekuatan untuk melawan musuh-musuh Islam dan mengembalikan hukum Islam seperti sebelumnya.
8. Semua ini apabila ada kemampuan. Apabila seorang muslim tidak mendapati tanah untuk menjaga diri dan agamanya kecuali tanah tempat tinggalnya tersebut; atau ada halangan-halangan yang menyebabkan dia tidak bisa hijrah; atau dia menimbang bahwa tempat yang dia hijrahi ke sana sama saja; atau dia yakin bahwa keberadaannya di tempatnya lebih aman untuk agama, dirinya, dan keluarganya; atau tidak ada tempat hijrah kecuali ke negeri kafir juga; atau keberadaannya untuk tetap tinggal lebih membawa maslahat yang lebih besar, baik maslahat untuk umat atau untuk mendakwahi musuh dan dia tidak khawatir terhadap agama dan dirinya; maka dalam keadaan seperti ini hendaknya dia tetap tinggal di tempat tinggalnya. Semoga dia mendapat pahala hijrah.
Demikian juga dalam kasus Palestina secara khusus. Syaikh Al-Albani mengatakan : ”Apakah di Palestina ada sebuah desa atau kota yang bisa dijadikan tempat untuk tinggal dan menjaga agama dan aman dari fitnah mereka ?! Kalau memang ada, maka hendaknya mereka hijrah ke sana dan tidak keluar dari Palestina, karena hijrah di dalam negeri adalah mampu dan memenuhi tujuan”.
Demikianlah perincian Syaikh Al-Albani. Lantas apakah setelah itu kemudian dikatakan bahwa beliau berfatwa untuk mengosongkan tanah Palestina atau untuk menguntungkan Yahudi ?!! Diamlah wahai para pencela dan pendengki, sesungguhnya kami berlindung kepada Allah dari kejahilan dan kedhaliman kalian !
9. Hendaknya seorang muslim meyakini bahwa menjaga agama dan ’aqidah lebih utama daripada menjaga jiwa dan tanah.
10. Anggaplah Syaikh Al-Albani keliru dalam fatwa ini. Apakah kemudian harus dicaci-maki dan divonis dengan sembarangan kata ?!! Bukankah beliau telah berijtihad dengan ilmu, hujjah, dan kaidah ?!! Bukankah seorang ulama apabila berijtihad, dia mendapatkan dua pahala jika benar dan satu pahala jika salah ?! Lantas seperti inikah balasan yang beliau terima ?!!
11. Syaikh Zuhair Syawisy mengatakan dalam tulisannya yang dimuat dalam Majalah Al-Furqaan, edisi 115 halm. 19 bahwa Syaikh Al-Albani telah bersiap-siap untuk melawan Yahudi. Hampir saja beliau sampai ke Palestina, tetapi ada larangan pemerintah untuk para mujahidin.
Syaikh Al-Albani sampai di Palestina tahun 1948, dan beliau shalat di Masjidil-Aqsha dan kembali sebagai pembimbing pasukan Saudi yang tersesat di jalan. Lihat kisah selengkapnya dalam bukunya yang berjudul ”Rihlati ilaa Najd” (Perjalananku ke Nejed).
Mudah-mudahan, keterangan singkat di atas cukup untuk membngkam mulut-mulut durhaka dan tulisan-tulisan hina yang menuding dengan sembarangan kata!! [22].
[Cerkiis.blogspot.com, Dikutip oleh Abul-Jauzaa’ dari Majalah Al-Furqon Edisi 11 Tahun ke-7 1429/2008, halaman 14-19.]
Catatan Kaki :
[1] Tafsir Al-Qur’anil-‘Adhiim 1/542.
[2] Al-Mughni 8/457.
[3] Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya 2/174/1 dengan sanad shahih. (Ash-Shahiihah, Al-Albani 6/851).
[4] Penulis banyak mengambil manfaat dari tulisan Syaikh Muhammad Ibrahim Syaqrah dalam Majalah Al-Ashalah edisi 7/Th. II, Rabi’uts-Tsani 1414, dan Muhimmad fil-Jihad, Syaikh Abdul-’Aziz Ar-Rayyis, hlm. 76.
[5] Demikianlah yang ditegaskan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahiihah 6/852.
[6] Majmu’ Fatawa 18/281.
[7] Al-Bidaayah wan-Nihaayah 4/320.
[8] Riyaadlush-Shaalihiin 1/24 – Syarh Ibnu ‘Utsaimin - .
[9] Raudlatuth-Thaalibiin 10/282.
[10] Ahkaamul-Qur’an 1/484. Dinukil dan disetujui oleh Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya 5/349-350.
[11] Majmu’ Fatawaa 28/240.
[12] Lisaanul-‘Arab oleh Ibnul-Mandhur 51/4617, An-Nihaayah oleh Ibnul-Atsir 5/224.
[13] Syarh Tsalaatsatil-Ushul, Ibnu ‘Utsaimin hlm. 129-130. Lihat pula Tafsir Al-Manar 10/316 dan Badaa’i Shanaa’i 7/102.
[14] Fathul-Bari 1/23.
[15] Syarh Riyaadlish-Shaalihiin, Ibnu ‘Utsaimin 1/15-20.
[16] Al-Washaayaa hlm. 58-59.
[17] Kalau tinggal di negeri kafir tidak boleh, maka demikian juga safar/bepergian ke negeri kafir tidak diperbolehkan kecuali dengan tiga syarat :
Pertama : Orang yang hendak safar mempunyai ilmu sebagai benteng untuk menolak syubhat.
Kedua : Orang yang hendak safar mempunyai agama untuk menjaganya dari syahwat.
Ketiga : Safarnya karena kebutuhan.
Apabila tidak sempurna syarat-syarat ini, maka tidak diperbolehkan safar ke negeri kafir, karena di dalamnya terdapat fitnah, menghambur-hamburkan harta, dan sudah dimaklumi bahwa orang yang safar ke negeri kafir akan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Adapun apabila memang ada kebutuhan, seperti berobat, atau belajar ilmu yang tidak didapati di negerinya, dan orang yang akan safar ini mempunyai ilmu dan agama; maka hal itu tidak mengapa.
Akan tetapi, apabila safarnya ke negeri kafir hanya untuk tamasya atau melancong, maka hal ini bukanlah sebuah kebutuhan, karena dia masih bisa untuk tamasya ke negeri muslim yang penduduknya masih menjaga syi’ar-syi’ar Islam. [Syarh Tsalaatsatil-Ushul hal. 131-134 oleh Ibnu ’Utsaimin].
[18] Majalah At-Tauhid, Muharram 1429 H.
[19] Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiyai NU, hlm. 244.
Faedah : Para penulis buku ”Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiyai NU” dalam hujatan mereka terhadap Syaikh Al-Albani, banyak berpedoman kepada buku ”Fataawaa Asy-Syaikh Al-Albani wa Muqaranatuhu bi Fataawaa ’Ulamaa” karya ’Ukasyah ’Abdil-Manan. Padahal buku ini telah diingkari sendiri oleh Syaikh Al-Albani secara keras, sebagaimana diceritakan oleh murid-murid beliau seperti Syaikh ’Ali Hasan Al-Halaby dan Syaikh Salim Al-Hilaly. (Lihat Fataawaa ’Ulamaa Akaabir, ’Abdul-Malik Al-Jazaairi halm. 106 dan Shafahat Baidlaa’ min Hayaatil-Imaamil-Albany, Syaikh Abu Asma’ halm. 88). Dengan demikian, maka jatuhlah nilai hujatan mereka terhadap Syaikh Al-Albani. Wallaahu a’lam.
[20] Sebagaimana dikatakan oleh Penulis artikel “Mengapa Salafi Dimusuhi Umat” dalam Majalah Risalah Mujahidin edisi no. 1/Th. 1, Ramadlan 1427 H/September 2006 M, hlm. 2. Artikel ini telah dibantah oleh Ustadzunal-Karim Aunur-Rafiq bin Ghufron dalam Majalah Al-Furqon edisi 5/Th. 6.
[21] Lihat As-Salafiyyun wa Qadliyyatu Filistin hal. 14-37. Lihat pula Silsilah Al-Ahaadits Ash-Shahiihah no. 2857; Al-Fashlul-Mubiin fii Mas-alatil-Hijrah wa Mufaraqatil-Musyrikiin, Husain Al-‘Awaisyah; Madla Yanqimuna Minasy-Syaikh, Muhammad Ibrahim Syaqrah hlm. 21-24; dan Majalah Al-Ashalah edisi 7/Thn. II, Rabi’uts-Tsani 1414 H.
[22] Syaikh Al-Albani mengatakan : “Sesungguhnya apa yang ditulis oleh Saudara yang mulia Muhammad bin Ibrahim Syaqrah dalam risalah ini berupa fatwa dan ucapanku adalah kesimpulan apa yang saya yakini dalam masalah ini. Barangsiapa yang menukil dariku selain kesimpulan ini, maka dia telah keliru atau pengikut hawa nafsu”.