Selasa, 22 Oktober 2019

Sebab-Sebab Penyimpangan Dari Fithrah


SEBAB-SEBAB PENYIMPANGAN DARI FITHRAH

Oleh Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Kita diciptakan oleh Allâh Azza wa Jalla dikaruniai dengan fitrah. Fitrah tersebut adalah menjadi hamba Allâh, maka fitrah yang dimaksud adalah agama Allâh. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allâh); (tetaplah atas) fitrah Allâh yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allâh [Ar-Rûm/30:30]

Juga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam jelaskan dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

Setiap anak dilahirkan diatas fitrah, maka bapaknya yang menjadikan agamanya yahudi atau nasrani atau majusi [HR. Al-Bukhâri, no. 1319, (1/465)]

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dan yang paling benar artinya adalah setiap anak yang dilahirkan mempunyai kesiapan untuk (menerima) Islam.”[1]

Sedangkan Ibnu Qayyim rahimahullah mengatakan, “Inilah yang dikenal dikalangan umumnya Ulama ahli tafsir dari kalangan salaf. Mereka sepakat dalam menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla , “Fitrah Allâh yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu” dengan fitrah Allâh itu adalah agama Allâh Islam.”[2]

Namun di dalam perjalanan hidup ada manusia yang menyimpang dari fitrahnya. Mereka meninggalkan agama Allâh Azza wa Jalla . Mereka tidak mau mengikuti perintah Allâh dan menolak untuk beribadah dan tunduk kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala .

Fitrah ini tidak menyimpang kecuali dengan sebab dan pengaruh yang mampu merubah perjalanannya. Diantara sebab itu adalah:

Syaitan atau Iblis

Ajakan dan godaan Syaitan merupakan sebab pertama dan pokok dalam penyimpangan fitrah manusia. Dijelaskan dalam hadits ‘Iyâdh bin Himâr Radhiyallahu anhu, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata dalam hadits Qudsi, bahwa Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ، وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ، وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ، وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوا بِي مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا

Sesungguhnya Aku telah ciptakan para hamba-Ku dalam keadaan hanîf (lurus dan cenderung pada kebenaran) dan sungguhnya mereka didatangi syaitan lalu menyeret mereka dari agamanya dan mengharamkan atas mereka yang Aku halalkan buat mereka dan memerintahkan mereka untuk menyekutukan-Ku dengan sesuatu yang tidak ada dasarnya dari-Ku. [HR. Muslim, no.2865]

Syaitan berusaha menjadikan manusia bergantung kepada selain Allâh Azza wa Jalla sehingga memalingkan dan menyimpangkan fitrahnya. Berbuat kesyirikan merupakan ibadah kepada syaitan sebagaimana dijelaskan nabi Ibrâhîm Alaihissallam dalam pernyataan beliau:

يَا أَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ ۖ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَٰنِ عَصِيًّا

Wahai bapakku! Janganlah kamu meyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Yang Maha Pemurah. [Maryam/19:44]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah menyatakan bahwa pengertiannya adalah jangan taati syaitan dalam penyembehan berhala, sebab syaitanlah yang mengajak dan meridhainya.

Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لَا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ ۖ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu, wahai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi kamu [Yâsîn/36:60][3]

Iblis juga berjanji akan merubah fitrah manusia agar menjadi kufur, sebagaimana disampaikan Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:

إِنْ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا إِنَاثًا وَإِنْ يَدْعُونَ إِلَّا شَيْطَانًا مَرِيدًا ﴿١١٧﴾ لَعَنَهُ اللَّهُ ۘ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا ﴿١١٨﴾ وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا ﴿١١٩﴾ يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيهِمْ ۖ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلَّا غُرُورًا

Yang mereka sembah selain Allâh itu, tidak lain hanyalah berhala, dan (dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah menyembah syaitan yang durhaka, yang dila’nati Allâh dan syaitan itu mengatakan, “Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bahagian yang sudah ditentukan (untuk saya), dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allâh), lalu benar-benar mereka merobahnya”. Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allâh, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka. [An-Nisâ’/4:117-120]

Meniru (Taklid) Lingkungan Dan Kedua Orang Tuanya

Tidak bisa pungkiri bahwa lingkungan memiliki pengaruh yang sangat besar pada diri seseorang, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Oleh karena itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

Setiap anak dilahirkan diatas fitrah, maka bapaknya yang menjadikan agamanya yahudi atau nasrani atau majusi [HR. Al-Bukhâri, no.1319, (1/465)]

Lingkungan bisa memperngaruhi seseorang sehingga menjadi semakin shalih atau sebaliknya, membuatnya terjerumus dalam kesalahan. Saat seseorang sudah terbiasa dengan kesalahan aapalagi menyukainya, berarti dia telah menyimpang dari fitrahnya.

Penyelewangan dan penyimpangan terhadap fitrah, tidak terelakkan jika lingkungannya tidak baik. Penyebabnya, bisa dengan mentaklid kepada orang tua atau nenek moyang atau taklid kepada tokoh-tokoh. Ini merupakan salah satu jalan syaitan menghalangi manusia dari jalan Allâh Azza wa Jalla . Dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ الشَّيْطَانَ قَعَدَ لِابْنِ آدَمَ بِأَطْرُقِهِ، فَقَعَدَ لَهُ بِطَرِيقِ الْإِسْلَامِ، فَقَالَ: تُسْلِمُ وَتَذَرُ دِينَكَ وَدِينَ آبَائِكَ وَآبَاءِ أَبِيكَ، فَعَصَاهُ فَأَسْلَمَ، ثُمَّ قَعَدَ لَهُ بِطَرِيقِ الْهِجْرَةِ، فَقَالَ: تُهَاجِرُ وَتَدَعُ أَرْضَكَ وَسَمَاءَكَ، وَإِنَّمَا مَثَلُ الْمُهَاجِرِ كَمَثَلِ الْفَرَسِ فِي الطِّوَلِ، فَعَصَاهُ فَهَاجَرَ، ثُمَّ قَعَدَ لَهُ بِطَرِيقِ الْجِهَادِ، فَقَالَ: تُجَاهِدُ فَهُوَ جَهْدُ النَّفْسِ وَالْمَالِ، فَتُقَاتِلُ فَتُقْتَلُ، فَتُنْكَحُ الْمَرْأَةُ، وَيُقْسَمُ الْمَالُ، فَعَصَاهُ فَجَاهَدَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ قُتِلَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، وَإِنْ غَرِقَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، أَوْ وَقَصَتْهُ دَابَّتُهُ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ»

Sesungguhnya syaitan duduk menghalangi manusia di jalan-jalannya. Syaitan duduk dijalan Islam dan berkata, ‘Kamu masuk Islam dengan meninggalkan agamamu, agama bapak kamu dan nenek moyangmu?’ Lalu ia tidak menurutinya dan tetap masuk Islam.

Kemudian syaitan duduk di jalan hijrah dan berkata, ‘Kamu mau berhijrah dengan meninggalkan tanah dan langitmu. Perumpamaan orang berhijrah itu seperti kuda yang terikat (tidak bisa berbuat bebas).’ Lalu orang tersebut tidak menurutinya dan tetap berhijrah.

Kemudian syaitan duduk di jalan jihad dan berkata, ‘Kamu mau berjihad padahal itu akan menghabiskan jiwa dan harta, lalu kamu berperang dan terbunuh, istrimu dinikahi orang dan hartamu dibagi-bagi.’ Lalu orang tersebut tidak mengikutinya dan tetap berjihad.

Rasâlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda, “Siapa yang berbuat demikian, maka sudah menjadi haknya atas Allâh Azza wa Jalla untuk memasukkannya ke surga. Siapa yang terbunuh maka menjadi haknya atas Allâh Azza wa Jalla untuk memasukkannya ke surga dan jika tenggelam maka sudah menjadi haknya atas Allâh Azza wa Jalla untuk memasukkannya ke surga atau diinjak hewan tunggangannya maka sudah menjadi haknya atas Allâh Azza wa Jalla untuk memasukkannya ke surga. [HR. an-Nasâ’i, no. 3134. Hadits ini dipandang sebagai hadits shahih oleh al-Albani dalam Shahîh Sunan an-Nasâ’i]

Demikian juga tasyabbuh (meniru-niru orang kafir) termasuk penyebab penyimpangan fitrah, bahkan tasyabbuh ini adalah akar bencana dan sumber kerusakan umat ini, sebagaimana dijelaskan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

«لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ»، قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، اليَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: «فَمَنْ»

Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhab (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para Sahabat) berkata, “Wahai Rasûlullah! Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Lantas siapa lagi?” [HR. Muslim, no. 2669]

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, tidak diragukan lagi bahwa kelak akan ada umat Islam yang mengikuti jejak Yahudi dan Nashrani dalam sebagian perkara.[4]

Imam Nawawi t ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dzirô’ (hasta) serta lubang dhab (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum Muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashrani. Yaitu kaum Muslimin menyamai mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal-hal kekafiran mereka yang diikuti. Perkataan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah suatu mukjizat bagi Beliau karena apa yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan telah terjadi saat-saat ini.”[5]

Tasyabuh ini dilarang karena mempengaruhi akhlak dan fitrah manusia dan bisa merusaknya, seperti dijelaskan Ibnu Taimiyah t dalam pernyataan beliau, “Serupa dalam perkara lahiriyah bisa berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh dengan orang kafir”. [6]

Beliau juga menyatakan, “Jika dalam perkara adat (kebiasaan) saja kita dilarang tasyabbuh dengan mereka, bagaimana lagi dalam perkara yang lebih dari itu?!”[7] Bahkan beliau menyatakan, “Apabila tasyabuh dalam perkara dunia bisa menimbulkan rasa cinta dan loyalitas kepada mereka, lalu bagaimana dengan tasyabuh dalam perkara agama? Tentunya menyebabkan jenis loyalitas yang lebih besar dan lebih tebal, padahal cinta dan loyalitas kepada mereka menghilangkan keimanan.[8]

Lalai dan Sibuk Mengikuti Syahwat

Lalai dengan sebab gemerlap dunia dan sibuk menikmati perhiasannya sering kali melalaikan manusia dari Rabbnya dan memalingkannya dari fitrah, sebagaimana dijelaskan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ ﴿١٧٢﴾ أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِنْ بَعْدِهِمْ ۖ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ

Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allâh mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Rabbmu”. Mereka menjawab, “Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Rabb)”.atau agar kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Ilah sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang yang sesat dahulu”. [Al-A’râf/7:172-173]

Ayat yang mulia ini menjelaskan sikap lalai termasuk sebab terbesar penyimpangan fitrah manusia.

Demikian juga harta dapat melalaikan manusia dan menjadi sebab kehancuran dan penyimpangan fitrahnya, karena harta termasuk sebab yang membuat manusia menjadi sombong dan melampaui batas serta berpaling dari kebenaran. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَٰكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ

Dan jikalau Allâh melapangkan rezeki kepada para hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allâh menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat [Asy-Syûrâ/42:27]

Harta dan ketamakan juga menjadi jalan iblis menyesatkan manusia dan menyimpangkan mereka dari fitrah yang lurus, seperti dijelaskan Allâh Azza wa Jalla dalam firmannya:

يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيهِمْ ۖ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلَّا غُرُورًا

Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka. [An-Nisâ’/4:120]

Hasad

Hasad termasuk sebab penyimpangan fitrah manusia dan penghilang agama, sebagaimana dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

دَبَّ إِلَيْكُمْ دَاءُ الْأُمَمِ قَبْلَكُمُ الْحَسَدُ وَالْبَغْضَاءُ، وَ هِيَ الْحَالِقَةُ لَا أَقُولُ تَحْلِقُ الشَّعْرَ وَلَكِنَّهَا تَحْلِقُ الدِّينَ

Masuk kepada kalian penyakit umat sebelum kalian hasad dan kebencian. Penyakit ini adalah pemotong, tidak saya katakan pemotong rambut tapi pemotong agama [HR. At-Tirmidzi dalam sunannya no. 2510. Hadits dipandang sebagai hadits yang hasan oleh syaikh al-Albani dalam Sahîh Sunan at-Tirmidzi]

Hasad menjadi sebab yang membuat iblis tidak mau sujud kepada Adam, sebagaimana jawaban iblis ketika Allâh Azza wa Jalla berfirman kepadanya:

قَالَ لَمْ أَكُنْ لِأَسْجُدَ لِبَشَرٍ خَلَقْتَهُ مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ ﴿٣٣﴾ قَالَ فَاخْرُجْ مِنْهَا فَإِنَّكَ رَجِيمٌ ﴿٣٤﴾ وَإِنَّ عَلَيْكَ اللَّعْنَةَ إِلَىٰ يَوْمِ الدِّينِ

Allâh berfirman, “Hai iblis! Apa sebabnya kamu tidak (ikut sujud) bersama-sama mereka yang sujud itu” Berkata iblis, “Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk””. Allâh berfirman, “Keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk, dan sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari kiamat”. [Al-Hijr/15:33-35]

Oleh karena itu Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Induk semua dosa ada tiga; kesombongan yang membuat iblis hancur dan ketamakan yang menyebabkan Nabi Adam Alaihissallam keluar dari surga serta hasad yang membuat salah seorang anak Adam membunuh saudaranya. Siapa yang berlindung dari tiga penyakit ini maka telah berlindung dari semua keburukan. Kekafiran berasal dari kesombongan, kemaksiatan berasal dari ketamakan dan sikap melampai batas dan zhalim berasal dari hasad.”[9]

Demikianlah sebagian sebab yang mendorong penyimpangan fitrah, Semoga Allâh Azza wa Jalla menjauhi kita dari semua penyimpangan fitrah dan sebab-sebabnya dan dimudahkan untuk kembali ke fitrah kita.

Billâhittaufîq.

[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]

Footnote

[1] Lihat, Syarah Sahîh Muslim, 16/208

[2] Syifâ al-‘Alîl, hlm. 285 dan Igâtsatul Lâhafân, 2/226-228

[3] Tafsîr Ibnu Katsîr, 5/208

[4] Lihat, Majmû’ al-Fatâwa, 27/286

[5] Syarh Shahîh Muslim, 16/219

[6] Majmû’ al-Fatâwa, 22/154

[7] Majmû’ al-Fatâwa, 25/332

[8] Iqtidhâ as-Shirâtil Mustaqîm, 1/550

[9] Lihat, al-Fawâ`id 1/58