Pertama
MENSYUKURI NIKMAT ISLAM YANG ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA KARUNIAKAN KEPADA KITA
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Allah Azza wa Jalla berfirman:
اللَّهُ لِلْإِسْلَامِ لَّهُ لْ ا ا ا السَّمَاءِ لِكَ لُ اللَّهُ الرِّجْسَ لَى الَّذِينَ لَا
“ Barangsiapa yang menjanjikan Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan pembukaan untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa memperhatikan-Nya menjadi sesat, Dia seakan-akan berada di dekat sempit dan sesak, dia (sedang) mendaki ke langit. Demikianlah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman .” [Al-An'aam/6: 125]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
اللَّهُ لِلْإِسْلَامِ لَىٰ لٌ لِّلْقَاسِيَةِ لُوبُهُم اللَّهِ لَٰئِكَ لَالٍ
Maka apakah orang -orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk (menerima) agama Islam lalu dia mendapat cahaya dari Rabb-nya (sama dengan orang yang dia membatu)? Maka selakalah mereka yang hatinya telah membatu untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata .” [Az-Zumar/39:22]
Orang yang tidak mendapat hidayah akan selalu berada dalam bayangan dan kerugian. Bagaimana jika seseorang tidak diberi hidayah oleh Allah Azza wa Jalla? Maka pasti ia menderita dalam kekafirannya, hidupnya sengsara dan tidak tenteram, serta di akhirat akan disiksa dengan siksaan yang abadi [1] . Allah Azza wa Jalla menunjuki hamba-Nya dari bayangan menuju cahaya yang terang benderang melalui Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Untuk itu, kewajiban kita adalah mengikuti, meneladani dan mentaati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam segala perilaku kehidupan kita, jika kita menginginkan hidup di bawah cahaya Islam. Allah Azza wa Jalla menyatakan bahwa Dia Azza wa Jalla telah memberikan karunia yang besar dengan diutusnya Nabi dan Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
لَقَدْ اللَّهُ لَى الْمُؤْمِنِينَ لًا لُو لَيْهِمْ آيَاتِهِ لِّمُهُمُ الْكِتَابَ الْحِكْمَةَ انُوا لُ لَفِي لَالٍ
Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang percaya ketika (Allah) mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, mensucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur-an) dan Hikmah (As-Sunnah), sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata .” [Ali 'Imran/3:164]
Setiap muslim yakin bahwasanya karunia Allah Azza wa Jalla yang terbesar di dunia ini adalah agama Islam. Seorang muslim akan memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah memberikan petunjuk ke dalam Islam dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah sendiri telah menyatakan Islam sebagai karunia-Nya yang terbesar yang Dia berikan kepada hamba-hamba-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
الْيَوْمَ لْتُ لَكُمْ لَيْكُمْ لَكُمُ الْإِسْلَامَ ا
“ Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu .”[Al-Maa-idah/5: 3]
A. Kewajiban Kita Atas Karunia yang Kita Terima
Sejati wajib bagi kita bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla dengan cara melaksanakan kewajiban terhadap-Nya. Setiap muslim wajib bersyukur atas nikmat Islam yang telah diberikan Allah Azza wa Jalla kepadanya. Jika seseorang tidak melaksanakan kewajibannya kepada orang lain yang telah memberikan sesuatu yang berharga baginya, maka ia adalah orang yang tidak tahu berterima kasih. Demikian juga jika manusia tidak melaksanakan kewajibannya kepada Allah Azza wa Jalla, maka dia manusia yang paling tidak tahu berterima kasih.
اذْكُرُونِي اشْكُرُوا لِي لَا
“ Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan mengingatkan. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku .” [Al-Baqarah/2:152]
Kewajiban apakah yang harus kita laksanakan kepada Allah Azza wa Jalla yang telah memberikan karunia-Nya kepada kita? Jawabannya, karena Allah Azza wa Jalla telah memberikan karunia-Nya kepada kita dengan petunjuk ke dalam Islam, maka bukti terima kasih kita yang paling baik adalah dengan beribadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla secara ikhlas, mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, segala kasih bentuk kesyirikan, ittiba' (mengikuti) Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam serta taat kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang dengan hal itu kita menjadi muslim yang benar. Oleh karena itu, agar menjadi seorang muslim yang benar, kita harus menuntut ilmu syar'i. Kita harus belajar agama Islam karena Islam adalah ilmu dan amal shalih.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
الَّذِي لَ لَهُ الْهُدَىٰ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ لَى الدِّينِ لِّهِ لَوْ الْمُشْرِكُونَ
“ Dia-lah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Al-Qur-an) dan agama yang benar untuk diunggulkan di atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai .” [At-Taubah/9: 33]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
الَّذِي لَ لَهُ الْهُدَىٰ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ لَى الدِّينِ لِّهِ اللَّهِ ا
“ Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, agar Nya dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi .” [Al-Fat-h/48: 28]
Juga lihat Ash-Shaaff/61 ayat 9.
Yang dimaksud dengan اَلْهُدَى (petunjuk) adalah ilmu yang bermanfaat, dan الْحَقِّ(agama yang benar) adalah amal shalih. Allah Azza wa Jalla mengutus Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menjelaskan kebenaran dari kebathilan, menjelaskan Nama-Nama Allah, Sifat-Sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, hukum-hukum dan berita yang datang dari-Nya, serta memerintahkan semua yang bermanfaat bagi hati, ruh dan jasad. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah Azza wa Jalla, mencintai-Nya, berakhlak dengan akhlak yang mulia, beramal shalih dan beradab dengan adab yang bermanfaat. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang perbuatan syirik, amal dan akhlak buruk yang membahayakan hati dan badan juga dunia dan akhirat [2] .
Cara mendapat hidayah dan mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah dengan menuntut ilmu syar'i. Menuntut ilmu merupakan jalan yang lurus (ash-Shirathal Mustaqim) untuk memahami antara yang haq dan yang bathil, antara yang ma'ruf dan yang mungkar, antara yang bermanfaat dan yang mudharat (membahayakan), dan menuntut ilmu akan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat.
Seorang muslim cukup hanya dengan menyatakan ke-Islamannya tanpa memahami dan mengamalkannya. Pernyataannya itu dibuktikan dengan melaksanakan konsekuensi dari Islam.
Untuk itu, menuntut ilmu merupakan jalan menuju kebahagiaan yang abadi.
Seorang muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu syar'i.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَبُ الْعِلْمِ لَى لِّ لِمٍ.
“ Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim .” [3]
Menuntut ilmu adalah jalan menuju Surga.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
…مَنْ لَكَ ا لْتَمِسُ لْمًا لَ اللهُ لَهُ ا لَى الْجَنَّةِ.
“… Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan dirinya dengan jalan menuju Surga .” [4]
B. Pentingnya Ilmu Syar'i
Kita dan anak-anak kita akan tetap dan ditambahkan ilmu, hidayah dan istiqamah di atas kepatuhan kita beserta keluarga menuntut ilmu syar'i. Hal ini tidak boleh diabaikan dan tidak boleh dianggap remeh. Kita harus selalu memperhatikan perhatian, serius, serta sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu syar'i. Kita akan tetap berada di atas ash-Shiraathal Mustaqiim jika kita selalu belajar ilmu syar'i dan beramal shalih. Jika kita tidak memperhatikan dua hal penting ini, tidak ada iman dan Islam kita akan terancam bahaya. Sebab, iman kita akan terus berkurang karena ketidaktahuan kita tentang Islam dan iman, kufur, syirik, dan karena banyaknya dosa dan maksiyat yang kita lakukan! iman kita jauh lebih berharga daripada hidup ini?
Dari sekian banyak waktu yang kita habiskan untuk bekerja, berusaha, bisnis, berdagang, kuliah dan lainnya, apakah kita tidak bisa sisihkan sepersepuluhnya untuk hal-hal yang dapat melindungi iman kita?
Saya mengatakan bahwa setiap muslim harus menjadi ulama, membaca kitab-kitab tebal dan lamanya waktu belasan atau puluhan tahun untuk usaha tersebut. Namun, minimal setiap muslim harus dapat menyediakan waktunya setiap hari untuk mempelajari ilmu pengetahuan tentang agama Islam. Itulah waktu yang paling sedikit yang harus disediakan oleh setiap muslim, baik remaja, pemuda, orang dewasa maupun yang sudah lanjut usia. Setiap muslim harus memahami esensi ajaran Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih menurut pemahaman para Salafush Shalih. Oleh karena itu, ia harus tahu tentang agama Islam dengan dalil dari Al-Qur-an dan As-Sunnah sehingga ia dapat mengamalkan Islam ini dengan benar. Tidak banyak waktu untuk memperoleh pengetahuan tentang agama Islam. Jika iman kita lebih berharga dari segalanya,
Ilmu syar'i memiliki keutamaan yang sangat besar dibandingkan dengan harta yang kita miliki.
C. Kemuliaan Ilmu Atas Harta [5]
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah (wafat th. 751 H) rahimahullah menjelaskan perbedaan antara ilmu dengan harta, antara lain sebagai berikut:
• Ilmu adalah warisan para Nabi, sedang harta adalah warisan para raja dan orang kaya.• Ilmu menjaga pemiliknya, sedang pemilik harta menjaga hartanya.• Ilmu adalah penguasa atas harta, sedang harta tidak memiliki atas ilmu.• Harta bisa habis dengan sebab dibelanjakan, sedangkan ilmu justru bertambah dengan diajarkan.• Pemilik harta jika telah meninggal dunia, ia berpisah dengan hartanya, sedangkan ilmu mengiringinya masuk ke dalam kubur bersama para pemiliknya.• Harta bisa didapatkan oleh siapa saja, baik orang percaya, kafir, orang shalih dan orang jahat, sedangkan ilmu yang bermanfaat hanya didapatkan oleh orang yang percaya saja.• Sesungguhnya jiwa menjadi lebih mulia dan bersih dengan mendapatkan ilmu, kesempurnaan diri dan kemuliaannya. Sedangkan harta tidak membersihkan dirinya, tidak pula menambahkan sifat kesempurnaan dirinya, malahan jiwanya menjadi berkurang dan kikir dengan mengumpulkan harta dan menginginkannya. Jadi keinginannya kepada ilmu adalah inti kesempurnaan-nya dan keinginannya kepada harta adalah ketidak-sempurnaan dirinya.• Sungguh mencintai ilmu dan mencarinya adalah akar seluruh ketaatan, cinta harta dan dunia adalah kesalahan.• Sesungguhnya orang berilmu mengajak manusia kepada Allah Azza wa Jalla dengan ilmunya dan akhlaknya, sedangkan orang kaya mengajak manusia ke Neraka dengan harta dan sikapnya.• Sesungguhnya yang dihasilkan dengan kekayaan harta adalah kelezatan binatang. Jika pemiliknya menemukan kelezatan dengan mengumpulkannya, itulah kelezatan ilusi. Jika pemiliknya mengumpulkan dengan mengguna-kannya untuk memenuhi kebutuhan syahwatnya, itulah kelezatan binatang. Sedangkan kelezatan ilmu, ia adalah kelezatan akal plus ruhani yang mirip dengan kelezatan para Malaikat dan kegembiraan mereka. Di antara kedua kelezatan tersebut (kelezatan harta dan ilmu) terdapat perbedaan yang sangat mencolok.
Seorang muslim harus mengetahui tentang pengertian Islam, karena itu ia harus belajar tentang Islam, definisi, dan inti dari ajarannya yang mulia.
[artikel: almanhaj. Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur'an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
_______
Footnote
[1] Lihat surat Ali 'Imran ayat 91 dan al-Maa-idah ayat 36-37.
[2] Lihat kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiiril Kalaamil Mannaan (hal. 295-296) oleh Syaikh 'Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di (wafat th. 1376 H), cet. Muassasah ar-Risalah, th. 1417 H.
[3]SDM. Ibnu Majah (no. 224) dari Shahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, lihat Shahiih al-Jamii'ish Shaghiir (no. 3913). Diriwayatkan pula dari beberapa Shahabat seperti 'Ali, Ibnu 'Abbas, Ibnu 'Umar, Ibnu Mas'ud, Abu Sa'id al-Khudri, Husain bin 'Ali Radhiyallahu anhum oleh imam-imam ahli hadits lainnya dengan sanad yang shahih. Lihat kitab Takhriij Musykilatul Faqr (no. 86) oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. IV/ Al-Maktab al-Islami, th. 1414 H.
[4] HR. Muslim (no. 2699) dan selainnya, dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[5] Lihat al-'Ilmu; Fadhluhu wa Syaraafuhu min Durari Kalami Syaikhul Islam Ibnul Qayyim, hal. 160-173, tahqiq wa ta'liq: Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid al-Halabi al-Atsari, cet. Saya, Majmu'ah at-Tuhaf an-Nafa-is ad-Dauliyah, th. 1416 H