BULAN ROJAB
Memang benar, keutamaan bulan dalam kalender hijriyah itu bertingkat-tingkat, begitu juga hari-harinya. Misalnya, bulan Ramadhan lebih utama dari semua bulan, hari Jum’at lebih utama dari semua hari, malam Lailatul Qadar lebih utama dari semua malam, dan sebagainya. Namun, harus kita pahami bersama bahwa timbangan keutamaan tersebut hanyalah syari’at, yakni al-Qur’an dan hadits yang shahih, bukan hadits-hadits dha’if (lemah) dan maudhu’ (palsu).
Di antara bulan Islam yang ditetapkan kemuliaannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah adalah bulan Rajab. Namun sungguh sangat disesalkan beredarnya riwayat-riwayat yang dha’if dan palsu seputar bulan Rajab serta amalan-amalan khusus di bulan Rajab di tengah masyarakat kita. Hal ini dijadikan senjata oleh para pecandu bid’ah mempromosikan kebid’ahan-kebid’ahan ala jahiliyah di muka bumi ini.
Dari sinilah, terasa pentingnya penjelasan secara ringkas tentang pembahasan seputar bulan Rajab dan amalan-amalan manusia yang menodainya dengan riwayat-riwayat lemah dan palsu.
A. Rajab, Definisi dan Keutamaannya
“Rajab” secara bahasa diambil dari kata « رَجَبَ الرَّجُلُ رَجَبًا » artinya: mengagungkan dan memuliakan. Rajab adalah sebuah bulan. Dinamakan dengan “Rajab” dikarenakan mereka dahulu sangat mengagungkannya pada masa jahiliyah, yaitu dengan tidak menghalalkan perang di bulan tersebut.[90]
Tentang keutamaannya, Alloh telah berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتَابِ اللهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّماَوَاتِ وَاْلأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ فَلاَتَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Alloh adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Alloh di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu. (QS. at-Taubah: 36)
Imam Thabari berkata, “Bulan itu ada dua belas, empat di antaranya merupakan bulan haram (mulia), di mana orang-orang jahiliyah dahulu mengagungkan dan memuliakannya. Mereka mengharamkan peperangan pada bulan tersebut. Hingga seandainya ada seseorang bertemu dengan pembunuh bapaknya, dia tidak akan menyerangnya. Bulan empat itu adalah Rajab Mudhar, dan tiga bulan berurutan: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Demikianlah dinyatakan dalam hadits-hadits Rasulullah.”[91]
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya 4662 dari Abu Bakrah bahwasanya Nabi bersabda:
إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِيْ بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaannya tatkala Alloh menciptakan langit dan bumi, setahun ada dua belas bulan di antaranya terdapat empat bulan haram, tiga bulan berurutan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab Mudhar yang terletak antara Jumada (akhir) dan Sya’ban.
Diantara dalil yang menunjukkan bahwa bulan Rajab sangat diagungkan oleh manusia pada masa jahiliyah adalah riwayat Ibnu Abi Syaibah[92] dari Kharasyah bin Hurr, ia berkata, “Saya melihat Umar memukul tangan-tangan manusia pada bulan Rajab agar mereka meletakkan tangan mereka di piring, kemudian beliau (Umar) mengatakan, ‘Makanlah oleh kalian, karena sesungguhnya Rajab adalah bulan yang diagungkan oleh orang-orang jahiliyah.’”
B. Riwayat Seputar Rajab
Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah berkata: “Setiap hadits yang menyebutkan tentang puasa rojab, sholat sebagian malamnya, semuanya adalah dusta”.[93]
Al-Fairuz Abadi berkata: “Bab puasa Rojab dan keutamaannya tidak ada yang shahih satu haditspun, bahkan telah datang hadits yang menunjukkan dibencinya hal itu”.[94]
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Tidak ada hadits shahih yang dapat dijadikan hujjah seputar amalan khusus di bulan Rajab, baik puasa maupun shalat malam dan sejenisnya. Dan dalam menegaskan hal ini, aku telah didahului oleh Imam Abu Ismail al-Harawi al-Hafizh, kami meriwayatkan darinya dengan sanad shahih, demikian pula kami meriwayatkan dari selainnya.”[95]
Al-Hafizh Ibnu Hajar juga berkata, “Hadits-hadits yang datang secara jelas seputar keutamaan Rajab atau puasa di bulan Rajab terbagi menjadi dua; dha’if dan maudhu’.”
Al-Hafizh telah mengumpulkan hadits-hadits seputar Rajab, maka beliau mendapatkan sebelas hadits berderajat dha’if dan dua puluh satu hadits berderajat maudhu’. Berikut ini kami nukilkan sebagian hadits dha’if dan maudhu’ tersebut:
إِنَّ فيِ الْجَنَّةِ نَهْرًا يُقَالُ لَهُ رَجَبٌ مَاؤُهُ أَشَدُّ بَيَاضً مِنَ اللَّبَنِ وَأَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ مَنْ صَامَ يَوُمًا مِنْ رَجَبٍ سَقَاهُ اللهُ مِنْ ذَلِكَ النَّهْرِ
Sesungguhnya di surga ada sebuah sungai yang dinamakan “Rajab”, warnanya lebih putih dari susu dan rasanya lebih manis dari madu. Barangsiapa berpuasa satu hari di bulan Rajab, niscaya Alloh akan memberinya minum dari sungai tersebut. (Hadits dha’if)
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ إِذَا دَخَلَ رَجَبًا قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فيِ رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلَغْنَا رَمَضَانَ
Rasulullah apabila memasuki bulan Rajab, beliau berdo’a, “Wahai Alloh, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban dan pertemukanlah kami dengan bulan Ramadhan.” (Hadits dha’if)
رَجَبٌ شَهْرُ اللهِ وَشَعْبَانُ شَهْرِيْ وَرَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِيْ
Bulan Rajab adalah milik Alloh, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku. (Hadits maudhu’)
فَضْلُ رَجَبٌ عَلَى سَائِرِ الشَّهْرِ كَفَضْلِ الْقُرْآنِ عَلَى سَائِرِ الأَذْكَارِ
Keutamaan bulan Rajab dibandingkan semua bulan seperti keutamaan al-Qur’an atas semua dzikir. (Hadits maudhu’)
مَنْ صَامَ مِنْ رَجَبٍ وَصَلَّى فِيْهِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ … لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَرَى مَقْعَدَهُ مِنَ الْجَنَّةِ أَوْ يُرَى لَهُ
Barangsiapa berpuasa pada bulan Rajab dan shalat empat raka’at pada bulan tersebut … niscaya dia tidak meninggal hingga melihat tempat tinggalnya di surga atau diperlihatkan untuknya. (Hadits maudhu’)
Itulah sedikit contoh hadits-hadits dha’if dan maudhu’ seputar bulan Rajab. Sengaja kami nukil secara ringkas karena maksud kami hanya untuk memberikan isyarat dan perhatian saja, bukan membahas secara terperinci.
C. Shalat Ragha’ib
Shalat Ragha’ib adalah shalat yang dilaksanakan pada malam Jum’at pertama bulan Rajab, tepatnya antara shalat Maghrib dan Isya’ dengan didahului puasa hari Kamis, dikerjakan dengan dua belas raka’at. Pada setiap raka’at membacasuratal-Fatihah sekali,suratal-Qadar tiga kali dansuratal-Ikhlas dua belas kali … dan seterusnya.
Sifat shalat seperti di atas tadi didukung oleh sebuah riwayat dari sahabat Anas bin Malik yang dibawakan secara panjang oleh Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin 1/203 dan beliau menamainya ‘shalat Rajab’ seraya berkata, “Ini adalah shalat yang disunnahkan.”
Demikianlah perkataannya –semoga Alloh mengampuninya–, padahal para pakar hadits telah bersepakat dalam satu kata bahwa hadits-hadits tentang shalat Ragha’ib adalah maudhu’. Di bawah ini, penulis nukilkan sebagian komentar ulama ahli hadits tentangnya:
1. Imam Ibnul Jauzi berkata: “Hadits shalat Ragha’ib adalah palsu, didustakan atas nama Rasulullah n/. Para ulama mengatakan hadits ini dibuat-buat oleh seseorang yang bernama Ibnu Juhaim. Dan saya mendengar syaikh (guru) kami Abdul Wahhab al-Hafizh mengatakan, ‘Para perawinya majhul (tidak dikenal), saya telah memeriksa seluruhnya dalam setiap kitab, namun saya tidak mendapatkannya.’”[96]
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Shalat Ragha’ib adalah bid’ah menurut kesepakatan para imam agama, tidak disunnahkan oleh Rasulullah, tidak pula oleh seorang pun dari khalifahnya, serta tidak dianggap baik oleh para ulama panutan, seperti Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, Sufyan ats-Tsauri, Auza’i, Laits, dan sebagainya. Adapun hadits tentang shalat Ragha’ib tersebut adalah hadits dusta, menurut kesepakatan para pakar hadits.”[97]
3. Imam Dzahabi berkata tatkala menceritakan biografi imam Ibnu Shalah: “Beliau (Ibnu Shalah) tergelincir di dalam masalah shalat Ragha’ib, beliau menguatkan dan mendukungnya padahal kebatilan hadits tersebut tidak diragukan lagi.”[98]
4. Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata: “Demikian pula hadits-hadits tentang shalat Ragha’ib pada awal malam Jum’at bulan Rajab, seluruhnya dusta, dibuat-buat atas nama Rasulullah.”[99]
5. Al-Hafizh al-Iraqi berkata: “Hadits maudhu’.”[100]
6. Al-Allamah asy-Syaukani berkata: “Maudhu’, para perawinya majhul. Dan inilah shalat Ragha’ib yang populer, para pakar telah bersepakat bahwa hadits tersebut maudhu’. Kepalsuannya tidak diragukan lagi, hingga oleh seorang yang baru belajar ilmu hadits sekalipun. Berkata al-Fairuz Abadi dalam al-Mukhtashar bahwa hadits tersebut maudhu’ menurut kesepakatan, demikian pula dikatakan oleh al-Maqdisi.”[101]
Apabila telah jelas derajat hadits Shalat Ragha’ib sebagaimana di atas, maka mengerjakannya merupakan kebid’ahan dalam agama, yang harus diwaspadai oleh setiap insan yang hendak meraih kebahagiaan. Untuk menguatkan kebid’ahan shalat Ragha’ib ini, penulis nukilkan perkataan dua imam masyhur di kalangan madzhab Syafi’i yaitu Imam Nawawi dan Imam Suyuthi –semoga Alloh merahmati keduanya–:
1. Imam Nawawi berkata: “Shalat yang dikenal dengan shalat Ragha’ib dua belas raka’at antara Maghrib dan Isya’ awal malam Jum’at bulan Rajab serta shalat malam Nisfu Sya’ban seratus raka’at, termasuk bid’ah mungkar dan jelek. Janganlah tertipu dengan disebutnya kedua shalat tersebut dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya’ Ulumuddin (oleh al-Ghazali) dan jangan tertipu pula oleh hadits yang termaktub pada kedua kitab tersebut. Sebab, seluruhnya merupakan kebatilan.”[102]
2. Imam Suyuthi berkata: “Ketahuilah –semoga Alloh merahmatimu–, mengagungkan hari dan malam ini (Rajab) merupakan perkara yang diada-adakan dalam Islam, yang bermula setelah 400 H. Memang ada riwayat yang mendukungnya, namun haditsnya maudhu’ menurut kesepakatan para ulama. Riwayat tersebut intinya tentang keutamaan puasa dan shalat pada bulan Rajab yang dinamai dengan shalat Ragha’ib. Menurut pendapat para pakar, dilarang mengkhususkan bulan ini (Rajab) dengan puasa dan shalat bid’ah (shalat Ragha’ib) serta segala jenis pengagungan terhadap bulan ini seperti membuat makanan, menampakkan perhiasan, dan sejenisnya. Supaya bulan ini tidak ada bedanya seperti bulan-bulan lainnya.”[103]
Kesimpulannya, riwayat tentang shalat Ragha’ib adalah palsu, menurut kesepakatan ahli hadits. Oleh karena itu, beribadah dengan hadits palsu merupakan kebid’ahan dalam agama, apalagi shalat Ragha’ib ini baru dikenal mulai tahun 448 H.
D. Perayaan Isra’ Mi’raj
Setiap tanggal 27 Rajab, perayaan Isra’ Mi’raj sudah merupakan sesuatu yang tak dapat terlupakan di masyarakat kita sekarang. Bahkan, hari tersebut menjadi hari libur nasional. Oleh karena itu, mari kita mempelajari masalah ini dari dua tinjauan: tinjauan sejarah dan tinjauan syari’at untuk merayakannya.
1. Tinjauan Sejarah Munculnya Perayaan Isra’ Mi’raj
Dalam tinjauan sejarah waktu terjadinya Isra’ Mi’raj masih diperdebatkan oleh para ulama. Jangankan tanggalnya, bulannya saja masih diperselisihkan hingga kini. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani memaparkan perselisihan tersebut dalam Fathul Bari (7/203) hingga mencapai lebih dari sepuluh pendapat!!Ada yang berpendapat bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada bulan Ramadhan, Syawwal, Rabi’ul Awwal, Rabi’uts Tsani … dan seterusnya.
Al-Imam Ibnu Katsir menyebutkan dari az-Zuhri dan Urwah bahwa Isra’ Mi’raj terjadi setahun sebelum Nabi hijrah ke kotaMadinah, yaitu bulan Rabi’ul Awwal. Adapun pendapat as-Suddi, waktunya adalah enam belas bulan sebelum hijrah, yaitu bulan Dzulqa’dah. Al-Hafizh Abdul Ghani bin Surur al-Maqdisi membawakan dalam Sirahnya hadits yang tidak shahih sanadnya tentang waktu Isra’ Mi’raj pada tanggal 27 Rajab. Dan sebagian manusia menyangka bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada malam Jum’at pertama bulan Rajab, yaitu malam Ragha’ib, yang ditunaikan pada waktu tersebut sebuah shalat yang masyhur tetapi tidak ada asalnya. [104]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Tidak ada dalil shahih yang menetapkan bulan maupun tanggalnya, seluruh nukilan tersebut munqathi’ (terputus) dan berbeda-beda.”[105]
Bahkan Imam Abu Syamah menegaskan, “Sebagian tukang cerita menyebutkan bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada bulan Rajab. Hal itu menurut ahli hadits merupakan kedustaan yang amat nyata.”[106]
Dari perkataan para ulama di atas, disimpulkan Isra’ Mi’raj merupakan malam yang agung, namun tidak diketahui waktunya. Agar pembaca memahami masalah ini dengan mudah, saya katakan: “Adasebagian ibadah yang berkaitan erat dengan waktu, kita tidak boleh melangkahinya, seperti shalat limawaktu. Sebagian ibadah lainnya, Alloh menyembunyikan waktunya dan memerintahkan kita berlomba-lomba mencarinya, seperti malam Lailatul Qadar. Dan ada sebagian waktu yang mulia derajatnya di sisi Alloh namun tidak ada ibadah khusus (seperti shalat dan puasa) untuknya. Oleh karena itu, Alloh menyembunyikan waktunya, seperti malam Isra’ Mi’raj.” [107]
2. Tinjauan Syari’at
Ditinjau dari segi syari’at, jika memang benar Isra’ Mi’raj terjadi pada 27 Rajab, bukan berarti waktu tersebut harus dijadikan sebagai malam perayaan dengan pembacaan kisah-kisah palsu tentang Isra’ Mi’raj. Bagi seseorang yang tidak mengikuti hawa nafsunya, tidak akan ragu bahwa hal tersebut termasuk perkara bid’ah dalam Islam. Sebab, perayaan tersebut tidaklah dikenal di masa sahabat, tabi’in, dan para pengikut setia mereka. Islam hanya memiliki tiga hari raya; Idul Fitri dan Idul Adha setiap satu tahun, dan hari Jum’at setiap satu minggu. Selain tiga ini, tidak termasuk agama Islam secuil pun. [108]
Ibnu Hajj berkata, “Termasuk perkara bid’ah yang diada-adakan orang-orang pada malam 27 Rajab adalah….” Kemudian beliau menyebutkan beberapa contoh bid’ah pada malam tersebut seperti kumpul-kumpul di masjid, ikhtilath (campur-baur antara laki-laki dan perempuan), menyalakan lilin dan pelita. Beliau juga menyebutkan, perayaan malam Isra’ Mi’raj termasuk perayaan yang disandarkan kepada agama, padahal bukan darinya.” [109]
Ibnu Nuhas berkata, “Sesungguhnya perayaan malam ini (Isra’ Mi’raj) merupakan kebidahan besar dalam agama yang diada-adakan oleh saudara-saudara setan.”[110]
Muhammad bin Ahmad asy-Syafi’i menegaskan, “Pembacaan kisah Mi’raj dan perayaan malam 27 Rajab merupakan perkara bid’ah …. Dan kisah Mi’raj yang disandarkan kepada Ibnu Abbas, seluruhnya merupakan kebatilan dan kesesatan. Tidak ada yang shahih, kecuali beberapa huruf saja. Demikian pula kisah Ibnu Sulthan, seorang penghambur yang tidak pernah shalat kecuali di bulan Rajab saja. Namun tatkala hendak meninggal dunia, terlihat padanya tanda-tanda kebaikan. Sehingga saat Rasulullah ditanya perihalnya, beliau menjawab, “Sesungguhnya dia telah bersungguh-sungguh dan berdo’a pada bulan Rajab.” Semua ini merupakan kedustaan dan kebohongan. Haram hukumnya membacakan dan melariskan riwayatnya, kecuali untuk menjelaskan kedustaannya. Sungguh sangat mengherankan kami, tatkala para jebolan al-Azhar membacakan kisah-kisah palsu seperti ini kepada khalayak.”[111]
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata, “Malam Isra’ Mi’raj tidak diketahui waktu terjadinya. Karena seluruh riwayat tentangnya tidak ada yang shahih menurut para pakar ilmu hadits. Di sisi Alloh-lah hikmah di balik semua ini. Kalaulah memang diketahui waktunya, tetap tidak boleh bagi kaum muslimin mengkhususkannya dengan ibadah dan perayaan. Sebab hal itu tidak pernah dilakukan Nabi dan para sahabatnya. Seandainya disyari’atkan, pastilah Nabi menjelaskannya kepada umat, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan….”
Kemudian beliau berkata, “Dengan penjelasan para ulama beserta dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadits di atas, sudah cukup bagi para pencari kebenaran mengingkari bid’ah malam Isra’ Mi’raj yang memang bukan dari Islam secuil pun …. Sungguh amat menyedihkan, bid’ah ini meruyak di segala penjuru negeri Islam sehingga diyakini sebagian orang bahwa perayaan tersebut merupakan agama. Kita berdo’a kepada Alloh Ta’ala agar memperbaiki keadaan kaum muslimin semuanya dan memberi karunia kepada mereka berupa ilmu agama dan taufiq serta istiqamah di atas kebenaran.” [112]
E. Mengkhususkan Puasa di Bulan Rajab
Termasuk perkara bid’ah di bulan Rajab, mengkhususkan puasa bulan Rajab. Karena tidak ada hadits shahih yang mendukungnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun mengkhususkan puasa di bulan Rajab, seluruh haditsnya lemah dan palsu. Ahli ilmu tidak menjadikannya sebagai sandaran sedikitpun.”[113]
Imam Suyuthi berkata, “Mengkhususkan bulan Rajab dengan puasa, dibenci. Asy-Syafi’i berkata, ‘Aku membenci bila seseorang menyempurnakan puasa sebulan penuh seperti puasa Ramadhan. Demikian pula mengkhususkan suatu hari dari hari-hari lainnya….”
Dan Imam Abdullah al-Anshari –seorang ulama Khurasan– tidak berpuasa bulan Rajab bahkan melarangnya seraya berkata, “Tidak satu hadits pun yang shahih dari Rasulullah tentang keutamaan bulan Rajab dan puasa Rajab.”
Bila dikatakan, “Bukankah puasa termasuk ibadah dan kebaikan?” Jawabnya: “Benar. Tapi ibadah harus berdasarkan contoh dari Rasulullah. Apabila kita ketahui haditsnya dusta, berarti tidak termasuk syari’at.”
Bulan Rajab diagung-agungkan oleh Bani Mudhar di masa jahiliyah sebagaimana dikatakan Umar bin Khaththab a/. Bahkan beliau memukul tangan orang-orang yang berpuasa Rajab. Demikian pula Ibnu Abbas –yang berjuluk lautan ilmu umat– membenci puasa Rajab. Ibnu Umar pun apabila melihat manusia berpuasa Rajab, beliau membencinya seraya berkata, “Berbukalah kalian, sesungguhnya Rajab adalah bulan yang diagungkan oleh ahli jahiliyah.”[114]
Imam Thurthusi mengatakan –setelah membawakan atsar-atsar di atas–, “Atsar-atsar ini menunjukkan pengagungan manusia terhadap Rajab sekarang ini merupakan sisa-sisa peninggalan zaman jahiliyah dahulu. Kesimpulannya, dibenci berpuasa di bulan Rajab. Apabila seorang berpuasa dalam keadaan yang aman, yaitu bila manusia telah mengetahui dan tidak menganggapnya wajib maupun sunnah, maka hukumnya tidak mengapa.” [115]
Kesimpulan perkataan para ulama di atas, “Tidak boleh mengkhususkan puasa di bulan Rajab sebagai pengagungan terhadapnya. Sedangkan apabila seseorang telah terbiasa (rutin) berpuasa sunnah (puasa Dawud atau Senin-Kamis misalnya, baik di bulan Rajab maupun bukan) dan tidak beranggapan sebagaimana anggapan salah masyarakat awam sekitarnya, maka diperbolehkan.
F. Sembelihan Rajab
Termasuk adat jahiliyah dahulu, menyembelih hewan di bulan Rajab sebagai pengagungan terhadapnya. Sebab, Rajab merupakan awal bulan haram –menurut mereka– sebagaimana dikatakan Imam Tirmidzi dalam Sunannya 4/96. Tatkala Islam datang, secara tegas telah membatalkan acara sembelihan Rajab serta mengharamkannya sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits Rasulullah. Di antaranya hadits dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda:
لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيْرَةَ
Tidak ada fara’ dan athirah. [116]
Dalam riwayat lainnya dengan lafazh “larangan”:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ n عَنِ الْفَرَعَ وَالْعَتِيْرَةِ
Rasulullah melarang fara’ dan athirah.[117]
Dan riwayat Imam Ahmad dalam Musnadnya 2/229 dengan lafazh:
لاَ عَتِيْرَةَ وَلاَ فَرَعَ فِي اْلإِسْلاَمِ
Tidak ada athirah dan fara’ dalam Islam.
Berkata Abu Ubaid –ulama pakar bahasa–, “Athirah adalah sembelihan yang biasa dilakukan di masa jahiliyah pada bulan Rajab untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada patung-patung mereka.” [118]
Abu Dawud berkata, “Fara’ adalah unta yang disembelih orang-orang jahiliyah dipersembahkan bagi tuhan-tuhan, kemudian mereka makan. Lalu kulitnya dilemparkan ke pohon. Adapun athirah adalah sembelihan pada sepuluh hari pertama bulan Rajab.” [119]
Demikianlah pembahasan yang dapat kami tulis. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
[Cerkiis.blogspot.com, Sumber: "Ensiklopedi Amalan Setiap Bulan", Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi]
Footnote :
Footnote :
[90] Al-Qamus al-Muhith 1/74 dan Lisanul Arab 1/411, 422
[91] Jami’ul Bayan 10/124-125
[92] al-Mushannaf 2/345. Atsar shahih, dishahihkan Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 25/291 dan al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil 957)
[93] Al-Manarul Munif hlm. 92
[94] Safaru Sa’adah hlm. 150. Hal ini disetujui oleh Ibnu Himmat ad-Dimasyqi dalam kitabnya at-Tankita wal Ifadah fi Takhrij Khotimah Safar Sa’adah hlm. 112. (Lihat Muqaddimah Syaikh Masyhur bin Hasan terhadap risalah al-Adab fi Rojab hlm. 8-9 oleh Mula Al-Qori).
[95] Tabyin ‘Ajab bima Warada fi Rajab (6)
[96] al-Maudhu’at 2/124-125
[97] Majmu’ Fatawa 23/134
[98] Siyar A’lam Nubala 23/142-143
[99] al-Manar Munif 167,
[100] Takhrij Ihya’ 1/203
[101] Fawaidul Majmu’ah 47-48
[102] al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab 3/549
[103] al-Amru bil Ittiba’ hal. 166-167
[104] al-Bidayah wan Nihayah (3/108-109) cet. Maktabah al-Ma’arif
[105] Zadul Ma’ad 1/57 oleh Ibnul Qayyim
[106] al-Ba’its ala Inkar Bida’ wal Hawadits hal. 171
[107] Majalah at-Tauhid, Mesir hal. 9 edisi 7 tahun 28, Rajab 1420 H)
[108] at-Tamassuk bis Sunnah Nabawiyah (33-34) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
[109] al-Madkhal 1/294-298 dinukil dari al-Bida’ al-Hauliyah hal. 275-276 oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz at-Tuwaijiri
[110] Tanbihul Ghafilin 379-380
[111] as-Sunan wal Mubtada’at hal. 127
[112] at-Tahdzir minal Bida’ hal. 9 oleh Syaikh Ibnu Baz
[113] Majmu’ Fatawa 25/290
[114] al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 2/346, lihat pula al-Amru bil Ittiba’ hal. 174-176 oleh as-Suyuthi
[115] al-Hawadits wal Bida’ hal. 141-142
[116] HR. Bukhari 5473, 5474 dan Muslim 1976.
[117] HR. Nasa’i 4220, Ahmad 2/409, dan al-Ismaili sebagaimana dalam Fathul Bari 8/596.
[118] Fathul Bari 8/598 oleh Ibnu Hajar.
[119] Aunul Ma’bud 7/341, 8/24 oleh Syaraful Haq Azhim Abadi.