BAHASAN : SIRAH NABI
KISAH HIJRAH BEBERAPA SAHABAT
Hijrah, menjadi pilihan untuk menyelamatkan keimanan, sekaligus menguji keteguhan dan kesetiaan kaum muslimin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Betapa tidak, tanah kelahiran tempat berpijak, kerabat dekat yang dicinta, harta untuk memenuhi hajat hidupnya, semua harus dikorbankan, bahkan harus ditinggalkan demi hijrah. Sejauh manakah pengorbanan kaum muslimin dalam berhijrah? Berikut petikan kisah dari beberapa sahabat Radhiyallahu anhum.
KISAH UMMUL-MU`MINÎN UMMU SALAMAH
Ummul-Mu`minîn Ummu Salamah[1] Radhiyallahu anhuma mengisahkan: “Ketika Abu Salamah berniat hijrah ke Madînah, ia Radhiyallahu anhu mempersiapkan untanya untukku. Dia membawaku dan anakku, Salamah, di atas unta itu. Kemudian membawaku keluar dengan menuntun untanya. Ketika orang-orang Bani al-Mughîrah[2] bin ‘Abdillah bin Amr bin Makhzûm melihatnya, serta merta mereka menyusulnya seraya berseru: ‘Masalah dirimu, itu urusanmu, tetapi bagaimana dengan wanita kami ini? Dengan alasan apa kami membiarkan engkau membawanya?’.”
Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma mengisahkan: “Lalu mereka merebut tali kekang unta dari tangan Abu Salamah Radhiyallahu anhu dan merebutku darinya. Seketika itu juga, Bani ‘Abdil-Asad, keluarga dekat Abu Salamah marah. Mereka berkata: ‘Demi Allah, kami tidak akan membiarkan anak kami ini (maksudnya Salamah) bersama Ummu Salamah, karena kalian telah merebut Ummu Salamah dari tangan kawan kami ini (maksudnya Abu Salamah)’. Akhirnya mereka pun memperebutkan anakku Salamah. Sampai akhirnya, Bani al-Mughîrah menyerah. Bani ‘Abdil-Asad pergi membawa anakku. Sedangkan aku ditahan oleh Bani al- Mughîrah. Akhirnya, Abu Salamah pun berangkat ke Madînah seorang diri”.
Ummu Salamah berkata: “Aku terpisah dengan suami dan anakku”.
Sejak itulah Ummu Salamah sangat merasakan kesedihan. Setelah terpisah dari sang anak dan sang suami yang sudah berangkat hijrah, Ummu Salamah pergi ke al-Abthah. Disana ia menumpahkan kesedihannya, menangis sampai sore hari. Ini dilakukan setiap hari. Hingga setelah satu tahun berlalu, ada salah seorang anak pamannya yang merasa iba kepadanya, lalu ia pun berkata kepada Bani al-Mughîrah: “Tidakkah kalian melepaskan wanita malang ini? Kalian telah memisahkannya dengan anak dan suaminya”.
Mendengar penuturan ini, lalu Bani al-Mughîrah mengatakan kepada Ummu Salamah: “Jika engkau mau, susullah suamimu?”
Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma mengisahkan: “Dan saat itu, Bani al-Asad mengembalikan anakku. Aku kemudian mempersiapkan unta. Aku berangkat menuju Madînah seorang diri.[3] Tidak ada seorangpun yang menemaniku kecuali anakku.
Ketika sampai di daerah Tan’im, Ummu Salamah berjumpa dengan ‘Utsmân bin Thalhah bin Abu Thalhah bin Abi Thalhah. Dia bersedia mengantarkan Ummu Salamah sampai di Madînah. Maka berangkatlah Ummu Salamah ke Madînah ditemani oleh ‘Utsmân bin Thalhah. Saat ‘Utsman melihat perkampungan Bani ‘Amr bin ‘Aud di Quba’, dia berkata: “Suamimu berada di kampung ini. Masuklah dengan barakah dari Allah!” Kemudian ‘Utsmân bin Thalhah pun kembali ke Makkah [4]. Akhirnya Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma bisa berkumpul lagi dengan Abu Salamah.
KISAH SHUHAIB RADHIYALLAHU ANHU
Ketika hendak berangkat hijrah, kaum kuffâr Quraisy menghalanginya seraya berkata: “Engkau datang kepada kami dalam keadaan miskin. Kemudian hartamu bertambah banyak ketika bersama kami. Sekarang engkau ingin pergi dengan membawa hartamu. Demi Allah, itu tidak akan bisa terjadi!”
Mendengar teguran ini, Shuhaib mengajukan penawaran: “Bagaimana pendapat kalian, jika aku memberikan seluruh hartaku kepada kalian? Apakah kalian akan membiarkan aku pergi?”
Mereka menjawab: “Ya”.
Kisah ini terdengar oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Shuhaib telah mendapatkan keberuntungan”.[5]
Dalam riwayat lain disebutkan dari Shuhaib Radhiyallahu anhu, ia berkata kepada orang-orang kafir Quraisy ketika mereka menyusul dirinya: “Maukah kalian aku beri beberapa ons (auqiyah) emas, lalu kalian membiarkan aku pergi?”
Mereka pun setuju. Maka aku katakan kepada mereka: “Galilah di depan pintu (rumah)ku. Di bawahnya terdapat beberapa ons emas,” lalu aku pergi dan bisa menyusul Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Qubâ sebelum beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpindah darinya. Ketika melihatku, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Abu Yahya, keuntungan perniagaan.” kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. [al-Baqarah/2:207] [6].
KISAH ‘UMAR BIN KHATHTHAB RADHIYALLAHU ANHU
Ibnu Ishâq[7] meriwayatkan dari ‘Umar Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Ketika kami hendak berhijrah ke Madînah, aku, ‘Ayyâsy bin Rabî’ah dan Hisyâm bin al ‘Aash bin Wâ’il sepakat bertemu di Tanadhib (serumpun pepohonan) di daerah subur Bani Ghaffâr di atas salah satu lembah Makkah. Kami mengatakan, barang siapa yang tidak disana pada pagi harinya, berarti ia tertahan; maka hendaklah dua temannya berangkat hijrah”.
Ketika pagi hari, aku dan ‘Ayyâsy datang kesana, sementara itu Hisyâm tertahan. Dia difitnah, sehingga terfitnah. Ketika kami sudah sampai di Madînah, kami singgah di perkampungan Bani ‘Amr bin ‘Auf di daerah Quba. Sementara Abu Jahl dan Hârits bin Hisyâm menyusul ‘Ayyâsy bin Rabî’ah sampai ke Madinah.
‘Ayyâsy ialah sepupu mereka dan juga saudara seibu. Setelah berjumpa dengan ‘Ayyâsy, mereka berkata: “Wahai Ayyâsy, demi Allah! Ibumu sudah bernadzar tidak akan menyisir rambutnya sampai ia bisa melihatmu”.
Mendengar penuturan ini ‘Ayyâsy merasa kasihan terhadap ibunya. Akhirnya ia kembali lagi ke Makkah bersama Abu Jahl dan Hârits bin Hisyâm. ‘Umar bin Khaththâb sudah berusaha mencegahnya agar tidak kembali ke Makkah, sebab khawatir orang-orang ini akan mencelakakannya. Akan tetapi ‘Ayyâsy tetap bersikukuh kembali ke Makkah.
Ternyata dugaan ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu benar. Sebelum sampai di Makkah, mereka menyerang ‘Ayyâsy dan mengikatnya, lalu membawanya masuk Makkah dalam keadaan terikat.
‘Umar Radhiyallahu anhu berkata:
Dulu kami berpandangan, Allah tidak akan menerima perbuatan, keadilan dan taubat orang yang terkena fitnah. Yaitu orang yang telah mengenal Allah kemudian kembali kepada kekufuran karena musibah yang menimpa mereka. Mereka mengatakan hal itu untuk diri mereka.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah sampai di Madinah, Allah Azza wa Jalla menurunkan sebuah ayat tentang perkataan kami dan perkataan mereka untuk diri mereka:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴿٥٣﴾ وَأَنِيبُوا إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ ﴿٥٤﴾ وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Rabbmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang adzab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu sebelum datang adzab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya, [az-Zumar/39 ayat 53-55].
Lalu aku menulis firman Allah tersebut dalam sebuah lembaran dengan tanganku, dan aku kirimkan kepada Hisyâm bin al ‘Aash.
‘Umar berkata: “Hisyâm berkata, ’Ketika kiriman ‘Umar itu sampai kepadaku, aku membacanya di Dziy Thuwa [8], akan tetapi aku kesulitan memahaminya, sampai aku mengatakan, wahai Allah, pahamkanlah aku tentangnya. Lalu Allah pun memberikan pemahaman ke dalam dadaku, bahwa ayat ini tentang kami, ucapan kami, tentang diri kami, dan juga pendapat yang diarahkan kepada kami’. Aku kemudian menghampiri untaku. Aku naiki dan segera menyusul Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “[9].
Dalam hadits shahîh, diriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa setelah ruku’:
اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ …
Wahai Allah! Selamatkanlah al-Walîd bin al-Walîd, Salamah bin Hisyâm dan ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah.[10]
Dalam riwayat lain terdapat tambahan:
… اللَّهُمَّ أَنْجِ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ …
… Wahai Allah! Selamatkanlah kaum mukminin yang lemah…[11].
Demikian, Allah Azza wa Jalla menyelamatkan tiga sahabat ini dan kaum mukmin lainnya.
Demikian, beberapa kisah hijrah para sahabat dari Makkah menuju Madinah. Kisah-kisah ini memberikan gambaran, betapa berat cobaan yang menimpa kaum muslimin pada saat itu, dan betapa gigih kaum kuffar Quraisy menghalangi kaum muslimin dari hijrah. (Ahmad Nusadi)
Sumber:
1. As-Siratun-Nabawiyatush-Shahîhah.
2. As-Sîratun-Nabawiyah fi Dhau`il Mashâdiril-Ashliyyah.
[Http://cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196, artikel: almanhaj]
Footnote
[1]. Dia adalah Hindun binti Abi Umayyah bin al-Mughîrah bin ‘Abdullah bin ‘Umar bin Makhzûm. Dia berhijrah ke Habasyah lalu ke Madînah. Ketika suaminya, Abu Salamah bin ‘Abdil-Asad sudah meninggal, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya. (Lihat al-Ishâbah, Ibnu Hajar, 8/150).
Al-Waqidi menyebutkan, beliau Radhiyallahu anhuma wafat pada usia 84 tahun. Lihat as-Sîratun-Nabawiyatush-Shahîhah, 1/202.
[2]. Mereka merupakan keluarga dekat Ummu Salamah.
[3]. Jarak antara Makkah-Madînah sekitar 500 km.
[4]. Sîrah Ibni Hisyâm, 1/469-470, dari riwayat Ibnu Ishâq dengan sanad yang bisa diterima.
[5]. Diriwayatkan oleh Ibni Hisyâm secara mu’allaq (as-Sîrah, 2/133), dan dibawakan oleh al-Hâkim dengan sanad bersambung dalam kitab al-Mustadrak, 3/389. Beliau rahimahullah berkata: Shahîh sesuai dengan syarat Imam Muslim, namun beliau tidak membawakannya.”
Imam adz-Dzahabi tidak berkomentar tentang hadits ini. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni, sebagaimana tercantum dalam ta’liq beliau terhadap kitab Fiqhus-Sîrah, karya al-Ghazâli, hlm. 166. Lihat as-Sîratun-Nabawiyah fi Dhau`il Mashâdiril-Ashliyyah, hlm. 261.
[6]. Riwayat ini panjang, terdapat dalam al-Mustadrak, 3/400, dan dishahîhkan oleh al-Hâkim. Lihat as-Sîratun-Nabawiyah fi Dhau`il Mashâdiril-Ashliyyah, hlm. 261.
[7]. Ibnu Hisyâm, 2/129-131, dengan sanad hasan. Atsar ini dishahîhkan oleh Ibnu Hajar dalam al-Ishâbah, 3/604. Atsar ini berasal dari riwayat Ibnu Sakn dengan sanad Ibnu Ishâq. Atsar yang shahîh tentang kisah hijrah ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu ini bertentangan dengan hadits lemah yang sangat terkenal di tengah kaum muslimin yang menjelaskan bahwa ‘Umar hijrah terang-terangan dan mengatakan kepada kaum musyrikin yang ingin melihat istrinya janda, maka hendaklah dia menghadang ‘Umar di sebelah lembah ini. Lihat as-Sîratun-Nabawiyah fi Dhau`il Mashâdiril-Ashliyyah, hlm. 261.
[8]. Nama sebuah lembah di Makkah.
[9]. Sirah Ibnu Hisyâm, 1/474, dengan sanad hasan li dzâtihi, karena Ibnu Ishâq terang-terangan menggunakan kalimat “haddatsana”. Melalui jalur Ibnu Ishâq ini, al-Hâkim membawakan riwayat ini dalam kitab al-Mustadrak, 2/435. Beliau rahimahullah berkata: “Hadits ini shahîh sesuai dengan syarat Imam Muslim, namun beliau rahimahullah tidak membawakannya. Pernyataan ini disetujui oleh adz-Dzahabi.
Al-Haitsami berkata: “Diriwayatkan oleh al-Bazzâr dan orang-orang yang membawakan riwayat ini adalah orang-orang terpercaya”. (Majma’uz-Zawâ’id, 6/61). Lihat As-Siratun-Nabawiyatush-Shahîhah, 1/206.
[10]. HR Bukhâri, al-Fath (17/87-88, no. 4560).
[11]. HR Bukhâri, al-Fath (12/65, no. 2932).