Tanya : Ada sebagian orang yang yang mengatakan bahwa kita tidak boleh memilih-milih guru atau ustadz dalam menuntut ilmu agama karena (katanya) jika kita punya sikap memilih-milih menunjukkan bahwa kita termasuk orang yang sombong. Namun sebagian lain mengatakan bahwa kita tidak boleh sembarangan memilih guru/ustadz dalam hal itu. Bagaimana sebenarnya kedudukan permasalahan ini ?
Jawab : Ilmu agama (ilmu syar’i) adalah adalah sarana dalam memperoleh keselamatan dan kemenangan dunia - akhirat. Allah ta’ala telah berfirman :
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا
”Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” [QS. Al-Fath : 28].
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka" [QS. Al-Baqarah : 201].
Mengenai ayat di atas, Al-Hasan (w. 110 H) berkata : ”Yang dimaksud dengan kebaikan dunia adalah ilmu dan ibadah”. Beliau menambahkan : ”Dan kebaikan akhirat – maksudnya adalah surga” [Jaami’ Bayaanil-’Ilmi wa Fadhlihi oleh Ibnu ’Abdil-Barr, hal. 36, Maktabah Al-Misykah].
Disebabkan ilmu agama adalah ilmu yang sangat mulia, maka ia tidaklah boleh dituntut kecuali dari orang-orang yang ikhlash, terpercaya, lagi mempunyai pemahaman yang lurus. Allah telah memberikan contoh yang sangat baik kepada kita akan hal tersebut, yaitu ketika Dia mengisahkan pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir ’alaihimas-salaam :
فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا * قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" [QS. Al-Kahfi : 65-66]
Di sini Allah telah memerintahkan Nabi Musa untuk menemui Nabi Khidir yang mempunyai keutamaan besar di sisi Allah. [1]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين وتأويل الجاهلين وانتحال المبطلين قال فسبيل العلم ان يحمل عمن هذه سبيله ووصفه
”Ilmu (agama) ini akan dibawa oleh orang-orang terpercaya dari setiap generasi. Mereka akan meluruskan penyimpangan orang-orang yang melampaui batas, ta’wil orang-orang jahil, dan pemalsuan orang-orang bathil. Ilmu ini hanya layak disandang oleh orang-orang yang memiliki karakter dan sifat seperti itu” [lihat Al-Jaami’ li-Akhlaqir-Raawi wa Adabis-Saami’ oleh Al-Khathib Al-Baghdadi 1/129 – shahih].
Oleh karena itu, para ulama telah memberikan peringatan bahwa ilmu agama ini tidaklah dituntut secara sembarangan kepada setiap orang tanpa ”seleksi”. Hal ini tercermin dalam pesan beliau shallallaahu ’alaihi wasallam kepada Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma :
يا بن عمر دينك دينك انما هو لحمك ودمك فانظر عمن تأخذ خذ عن الذين استقاموا ولا تأخذ عن الذين مالوا
”Wahai Ibnu ’Umar, agamamu ! agamamu ! Ia adalah darah dan dagingmu. Maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambilnya. Ambillah dari orang-orang yang istiqamah (terhadap sunnah), dan jangan ambil dari orang-orang yang melenceng (dari sunnah)” [Al-Kifaayah fii ’Ilmir-Riwayah oleh Al-Khathib hal. 81, Bab Maa Jaa-a fil-Akhdzi ’an Ahlil-Bida’ wal-Ahwaa’ wa Ihtijaaj bi-Riwayaatihim, Maktabah Sahab].
’Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ’anhu ketika berada di masjid Kuffah (’Iraq) pada suatu hari pernah berkata :
انظروا عمن تأخذون هذا العلم فإنما هو الدين
”Lihatlah dari siapa kalian mengambil ilmu ini, karena ia adalah dien/agama” [idem].
Muhammad bin Sirin (seorang pembesar ulama tabi’in) berkata :
إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم
”Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapakah kalian mengambil agama kalian” [Diriwayatkan oleh Muslim dalam muqaddimah kitab Shahih-nya 1/7 Maktabah Sahab].
Dari perkataan di atas kita dapatkan petunjuk dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam serta para shahabat dan tabi’in (serta ulama lain setelah mereka) agar kita mengambil ilmu dari orang yang alim, ’adil (terpercaya dalam agamanya) dan istiqamah, serta melarang mengambil ilmu dari orang-orang jahil dan fasiq. Al-Imam Malik bin Anas menambahkan : ”Ilmu tidaklah diambil dari empat orang :
من سفيه معلن بالسفه وإن كان أروى الناس ولا تأخذ من كذاب يكذب في أحاديث الناس إذا جرب ذلك عليه وإن كان لا يتهم ان يكذب على رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا من صاحب هوى يدعو الناس الى هواه ولا من شيخ له فضل وعبادة إذا كان لا يعرف ما يحدث
”(1) Orang yang bodoh yang menampakkan kebodohannya meskipun ia banyak meriwayatkan dari manusia; (2) Pendusta yang ia berdusta saat berbicara kepada manusia, meskipun ia tidak dituduh berdusta atas nama Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam (dalam hadits); (3) Orang yang menurutkan hawa nafsunya dan mendakwahkannya; dan (4) Orang yang mempunyai keutamaan dan ahli ibadah, namun ia tidak tahu apa yang dikatakannya (yaitu tidak faqih)” [Al-Kifaayah 1/77-78].
Tuntutan untuk memilih orang yang akan diambil ilmunya adalah merupakan kenyataan dan keniscayaan dalam merealisasikan kemaslahatan agama kita. Secara akal sehat, tentu kita tidak bisa menerima perkataan orang-orang yang telah divonis para ulama sebagai orang yang fasiq, sesat, dan menyimpang (seperti beberapa kelompok kontemporer belakangan). Akan tetapi, di jaman sekarang sungguh sangat sulit bagi sebagian orang untuk menilai siapa orang yang berada di atas sunnah dan siapa yang tidak berada di atas sunnah. Selain kebodohan yang telah merajalela, banyak orang (yang sebenarnya) jahil namun berhias dengan pakaian dan perkataan ulama (berlagak seperti orang berilmu). Nampaklah ia di mata masyarakat dan teranggaplah ia sebagai ”ulama”. Tidaklah aneh jika kemudian muncul para da’i ”dadakan” yang bukan merupakan lulusan majelis-majelis ilmu. Tidak lebih, mereka hanyalah lulusan majelis gelak tawa dan hiburan (entertainment). Menjamurlah para komedian dan penyanyi (artis) yang telah ”beralih profesi” menjadi da’i. Masyarakat awam pun menjadi tertipu atas ulah mereka. Dan inilah fitnah dan bencana besar yang melanda umat. Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ’anhu berkata :
لا يزال الناس بخير ما أخذوا العلم عن أكابرهم فإذا أخذوه من أصاغرهم وشرارهم هلكوا
”Senantiasa umat manusia dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari para akaaabir (yaitu ahli ilmu/ulama) mereka,. Jika mereka mengambil ilmu dari ashaaghir (orang-orang bodoh dan pelaku bid’ah) dan orang-orang jelek di antara mereka, niscaya mereka akan binasa” [Jaami’ Baayanil-’Ilmi wa Fadhlihi oleh Ibnu ’Abdil-Barr Al-Andalusy hal. 112; Maktabah Al-Misykah].
Bila kita baca di kitab-kitab para ulama terdahulu, niscaya kita akan melihat betapa mereka sangat hati-hati dalam mengambil ilmu atau hadits dari seseorang. Misalnya, sebagian di antara mereka ada yang menilai dari parameter dhahir shalatnya. Jika shalatnya bagus (baik dalam kaifiyatnya maupun semangat penegakkannya), maka ia akan ambil ilmunya. Namun jika jelek, ia tinggalkan.
Di jaman sekarang, sungguh lebih jelek keadaannya dibanding apa yang dialami ulama kita terdahulu. Ada sebagian yang dianggap tokoh (ustadz) oleh masyarakat, namun melazimkan masbuk dalam shalat berjama’ah di masjid. Atau bahkan tidak melazimkan shalat berjama’ah di masjid sama sekali. [2] Sebagian lagi dari mereka ada yang mencukur habis jenggotnya hanya dengan alasan penampilan dan ”kerapian”. Jika ada yang mengingatkannya, maka dijawab dengan enteng bahwa hal itu hanya merupakan khilaf furu’iyyah semata (?!) [3]. Ada lagi yang lain yang membiarkan istrinya tidak memakai jilbab syar’i.[4] Semangat dalam melakukan perbaikan terhadap masyarakat, namun lemah lagi lalai terhadap diri dan keluarganya yang notabene menjadi tanggung jawab terbesar baginya di hadapan Allah kelak di hari akhirat. Ini suatu musibah. Jikalau para ulama kita terdahulu mendapati model ulama, ustadz, atau pengajar macam ini, entah apa yang akan mereka katakan.................
Kita tidak mengatakan bahwa seorang ulama, ustadz, atau pengajar itu harus ma’shum terbebas dari segala macam kesalahan sehingga dapat diambil ilmunya. Benarnya prinsip-prinsip aqidah dan manhaj adalah satu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Selain itu, kita juga menilai seberapa besar kecintaan orang tersebut dalam menghidupkan sunnah/syari’at yang bersifat dhuhur (nampak) dalam kehidupan sehari-harinya.[5]
Fenomena kebalikan dari hal di atas adalah bahwa ada sebagian orang yang meninggalkan seorang ulama, ustadz, atau pengajar tertentu yang dikenal berilmu (kompeten), istiqamah, taqwa, dan semangat menjalankan sunnah-sunnah dalam Islam (baik bagi diri, keluarga, dan masyarakat) hanya karena alasan ketidaksenangannya semata. Tidak lain – menurut anggapannya – ulama/ustadz/pengajar tersebut dianggap bertentangan dengan kebiasaan, tradisi, atau nidham-nidham (aturan/kebijakan) kelompok/organisasi yang ia ikuti. Ini adalah tidak benar. Sikap ini merupakan buah dari sikap ta'ashub (fanatik) terhadap madzhab, kelompok, atau tokoh-tokoh tertentu. Ia mengambil al-walaa' wal-baraa'tidak berdasar atas nama Islam.
Kesimpulan :
Memilih guru atau ustadz dalam mengajarkan ilmu agama itu perlu (dan bahkan harus) jika dilandasi oleh alasan-alasan syar’i, bukan hawa nafsu. Hal itu bukanlah satu kesombongan yang dilarang dalam agama. Namun jika ia memilih-milih ustadz atau pengajar hanya karena alasan suka dan tidak suka (like and dislike) – padahal ia adalah seorang yang jahil yang butuh ilmu dari si ustadz/pengajar bersangkutan –, maka perbuatan ini merupakan sikap kesombongan yang menghancurkan. Ini adalah sikap pertengahan dari hal yang Saudara tanyakan. Wallaahu a’lam.
[Cerkiis.blogspot.com, Sumber : Ustadz Abul-Jauzaa']
Catatan kaki :
[1] Kita tidak mengatakan bahwa Nabi Khidir lebih utama secara mutlak daripada Nabi Musal ‘alaihimas-salaam. Bahkan Nabi Musa lebih utama daripada Nabi Khidir sebagaimana dijelaskan para ulama. Masing-masing mempunyai keutamaan yang tidak dipunyai yang lainnya.
[2] Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda (yang artinya) : ”Demi (Allah) yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah bermaksud memerintah (manusia untuk) mendatangkan kayu bakar untuk dikumpulkan, dan memerintahkan shalat sehingga ia dikumandangkanlah adzan yang kemudian aku perintahkan seseorang agar mengimaminya. Aku akan pergi menuju kaum laki-laki (yang shalat di rumah) sehingga aku membakar rumah-rumah mereka”[HR. Bukhari dan Muslim].
[3] Padahal, keharaman mencukur habis jenggot merupakan kesepakatan para ulama mu’tabar empat madzhab. Ibnu Hazm bahkan memasukkannya dalam daftar ijma’ dalam kitabnya Maraatibul-Ijma’ (hal. 157) dimana beliau berkata : { واتفقوا أن حلق جميع اللحية مثلة لا تجوز } ”Para ulama sepakat (ijma’) bahwa mencukur habis jenggot adalah tidak boleh (haram)”. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Sesungguhnya orang musyrik itu membiarkan kumis mereka lebat. Maka selisihilah mereka ! Peliharalah jenggot dan potonglah kumis kalian” [HR. Al-Bazzar no. 8123; hasan]. Artikel terkait, silakan baca : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/hukum-jenggot-dalam-syariat-islam.html
[4] Allah ta’ala berfirman :
Catatan kaki :
[1] Kita tidak mengatakan bahwa Nabi Khidir lebih utama secara mutlak daripada Nabi Musal ‘alaihimas-salaam. Bahkan Nabi Musa lebih utama daripada Nabi Khidir sebagaimana dijelaskan para ulama. Masing-masing mempunyai keutamaan yang tidak dipunyai yang lainnya.
[2] Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda (yang artinya) : ”Demi (Allah) yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah bermaksud memerintah (manusia untuk) mendatangkan kayu bakar untuk dikumpulkan, dan memerintahkan shalat sehingga ia dikumandangkanlah adzan yang kemudian aku perintahkan seseorang agar mengimaminya. Aku akan pergi menuju kaum laki-laki (yang shalat di rumah) sehingga aku membakar rumah-rumah mereka”[HR. Bukhari dan Muslim].
[3] Padahal, keharaman mencukur habis jenggot merupakan kesepakatan para ulama mu’tabar empat madzhab. Ibnu Hazm bahkan memasukkannya dalam daftar ijma’ dalam kitabnya Maraatibul-Ijma’ (hal. 157) dimana beliau berkata : { واتفقوا أن حلق جميع اللحية مثلة لا تجوز } ”Para ulama sepakat (ijma’) bahwa mencukur habis jenggot adalah tidak boleh (haram)”. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Sesungguhnya orang musyrik itu membiarkan kumis mereka lebat. Maka selisihilah mereka ! Peliharalah jenggot dan potonglah kumis kalian” [HR. Al-Bazzar no. 8123; hasan]. Artikel terkait, silakan baca : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/hukum-jenggot-dalam-syariat-islam.html
[4] Allah ta’ala berfirman :
{يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ}
"Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". [QS. Al-Ahzaab : 59].
[5] Kita tidak menilai pada sesuatu hal yang sifatnya tersebunyi karena haram hukumnya tajassus (mencari-cari sesuatu yang sifatnya tersembunyi) dari kesalahan manusia.
[5] Kita tidak menilai pada sesuatu hal yang sifatnya tersebunyi karena haram hukumnya tajassus (mencari-cari sesuatu yang sifatnya tersembunyi) dari kesalahan manusia.