Kamis, 17 November 2016

Ingin Menikah Tapi Calon Suami Belum Punya Nafkah


SOAL :
Bismillah. Afwan Ustadz, saya mau tanya. Saya akhwat bercadar (19 th) yang siap nikah. Orang tua saya sudah lanjut usia dan ingin melihat saya menikah secepatnya. Sudah banyak ikhwan yang datang ke rumah saya untuk ta’aruf, tapi gagal terus karena hati saya tidak ada kecenderungan sedikitpun dengan ikhwan-ikhwan tersebut. Sebab sejak lama saya telah mencintai seorang ikhwan yang baik agamanya. Sekarang dia di pesantren untuk belajar dan dua bulan lagi lulus. Apakah boleh saya menunggunya ?. Kami sama-sama ada perasaan. Tapi sayangnya, ikhwan tersebut belum diberi kemampuan dalam ma’isyah (nafkah). Bagaimana sebaiknya, Ustadz ?. Syukran. (Fulanah, Bumi Allah, +628522732xxxx)


JAWAB :
Wa’alaikumussalam warahmatullaahi wabarakatuh.

Ukhti.... Laki-laki yang mau menikah berbeda dengan wanita. Wanita jika mau menikah hanya berpikir bagaimana mendapatkan pria yang bermanhaj salaf dan berwajah rupawan. Tapi untuk laki-laki lebih dari itu. Dia harus bertanggung jawab menafkahi diri, istri, dan anak. Jika dia belum punya ma’isyah atau belum bekerja, maka bagaimana dia bisa menunaikan kewajiban sebagai kepala keluarga ??.

Hidup berkeluarga bukan hanya menafkahi istri satu atau dua hari saja. Namun juga bertanggung jawab atas kesehatan keluarga dan kebutuhan lainnya yang masih banyak sekali. Kecuali bila istri mau membantu mencarikan pekerjaan atau bersedia membantu suami berupa harta dengan tidak menyakiti hati suami. Bila seperti itu, maka boleh segera menikah. Tapi jika istri tidak bersedia dan dipaksa menikah, maka dikhawatirkan rumah tangga akan terganggu. Ini sering dialami oleh pasutri bahkan menjadi buah bibir mertua yang suka mulutnya ‘usil’. Karena itulah Allah ‘azza wa jalla berfirman :

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)-nya, sampai Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya” [QS. An-Nuur : 33].

Jika Anda berdua sabar menunggu dan tidak jatuh kepada hubungan yang haram, baik lewat lisan atau lainnya, insya Allah itu baik. Akan tetapi masih menyisakan satu kendala, yaitu mengganggu pikiran dan ketenangan jiwa. Karena itu, sebaiknya calon suami segera mencari pekerjaan walaupun hasilnya hanya cukup untuk berdua. Dengan hidup hemat dan semangat bekerja, insya Allah akan dikaruniai rezeki setelah menikah nanti. Wallaahu a’lam.

[Cerkiis.blogspot.com, Dijawab oleh Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron hafidhahullah – dikutip sepenuhnya oleh Abul-Jauzaa’ dari majalah Al-Mawaddah, Edisi 8 tahun ke-3, Rabi’ul-Awwal-Rabi’uts-Tsani 1431 H/Maret 2010].

Ustadz Abul Jauzaa’ berkata :
Begitulah, seorang laki-laki cerdas ketika hendak menikah perlu memikirkan kesiapan nafkah, bukan hanya kesiapan mental. Perlu juga berempati melihat dari sisi si wanita dan keluarganya, bukan dari sisi kebutuhan pribadi saja. Seandainya Anda mempunyai anak wanita, senangkah hati Anda melihat anak Anda kesulitan makan dan pakaian hanya karena suaminya pengangguran tak punya kerjaan ?.

Tanya Jawab Dengan Ustadz Abul Jauzaa’ 

● Tanya :
bagaimana dengan sahabat rasul yang tidak punya apa-apa dan nikah dengan mas kawin mengajari istrinya al-qur'an?

Jawab :
Miskin bukan berarti tak punya nafkah. Coba kita baca sirah mereka. Para shahabat itu bekerja, meski mungkin hasilnya sedikit, karena memang kondisi waktu itu perekonomian tidak seperti sekarang.

Jadi, yang dibahas di sini adalah masalah kesiapan nafkah, bukan miskin dan kaya. Orang miskin tetap mempunyai hak untuk menikah.

● Tanya :
Assalamu'alaikum,, afwan mungkin pertanyaannya agak sedikit jauh dari topik,, begini, saya seorang akhwat yang tengah menjalani proses taaruf,, kedua orangtua dari kedua belah pihak telah setuju untuk rencana pernikahan di tahun depan,, hingga sejauh ini, belum ada khitbah dikarenakan melihat dari waktu pernikahan masih lama,, yang ingin ditanyakan, saya dan ikhwan tersebut sering berhubungan lewat sms, konten sms tidak berbau mesra ataupun berlebihan,, namun kadang isinya menurut saya kurang penting,, saya sudah sampaikan ke ikhwan tersebut, agar tidak usah sms kalau tidak perlu,, tapi ikhwan tersebut bersikeras dengan alasan akan ada kemungkaran lebih besar lagi bila tidak ada kontak-kontakan,, saya sudah ingatkan ikhwan ini berkali-kali, akhirnya selalu saya yang mengalah, dan saya terbawa sms/telp yang tidak penting (jadi ngobrol kemana-kemana, walau kontennya bukan konten mesra atau yang berlebihan) ,, kadang setelah kontak-kontakan, saya dipenuhi rasa bersalah, dan jadi beban buat saya, saya ingin komit terhdap ikhwan tersebut, tapi tidak mau kontak-kontakan hal-hal yang tidak penting,,, kira-kira bagaimana ya ustad? apa lebih baik saya menyudahinya, mengingat terlalu lama jarak menikah (setahun lagi)? Tapi saya kasihan kepada ikhwan tersebut kalau disudahi, beliau jadi gagal menikah ?

Jawab :
Wa'alaikumus-salaam. Ta'aruf dan persetujuan orang tua tidaklah membuat dua orang berbeda jenis kelamin mempunyai hak berinteraksi lebih dari biasanya. Mereka berdua statusnya tetap dua orang asing dan bukan mahram yang terikat hukum halal dan haram.

Berbicara, telepon, dan sms antara laki-laki dan wanita bukan mahram tanpa ada keperluan merupakan tindakan kurang terpuji. Alasan akan terjadi kemungkaran bila tidak kontak-kontakan adalah alasan yang mengada-ada. Justru dengan telepon dan sms itu terjadi kemunkaran, karena ia akan membuka pintu kejelekan antara kedua belah pihak. Apakah dengan telepon dan sms yang kurang penting itu syahwat laki-laki dan wanita tidak akan bangkit ?. Bukankah salah satu atau dua belah pihak menjadi 'senang' ketika berbicara dengan lawan bicaranya ?. Itulah godaan setan.

Ta'aruf dan khithbah itu dilakukan jika memang sudah benar-benar hendak menikah. Artinya apa ?. Pernikahan itu memang akan segera dilakukan. Jika jarak pernikahan terlalu lama, akan menimbulkan banyak fitnah. Salah satunya adalah yang ukhti alami sekarang.

Nasihat saya, ukhti peringatkan ikhwan tersebut agar tidak berhubungan lagi, dan agar ia jangan telepon/sms kecuali memang ada keperluan yang harus disampaikan. Jika memang ia berkeras seperti yang ukhti sampaikan, maka menurut saya, ikhwan tersebut bukan pilihan terbaik buat ukhti.

Wallaahu a'lam.

● Tanya :
iya ustad, saya sudah sampaikan lagi, namun masih saja dengan alasan yang sama,, beliau orang yang shalih ustad sebenarnya,, beliau juga mengakui hal tersebut sebagai kekurangannya,, sejujurnya saya sudah pernah menolak untuk tidak usah melanjutkan karena malah jadi bnyak fitnah,, tapi beliau memohon-mohon agar tetap berlanjut,, akhirnya saya tetap melanjutkan kembali, dan beliau akan membatasi percakapan yang bermanfaat saja seperti ilmu/nasihat (tapi saya menilai, hasilnya tetap akan sama, walau hal tsb bermanfaat, pasti tetap mnjdi tempat setan menggoda)

ustad yang ingin saya yakinkan,, apakah beliau terbaik untuk saya? di sisi lain, beliau orang sangat soleh dibanding saya, ibadahnya juga sangat rajin, beliau banyak ilmunya dibanding saya,, maka itu yang masih membuat saya bimbang,, saya sudah istikhoroh,, dan hingga saat ini selalu belum ada kemantapan hati terhadap dirinya,, apakah hal tsb tanda untuk tidak usah berlanjut? (afwan ustad jadi berkali-kali nanya, saya benar-benar bingung. (sebelumnya,, jazzakalloh khoir ustad, atas nasihatnya tadi)

Jawab :
Standar shalih bukan semata-mata karena banyaknya ibadah. Kalau banyak ibadah bisa memastikan keshalihan seseorang, maka Khawarij lah yang pantas disebut shalih dibandingkan para shahabat.

Banyak orang yang punya banyak perbendaharaan pengetahuan. Tahu ini dan itu. Namun apa itu cukup ?. Tidak. Ilmu adalah wasilah (sarana/perantara) untuk beramal. Kalau ilmu tak diamalkan, itu ibarat pohon tak ada buahnya. Yang kita cari bukan orang yang punya banyak ilmu namun mandul dalam implementasi,... yang kita cari adalah orang yang mau dan mampu mengamalkan ilmunya meski sedikit.

Sikap ukhti yang ingin membatasi perkataan yang bermanfaat saja, maka bukan itu yang dimaksudkan. Justru 'membatasi hanya perkataan yang bermanfaat' tadi bukan merupakan perkataan yang bermanfaat. Dan itu pun sudah ukhti akui - bahwa hal itu malah menjadi media setan untuk menaruh racun berbisanya di hati manusia. Yang dimaksudkan adalah membatasi perkataan sekedar keperluan saja. Kalau ada perlu yang mesti disampaikan, baru ngontak. Coba ukhti bayangkan, apakah ukhti rela jika ukhti punya anak wanita kelak sering berhubungan (telepon/sms/chatting) dengan ikhwan yang bukan mahram dengan didalihi macam-macam dalih ?. Wallaahul-musta'aan....

● Tanya :
Assalamu'alaikum Ustadz, saya seorang Ikhwan 19 tahun,sedang kuliah, dan ingin menikah namun belum memiliki Pekerjaan, masih bergantung kepada orang tua, yang saya ingin tanyakan, apakah boleh saya menikah meski belum bekerja atau memiliki penghasilan ? Tujuan saya ingin segera menikah karena ingin menjaga Kehormatan dan Agama saya ustadz, karena godaan lawan jenis sangat kuat ustadz, meski saya sudah menjauh dari Lawan jenis Non Mahram, mohon dijawab Ustadz, Terimakasih

Jawab :
Wa'alaikumus-salaam. Jika memang itu niat antum, boleh untuk menikah, meski tetap dianjurkan bagi antum - jika antum masih bisa menahannya - agar mencari nafkah terlebih dahulu sebagaimana anjuran yang ada di artikel. Namun jika godaan itu memang sangat kuat dan antum khawatir diri antum benar-benar akan terjerumus pada zina, maka dianjurkan untuk menikah, atau bahkan bisa diwajibkan.

Namun demikian harus diingat,.... antum harus mempunyai kemauan dan bertekad kuat untuk mencari nafkah mulai sekarang. Hal itu dikarenakan nafkah istri antum nantinya berada di pundak antum,..... menjadi kewajiban antum. Jangan sampai kejadiannya kita mencari selamat (dari perbuatan zina), namun istri kita malah celaka dan tertimpa kemalangan (karena disia-siakan dan tak diberikan kecukupan nafkah).

● Tanya :
Assamualaikum, saya akhwat 25th, saya akan menikah di 21 desember 2014. Kondisi saya saat memilih dia utk menjadi suami saya karna saya merasa nyaman dan bisa menjadi diri saya sendiri, saya bisa sharing dengan baik, dan menghasilkan suatu solusi. Tapi disepanjang jalan, muncul pertanyaan, mengenai biaya pernikahan dia berikan utk saya. Karena calon suami saya hanya siap secara mental saja, namun kondisi keuangan blum ada saat itu. Akhirnya seiring berjalan dia memberikan uang, yg saya dengar itu uang yang ada di dia. Tp justru pada kenyataannya itu adl uang dari ibunya. Yg jelas2 untuk biaya akad pun tidak cukup untuk menutupinya. Apakah saya terlalu terburu2 dengan keputusan saya menikah ini ? Atau memang ini hanya sebagai ujian saya dengan calon suami saya? Ragu gak ragu, saya jadi berfikir, apakah calon suami saya memang benar2 sudah siap untuk menafkahi saya dan kturunan kami nantinya ? Terimakasih wassalamualaikum wr wb ..

Jawab :
Wa'alaikumus-salaam warahmatullaahi wa barakatuh. Tetapkan niat untuk menikah selama itu sudah anti dan keluarga anti pikirkan masak-masak sebelumnya. Menikah itu mulia, lebih menjaga pandangan dan menjaga diri agar tidak terjerumus pada zina. Hanya saja nanti, anti harus senantiasa memberikan semangat pada suami anti agar mencari nafkah, karena ini merupakan tanggung jawabnya ketika menikahi anti. Saya doakan agar urusan anti dimudahkan oleh Allah dan (calon) suami anti segera mendapatkan pekerjaan yang cukup menafkahi keluarga.

● Tanya :
temen saya niat taaruf dari keluarga ustadz dari pihak perempuan, niatan tulus menikah dengan jalan agama islam niatan mencegah pacaran, apa daya setelah menikah setahun, si wanita berubah karena semakin lama trnyata keluarga si wanita dan istrinya ternyata materialistis, temen sy yg hanya buruh tiap hari hnya dicaci maki istri dan kluarganya yg ustadz, hnya gara2 diajak hidup sederhana dianggap tidak bisa menyenangkan istrinya, padahal saat taaruf sudah benar2 diyakin akan menerima suami dgn ikhlas yg penting mampu menafkahi lahir batin walaupun sangat sderhana dan tidak kekurangan tapi apa daya skrng mereka sudah bercerai, skrng kawan sy lebih memilih jalan pacaran untuk memilih pasangan dan melihat reaksi keluarga pacar lebih dalam.

Jawab :
Materialistik itu gaya hidup yang bisa dimiliki oleh siapapun. Bisa ustadz bisa juga bukan ustadz. Kalau mau jujur, justru yang berlatarbelakang bukan ustadz lebih banyak. Iya apa iya ?. Semakin baik pemahaman agamanya, semakin baik pula pandangan hidupnya.

Saya harapkan, antum menasihati kawan antum agar jangan berpacaran, karena itu dosa. Tidak ada hal yang lebih layak untuk kita takuti selain daripada dosa dan akibatnya. Hidup ini bukanlah eksperimen. Semoga Allah ta'ala senantiasa membimbing kita semua di jalan-Nya yang lurus.

● Tanya :
Assalamualaikum ustad,, saya ingin bertanya,, saya sangat pendosa besar ustad,, saya sangat sulit menhan nafsu saya,, sudah ada niat saya untuk menikah tapi saya belom punya pekerjaan ustad, sedang kan si perempuan nya sudah bekerja,, tapi saya gak brani bilang sama kedua orang tua masing2 buat menikah,, tapi saya sudah gak sangub lagi ustad buat nglakuin zina ini,, dosa saya sudah sangat besar ustad,, tolong kasih solusi nya ustad, apa yg harus saya lakukan..?

Jawab :
Wa'alaikumus-salaam. Segeralah untuk menikah, jika memang si wanita dan walinya bersedia, karena (salah satu) tujuan menikah adalah memelihara diri dari perbuatan zina.

Namun setelah menikah, antum harus mencari nafkah, karena tanggung jawab keluarga ada di tangan antum. Seorang suami jangan sampai menjadi benalu bagi istrinya. Suami lah yang bekerja di luar rumah sedangkan istri mengurus rumah tangga. Jangan sampai terbalik, haram hukumnya.

Jangan sampai antum meninggalkan satu dosa untuk beralih pada dosa yang lainnya.

● Tanya :
Assalamu'alaikum ustad. saya mau bertanya ustad ?

apakah nikah secara agama saja itu ada tanpa melalui syarat - syarat dari negara kita ?

karena saya dulu sempat ngaji dipondok waktu bulan puasa dijelakan sama ustad saya bahwa untuk menghindari dosa pacaran kita dikasih jalan untuk menikah secara agama, dikarenakan kita masih dibawah umur belum memenuhi syarat - syarat menikah dari negara. karena ustad saya dulu pernah nikahkan anak temannya yang masih smp, dikarenakan udah mempunyai calon dan ditakutkan berbuat zina dinikahkan lah secara agama saja, untuk kebutuhan hidup dan lain - lainnya masih ikut orang tua masing - masing. nantinya kalo sudah siap, akan nikah kembali dengan syarat - syarat seperti yang ada.

masalahnya kejadian yang diatas sudah terjadi disaya. saya sudah punya calon. kedua orang tua sudah setuju untuk berhubungan lebih lanjut. akan tetapi kami masih sekolah dan belum lulus. dan saya sendiri sering dimintai tolong orang tua calon mempelai, otomatis saya sering ketemu yang saya takutkan ada dosa disetiap pertemuan saya. niat saya mau ambil cara yang diajarkan ustad saya, akan tetapi saya belum begitu jelas dengan caranya dan syaratnya mau saya tanyakan kejelasan sama ustad saya, beliaunya sudah tiada.

Tujuan pertanyaan saya adalah apakah ada nikah secara agama itu sendri?

seandainya ada, apakah setelah saya menikah nanti saya dan pasangan saya sudah semukhrim dan sah dihadapan allah, serta sarat - sarat yang harus saya penuhi untuk melakukan pernikahan tersebut.

Jawab :
Wa'alaikumus-salaam. Menikah secara agama sah dalam kaca mata syari'at yang menghalalkan apa-apa yang diharamkan sebelumnya dari hubungan antara laki-laki- dan wanita. Akan tetapi, tetap wajib untuk mengurusnya di KUA sebagai perwujudan ketaatan kepada pemerintah pada hal yang bukan termasuk maksiat.

● Tanya :
Saya ikhwan pengen nikah tadz, tp jodoh tak kunjung datang... Gmn solusinya tadz?

Jawab :
Terus berusaha mencari, dan jangan lupa untuk berdoa.

● Tanya :
Ustadz sy baca buku ttg fiqih 4 madzhab karangan syaikh al-allamah muhammad bin 'abdurrahman ad-dimasyiq. Menurut imam syafi'i kekufuan dlm pernikahan ada 5 : agama, nasab, pekerjaan, merdeka, dan bebas dr cacat. Sebagian sahabat syafi'i mensyaratkan kekayaan. Imama hanafi sependapat dgn imam syafi'i. Imam Maliki berpendapat sekufu dlm masalah agama. Imam hambali berpendapat sekufu hanya dalam agama dan pekerjaan saja. Trus menurut kesepakatan para imam 4 tsb, menikah dhn seseorang yg tdk sekufu dalam hal nasab adalah tdk haram.

Pertanyaan saya : apakah dgn demikian ketika calon suami menikahi istri dlm keadaan tdk bisa menafkahi atau tdk bekerja menjadi haram ? Dlm artian benar benar tdk punya penghasilan.. jazakalloh khoir atas jawabannya...

Jawab :
Haram bagi suami jika ia tidak memberikan nafkah kepada istri dan siapa saja yang menjadi tanggungannya. Pernikahannya sendiri sah.

● Tanya :
Assallamuallaikum ,.. Saya sdh menikah,dipernikahan ke 2 sya di karuniai 2 org putra,. Gaji suami 1jt/bln dan tentunya itu hanya cukup utk uang jalan kerjanya (bensin) krn dia kerja dilapangan, tentunya tdk ada yg di berikan pd anak2 dan istrinya, belum lg utk bayar kontrakan, listrik, air, susu dan kebutuhan anak lainnya, sudah 4thn sya bertahan, sehari2 kadang sya jualan pakaian itu pun modal dr sya kumpulkan tiap bulan 20rb, sampa akhirnya dpt 500rb utk modal awal, kadang suami pinjam uang utk menutupi kebutuhan yg akhirnya skr hutang membengkak, suami slalu minta uang atau alasan pinjam utk bayar utang, sedangkan tadinya sya ingin bisa menabung utk anak2, sampai pd akhirnya alm. papah sya meninggal saya dpt warisan 4juta dr hasil penjualan rumah alm. Itu pun di kasih adik2nya alm hanya segitu, sya di dzolimi,. Tp sya coba mengikhlaskan nya,. Dan dr uang warisan itu suami pinjam lg utk bayar hutang2, terkadang suami menyuruh saya pinjam pd adik saya,. Keluarga sya tdk pernah perhitungan, bahkan jajan anak2 saya slalu ke warung mamah saya sampai habis isi warung nya krn saya hutangin,. Padahal keluarga suami saya org tua nya mampu dan ada,. Sya prnah mengeluh pd kakak ipar, tp kakak ipar malah bilang jgn berharap apa2 dr keluarga kami, jgn minta bantuan,. Jalani sendiri km hrs terima suami km apa ada nya,. Pdhl mertua saya itu memberikan rumah pada ke 6 anaknya kecuali suami saya yg tdk di beri,. Td nya sya mengeluh bukan utk meminta uang tp minta solusi hrs bgmn suami sya supaya ada sampingan penghasilan,. Pdhl anak2 mertua semua bergantung pd mertua yg kebetulan punya pabrik,. Setelah itu sya jd suka marah2 krn pusing dgn kehidupan yg sya jalani,. Apakah org tua yg mampu wajib membantu anak lelaki nya yg kondisi nya sprti suami sya?? Krn jujur sya sudah malu dgn kluarga sya sndiri yg gx punya apa2 slalu dibebani oleh sya,. Mohon dibalas pa ustad

Jawab :
Saya berdoa kepada Allah ta'ala agar ibu senantiasa diberikan kesabaran, kemudahan, dan rezeki dari-Nya. Nafkah adalah salah kewajiban fisik terbesar yang harus ia tunaikan kepada keluarganya. Jika tidak, maka Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

كفى بًالمرء إثما أن يضيع من يقوت

“Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya”

Sangat disayangkan, banyak suami yang lalai dalam hal ini. Tidak berusaha maksimal, padahal kaki dan tangannya masih kuat untuk berusaha. Semoga Allah ta'ala memberikan petunjuk kepada para suami agar mereka ingat akan kewajiban mereka terhadap keluarganya.

Seorang yang mampu dari kalangan kerabat mempunyai kewajiban untuk membantu/menolong kerabatnya yang lain yang ditimpa kesusahan.

Semoga bermanfaat.

[Tanya Jawab Disusun Dari Artikel Langsung dan perubahan seperlunya oleh: arifia]