KITAB : HARI KIAMAT (2)
Oleh Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil
2. Dari Jenis Binatang Apakah Binatang Bumi Tersebut?
Para ulama berbeda pendapat tentang jenis binatang bumi tersebut. Pada kesempatan ini kami utarakan beberapa pendapat ulama tentangnya.
a. Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Pendapat yang pertama bahwa binatang tersebut adalah anak unta yang disapih dari unta Nabi Shalih, dan inilah pendapat yang paling tepat, wallahu a’lam.”[1]
Pendapat ini diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ath-Thayalisi dari Hudzaifah bin Asid al-Ghifari, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan binatang… (lalu beliau menuturkan hadits, di dalamnya ada ungkapan:)
لَمْ يَرْعِهِمْ إِلاَّ وَهِيَ تَرْغَوْ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْمَقَامِ.
“Mereka tidak menggembalakannya (unta), melainkan hanya bersuara di antara rukun dan maqam (rukun Yamani dan Maqam Ibrahim).”[2]
Yang menjadi dalil adalah ungkapan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (تَرْغَـوْ) sementara (اَلرَّغَاءُ) adalah suara yang hanya ditujukan untuk unta. Hal itu ketika unta Nabi Shalih Alaihissallam dibunuh, maka unta yang disapih darinya kabur, lalu batu terbuka, sehingga dia masuk ke dalamnya, akhirnya menutupinya, dan dia berada di dalamnya hingga keluar dengan seizin Allah Azza wa Jalla.
Kemudian al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Sungguh indah orang yang berkata:
وَاذْكُرْ خُرُوْجَ فَصِيْلِ نَاقَةِ صَالِحٍ يَسِمُ الْوَرَى بِالْكُفْرِ وَاْلإِيْمَانِ
Dan ingatlah keluarnya unta sapihan dari unta Nabi Shalih yang akan memberikan tanda mana yang kafir dan mana yang beriman.[3]
Pendapat al-Qurthubi yang menganggap pendapat ini sebagai pendapat paling kuat perlu dipertimbangkan karena hadits yang dijadikan landasan olehnya di dalam sanadnya terdapat perawi yang matruk (ditinggalkan haditsnya).
Demikian pula, dijelaskan pada sebagian kitab hadits lafazh (تَدْنَوْ) dan (تَرْبَوْ) sebagai pengganti dari lafazh (تَرْغَوْ), sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Mustadrak, karya al-Hakim.
b. Binatang tersebut adalah al-Jassasah yang disebutkan dalam hadits Tamim ad-Dari Radhiyallahu anhu, pada kisah Dajjal.
Pendapat ini dinisbatkan kepada ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma.[4]
Sementara dalam hadits Tamim Radhiyallahu anhu tidak ada sesuatu yang menunjuk-kan bahwasanya al-Jassasah adalah binatang yang akan keluar di akhir zaman. Dalam hadits tersebut hanya diungkapkan bahwa beliau berjumpa dengan seekor binatang dengan bulu yang banyak, lalu beliau bertanya kepadanya, “Siapa engkau?” Dia menjawab, “Aku adalah al-Jassasah.”
Dinamakan al-Jassasah karena dia mencari-cari berita untuk Dajjal.[5]
Demikian pula riwayat tentang keadaan binatang yang menjadi pokok pembahasan kita ini, yaitu pelecehannya kepada manusia atas segala kekufuran yang mereka lakukan terhadap ayat-ayat Allah. Hal itu menunjukkan bahwa binatang ini bukanlah al-Jassasah yang mencari berita untuk Dajjal, wallaahu a’lam.
c. Dia adalah ular yang mengawasi dinding Ka’bah, yang disambar oleh elang ketika orang-orang Quraisy hendak membangun Ka’bah.
Pendapat ini dinisbatkan oleh al-Qurthubi [6] kepada Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma yang dinukil dari kitab an-Niqaasy. Akan tetapi beliau tidak menyebutkan sumbernya, dan disebutkan pula oleh asy-Syaukani dalam Tafsiirnya.[7]
d. Bahwa binatang itu adalah manusia yang berbicara, mendebat dan membantah orang-orang yang gemar melakukan bid’ah dan kekufuran agar mereka berhenti, yaitu agar orang yang binasa itu binasa dengan keterangan (hujjah) yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidup dengan keterangan (hujjah) yang nyata.
Inilah pendapat yang dinyatakan oleh al-Qurthubi, dan jawabannya bahwa jika binatang itu adalah manusia yang mendebat para ahli bid’ah, maka binatang tersebut bukan tanda kekuasan Allah yang keluar dari kebiasaan juga bukan merupakan salah satu tanda dari tanda-tanda Kiamat yang sepuluh.
Pendapat tersebut pun mengandung arti berpalingnya manusia dari pe-namaan terhadap seorang yang alim atau imam, sehingga menamakannya dengan dabbah (binatang). Hal ini keluar dari kebiasaan para ahli bahasa, juga keluar dari sikap menghormati ulama.[8]
e. Bahwa binatang adalah isim (nama) jenis [9] untuk semua binatang yang melata, dan bukan hewan tertentu yang memiliki berbagai keajaiban dan keanehan. Mungkin saja yang dimaksud dengannya adalah segala macam bakteri yang berbahaya yang telah membuat manusia menderita. Bakteri tersebut melukai bahkan bisa membunuhnya. Ketika melukai seseorang ia membawa pesan berupa nasihat kepada manusia seandainya mereka memiliki hati yang bisa berpikir, sehingga mereka sadar untuk kembali kepada Allah, kepada agamanya dan menekan mereka untuk menerima hujjah. Sebab, contoh tindakan lebih melekat daripada sekedar ucapan karena di antara makna berbicara adalah melukai.
Inilah pendapat yang dipegang oleh Abu ‘Ubayyah dalam komentarnya terhadap kitab an-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim, karya Ibnu Katsir [10]. Pendapat ini sangat jauh dari kebenaran, hal itu dengan beberapa alasan:
1. Bahwa bakteri dan penyakit telah ada sejak zaman dahulu, keduanya telah menghancurkan tubuh-tubuh manusia, tanaman serta binatang ternak mereka.[11] Adapun binatang yang menjadi tanda Kiamat sampai sekarang belum muncul.
2. Bahwa bakteri biasanya tidak bisa dilihat oleh mata telanjang, adapun binatang (yang menjadi tanda Kiamat) tidak ada seorang pun yang me-ngatakan bahwa dia tidak bisa dilihat, bahkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan keadaannya yang menunjukkan bahwa manusia bisa melihatnya. Beliau menyebutkan bahwa binatang tersebut membawa tongkat Nabi Musa dan cincin Nabi Sulaiman Alaihissallam dan hal lainnya yang telah kami sebutkan sebelumnya.
3. Bahwa binatang ini memberikan tanda kekufuran dan keimanan kepada manusia di wajah-wajah mereka, sehingga wajah seorang mukmin menjadi semakin jelas, demikian pula terlihat sebuah tanda di hidung seorang kafir, adapun bakteri sama sekali tidak bisa melakukan hal itu.
4. Nampaknya yang menjadi faktor pendorong mereka untuk berpendapat seperti ini adalah banyaknya pendapat yang disebutkan tentang sifat-sifat binatang ini, akan tetapi kekuasaan Allah jauh lebih agung. Maka riwayat yang dinyatakan shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wajib diterima.
Demikian pula, penghalang apakah yang merintangi kita untuk memahami suatu lafazh dengan maknanya yang tampak, dan kita tidak melanggar ketentuan kecuali jika ada alasan tidak memahaminya secara hakiki, terlebih lagi bahwa pendapat tersebut bertentangan dengan pendapat para ulama tafsir, mereka menyatakan bahwa binatang tersebut keluar dari kebiasaan yang disaksikan oleh manusia. Artinya hal itu termasuk Khawaariqul ‘Aadaat (sesuatu yang diluar kebiasaan) sebagaimana terbitnya matahari dari barat pun termasuk perkara di luar kebiasaan.
Telah dijelaskan pada sebuah hadits bahwa keduanya akan keluar pada waktu yang berdekatan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ اْلآيَاتِ خُرُوْجًا طُلُوْعُ الشَّمْسِ مْنِ مَغْرِبِهَا، وَخُرُوْجُ الدَّابَّةِ عَلَى النَّاسِ ضُحًى، وَأَيُّهُمَا مَا كَانَتْ قَبْلَ صَاحِبَتِهَا؛ فَاْلأُخْرَى عَلَى إِثْرِهَا قَرِيْبًا.
“Sesungguhnya tanda (Kiamat) yang pertama kali muncul adalah terbitnya matahari dari barat dan keluarnya binatang kepada manusia pada waktu dhuha. Mana saja yang terlebih dahulu muncul, maka yang lainnya terjadi setelahnya dalam waktu yang dekat.”[12]
Yang wajib diimani bahwa Allah akan mengeluarkan binatang di tengah-tengah manusia yang akan mengajak mereka berbicara di akhir zaman. Maka perkataan binatang tersebut terhadap manusia merupakan tanda bagi mereka yang menunjukkan bahwa mereka berhak mendapatkan ancaman karena sikap mereka yang mendustakan ayat-ayat Allah. Dengan keluarnya binatang tersebut semua manusia akan faham dan mengetahui bahwa ia adalah sesuatu di luar kebiasaan yang akan memberikan isyarat telah dekatnya hari Kiamat, padahal sebelumnya mereka sama sekali tidak mengimani ayat-ayat Allah, juga tidak membenarkan hari yang dijanjikan.
Di antara yang memperkuat bahwa binatang ini dapat berbicara dan mengajak manusia berbicara dengan perkataan yang mereka dengarkan dan mereka fahami adalah diungkapkannya masalah ini dalam surat an-Naml. Di dalam surat ini terdapat beberapa pemandangan juga pembicaraan antara sekelompok dari serangga, burung, jin, dan Sulaiman Alaihissallam. Lalu setelah itu dijelaskan adanya binatang dan pembicaraannya dengan manusia sesuai dengan peristiwa yang tersebut dalam surat (an-Naml) secara umum.[13]
Ahmad Syakir rahimahullah berkata, “Ayat ini secara jelas menyatakan dengan bahasa Arab bahwa dia adalah (دَابَّةٌ), sementara makna (دَابَّةٌ) sudah dikenal di dalam bahasa Arab, tidak membutuhkan takwil... demikian pula telah diriwayatkan banyak hadits dalam kitab ash-Shahiih juga yang lainnya tentang keluarnya binatang ini dan ia akan keluar di akhir zaman, juga banyak atsar lain yang menerangkan sifat-sifatnya, akan tetapi tidak dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai penyampai berita dari Rabb-nya, juga penjelas atas ayat-ayat di dalam kitab-Nya. Maka kita sama sekali tidak berhak untuk meninggalkannya, akan tetapi (sayangnya) sebagian orang di zaman kita sekarang ini, dari kalangan orang-orang yang mengaku dirinya orang Islam, yang mengembangkan dengan perkataan yang munkar dan pendapat mereka tidak ingin mengimani hal-hal ghaib, melainkan hanya mau mengikuti batasan-batasan yang telah digariskan oleh guru juga panutan mereka, yaitu orang-orang atheis Eropa, penyembah berhala yang menghalalkan dan membenarkan setiap akhlak dan agama. Mereka semua sama sekali tidak bisa mengimani segala hal yang kita imani, juga tidak mau mengingkari dengan terang-terangan sesuatu yang jelas-jelas harus diingkari, sehingga ucapan mereka tidak jelas, berbelit dan berputar-putar, kemudian pada akhirnya mereka mentakwil (merubah lafazh) dari makna asalnya yang benar dalam bahasa Arab, mereka menjadikannya hanya bagaikan kata sandi, karena pengingkaran yang tersembunyi di dalam diri mereka.” [14]
3. Tempat Keluarnya Binatang
Pendapat para ulama berbeda-beda mengenai tempat keluarnya binatang, di antaranya:
a. Bahwa dia keluar dari Makkah al-Mukarramah dari masjid yang paling mulia.
Pendapat ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan dalam al-Ausath dari Hudzaifah bin Asid -beliau me-rafa’-kannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam- beliau berkata, “Binatang akan keluar dari masjid yang paling besar, tatkala mereka (sedang duduk-duduk tiba-tiba bumi bergetar) ketika mereka sedang demikian tiba-tiba bumi terbelah.” [15]
Ibnu ‘Uyainah rahimahullah[16] berkata, “Binatang tersebut akan keluar ketika al-Imam (al-Mahdi) akan memimpin shalat ‘Id. (Seseorang yang diutus untuk mendahului jama’ah haji) dia dijadikan sebagai orang yang lebih dahulu pergi untuk mengabarkan kepada mereka bahwa binatang tersebut belum keluar.[17]
b. Bahwa binatang ini akan keluar tiga kali, sekali dia keluar di sebagian lembah, kemudian bersembunyi, kemudian keluar pada sebagian kampung, lalu muncul di Masjidil Haram.[18]
Dan masih ada beberapa pendapat yang tidak kami sebutkan, sebagian besarnya menyebutkan bahwa tempat keluarnya dari tanah haram Makkah,[19] wallahu a’lam.
4. Aktivitas Binatang Tersebut
Jika binatang yang besar ini keluar, maka dia akan memberikan tanda kepada orang yang beriman dan orang yang kafir.
Adapun orang yang beriman, maka binatang itu akan memberikan tanda pada wajahnya, sehingga menjadi bersinar. Hal itu merupakan tanda keimanannya.
Sementara orang kafir, maka binatang itu akan memberikan tanda di hidungnya sebagai tanda kekufurannya. Hanya kepada Allah kita memohon perlindungan.
Dijelaskan dalam ayat yang mulia, firman Allah Ta’ala:
أَخْرَجْنَا لَهُمْ دَابَّةً مِنَ الْأَرْضِ تُكَلِّمُهُمْ
“... Kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka...” [An-Naml: 82]
Para ulama tafsir berbeda pendapat tentang makna mengajak bicara yang dilakukannya:
Pertama: Maknanya adalah mengajak berbicara seperti biasa, pendapat ini berlandaskan atas qira-ah Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu anhum (تُنَبِّئُهُمْ).
Kedua: Melukai mereka, pendapat ini diperkuat dengan qira-at (تَكْلِمُهُمْ) dengan huruf ta yang difat-hahkan dan huruf kaf yang disukunkan, diambil dari lafazh (اَلْكَلْمُ), maknanya adalah luka. Qira-ah seperti ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, jadi maknanya adalah memberikan tanda pada mereka.[20]
Pendapat ini diperkuat dengan hadits Abu Umamah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَخْرُجُ الدَّابَّةُ، فَتُسِمُ النَّاسَ عَلَى خَرَاطِيْمِهِمْ.
“Binatang itu akan keluar dan akan memberikan tanda pada hidung-hidung mereka.” [21]
Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwa beliau berkata, “Keduanya dia lakukan.” Maksudnya, berbicara dan memberikan tanda.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah pendapat yang bagus, dan tidak ada kontradiksi di dalamnya, wallaahu a’lam.” [22]
Adapun perkataannya kepada manusia adalah:
أَنَّ النَّاسَ كَانُوا بِآيَاتِنَا لَا يُوقِنُونَ
“... Sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami.” [An-Naml: 82]
Ini adalah qira’ah bagi orang yang membacanya dengan hamzah yang difat-hahkan (أَنَّ), maknanya adalah binatang tersebut memberitahukan mereka bahwa manusia sebelumnya tidak yakin dengan ayat-ayat Kami. Qira-ah ini adalah qira-ah mayoritas ahli qira-ah Kufah dan sebagian ahli qira-ah Bashrah.
Adapun qira-ah mayoritas penduduk Hijaz, Bashrah dan Syam, maka menggunakan hamzah yang dikasrahkan (إِنَّ) sebagai permulaan kalimat (dalam bahasa Arab). Jadi maknanya adalah mengajak bicara kepada mereka dengan sesuatu yang menjelekkan mereka, atau dengan kebathilan segala agama selain Islam.[23]
Ibnu Jarir rahimahullah berkata, “Yang benar dari pendapat tentang hal ini bahwa kedua qira-ah tersebut memiliki makna yang saling berdekatan, keduanya banyak digunakan di berbagai negeri Islam.” [24]
[Cerkiis.blogspot.com, artikel: almanhaj. Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
Footnote
[1]. Tafsiir al-Qurthubi (XIII/235).
[2]. Minhatul Ma’buud Tartiib Musnad ath-Thayalisi, bab Khuruujud Daabbah (II/220-221), karya as-Sa’ati, dan lafazhnya adalah (تَرْنَوْ) bukan (تَرْغَوْ).
Dan diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (IV/484), beliau berkata, “Sanad hadits ini shahih, dan hadits ini adalah hadits yang paling jelas dalam menerangkan (keluarnya) binatang, akan tetapi keduanya tidak meriwayatkannya.”
Kami katakan, “Hadits ini dha’if, karena di dalam sanad riwayat ath-Thayalisis maupun al-Hakim ada Thalhah bin ‘Amr al-Hadhrami, Ibnu Ma’in berkata, “Dia lemah.” Adz-Dzahabi berkata dalam komentar al-Mustadrak, “Ahmad meninggalkannya.” Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dan di dalamnya ada Thalhah bin ‘Amr, sementara dia adalah matruk.” Maj’mauz Zawaaid (VIII/7), dan lihat kitab Tahdziibut Tahdziib (V/23-24).
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathaalibul ‘Aaliyah (IV/343-344) dan menisbatkannya kepada ath-Thayalisi, dengan lafazh (تَزْعَقُ) sebagai pengganti dari (تَرْغَوْ).
[3]. At-Tadzkirah (hal. 702).
[4]. Syarh an-Nawawi li Shahiih Muslim (XVIII/28).
Di antara para ulama yang mengatakan bahwa dia adalah al-Jassasah adalah al-Baidhawi dalam kitab Tafsiirnya (IV/121), cet. Mu-assasah Sya’ban, Beirut.
Dan lihat pula al-Idzaa’ah (hal. 173), dan kitab al-‘Aqiidah ar-Ruknul Islaam fil Islaam (hal. 320), karya Syaikh Muhammad al-Fadhil as-Syarif at-Taqlawi, cet. Darul ‘Ulum, Kairo.
[5]. An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (I/272), dan Syarhus Sunnah, karya al-Baghawi (XV/68).
[6]. Tafsiir al-Qurthubi (XIII/236).
[7]. Tafsiir asy-Syaukani/Fat-hul Qadiir (IV/151).
[8]. Lihat Tafsiir al-Qurthubi (XIII/236-237).
[9]. Pendapat yang mengatakan bahwa binatang di sini adalah nama jenis untuk binatang banyak di-ungkapkan oleh al-Barzanji di dalam kitab al-Isyaa’ah (hal. 177) dan menisbatkannya kepada tafsir Ibnu ‘Alan Dhiyaa-us Sabiil, pendapat ini tidak menyebutkan dalil yang benar yang dapat dijadikan landasan.
[10]. (I/190-199) tahqiq Muhammad Fahim Abu ‘Ubayyah.
[11]. Lihat Ithaaful Jamaa’ah (II/306-307).
[12]. HR. Muslim (XVIII/77-78).
[13]. Lihat Fii Zhilaalil Qur-aan (V/2667).
[14]. Syarah Ahmad Syakir untuk Musnad Ahmad (XV/82).
[15]. Maj’mauz Zawaaid (VIII/7-8).
[16]. Ibnu Uyainah, beliau adalah al-Imam al-Hujjah al-Hafizh Abu Muhammad Sufyan bin ‘Uyainah bin Maimun al-Hilali al-Kufi, seorang ahli hadits tanah Haram, lahir pada tahun 107 H dan meng-ambil ilmu dari az-Zuhri dan orang yang semasa dengannya, meriwayatkan dari asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Ma’in dan orang yang semasa dengan mereka, para imam sepakat untuk berhujjah dengan haditsnya, karena hafalan serta amanahnya, beliau telah melakukan haji sebanyak 70 kali.
Asy-Syafi’i berkata, “Seandainya tidak ada Malik dan Sufyan (bin ‘Uyainah), niscaya ilmu akan hilang dari tanah Hijaz.”
Dan beliau berkata, “Aku tidak melihat seorang pun yang memiliki perangkat ilmu seperti yang dimiliki oleh Sufyan, dan tidak ada seorang pun yang lebih menjaga diri dari memberikan fatwa daripadanya.”
Wafat pada tahun 198 H rahimahullah.
Lihat biografinya dalam Tadzkiratul Huffaazh (I/262-265), Tahdziibut Tahdziib (IV/117-122), dan al-Khulashah (hal. 145-146).
[17]. Majma’uz Zawaa-id (VIII/7-8). Al-Haitsami berkata, “Perawinya tsiqat.”
[18]. Disebutkan dalam hadits Hudzaifah bin Asid diriwayatkan oleh al-Hakim, “Sesungguhnya binatang ini akan keluar 3 kali.” Beliau menyebutkan hadits seutuhnya, lalu beliau berkata, “Hadits ini shahih dengan syarat al-Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak mencantumkannya.” Disepakati pula oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya, Talkhisul Mustadrak (IV/484-485).
Juga dari Hudzaifah yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan al-Hakim, “Sesungguhnya binatang tersebut akan keluar 3 kali, yaitu dari ujung Yaman, lalu keluar di daerah dekat Makkah, selanjutnya keluar dari Masjidil Haram di antara rukun al-Aswad dan pintu Bani Makhzum.”
Akan tetapi di dalam sanad riwayat ini ada Thalhah bin ‘Amr al-Hadhrami, dia adalah dha’if, dan takhrij hadits ini telah disebutkan.
[19]. Lihat at-Tadzkirah (hal. 697-698), al-Isyaa’ah (hal. 176-177), dan Lawaami’ul Anwaar (II/144-146).
[20]. Lihat Tafsiir al-Qurthubi (hal. 697-698), Tafsiir Ibni Katsir (VI/220), dan Tafsiir asy-Syaukani (IV/152).
[21]. HR. Al-Imam Ahmad, dan takhrijnya telah diungkapkan sebelumnya.
[22]. Tafsiir Ibni Katsir (VI/220).
[23]. Lihat Tafsiir ath-Thabari (XX/16), Tafsiir al-Qurthubi (XIII/237-238), dan Tafsiir asy-Syaukani (IV/152).
[24]. Tafsiir ath-Thabari (XX/16).