Kamis, 20 Juli 2017
Nikah Dibatalkan, Cincin Tunangan Dikembalikan?
Tanya :
Saya sudah memberi cincin kepada seorang wanita sebagai tanda dia untuk menjadi istri saya lalu dia membatalkan nya bagaimana sikat saya?bahwa kedua belah pihak sudah setuju,terima kasih
Jawab :
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du, Lamaran (khitbah) merupakan pengantar pernikahan. Sehingga, status khitbah hanya sebatas janji untuk menikah, dan bukan akad yang mengikat. Karena itu, membatalkan akad nikah setelah khitbah, diperbolehkan, karena ini merupakan hak masing-masing calon pasangan.
Bagian dari tradisi masyarakat kita, dalam kegiatan lamaran, umumnya terjadi pemberian hadiah. Calon suami memberikan hadiah ke calon istri atau sebaliknya. Termasuk diantaranya adalah cincin tunangan.
Jika akad nikah tidak jadi dilangsungkan, sementara calon suami telah memberikan hadiah ke calon istri, apakah hadiah harus dikembalikan?
Sebelumnya, kita akan membaca beberapa dalil yang membicarakan masalah hadiah,
[1] Hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُعْطِىَ عَطِيَّةً أَوْ يَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعَ فِيهَا إِلاَّ الْوَالِدَ فِيمَا يُعْطِى وَلَدَهُ
Tidak halal bagi seseorang yang memberi hadiah atau hibah, lalu dia menariknya kembali. Kecuali pemberian orang tua kepada anaknya. (HR. Abu Daud 3541, Ibnu Hibban 5123 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
[2] Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرَّجُلُ أَحَقُّ بِهِبَتِهِ مَا لَمْ يُثَبْ مِنْهَا
“Seorang itu lebih berhak dengan hibahnya selama orang yang diberi belum membalasnya” (HR Ibnu Majah 2477 dan ad-Daruquthni 3014).
Secara eksplisit, dua hadis ini terlihat bertentangan. Hadis pertama secara tegas melarang menarik kembali pemberian, hibah atau hadiah yang sudah kita serahkan ke orang lain. Hadis kedua membolehkan menarik kembali hibah, selama belum dibalas.
Sayid Sabiq menyebutkan keterangan Ibnul Qoyim untuk memahami kompromi kedua hadis ini,
ويكون الواهب الذي لا يحل له الرجوع هو من وهب تبرعا محضا لا لاجل العوض، والواهب الذي له الرجوع هو من وهب ليتعوض من هبته، ويثاب منها
Pemberi hibah yang tidak halal menarik kembali hibahnya adalah orang yang memberi hibah secara suka rela – semata untuk tujuan sosial –, bukan untuk mengharapkan imbalan. Sementara pemberi hibah yang berhak menarik kembali hibahnya adalah orang yang memberi hibah karena mengharap imbalan dan balasan. (Fiqh as-Sunah, 2/33)
Kesimpulan ini, berdasarkan keterangan at-Turmudzi. Beliau mengatakan,
والعمل على هذا الحديث عند بعض أهل العلم من أصحاب النبى -صلى الله عليه وسلم- وغيرهم قالوا من وهب هبة لذى رحم محرم فليس له أن يرجع فيها ومن وهب هبة لغير ذى رحم محرم فله أن يرجع فيها ما لم يثب منها
Para ulama di kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya, mengamalkan hadis ini. Mereka mengatakan, “Orang yang menghibahkan sesuatu kepada kerabat yang menjadi mahramnya maka dia tidak boleh menariknya” (Jami’ at-Turmudzi, 5/251).
Hadiah Lamaran
Ketika seorang calon suami memberi hadiah kepada calon istri, latar belakang terbesarnya adalah karena beliau berharap hubungan mereka bisa dilanjutkan sampai jenjang pernikahan. Untuk mendapatkan harapan itu, salah satu pasangan memberikan hadiah.
Karena itulah, ketika terjadi perpisahan, dan lamaran tidak dilanjutkan ke jenjang pernikahan, apakah hadiah dari calon suami bisa ditarik?
Ulama berbeda pendapat dalam hal ini,
[1] Dalam madzhab Malikiyah diberikan rincian,
Jika yang membatalkan pernikahan adalah pihak calon istri, maka calon suami berhak untuk menarik kembali hadiahnya. Baik hadiah itu masih utuh, atau sudah dihabiskan. Jika tidak utuh, diganti dengan yang semisal atau dibayar dengan uang. Namun jika yang membatalkan adalah pihak calon suami, tidak ada hak bagi calon suami untuk menarik hadiah yang telah dia berikan ke pihak wanita.
Sayid Sabiq mengatakan,
وللمالكية في ذلك تفصيل بين أن يكون العدول من جهته أو جهتها: فإن كان العدول من جهته فلا رجوع له فيما أهداه، وإن كان العدول من جهتها فله الرجوع بكل ما أهداه، سواء أكان باقيا على حاله، أو كان قد هلك، فيرجع ببدله إلا إذا كان عرف أو شرط، فيجب العمل به.
Menurut Malikiyah, dalam hal ini ada rincian, apakah yang membatalkan pihak lelaki ataukah pihak wanita. Jika yang membatalkan pihak lelaki, maka si calon suami tidak memiliki hak untuk membatalkan hadiah yang telah dia berikan. Jika yang membatalkan pihak wanita, maka pihak lelaki berhak menarik semua hadiah yang pernah dia berikan. Baik hadiah itu masih utuh, atau sudah rusak, dan diganti. Kecuali jika ada kesepakatan atau ada tradisi yang berlaku di masyarakat, maka harus mengikuti aturan kesepakatan atau tradisi itu. (Fiqh as-Sunah, 2/33)
[2] Sementara dalam Madzhab Syafiiyah, jika tidak jadi nikah, maka semua hadiah boleh ditarik, siapapun yang membatalkannya.
Sayid Sabiq menyatakan,
وعند الشافعية ترد الهدية سواء أكانت قائمة أم هالكة، فإن كانت قائمة؛ ردت هي ذاتها، وإلا ردت قيمتها. وهذا المذهب قريب مما ارتضيناه.
“Menurut Syafiiyyah, hadiah bisa ditarik baik masih utuh atau pun tidak. Jika masih utuh, dikembalikan utuh.
Jika sudah tidak utuh, dikembalikan nilai hadiah. Dan madzhab ini lebih mendekati yang kami setujui. (Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq 2/28).
Berdasarkan keterangan di atas, cincin tunangan yang pernah anda berikan ke pihak wanita, boleh diminta kembali. Meskipun boleh saja anda tidak memintanya, dan anda ikhlaskan. Karena ini murni hak pemberi hadiah.
Demikian, Allahu a’lam.
[Http://Cerkiis.blogspot.com, Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits, sumber: disini]