BULAN SYA’BAN
Bulan Sya’ban adalah bulan yang mulia, hendaknya kita mengisinya dengan memperbanyak amalan ibadah dan puasa secara khusus untuk melatih diri persiapan menyambut bulan Ramadhan agar nanti tidak kaget dengan perubahan spontan sehingga terasa berat bagi kita. Oleh karena itu, Rasulullah memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : مَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ, وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِيْ شَعْبَانَ
Dari Aisyah berkata: Saya tidak pernah mengetahui Nabi puasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan, dan saya tidak pernah mengetahui dia lebih banyak berpuasa daripada di bulan sya’ban. [120]
Hikmah memperbanyak puasa di bulan Sya’ban dijelaskan dalam hadits yang lain:
عَنْ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ قَالَ : قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ, لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ, قَالَ : ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ, وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ, فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
Dari Usamah bin Zaid berkata: Saya bertanya: Wahai Rasulullah, saya tidak melihatmu berpuasa di bulan seperti engkau berpuasa di bulan Sya’ban (karena seringnya), beliau menjawab: “Bulan itu banyak manusia lalai[121], yaitu antara Rojab dan Ramadhan, bulan diangkat amal-amal kepada Robb semesta alam, dan saya ingin untuk diangkat amalku dalam keadaan puasa”.[122]
Hikmah lainnya adalah untuk persiapan bulan Ramadhan agar hati dan badan siap untuk menyambutnya dengan kesegaran dalam menjalan ketaatan kepada Allah[123].
Malam Nishfu Sya’ban
Sesungguhnya Allah adalah Pencipta waktu dan tempat, Dia melebihkan bulan Ramadhan dari bulan-bulan lainnya, hari jum’at dari hari-hari lainnya. Demikian juga, Dia melebihkan Mekkah, Madinah dan Baitul maqdis dari tempat-tempat lainnya.
Namun, sebagian orang merasa kurang puas dengan keutamaan yang diberikan oleh Allah, sehingga mereka membuat-buat musim dalam rangka beribadah kepada Allah, hanya berdasarkan hadits-hadits lemah dan palsu. Diantara musim yang digandrungi banyak orang tanpa dalil tersebut adalah malam nishfu sya’ban[124].
Masalahnya, benarkah malam nisfhu sya’ban tidak memiliki suatu keutamaan?! Kalaulah memang memiliki keutamaan, apakah hal itu berarti kita mengkhususkan untuknya amalan-amalan tertentu?! Inilah yang akan menjadi topik bahasan kita kali ini. Kita berdo’a kepada Allah agar memberikan kita kelezatan sunnah dan menjauhkan kita dari perkara-perkara bid’ah. Amiin.
Ketahuilah wahai saudaraku tercinta -semoga Allah selalu merahmatimu- bahwa banyak sekali riwayat-riwayat yang beredar di tengah masyarakat seputar nishfu Sya’ban, padahal kebanyakan hadits-hadits tersebut tidak shahih dalam timbangan ahli hadits.
Imam Qurthubi berkata dalam Tafsirnya 16/128, “Tentang malam nishfu Sya’ban tidak terdapat satu hadits pun yang dapat dijadikan sandaran, baik mengenai keutamaannya atau tentang pembatalan ajal seseorang, maka janganlah kalian mengacuhkannya!”
Benar, ada suatu riwayat tentang keutamaan malam nishfu Sya’ban yang dishahihkan oleh sebagian ahli ilmu, yaitu sebagai berikut:
يَنْزِلُ اللهُ تَبَارَكَ وَ تَعَالَى إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ, فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ, إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
Alloh Tabaraka wa Ta’ala turun kepada makluk-Nya pada malam nishfu Sya’ban, lalu Dia mengampuni seluruh makhluk-Nya kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.
SHOHIH. Diriwayatkan dari jalan beberapa sahabat yaitu Muadz bin Jabal, Abu Tsa’labah al-Hutsani, Abdullah bin Umar, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah, Abu Bakar ash-Shiddiq, Auf bin Malik, dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum ajma’in. [125]
Kesimpulannya, hadits ini dengan terkumpulnya jalan-jalan riwayat yang banyak ini bisa terangkat kepada derajat shahih dengan tanpa ragu lagi, karena keshahihan bisa dengan lebih kecil bilangannya dari jalur-lalur ini selama tidak terlalu parah lemahnya sebagaimana telah mapan dalam disiplin ilmu hadits ini[126]. Maka apa yang dinukil oleh Syaikh al-Qosimi dalam Ishlahul Masajid hal. 107 dari ahli hadits bahwa tidak ada hadits shahih satupun tentang keutamaan malam nishfu sya’ban, maka tidak bisa manjadi pegangan, karena hal itu meruapakan tindakan gegabah sebelum meneliti jalur-jalur ini.
Hadits ini dijadikan pedoman oleh sebagian kalangan untuk mengkhusukan malam nishfu sya’ban dengan ibadah-ibadah tertentu seperti shalat, sedekah, membaca Al-Qur’an dan sebagainya. Maka untuk meluruskan kesalafahaman ini, kami katakan:
Perlu diingat bersama bahwa hadits ini hanya menunjukkan keutamaan malam nishfu Sya’ban saja seperti halnya hadits-hadits umum lainnya yang membicarakan tentang keutamaan hari dan malam tertentu. Hadits ini sama sekali tidak menunjukkan anjuran mengkhususkannya dengan amalan shalat, puasa, khataman al-Qur’an, maupun amalan ibadah lainnya, lebih-lebih perayaan malam nishfu sya’ban seperti yang biasa dilakukan masyarakat kita. Kalaulah memang demikian pemahamannya, tentunya para ulama salaf, khususnya para sahabat Nabi akan mengamalkannya, namun anehnya hal itu tidak dinukil dari mereka sedikitpun padahal dalam waktu yang sama, mereka meyakini bahwa malam nishfu sya’ban adalah malam yang utama.[127]
Kita bertanya-tanya: Apakah para sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits di atas memahami darinya pengkhususan amalan-amalan tertentu pada malam tersebut?! Bukankah mereka adalah manusia yang paling faham tentang makna hadits dan paling semangat dalam mengamalkannya?!
Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz berkata: “Seandainya mengkhususkan ibadah pada malam tersebut disyari’atkan, tentunya malam Jum’at lebih utama daripada selainnya, sebab hari jum’at adalah hari yang paling utama berdasarkan dalil-dalil yang shahih. Nah, tatkala Nabi memperingatkan kepada umatnya dari mengkhususkannya dengan sholat malam, maka hal itu menunjukkan bahwa malam selainnya lebih utama untuk tidak boleh kecuali kalau ada dalil yang mengkhususkannya.
Oleh karena itu, tatkala malam Lailatul Qodr dan malam bulan Ramadhan disyari’atkan untuk menghidupkannya dengan ibadah, maka Nabi menganjurkan umatnya untuk menghidupkannya dan beliau sendiri juga memberikan contoh. Seandainya malam nishfu sya’ban dan malam jum’at awal bukan Rajab atau malam isra’ mi’raj disyari’atkan untuk mengkhususkannya dengan perayaan atau ibadah tertentu, tentu Nabi akan menganjurkan kepada umatnya atau mencontohkannya. Dan seandainya hal itu terjadi, niscaya akan dinukil oleh para sahabat kepada umat dan mereka tidak akan menyembunyikannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia dan bersemangat memberi nasehat setelah para Nabi”.[128]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Adapun mengkhususkan puasa pada hari nishfu Sya’ban, tidak ada dasarnya, bahkan haram. Demikian pula menjadikannya sebagai perayaan, dengan membuat makanan dan menampakkan perhiasan. Semua ini merupakan perayaan-perayaan bid’ah yang tidak berdasar sama sekali. Termasuk pula berkumpul untuk melakukan shalat Alfiyah di masjid-masjid. Karena melaksanakan shalat sunnah pada waktu, jumlah raka’at, dan bacaannya tertentu yang tidak disyari’atkan, hukumnya haram…. Dan jika tidak disunnahkan maka haram mengamalkannya. Seandainya malam-malam yang mempunyai keutamaan tertentu disyari’atkan untuk dikhususkan dengan melakukan shalat, tentunya amalan shalat tersebut disyari’atkan pula untuk dilakukan pada malam Idul Fithri, Idul Adhha, dan hari Arafah.”[129]
As-Suyuthi berkata: “Memang ada riwayat dan atsar yang marfu’. Ini sebagai dalil bahwa bulan Sya’ban adalah bulan mulia. Akan tetapi tidak ada dalil tentang amalan shalat secara khusus dan menyemarakkannya.” [130]
Walhasil, malam nishfu sya’ban memang malam yang utama, tetapi bukan berarti disyariatkan untuk mengkhususkan amalan-amalan tertentu karena hal itu membutuhkan dalil, sedangkan tidak ada dalil yang mendukungnya.
Disamping alasan di atas, ada dua alasan lainnya yang mereka jadikan sebagai landasan untuk mengkhususkan amalan-amalan tertentu pada malam nishfu sya’ban, yaitu:
1. Hadits-Hadits Palsu Tentang Amalan di Malam Nishfu Sya’ban, seperti hadits-hadits berikut:
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ a قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُوْمُوْا لَيْلَهَا وَ صُوْمُوْا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى يَنْزِلُ فِيْهَا لِغُرُوْبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُوْلُ: أَلاَ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ ! أَلاَ مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ ! أَلاَ مُبْتَلَى فَأُعَافِيَهُ ! أَلاَ كَذَا… أَلاَ كَذَا… حَتَّى يَطْلُعَ الفَجْرُ
Dari Ali bin Abu Thalib bahwasanya Rasulullah bersabda, “Apabila tiba malam nishfu Sya’ban, shalatlah pada malam harinya, dan puasalah di siang harinya, karena Alloh turun ke langit dunia di saat tenggelamnya matahari, lalu berfirman, ‘Adakah yang meminta ampun kepada-Ku, Aku akan mengampuninya. Adakah yang meminta rizki kepada-Ku, Aku akan memberinya rizki. Adakah yang sakit, Aku akan menyembuhkannya. Adakah yang demikian…. Adakah yang demikian…. Sampai terbit fajar.’”
MAUDHU’. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 1388 dan Baihaqi dalam Fadha’ilul Auqat 24. Tetapi dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama Abu Bakr bin Muhammad bin Abi Sabrah, seorang rawi yang lemah dengan kesepakatan ulama. Ibnu Rajab berkata: “Sanadnya dha’if/lemah.”[131] Bahkan al-Muhaddits al-Albani berkata: “Hadits ini maudhu’ (palsu).”[132]
يَا عَلِيُّ! مَنْ صَلَّى مِائَةَ رَكْعَةٍ لَيْلَةَ النِصْفِ مِنْ شَعْبَانَ يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ وَ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ عَشَرَ مَرَّاتٍ إِلاَّ قَضىَ اللهُ لَهُ كُلَّ حَاجَةٍ
Wahai Ali, barangsiapa shalat seratus raka’at pada malam nishfu Sya’ban dengan membaca surat al-Fatihah dan ‘Qul huwa Allohu ahad’ (surat al-Ikhlas) pada setiap raka’at sepuluh kali, maka Alloh akan memenuhi seluruh kebutuhannya.
MAUDHU’ (palsu) dengan kesepakatan ahli hadits[133]. Ibnul Jauzi berkata: “Tidak diragukan lagi, hadits ini adalah maudhu’.” Kemudian lanjutnya, “Dan sungguh kita telah melihat mayoritas orang melakukan shalat Alfiyah ini sampai larut malam, sehingga mereka pun malas shalat Shubuh atau bahkan tidak shalat Shubuh.”[134]
Ibnul Qayyim berkata: “Di antara contoh hadits-hadits maudhu’ adalah hadits tentang shalat nishfu Sya’ban.” Lalu lanjutnya, “Sungguh sangat mengherankan, ada seorang yang mengerti ilmu hadits, namun tertipu dengan hadits-hadits semacam ini lalu mengamalkannya. Padahal shalat seperti ini baru disusupkan dalam Islam setelah tahun 400 Hijriyah dan berkembang di Baitul Maqdis.”[135] Al-Iraqi berkata: “Hadits tentang sholat nishfu Sya’ban adalah bathil”.[136]
Demikian pula hadits-hadits sejenisnya, semuanya palsu dan tidak ada yang shohih satupun. Perhatikanlah!![137]
2. Amalan sebagian Salaf dari penduduk Syam seperti Khalid bin Mi’dan, Makhul, Luqman bin Amir.
Jawab:
Pertama: Apakah amalan mereka bisa dijadikan landasan dalam agama?! Sejak kapankah hal itu terjadi?! Sesungguhnya agama kita dibangun di atas al-Qur’an dan al-Hadits yang shahih, bukan amalan manusia yang bisa salah dan bisa benar.
Kedua: Mayoritas ulama telah mengingkari perbuatan mereka, seperti Atho’, Ibnu Abi Mulaikah, kawan-kawan Imam Malik dan sejumlah tabi’in yang banyak sekali.
Zaid bin Aslam berkata: “Kami tidak menemukan seorang-pun dari sahabat kami, tidak pula fuqahanya, yang mempedulikan malam nishfu Sya’ban. Mereka pun tidak acuh terhadap hadits Makhul, dan mereka berpendapat malam nishfu Sya’ban tidak lebih utama dibanding malam selainnya.”[138]
Ibnu Abi Malikah diberitahu bahwa Ziyad an-Numairi berkata: “Pahala malam nishfu Sya’ban sama dengan pahala lailatul qadar.” Beliau menjawab, “Seandainya saya mendengar sedangkan di tangan saya ada tongkat, tentu saya pukul dia.”[139]
Kemudian kita katakan juga: Kalau amalan sahabat saja tidak bisa dijadikan hujjah apabila diingkari sahabat lainnya, lantas bagaimana kiranya dengan amalan tabi’in?! Tentunya, lebih utama[140].
Ketiga: Kita berbaik sangka barangkali maksud mereka adalah tidak mengkhususkan malam nishfu sya’ban, tetapi memang demikian kebiasaan mereka dalam ibadah dan bertepatan dengan malam nishfu sya’ban. Hal ini tidak apa-apa, karena yang terlarang adalah mengkhususkannya, adapun orang yang memang terbiasa dengan ibadah sholat malam, dzikir dan sebagainya lalu dia melakukannya pada nishfu sya’ban maka tidak apa-apa.
BID’AH-BID’AH DI MALAM NISFHU SYA’BAN
Memuliakan bulan puasa Ramadhan adalah dengan menyambutnya secara baik dan melatih diri dengan puasa di bulan Sya’ban. Adapun pengkhususan malam nishfi sya’ban, berkumpul untuk menghidupkannya dengan sholat, doa dan sebagainya, maka semua itu tidak ada dalil yang shahih darti Nabi, dan tidak dikenal oleh generasi awal umat ini[141]. Demikian juga ritual-ritual lainnya yang tidak berdasarkan agama.
Berikut ini akan kami sebutkan secara ringkas beberapa bid’ah yang biasa dilakukan sebagian kalangan pada malam nishfu sya’ban, agar kita mewaspadainya dan menjadi senjata bagi kita semua.
1. Sholat Nishfu Sya’ban, Membaca Yasin dan Doa
Tata caranya sebagai berikut: “Melakukan sholat maghrib dua rakaat, rakaat pertama membaca Al-Fatihah dansuratal-Kafirun, sedangkan rakaat kedua membaca al-Fatihah dansuratal-Ikhlas. Setelah salam, membaca surat Yasin sebanyak tiga kali, bacaan pertama dengan niat minta panjang umur untuk ibadah kepada Allah, bacaan kedua dengan niat minta rizki yang baik serta halal sebagai bekal ibadah kepada Allah, bacaan ketiga dengan niat ditetapkan iman. Setelah itu membaca doa nisfhfu sya’ban yang awalnya adalah sebagai berikut:
اللَّهُمَّ يَا ذَا الْمَنِّ, وَلاَ يَمُنُّ عَلَيْكَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ…إلخ
Ya Allah, Wahai Dzat Yang memiliki kenikmatan, tidak ada yang memberi nikmat kepadamu wahai Dzat Yang Memiliki kemulian…dst[142]
Kami katakan: Tidak ragu bahwa tata cara ibadah seperti adalah kebid’ahan (perkara yang baru) dalam agama, padahal Rasulullah telah bersabda
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka ia tertolak. [143]
Amalan ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Imam Nawawi berkata: “Shalat Rajab dan Sya’ban, keduanya merupakan bid’ah yang jelek dan kemungkaran yang tercela. Janganlah tertipu dengan disebutkannya hal itu dalam kitab Quuthul Qulub dan Ihya’ Ulumuddin”.[144]
Az-Zabidi juga berkata dalam Syarh Ihya’: “Sholat ini masyhur dalam kitab orang-orang belakang dari kalangan Shufiyyah. Saya tidak menjumpai landasan yang shohih dari sunnah tentang sholat dan doa tersebut, kecuali amalan sebagian masayikh.Para sahabat kami mengatakan: Dibenci berkumpul untuk menghidupkan malam ini di masjid atau selainnya.
An-Najm al-Ghoithi berkata tentang sifat menghidupkam malam nishfu sya’ban secara berjama’ah: “Hal itu diingkari oleh kebanyakan ulama dari ahli Hijaz seperti Atho’, Ibnu Abi Mulaikah dan para fuqoha’ Madinah serta para sahabat Imam Malik, mereka mengatakan: “Semua itu adalah bid’ah, tidak ada dalilnya dari Nabi dan para sahabatnya”.
Adapun doa nishfu sya’ban di atas, itu juga tidak ada asalnya sebagaimana ditegaskan oleh az-Zabidi. Penulis kitab “Asnal Matholib” juga mengatakan bahwa itu adalah buatan sebagian orang, dikatakan bahwa pembuatnya adalah al-Buuni[145]“.
Wahai hamba Allah, suatu ibadah yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah serta amalan para sahabat, bagaimana kalian melakukannya?! Padahal para sahabat mengatakan: “Semua ibadah yang tidak dilakukan oleh para sahabat Nabi, maka janganlah kalian melakukannya”.[146]
2. Mengadakan Perayaan Malam Nishfu Sya’ban
Sudah menjadi kebiasaan manusia pada zaman sekarang untuk mengadakan malam nishfu sya’ban sebagaimana lazimnya perayaan-perayaan resmi dan kenegeraan lainnya. Perayaan ini sama dengan perayaan-perayaan lainnya yang tidak ada asalnya dalam syari’at. Anehnya, media-media begitu perhatian mengambil andil dalam melariskannya!!
Aduhai, kalau sekiranya mereka mengikuti agama Allah dan menegakkan syari’at Allah serta berhukum dengan Al-Qur’an dan sunnah, tentu itu lebih baik bagi mereka, daripada melariskan hal-hal yang jauh dari agama. Wallahul Musta’an.
Lebih menyedihkan lagi, kita sering lihat adanya orang-orang yang dianggap berilmu dan para lulusan universitas Islam ikut hadir dalam perayaan-perayaan bid’ah ini dan tidak mengingkarinya dengan alasan untuk kemaslahatan dakwah (!). Sungguh hal ini adalah suatu kemunkaran dari beberapa segi:
1. Diam dari kemunkaran, karena mereka akan mendengarkan beberapa penyimpangan dan celaan, sindiran atau bahkan penyesatan terhadap orang-orang yang tidak merayakannya.
2. Menguatkan kebatilan dan memperbanyak jumlah ahli kebatilan
3. Akan dijadikan alasan orang-orang awam, sehingga tatkala diingkari dia mengatakan: “Si fulan aja ikut hadir kok”.[147]
3. Keyakinan Bahwa Malam Nishfu Sya’ban adalah Malam Lailatul Qodr
Mereka berdalil dengan firman Allah:
إِنَّآ أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ
sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (QS. Ad-Dukhon: 3)
Mereka mengatakan: Maksud ayat ini adalah malam nishfu sya’ban sebagaimana diriwayatkan dari Makhul dan sebagainya.
Namun ini adalah penafsiran yang bathil, karena maksud ayat tersebut adalah malam Lailatul Qodr. Al-Hafizh Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas: “Maksudnya adalah malam lailatul Qodr sebagaimana firman Allah:
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam kemuliaan. (QS. Al-Qodr: 1)
Dan hal itu pada bulan Ramadhan, sebagaimana firman-Nya:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ
Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 185)
Barangsiapa mengatakan maksudnya adalah malam nishfu sya’ban sebagaimana diriwayatkan dari Ikrimah, maka sungguh dia telah jauh dari kebenaran, sebab Al-Qur’an telah menegaskan bahwa Al-Qur’an turun ada bulan Ramadhan”.
Pendapat Ibnu Katsir ini dikuatkan oleh sejumlah para ulama ahli tafsir, seperti Ibnu Jarir ath-Thobari, ar-Razi, al-Qurthubi, asy-Syaukani, Ibnul Arabi, asy-Syinqithi dan lain sebagainya.Bahkan, dengan tegaskan Imam Ibnu Dihyah berkata: “Sangat aneh sekali apa yang disebutkan oleh sebagian ahli tafsir bahwa maksud malam berbarokah itu adalah malam nishfu Sya’ban. Alangkah jauhnya ucapan ini dari keimanan, ucapan ini telah mendustakan Al-Qur’an, karena Al-Qur’am tidak diturunkan pada bulan Sy’aban”.[148]
4. Keyakinan Bahwa Pada Malam Nishfu Sya’ban adalah Penentuan Ajal, Umur dan Rizki
Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang lemah dan palsu, seperti Utsman bin al-Mughirah
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ المُغِيْرَةِ a قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ n: تُقْطَعُ الآجَالُ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى شَعْبَانَ, حَتَّى إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْكِحُ وَ يُوْلَدُ لَهُ، وَلَقَدْ خَرَجَ اسْمُهُ فِيْ الْمَوْتَى
Dari Utsman bin Mughirah bahwasanya Nabi bersabda, “Ajal manusia telah ditetapkan dari bulan Sya’ban ke Sya’ban berikutnya, sehingga ada seorang yang menikah dan dikaruniai seorang anak, lalu namanya keluar sebagai orang-orang yang akan mati.”
Hadits ini MURSAL[149], diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Jami’ul Bayan 25/109 dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 3839, tetapi terhenti sampai pada Utsman bin al-Mughirah saja, tidak sampai Nabi n/. Oleh karenanya, Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya 4/145: “Hadits mursal, tidak dapat dijadikan hujjah.”
Maka keyakinan ini adalah kelancangan dalam masalah ghaib tanpa dalil yang kuat, bahkan kalau kita kritis ternyata isi hadits ini adalah munkar, karena penulisan dan penetapan ajal, rizki telah ada sebelum penciptaan Nabi Adam. Syaikh al-Ghumari membawakan delapan hadits palsu tentang masalah ini, lalu berkata: “Tetapi semuanya adalah lemah, dan menyelisihi kandungan A-Qur’an”.[150] Wallahu A’lam.
[Cerkiis.blogspot.com, Sumber: "Ensiklopedi Amalan Setiap Bulan", Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi]
Footnote :
[120] HR. Bukhari: 1969, Muslim: 782.
[121] Ketahuilah behawa menghidupkan waktu yang dilalaikan manusia memiliki beberapa faedah:
Pertama: Lebih tersembunyi dan jauh dari riya’.
Kedua: Lebih berat bagi jiwa, karena tabi’at manusia ingin ikut kebanyakan manusia.
Ketiga: Membela dan melindungi seluruh manusia dengan ketaatannya dari bencana. (Lihat Lathoiful Ma’arif hlm. 253).
[122] HR. Nasai 4/4201, Ahmad 5/201 dan dihasankan Syaikh al-Albani dalam Ash-Shahihah 4/1898.
[123] Lathoiful Ma’arif hlm. 258.
[124] Husnul Bayan fimaa Warada fi Lailati Nishfi Sya’ban, Masyhur Hasan Salman hal. 3-4.
[125] Diringkas dari Silsilah Ahadits ash-Shahihah 3/135139/no. 1144 oleh al-Albani dan Husnul Bayan oleh Masyhur Hasan. Bagi yang ingin memperluas pembahasan takhrij hadits ini, silahkan membaca kedua kitab tersebut.
[126] Syaikh al-Albani berkata: “Merupakan perkara yang masyhur di kalangan ahli hadits bahwa suatu hadits apabila datang dari beberapa jalur yang banyak, maka bisa terangkat derajatnya, sekalipun satu persatu riwayatnya lemah. Tetapi hal ini tidak secara mutlak, namun dengan syarat tidak terlalu parah”. (Tamamul Minnah hal. 31)
[127] Hidayah Hairan Ila Hukmi Lailatin Nishfi Min Sya’ban, Muhammad bin Musa Nashr hal. 13-14
[128] At-Tahdzir Minal Bida’ hal. 15-16
[129] Iqtidha’ Sirathil Mustaqim 2/138
[130] Al-Amru bil Ittiba’ hal. 177-178
[131] Latha’iful Ma’arif 1423
[132] Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah: 2132
[133] Iqtidho’ Shiratil Mustaqim, Ibnu Taimiyyah 2/138
[134] Al-Maudhu’at 2/129,
[135] Al-Manarul Munif hal. 98-99,
[136] Al-I’tibar fi Hamlil Asfar, as-Suwaidi hal. 29
[137] Lihat pula Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah: 522, 1452
[138] Al-Baits ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits, Ibnu Wadhoh no. 119
[139] Al-Mushonnaf, Abdur Rozzaq 4/317-318
[140] Perbuatan dan perkataan tabi’in, apabila mereka ijma’ (bersepakat) tentang sesuatu maka bisa dijadikan hujjah, adapun apabila mereka berselisih maka ucapan mereka bukanlah hujjah, tetapi dikembalikan kepada Al-Qur’an, sunnah dan ucapan para sahabat. (lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 13/137, Al-Muswaddah Alu Taimiyyah hal. 339)
[141] Fatawa Syaikh Syaltut hal. 105-106, tahqiq Ali Hasan al-Halabi
[142] Disalin dari kitab yang berbahasa Arab pegon Majmu’ Syarif hal. 100-101, cetMaktabah Dahlan,Indonesia.
[143] HR. Muslim: 1718.
[144] Al-Majmu’ Syarh Muhadzab 4/56.
[145] Dia adalah Ahmad bin Ali al-Buni, penulis kitab khurafat dan sihir “Syamsul Ma’arif Kubro”, sekalipun orang-orang kita menyebutnya dengan “kitab lmu hikmah”!!. Lihat tentang kitab tersebut dalam Kutub Hadzara Minha Ulama, Masyhur Hasan Salman 1/124, 143, Fatawa Islamiyyah 3/365, Majalah Al Furqon edisi 12/Th. V hal. 51
[146] As-Sunan wal Mubtada’at Muhammad Abdus Salam hal. 166. Lihat pula Fatawa Syaikh Muhammad Syaltut hal. 103-104, al-Bida’ wal Muhdatsat hal. 587, Fatawa Lajnah Daimah no. 2222, Bida’ wa Akhtho‘ Ahmad as-Sulami hal. 358-359, Fatawa Mu’ashiroh al-Qordhowi 1/379-383.
[147] Taslih Suj’an bi Hukmil Ihtifal bi Lailat Nishfi min Sya’ban , Abdullah al-Maqthiri2/21, Ahadits Muntasyirah Laa Tatsbutu Ahmad as-Sulami hal. 346
[148] Maa Wadhuha was Tabana fi Fadhoili Syahri Sya’ban hlm. 40-41.
[149] Defenisi mursal yang populer di kalangan mayoritas ahli hadits adalah suatu hadits yang diriwayatkan dari tabi’in langsung kepada Rasulullah. (lihat Jami’ Tahshil fi Ahkamil Marasil al-Ala’I hal. 31). Dan hadits mursal termasuk dalam kategori hadits yang lemah karena terputusnya sanad.
[150] Husnul Bayan fi Lailatin Nishfi Min Sya’ban, hal. 368